Aoi berangkat pagi-pagi demi menghindari Makoto. Untung saja pria itu tidurnya pulas di ruang tamu.
"Enaknya ngapain ya?" Aoi gabut, apalagi kelas masih sepi.
Haruka dan Fumie memasuki kelas. Keduanya terkejut melihat Aoi yang sudah ada di kelas.
"Aoi? Tumben banget berangkat pagi," Haruka meletakkan tasnya yang sangat berat itu. Rasanya pegal di hari Senin, pelajaran banyak, upacara di campur Matematika dan Fisika.
"Males ah sama dia. Apalagi kemarin. Maunya sih berdua aja sama Ryuji. Tapi om-om nyebelin itu ganggu!" Aoi curhat dengan berapi-api.
"Kencan gitu sama Ryuji?" tanya Fumie.
Aoi mengangguk. "Iya. Aku sama Ryuji pingin naik kincir angin, tapi om nyebelin itu ngajak nonton bioskop. Filmnya aja aku gak suka," Aoi menggerutu.
"Kamu sama Ryuji jauhan terus ya kalau aku liat-liat," celetuk Fumie setelah berpikir beberapa saat kemudian.
Benar juga. Tapi mau bagaimana lagi? Mak
Aoi meletakkan pulpennya di kotak pensil. Akhirnya selesai juga latihan soal Fisika."Kalau di ulang-ulang gini kan jadi tambah faham," sudah kebiasannya sepulang sekolah membuka buku pelajaran hari itu.Ting!Aoi melihat notifikasi dari grup kelas.Kelas 12 Ipa 1 GroupMadokaDenger-denger telinga gue nih, besok ada bazar buku loh. Kuy lah borong komik sepuasmu7:00 pmYunaBazar? Lo tau darimana? Bukannya udah ya satu bulan kemarin? Masa ada lagi?7:01 pmHikariLiat aja besok. Jadi bakal ada jamkos nih. Seneng gak? Seneng gak? Iyalah7:01 pmAnda@haruka @fumie beli berapa buku? Awas di borong haha7:02 pmHarukaBeli buku detektif itu. Penasaran nih sama season 2 giimana7:03 pmFumieJangan lupa ajak orang yang tersayang. Hehe, ups kode nih. Peka ya7:03 pm"Orang yang tersayang?" Aoi berpikir sejenak. Siapa ya?&n
"Lepasin gak?!" Aoi meronta. "Atau gue teriak maling aja. Ma-""Teriak aja. Aku kan disini guru, wle," Makoto memeletkan lidahnya.Aoi kesal. "Tau ah! Mending gue gabung sama sahabat aja daripada bapak!""Hei! Panggil saya mas. Biar udah nikah nanti terlatih. Faham?" rasanya aneh di dengar, terlalu muda karena dirinya baru 24 tahun."Gak mau! Bapak aja wle," sekarang gantian Aoi yang mengejek Makoto."Berani ya kamu. Sini aku cubit pipinya! Hei! Jangan lari Aoi!" Makoto mengejar langkah Aoi yang berlari kecil, rasanya mudah menangkap cewek itu, tapi demi Aoi senang Makoto memperlambat langkahnya.Keduanya menjadi sorotan."Romantis banget gak sih?""Terus Ryuji gak cemburu kan liat ini?"Sampai Aoi tak sengaja menabrak Ryuji yang berdiri mengobrol dengan Syougo dan Taiga."Punya mata gak-eh? Aoi, jangan lari-lari. Kalau jatuh aku yang sedih," awalnya Ryuji marah, tapi setelah ta
Aoi kesal, bukannya Makoto menjelaskan materi pelajarannya malah fokus memandanginya. Seisi kelas pun berbisik heran."Kenapa Aoi gak nerima cinta pak Makoto aja?""Kan lumayan juga punya pacar pintar bahasa Jepang. Iya gak?""Iya lah! "Haruka menenangkan Aoi. "Gak usah dengerin mereka. Emang cewek suka gitu. Iri," Haruka berbisik lirih. Karena mata jeli Makoto itu ikut memperhatikannya."Aoi. Bisa maju ke depan menjelaskan materi ini?"Aoi menghela nafasnya. Pasti ini modus lagi.Dengan langkah malas, Aoi maju. Menjaga jarak dari Makoto.Aoi diam."Aoi. Jelaskan kalimat positif dan negatif Mada," Makoto berusaha sabar. Ia tau Aoi sengaja tidak menjawab."Kalau kamu tidak bisa menjelaskannya, berdiri saja disini," tegas Makoto tak mau tau. Padahal tulisannya sangat jelas di papan tulis."Saya akan mengulangi lagi penjelasannya. Perhatikan baik-baik," Ma
