“Nan?” Aku mendongak. Tidak biasanya dia memanggilku seperti ini. Nada suaranya agak berbeda. “Hmm.” “Liat gue dong, Nan. Lo mah dari tadi fokus sama ponsel mulu, gue malah lo abaikan.” Aku mengerutkan kening samar, lalu menyimpan ponsel yang membuatnya tak nyaman. “Oke, oke. Ada apa sih?” tanyaku sambil menatap matanya dengan intens. “Selama ini lo nganggap gue apa?” Ow, ow, pertanyaan tiba-tiba yang membuatku tak bisa berkata-kata. Apa maksudnya? Mengapa ia bertanya seperti itu? Aku jelas tak bisa menjawabnya. Ia menaikkan alis, masih mengembangkan senyuman. “Nggak bisa dijawab, ya?” “Sumpah, gue bener-bener nggak tahu harus jawab apa?” “Kok gitu?” “Lo ngajak gue ke sini cuma karena mau nanya gitu, Dev?” Aku memalingkan wajah, kembali menatap pemandangan malam yang memperlihatkan gedung perkantoran. Lampu-lampu di sekitar restoran membuat suasana semakin romantis. Namun, aku merasakan hal aneh. Meski suasana terlihat romantis, tetapi aku tak merasakan hal itu. Tak ada j
Aku tidak menyangka akan mengungkapkan perasaanku di situasi seperti ini. Kinan benar-benar membuatku menjadi pria pengecut. Seharusnya aku yang terlebih dahulu mengatakannya, bukan dia. Mengetahui perasaannya, membuatku benar-benar bahagia. Beberapa hari ini aku dilanda kebimbangan, hatiku mengatakan aku menyukainya, tetapi logikaku menolak. Aku terus mendoktrin otakku agar tidak terpengaruh akan pesona gadis kecil itu, tetapi aku benar-benar tidak bisa menahan dan menyangkal perasaanku. Hatiku terus memberontak, menginginkan dia ada di sisiku. Sebenarnya aku tahu bahwa dia keluar bersama Devan. Saat Mela mengatakan bahwa ia tak bersama gadis itu, saat itu pula aku yakin bahwa Kinan bersama dengan pria yang ia sukai. Aku kecewa, itu sudah pasti. Aku merasa kalah. Aku sempat berpikir bahwa pesonaku tak bisa membuat Kinan jatuh hati. Namun, siapa sangka, bahwa ternyata kami memiliki perasaan yang sama. Usia pernikahan kami baru beranjak beberapa bulan, dan kami sudah saling menc
“Nan, tumben lo pake cincin itu?” Dewi mengerutkan kening sambil menatapku dengan mata menyipit. “Eh, beneran? Mana?” Mela segera menarik tanganku, melototkan mata lalu mengangkat pandangan beralih padaku. “Woah, ada perkembangan, guys,” lanjutnya lagi. “Dih, pantesan wajahnya berseri-seri. Udah unboxing pasti.” Pupil mataku melebar, kala mendengar ucapan Rara yang frontal. “Apa sih, Ra?” “Tuh, kan. Dia nggak bakal nyangkal dengan tatapan seperti itu, tatapan malu-malu monyet kek gitu.” Ia menunjukku, membuatku menunduk menyembunyikan wajah salah tingkah. “Sok tahu kalian, padahal belum nikah juga,” protesku tak mau kalah. “Aduh, Nan. Sebagai pengamat, gue tahu itu. Di jidat lo aja tertulis dengan jelas bahwa lo sedang jatuh cinta. Siapa yang kemarin ngomong kalo nggak bakal jatuh pada pesona dosen kita itu?” “Ya, gue terpesona bukan karena tampangnya, kok, tapi—” “Tapi ukurannya, ya?” “Mela! Lo ngeres mulu.” “Eh, bekicot sawah. Maksud gue ukuran punggung dan bahu, Pak Rang