Nakura melihat story Instagram Ryuji, sebuah kata-kata yang di tulis.Kalau aku jadi durinya mungkin kamu tangkainya, tapi dia kelopak bunga yang lebih berkuasa daripada aku.Kalau kamu hanya bulan, aku bumi dan dia matahari yang memberikan sinar hangatnya.Rasanya tak cukup aku mengutarakan perasaanku padamu. Kita selalu terhalang satu orang, dan dia akan memilikimu secara resmi. Aku sadar dan merasa tertampar, bahwa kamu dan dia akan hidup bersama-sama.Nakura merasakan sakit hati Ryuji mengutarakan itu."Pasti ini gara-gara Aoi lagi. Tuh cewek gak tau diri banget sih! Ryuji jelas-jelas pacarku!" Nakura menatap kata-kata Ryuji itu dengan nyalang."Liat aja, aku bakal perhitungan sama kamu Aoi," Nakura tersenyum miring. Saatnya membuat Aoi bungkam.***"Aoi, kok daritadi gak lukis apa-apa?" tanya Haruka heran.Ya, saat ini adalah kelas melukis yang bertema perbukitan.
Aoi bangun jam 4 pagi memasak di dapur. Sebelum Makoto memasak, ia harus cepat. Pasti pria itu akan melarangnya memasak."Bikin nasi goreng aja deh yang gampang. Ryuji pasti suka," Aoi mengupas beberapa bumbu nasi goreng yang ia tau.Di ruang tamu, Makoto terbangun karena mencium aroma masakan. Apakah Aoi yang ada di dapur?Langkahnya menuju dapur, Aoi memasak? Memangnya bisa?Makoto melihat Aoi membuat nasi goreng. Rambutnya yang masih berantakan, dan piyama pink membuatnya gemas ingin memeluknya. Tapi Makoto sadar, belum saatnya."Kamu masakin nasi goreng buat aku?"Seketika Aoi terpaku. Kenapa sih harus bangun?Aoi menoleh. Makoto memasang wajah bahagianya. Pria itu terlalu geer."Masak aja sendiri. Ini bukan buat lo!""Buat pacarmu itu?""Iya," Aoi mengangguk. "Jadi, gak usah ganggu. Tidur aja sana," usirnya malas."Enak ya tinggal di rumah kamu. Aku aja betah.
Di ruang tengah, Aoi dan Makoto menonton televisi kisah romansa dua remaja SMA.Aoi memakan camilannya dengan lahap, sushi kesukaannya."Kamu kalau ada apa-apa cerita sama aku ya? Kalau gak mau juga gak apa-apa kok," Makoto menoleh menatap Aoi yang serius melihat televisi."Kenapa sih cowok gak bisa pakai logika? Kenapa harus perasaan?" tanya Aoi gemas, Ryuji tak bisa memikirkan bagaimana perasannya yang sakit ketika Nakura berhasil mengajak Ryuji saat itu."Mungkin dia mau yang baru dan berbeda. Semua cowok itu gak sama Aoi. Ada yang memilih perasaan karena gak rela atau kasihan. Ada juga yang pakai logika karena dia pikir kembali atau pergi adalah pilihan terbaiknya," jelas Makoto bijak. Meskipun ia bukan ahli cinta, tapi ia faham bagaimana pemikiran seseorang.Aoi terpaku. Apakah benar seperti itu?"Terus kalau lo?""Apanya?" tanya Makoto bingung."Pakai apa? Perasaan atau logika?" karena Aoi tak mau kalau Makoto sama dengan
Makoto mengetuk pintu kamar Aoi, sudah jam delapan cewek itu tidur."Aoi? Bangun, ayo masak. Aoi?" Makoto membuka pintunya, Aoi tergeletak di lantai.Makoto panik. "Aoi! Aoi! Kamu gak mati kan? Aoi!" Makoto mengguncangkan tubuh Aoi.Aoi menggeliat. Dengan mata yang setengah terbuka, ia menatap Makoto."Apa sih? Ganggu orang tidur aja," Aoi kembali memejamkan matanya."Aoi. Anak perempuan jam segini udah nyapu, masak-masak, ngepel. Kamu malah tidur," omel Makoto gemas. "Gimana mau nikah nanti, masa aku makan di luar Aoi?"Aoi duduk. Kenapa Makoto tak bisa diam sih? Sangat mengganggu tidur nyenyaknya."Lo ngarep banget ya nikah sama gue? Gak usah percaya diri deh! Bisa aja gue kabur," ketus Aoi, usianya dengan Makoto terpaut jauh. Bagaimana reaksi teman-temannya nanti.Makoto menghela nafasnya. "Bukan ngarep, tapi ayahmu sendiri yang nyuruh aku nikahin kamu," ucap Makoto membenarkan. "Kenapa? Daripada pacarmu itu. Belum tentu dap