Aku menatap pria yang ada di hadapanku dengan tatapan menyala. Memang benar bahwa Dewi yang menghubungi Mas Rangga agar datang menolongku. Alih-alih membantuku, mereka justru sengaja agar Devan tahu tentang fakta ini. Padahal, aku berencana untuk memberitahu Devan setelah mengumpulkan keberanian. Namun, aksi ketiga sahabatku justru membuatku tak perlu repot lagi. Seharusnya aku berterima kasih, kan? Namun sayang, hal itu tak akan pernah kulakukan. Mereka justru menambah beban pikiranku saja. “Kenapa Mas harus jujur dan mengatakan bahwa aku adalah istrimu?” Aku memijit pelipis, lalu mendesah frustrasi. “Aku tidak salah, kan? Aku hanya mengatakan fakta yang ada.” Ia membalasku dengan nada santai, seolah hal itu tak berarti baginya. “Bagaimana jika kabar ini menyebar? Aku tak bisa menghadapi kemarahan Bu Mega.” “Aku merasa bahwa Devan bukanlah orang yang seperti itu.” Ah benar juga, Devan bukanlah lelaki yang akan menyebarkan berita dan membuat gosip. “Sepertinya Mas lebih tahu ten
Suasana terasa begitu mencekam saat Mas Rangga hanya diam dan menatapku tajam, seolah tatapan tersebut bisa menembus jantungku. Bahkan saat di mobil pun dia hanya diam saja membuatku kikuk dan semakin merasa bersalah. Namun, aku tak melakukan hal aneh, kan? Aku hanya berbicara sebentar dengan Devan untuk meluruskan segala kesalahpahaman yang ada. Itu tidak bisa didefinisikan sebagai perselingkuhan, bukan? “Mas!” panggilku karena tak tahan dengan kecanggungan ini. “Mas marah? Aku minta maaf kalau begitu.” Ia lalu melengos, kemudian bersandar di sandaran sofa. “Kenapa minta maaf? Memangnya kamu salah, ya?” Ekspresinya membuatku memutar bola mata. Tatapan itu seolah mengejekku. “Mas kenapa sih? Sejak di mobil Mas juga hanya diam, seolah aku ini membuat kesalahan yang paling fatal,” suaraku mulai meninggi, aku benar-benar tak suka berada di situasi seperti ini, terjepit. “Kamu bertanya kenapa? Apa kamu merasa tidak bersalah? Padahal, kamu kepergok jalan sama pria lain, Kinan.” Suara
Perasaanku seketika hancur, jantungku serasa ingin meledak, darahku seakan mendidih, dan otakkku berderu. Pertanyaan-pertanyaan aneh itu seakan memenuhi kepalaku, hatiku sesak, dan terluka. Padahal, baru beberapa hari hubunganku dengan Mas Rangga membaik dan berjalan seperti pasangan pada umumnya, tetapi kenyataan pahit yang kulihat seakan menampar pipiku, menyadarkanku bahwa sebagian hati Mas Rangga masih milik gadis lain. Mengapa ini terjadi di saat aku sudah sangat mencintainya dan telah memberikan segalanya pada Mas Rangga, hatiku, jiwaku, dan tubuhku? Aku tak sengaja menemukan sebuah kotak berwarna cokelat kopi di dalam lemari pakaian Mas Rangga, niat hati ingin merapikan dan menyimpan pakaian yang sudah kulipat, aku malah menemukan kenangan indah suamiku dengan gadis lain, tersimpan apik dalam sebuah kotak yang terawat dengan baik. Kutatap beberapa foto yang ada di dalam kotak, foto kebersamaan mereka. Senyuman Mas Rangga menyiratkan sebuah kebahagiaan yang teramat dalam.Seka
Dengan hati-hati, aku mengambil ponsel Mas Rangga yang tersimpan di nakas samping tempat tidur. Meski ini tindakan yang melenceng dari adab dan kesopanan, tetapi aku harus melakukannya. Aku harus mencari kebenaran yang tersembunyi, ya lebih baik seperti ini, daripada harus berdiam diri dan terus bertanya-tanya, yang akan membuat otakku semakin pusing.Jantungku berdegup dengan kencang dan tanganku sedikit gemetar, pembukti bahwa ada ketakutan yang kurasakan. Aku kembali merutuki kebodohanku yang mengikuti saran Mela, untuk mengotak atik ponsel Mas Rangga, mencari kebenaran di benda pipih itu. Aku tahu bahwa setiap pasangan masih memiliki privasi masing-masing. Namun, tidak ada salahnya, kan, jika aku melanggar privasi tersebut? Tak apa sekali-kali.“Aish, terkunci,” kataku dalam hati sambil menahan diri agar tidak mencak-mencak di kamar ini dan membuat Mas Rangga terbangun. Ada niatan untuk membuka ponselnya dengan menggunakan sidik jari, tetapi aku jelas tak berani melakukan metode