Dan Makoto pun tak tinggal diam. Ia..."Aoi!" serunya. Aoi menoleh dengan wajah terkejutnya.Makoto menarik tangan Aoi menjauhi Ryuji."Jadi ini yang kamu lakuin kalau aku lagi rapat? Mentang-mentang aku gak awasin kamu malah kencan sama dia. Mending pulang," hanya karena rapat selama beberapa menit saja, Aoi sudah tidak ada di kelasnya. Bahkan Haruka dan Fumie saja tidak tau keberadaan Aoi."Lepas gak?" Aoi meronta. Namun Makoto semakin mencengkram kuat."Sakiitt!" Aoi meringis. Apa ini sisi lain dari Makoto saat marah?Ryuji menarik tangan Makoto yang bebas. "Gak usah nyakitin Aoi juga!"Makoto menoleh. Menatap bengis Ryuji. Mengganggu saja."Kenapa emangnya? Salah?""Jelas salah. Apa pak Makoto gak liat Aoi kesakitan?"Makoto tersenyum miring. "Coba aja kalau nurut sama saya sekali pun. Saya gak bakal lakuin hal itu," pandangannya menatap Aoi yang kini menunduk."Tapi cara pak Makoto salah. Memangnya-"
"Idaman darimana ma? Pasti dia udah punya pacar," tuding Aoi menunjuk wajah Takeru yang sedang bannga itu. "Pacar siapa? Gak ada kok. Aku masih lajang," ungkap Takeru jujur. Sejak dulu ia hanya menyukai Aoi namun tidak berani karena kemarahan wanita itu yang sama saja dengan letusan gunung berapi. Karin tersenyum senang. "Takeru lajang karena dia cinta sama kamu nak. Makannya daridulu gak mau pacaran sama wanita manapun. Betul kan Takeru?" Karin berkedip melempar kode, Takeru terpaksa mengangguk. Aoi berdecak kesal. "Udahlah ma. Aku pulang aja. Bete lama-lama disini," Aoi melangkah pergi. Satu oksigen dengan Takeru membuatnya tidak nyaman sekaligus darahnya bisa mendidih dan tinggi. ***Hikaru mengeluh sedikit pusing. Ia baru saja sadar dari pingsan-nya. Takeru langsung menghampirinya. "Apa ada yang sakit?" Takeru sangat khawatir. Hikaru sakit membuat hatinya tidak tenang. Karin yang melihat interaksi antara Takeru dan Hikaru hanya tersenyuum. Sangat cocok sekali menjadi figur a
Pagi ini Aoi dibuat cemberut lagi, bagaimana tidak? Ayahnya memakai mobil terbang demi mengatasi kemacetan kota Jepang yang semakin meningkat dari tahun-tahun akhir. "Ayah, tapi kan kalau aku pakai mobil sport yang itu lama. Aku lebih suka-""Sstt, jangan membantah. Pokoknya ayah harus pakai mobil terbang itu. Karena sekarang ada rapat penting, ayah gak mau telat," Amschel menyela ucapan Aoi. Ada saja alasannya. "Ayah gak adil," Aoi mengerucutkan bibirnya. Hikaru yang melihat sang mama terkikik geli dengan wajah imut itu. "Mama jangan marah. Lagipula hari ini aku gak ada tugas piket kok."Aoi selalu mengantarkan Hikaru ke sekolah sangat pagi sekali, bahkan jam 6 tepat sudah sampai di sekolah. Semua itu Aoi lakukan hanya demi menghindari si Takeru yang biasanya mengantarkan Aiko setiap harinya sejak kemarin. Mengingat itu kepalanya mengepul. Takeru, pria yang pandai menggombal sekaligus tukang rayu itu berhasil mengambil hati kedua orang tuanya sekaligus Hikaru. Entah apa tujuannya,