Dengan perasaan yang amburadul, aku segera pulang ke rumah, berniat agar bisa bertemu dengan Kinan, dan bertanya apa yang salah dengan dirinya. Pagi tadi hatiku jelas tak tenang, dan merasa bahwa Kinan menyembunyikan sesuatu dariku. Tatapan gadis itu menyiratkan segalanya, rasa kecewa, kesal, marah, dan tak suka. Apakah dia marah padaku? Akan tetapi, aku tak tahu di mana letak kesalahanku. Aku tahu bahwa seorang wanita memiliki sifat yang unik—sensitif dan gampang berubah mood. Namun, Kinan benar-benar membuatku pusing.Hatiku tak tenang, dan berusaha mencari tentang kesalahanku yang mungkin telah menyinggung perasaannya, tetapi semakin kucari, semakin sulit pula kutemukan. Apa gadis itu sedang datang bulan? Ah, tidak. Kinan sudah mendapatkan jadwal menstruasinya bulan ini. Lalu ada apa? Untuk pertama kalinya aku sangat terganggu akan sikap Kinan, sikap dingin yang seolah tak peduli padaku. Aku jelas tak bisa tenang.Setelah memarkirkan mobil, aku segera mengetuk pintu. Tidak ada perg
Aku tersenyum masam saat menyadari pandangan orang lain terhadapku. Apa yang salah? Hanya karena aku berjalan dengan seorang pria, mereka lantas mengatakan bahwa aku adalah perawan tua yang haus kasih sayang. Seharusnya mereka senang, karena aku akhirnya bisa keluar dari belenggu kesesatan. Dosen-dosen muda itu malah mengejekku mengatakan bahwa aku perawan tua yang gatal. Mereka bahkan berdoa agar aku tak memiliki kekasih sampai tua. Dasar! Kukira mereka kawan, ternyata aku salah, merekalah lawan sesungguhnya. “Kau tahu siapa pria tampan yang berjalan bersama Bu Mega? Apakah pria itu pengganti Pak Rangga?”“Bu Mega benar-benar gila ya, muka pas-pasan, tapi gaetnya cowok elit. Dilihat dari pakaian dan postur tubuhnya, kemungkinan besar pria itu jauh lebih kaya dari Pak Rangga.”“Sekarang Bu Mega pasti gencar cari pengganti, wong usianya sudah tua. Bentar lagi kadaluarsa, kan?”Tawa keduanya membuat gendang telingaku terasa ingin pecah. Aku masih setia mendengarkan perbincangan panas m
Kutatap adegan yang tak pernah kuharapkan. Hatiku masih saja merasakan sensasi yang sama. Terluka, kecewa, dan iri. Padahal, aku sudah berusaha untuk terhindar dari kedua insan yang membuat perasaanku menjadi terguncang dan porak-poranda. Disana, Rangga dan Kinan sedang memamerkan kemesraan yang membuat dadaku sesak. Mengapa masih saja seperti ini? Kukira hatiku sudah berpaling, kukira tak akan terluka jika melihat keduanya, tetapi aku salah. Semuanya masih saja sama. Rangga masih saja berada di tempat yang sama di hatiku. Tersimpan dengan apik dan sempurna.Aku segera berpaling dan merubah haluan. Jika ada yang melihat, mungkin mereka beranggapan bahwa aku masih menyukai Rangga. Ya, meski itu benar, tetapi aku harus menutupinya. Aku tak berusaha memperbaiki pandangan orang-orang terhadapku, karena sebesar apa pun aku berusaha memperbaiki namaku, mereka tak akan mudah percaya. Ingat, ketika orang membencimu, mereka tak akan pernah melihat kebaikan yang kau lakukan. Karena kebaikan ter
“Sekarang aku tahu mengapa kau menyetujui perjodohan ini. Apa kau sangat menderita hidup di keluarga seperti itu?”Aku menoleh, menatap wajahnya dari samping. Dia tampak berkharisma saat duduk di balik kursi kemudi. Kacamata yang bertengger di hidung mancungnya tampak sangat sempurna, meninggalkan kesan dewasa. Ah, inilah definisi pria matang sempurna. Matang di pohon, bukan hasil karbitan.“Ya, begitulah. Aku sudah muak dengan tingkah keduanya. Kau ingin tahu apa yang diucapkan Aldrich tadi?”Dia sejenak menoleh, lalu kembali fokus ke jalan. “Memangnya dia berkata apa?”“Dia akan mencari cara agar hubungan kita bisa berakhir lebih cepat.” Aku menghembuskan napas kasar. “Aku ingin terbebas dari kukungan mereka, tetapi sepertinya keinginan itu sulit untuk kudapatkan.”“Mengapa kau terdengar pesimis. Aku akan membantumu untuk keluar dari situasi tersebut. Percayalah padaku.”Ada senyum tipis yang samar-samar terlihat di mataku. Apa aku bisa mempercayai pria ini? Pria yang baru kukenal b
“Kau dari bersenang-senang bersama Davin?” Aldrich duduk di sofa, menyilangkan kedua kaki sambil tersenyum masam.“Lihatlah! Dia terlihat sangat bahagia.” Tatapanku beralih pada Austin yang ternyata berdiri di tangga, ia pun menatapku tak suka. Selalu saja seperti ini. Aku selalu menjadi pihak yang tersudut. Mereka tak menyukai jika aku bersenang-senang bersama orang lain. “Ya, kalian benar. Aku bersenang-senang dengan calon suamiku.” Tak apa berbohong. Biarkan mereka kesal, karena saat aku bahagia bersama orang lain, mereka akan tersulut emosi. Entahlah, tetapi kedua saudaraku ini benar-benar berbeda.Austin melangkah dengan cepat, menuruni tangga dengan tatapan yang sulit kuartikan, seperti orang yang marah, atau terluka. “Kau tak bisa bersenang-senang dengan orang lain, Mega. Kau hanya bisa bahagia jika bersamaku.”“Apa kau bilang?!” Aldrich berdiri, mendekat dan merangkul pundakku. “Hei, Austin, jangan berkata seperti itu. Hanya aku yang bisa membuat Mega bahagia.”“Benarkah? Ap
Aku tak menyangka bahwa semuanya bisa berjalan dengan sangat cepat. Aku ingin menangis, berteriak sekencang mungkin, tetapi aku sadar bahwa semuanya tak akan berubah. Tak akan ada yang berubah jika aku melakukan tindakan anarkis yang mungkin hanya akan menjadi bumerang bagiku. Tak ada gunanya melakukan tindakan yang sudah kutahu hanya akan mendatangkan kesia-siaan. Aku tak berhak meminta hidup yang lebih nyaman, karena hidupku bukan aku yang mengatur. Tak apa, semakin cepat menikah, semakin cepat pula aku keluar dari rumah ini. Bahkan ayahku meminta agar aku berhenti mengajar, agar fokus ke pernikahan yang sudah mereka rencanakan. Sungguh, aku tak bisa berkata-kata lagi, di saat sang pengantin sibuk mengurusi pakaian, undangan, dan segala macam perlengkapan pernikahan. Aku justru duduk, diam, dan tak perlu mengurus semuanya. Mereka hanya memintaku untuk belajar menjadi istri yang baik, dan merawat diri sampai hari pernikahan tiba, sungguh hidupku memang miris. Tak bisa berjalan sesua
Kutatap langit-langit kamar yang terasa asing. Gorden abu yang benar-benar bukan warna kesukaanku. Dinding bercat putih tulang dengan beberapa potret garis abstrak yang tertempel. Selimut berwarna hitam jelas bukan milikku—selama hidup, aku tak pernah memiliki selimut seperti ini.Aku ada di mana? Pertanyaan itu terus terngiang di otakku. Sambil berusaha menggali ingatan-ingatan tentang semalam.Semalam, aku pergi ke bar, menikmati satu botol vodka, tak sengaja bertemu dengan Davin, dan saat aku ingin pulang, tiba-tiba kepalaku pusing dan semuanya tiba-tiba menjadi gelap. Memoriku hanya sampai di situ saja.Kusingkap selimut hitam yang terlihat tampak sangat suram. Netraku jelas membulat saat pakaian yang kukenakan sudah berubah. Apa ini? Siapa yang mengganti pakaianku?