"Ayo ma!" Aoi berseru, ia sudah siap dengan tampilannya yang sederhana. Hanya makan dengan seseorang yang entah itu siapa tapi mentraktirnya. Karin tersenyum. Betapa cantiknya Aoi sekarang seperti peri yang siap menyihir perhatian Takeru malam ini. ***Setelah menempuh beberapa menit perjalanan, akhirnya sampai juga di kafe. Karin berpamitan pada Aoi karena harus membantu Amschel di kantornya yang tengah lembur. Aoi merasa tak keberatan. "Semoga kamu suka ya? Mama pergi dulu. Ajak dia ngobrol."Aoi mengangguk. "Siap ma."Aoi ingin tau siapa seseorang yang begitu baik mengajaknya makan gratis? Apakah laki-laki atau perempuan?"Kapan ya dia datang?" Aoi menunggu dengan tidak sabar. Jika mamanya sudah menyuruhnya untuk berkenalan dengan seseorang, pasti baik. Tapi pikirannya melayang pada sosok Takeru, raut wajah Aoi berbubah cemberut. Ia harap bukan pria haus uang itu. Amschel telah mengantarkan Takeru di kafe yang sama dimana Aoi sekarang menunggu. Amchel melihat kafe yang tidak t
Hari ini Hikaru kembali ke sekolah, diantarkan oleh Aoi langsung karena ia tak mau Takeru terlibat lagi dan berpura-pura baik dengan anaknya itu. Aoi telah berjanji pada Hikaru akan mengantar dan menjemputnya pulang dengan mobil terbang saja daripada manual yang nantinya pasti bertemu Takeru lagi. "Nanti jangan keluar gerbang dulu ya? Biar mama aja yang kesana duluan," pesan Aoi pada Hikaru saat berada di dalam mobil terbang itu. Hanya membutuhkan beberapa menit saja sudah sampai di sekolah dasar sakura yang tak begitu jauh. Hikaru mengangguk patuh. "Iya ma. Aku akan nunggu di kelas aja," Hikaru tau pasti mamanya itu tak ingin ia bersama om baik, padahal ia lebih berharap bisa bertemu pria itu lagi. Namun sifat possessif mamanya begitu kuat.Hanya membutuhkan 10 menit perjalanan akhirnya sampai juga. Aoi mengecup kening Hikaru dan memberikan 1000 ¥en pada anaknya itu untuk uang jajannya. "Aiko jam segini udah nyampe belum?"Hikaru menggeleng. "Biasanya jam setengah tujuh ma. Bentar
Hari ini, Karin meminta Aoi untuk bersiap lebih awal. Aoi sempat tidak mau tapi setelah mamanya bilang akan diberikan soal harta warisan yang masih belum ada keputusan itu membuat semangat Aoi bangkit kembali. Ya, setelah Makoto tidak ada sekarang harta warisan itu tengah berada di ombang-ambing tidak ada penentuan siapa pemilik keseluruhan kekayaan Amschel Rotschild dengan segala asetnya yang mempunyai cabang dimana-mana. Aoi berharap itu hanya untuk dirinya, bukan dibagikan kepada orang asing dan bukan siapa-siapanya apalagi tidak termasuk anggota keluarganya. Aoi sangat menolak tegas hal itu jika terjadi. "Ma, aku udah siap," Aoi menghampiri mamanya yang sibuk mengetik pesan entah dengan siapa. Yang membuatnya heran, mamanya itu tersenyum! Siapa?"Ayo. Ayah udah di kantor duluan. Hikaru juga ada disana."Sepertinya sangat penting, bahkan hari Senin ini Hikaru tidak masuk sekolah. Aoi hanya berpikir pembagian harta ini pasti hanya untuk Hikaru. Kalau memang begitu, Aoi tak akan mem
Mengobrol di dalam rumah lebih tepatnya ruang tamu. Hanya ada Karin, Hikaru, Takeru dan Aiko saja tapi Aoi lebih memilih mendekam di kamarnya menghindari Takeru. "Hikaru, aku gak bisa lama-lama disini nanti mama nyariin aku," ujar Aiko membuka obrolan. Tapi ia ingin berlama-lama dengan Hikaru, hanya bermain saja. Lain halnya dengan Takeru, sebenarnya ia ingin menyusul langkah Aoi namun ragu ketika wanita itu memasuki kamarnya. 'Ada apa dengan dia? Kenapa tidak mau ikut berbincang disini?' batin Takeru penuh tanda tanya. Aoi sangat menghindarinya sejak pertama kali bertemu beberapa minggu yang lalu, hanya karena satu model perusahaan wanita itu menjauhinya tanpa sebab. "Baiklah, itu terserah kamu aja Aiko. Kita main boneka dulu yuk. Sebentar aja," Hikaru memohon dan Aiko pun setuju. Hanya ada Karin dan Tekeru di ruang tamu. Sedangkan Aoi menguping pembicaraan mamanya dengan pria menyebalkan itu dibalik pintu kamarnya. "Dimana suami Aoi ya?" tanya Takeru penasaran, hanya ingin tau