Aku kembali menatap gelas vodka yang tersisa setengah, es batu sebesar bola pimpong terlihat mengkilap terkena cahaya lampu remang-remang. Inilah tempat favoritku akhir-akhir ini. Menikmati waktu sendiri di tengah keramaian. Terdengar lucu, memang. Aku tak suka rasa sepi, tetapi aku pun ingin sendiri. Solusinya adalah berkunjung kemari. Aku bisa menikmati kesendirianku, tanpa harus merasa kesepian. Inilah aku, dengan segala kekurangan yang kumiliki. Aku tak pernah memperlihatkan kekurangan yang kumiliki kepada orang lain. Bukan tanpa sebab, aku hanya ingin terlihat lebih berani dan sempurna. Saat aku memperlihatkan kekurangan, saat itu pula mereka akan memiliki senjata untuk menyerangku. Aku lelah diperlakukan semena-mena, jenuh diperlakukan bak robot, dan tak ingin terus menerus menjadi tameng bagi mereka yang dengan mudah memanfaatkanku. Aku bosan terkurung dan terkekang. Terkadang aku iri pada burung, yang bisa terbang bebas ke manapun yang ia mau. Aku iri pada kupu-kupu yang bisa
BABAku masih menunggu di sini, duduk di salah satu kursi restoran yang cukup terkenal. Ibu angkatku benar-benar merealisasikan semuanya. Tak apa, setidaknya jika kelak aku menikah, aku akan keluar dari neraka yang terus mengurung dan mengekangku. Setidaknya mereka tak menjadikanku boneka lagi. Setidaknya aku bisa bebas melakukan apa pun sesuka hati, tanpa ada pengawasan dari mereka.Kutatap arloji yang menempel di pergelangan, sudah sepuluh menit berlalu dari waktu perjanjian dan pria itu masih belum muncul juga. Apa dia terlalu sibuk? Atau jangan-jangan dia tak akan datang kemari? Bisa saja hal itu terjadi mengingat pria itu juga tak menyetujui perjodohan ini—menurut analisaku saat melihat foto yang Ibu angkatku berikan tempo hari.Aku memilih untuk fokus pada ponsel yang kugenggam, daripada terus-menerus menatap pintu restoran, menunggu kedatangannya. Namun, saat aku larut pada ponselku, suara kursi berderit, membuat fokusku teralihkan. “Maaf, aku terlambat,” katanya sambil menggu
Perhatian!Untuk kedepannya, cerita ini akan berfokus pada sudut pandang Mega. ~~~~Apa aku harus menghentikan obsesiku pada Rangga? Tujuh tahun menunggu, tetapi dia tak pernah memandangku. Aku selalu ada untuknya, tetapi dia malah memilih wanita lain untuk menemani hidupnya. Bukankah itu tak adil bagiku? Aku yang selalu mendukungnya, tulus mencintainya, membantunya jika kesulitan, tetapi setelah dia berhasil melewati rintangan, aku dilupakan. Katanya dia tak pernah mencintaiku, dia tak pernah menaruh rasa padaku, dan sama sekali Rangga tak pernah tertarik denganku. Apa pengorbananku selama ini tak pernah ternilai di matanya? Apa bantuanku yang tulus tak sekalipun membuat hatinya tergerak?Seharusnya dari awal aku sudah sadar diri. Seharusnya sejak awal aku berhenti mencintainya. Bukankah tujuh tahun merupakan waktu yang cukup lama? 84 bulan kulewati tanpa balasan yang setimpal, 2556 hari yang terbuang percuma, 61.344 jam terlewat dengan sia-sia tanpa ada sedikit pun yang kudapatkan