Sudah larut malam, Aoi sulit memejamkan matanya. Pikirannya terlintas tentang Takeru yang memiliki kedekatan dengan Hikaru. Aoi menatap Hikaru yang tidur di sampingnya. Iya, anaknya itu meminta tidur bersama karena tidak ada teman. Sama seperti dirinya yang tidak ada Makoto yang selalu di sisinya. "Mama hanya takut kamu meminta seorang ayah nanti. Padahal ayah kita masih ada disini. Dalam hati," Aoi berbicara sendiri, suaranya tidak mengganggu tidur nyenyak Hikaru. "Jangan meminta mama untuk menikahi om baik itu. Mama masih mencintai ayah dengan baik. Berjanji akan selalu setia sampai akhir hayat mama," Aoi memejamkan matanya, perasaanya mendadak tidak tenang. Ia terkalu berpikir keras, tentu saja karena Hikaru menyukai Takeru karena sikap baiknya. ***"Tau gak omah? Aku kemarin diantar sama-""Itu makan dulu Hikaru, jangan berbicara. Tidak baik," Aoi menyela dengan cepat, jangan sampai Hikaru menceritakan Takeru kepada mama, bisa-bisanya ia kembali dekat dengan Takeru dan menjadi
Ryou menambah kecepatan mobilnya. Di jembatan, kaki Aoi siap mengayunkan untuk terjun dari atas jembatan yang memiliki ketinggian tak main-main, bahkan air di bawahnya mengalir dengan derasnya sehingga jika ia melompat mungkin jasadnya tidak akan pernah di temukan. Satu..Dua..Tiga.."NONA AOI!!" Ryou menarik tangan Aoi dengan sigap ia menggendongnya. "Nona jangan bunuh diri seperti ini. Nyonya mencari-cari dengan cemas bahkan Tuan Amschel pun mengkhawatirkan nona."Aoi menangis sesenggukan. "Aku gak mau pulang. Gak mau," Aoi menggeleng pelan, ia tak ingin bertemu mama lalu di perkenalkan lagi dengan pria itu. Tidak, jangan sampai ada perjodohan lagi. Aoi lelah dengan semua itu. "Nona Aoi, mari kita pulang. Jangan keluar tanpa ada yang menemani nona. Apalagi tadi, nona hampir saja melakukan bunuh diri," Ryou sangat cemas. Entah apa yang akan Amschel lakukan jika dirinya gagal menjaga Aoi, mungkin nyawa juga taruhannya. "Nona, tolong pulang. Karena tuan Amschel sangat mempercayaka
Setelah kematian Makoto dan omah Ema, Aoi mencoba lebih kuat dan tegar meskipun sedikit tidak rela. "Hari ini kamu mau ikut ke kantor?" tanya Karin pada Aoi, daripada anaknya itu sendirian di rumah dan kembali bersedih. Aoi mengangguk malas. "Ikut ma."Hikaru sudah berangkat beberapa menit yang lalu bersama Amschel. "Jadi model majalah mama ya? Kamu pasti terlihat cantik," Karin akan memberikan yang terbaik untuk Aoi apalagi dari penampilan. "Ma, aku gak bisa banyak gaya," keluh Aoi sedikit cemberut, bahkan foto saja hanya sekali jika ingin memiliki kenangan. Kenangan, kalimat itu mengingatkannya akan Makoto dan omah Ema. Karin yang memperhatikan Aoi mulai melamun pun meraih tangannnya. "Aoi, jangan di pikirkan lagi. Mama gak mau kamu stress terus jatuh sakit," ucap Karin sangat khawatir. Aoi tersenyum hambar. "Hikaru aja kuat masa aku gak? Hehe, ayo ma kita berangkat ke kantor. Aku mau jadi model majalah mama," dengan wajah cerianya Aoi berusaha untuk bahagia hari ini meskipun