Haai komennya manaa? Sepi amat, hiks.
“Cantik!” kataku saat melihat Yura sudah rapi hendak berangkat ke sekolah. “Apa?” Yura nampaknya tidak terlalu mendengar apa yang kukatakan atau … sengaja ingin mendengar aku memujinya dengan lebih jelas? Aku berdehem sekedar untuk melepas kegugupan. “Cantik juga tas yang kubelikan, padahal harganya murah.” Begitu kalimat yang meluncur dari mulutku akhirnya. “Jangan under estimate sama barang murah. Barang mahal yang biasa kau beli dengan uang Papamu, bisa jadi kualitasnya sama dengan yang murah, mereknya saja yang mebuatnya jadi mahal.” Masih pagi Yura sudah berceramah. “Ya ya…” kuiyakan sajalah biar cepat. “Oh, iya, Yura.” Aku baru ingat sesuatu. “Usahakan Aina tidak melihat tas ini.” “Kenapa?” Ia menoleh padaku dengan alis bertaut. “Ehm, kemarin dia yang membantu memilihkannya, aku takut dia nanti curiga.” “Oh jadi kemarin kamu berdua-duaan lagi dengan Aina?” Ia nampak membuang napas. Apa dia cemburu? “Nggak berduaan, bertiga kok sama Bimo.” “Inget kata Mr.Dika kemarin!”
Terdengar suara cukup berisik dari depan pintu. Sesaat kemudian, kulihat Mr.Dika masuk. Tidak sendiri, ada seorang lelaki paruh baya bersamanya dan seorang lagi yang ikut masuk dengan kepala tertunduk, masih mengenakan celana seragam SMA dengan atasan kaos berwarna hitam. Alex? Mataku membulat menatapnya. Ya benar, itu Alex! Spontan aku mendekat, tanganku mencengkram baju atasan yang dikenakannya, “Tanggung jawab bangs*t!” “Arka!” Mr.Dika berusaha melepaskan cengkraman tanganku. “Dia yang menusuk Bu Yura Mister!” Tubuhku memberontak dalam pelukan Mr.Dika. “Iya, Bapak tahu, tenang dulu.” “Arka!” bentak Papa. “Jaga sikapmu!” Aku baru tenang setelah mendapat teguran keras dari Papa. “Ini Ayahnya Alex Pak, datang ke sini untuk minta maaf pada Bu Yura.” Mr.Dika memperkenalkan Ayah Alex pada Papa. Papa menjabat tangan Ayah Alex. “Saya Ayahnya Arka Pak, saya minta maaf karena anak saya yang memulai memancing keributan dengan anak Bapak.” “Pa!” selaku. “Dia yang mulai Pa, Alex dan tema
POV Azyura “Kalau sayang sama kamu, harusnya dia juga berbaik-baik denganku, suamimu.” “Uhuks!” Aku yang sedang meneguk air putih tersedak. “Dari kemarin kamu sebut suami-istri-suami-istri terus! Geli aku mendengarnya!” Arka mengambil tisu di meja mengusap mulutku yang basah. “Nyatanya memang begitu, aku suamimu kan!” Ia menatapku lekat, kedua tangannya kini memegang sisi kanan dan kiri ranjangku. “Heh kamu mau apa? Jangan macam-macam ya, di saat aku sedang tidak berdaya!” seruku ketika melihat tubuhnya semakin mendekat ke arahku. “Sssst, jangan bergerak!” Hah, apa maksudnya? Berani sekali dia memerintahku begitu. “Ada serangga di bantal kamu,” katanya seraya memungut sesuatu di samping kepalaku, lalu membuangnya lewat jendela. “Oooh!” jawabku datar. Tiwas degdegan. Arka ... Arka…. 🌷🌷🌷 “Arka pulang, sudah sore.” Aku melirik pada Arka yang tengah duduk di samping ranjangku sambil memainkan ponsel. “Pulang ke mana? Di mana ada kamu, di situlah tempatku pulang.” Aiiiih. “
Sepulang sekolah bergegas aku menuju rumah sakit. Barusan Yura mengirim pesan katanya dokter sudah mengijinkan pulang hari ini. Tentu saja aku harus menjemputnya. “Arka, kamu ke sini?” Aku yang baru saja melepaskan helm menoleh ke arah sumber suara. Duh, Mr.Dika ngapain ke sini sih? “Oh Mr.Dika.” Basa-basi aku menyapanya. “Mau menjenguk Bu Yura?” tanyanya lagi. “I, iya Mister. Saya yang menyebabkan Bu Yura masuk rumah sakit, jadi saya merasa harus bertanggung jawab.” Aku mencoba memberi alasan logis pada Mr.Dika supaya ia tidak curiga. Mr.Dika menepuk pundakku. “Hmmm baguslah, kamu sudah mulai belajar bertanggung jawab. Ayo, kita masuk bersama.” Mr.Dika menatap heran ketika aku menekan tombol lift. Pasti ia berpikir Yura masih di ruangannya yang lama, di lantai dua. “Papa saya meminta kamar VVIP buat Bu Yura Mister. Jadi Bu Yura pindah kamar,” kataku tanpa menunggu ia bertanya. Mr Dika hanya ber-ooh sepertinya paham bahwa Papa pasti ingin memberikan fasilitas terbaik untuk oran
"Terimakasih, ya.” Yura menunjukkan roti di tangannya sembari tersenyum. “Suamiku.” Eh? Suami? Dia bilang suami? Hatiku melonjak kegirangan. “Bilang apa tadi?” tanyaku pura-pura tidak mendengar apa yang barusan dikatakannya. Masih berusaha sok cool, tapi aku ingin mendengarnya lagi. “Su ….” Belum selesai Yura bicara, suara lain tiba-tiba terdengar menggelegar memenuhi ruangan. “Nah di sini rupanya!” Tidak cukup dengan berteriak, Pak Benu guru Geografi yang sebelum jam istirahat tadi mengajar di kelas, juga menjewer telingaku. “Ngapain kamu di sini, sampai lumutan saya nungguin di ruang BK!” “Iya Pak, ini juga baru mau ke sana.” Aku menjawab setengah kesal, karena merasa dipermalukan di depan Yura. “Arka … bikin salah apa lagi, Pak?” tanya Yura. “Biasalah, anak ini, langganan nggak ngerjain PR, tidur pulak saat pelajaran saya!” Sesaat Yura melirikku lalu kulihat ia menarik napas panjang sebelum kembali ke mejanya. Ah dia pasti kesal. Semalam ia sudah mengingatkanku untuk men
“Mo, kerjaan apa yang gampang, tapi duitnya banyak?” Bimo menoleh. “Main tebak-tebakan lo?” “Bukan … gue lagi nyari kerjaan, Mo! Yang duitnya banyak tapi kerjanya ringan. Apaan?” “Aha! Gue tahu!” Bimo menjentikkan jarinya “Apaan?” Aku merapatkan tubuh ke Bimo saking keponya. “Kerja aja di kantor bapakmu!” Ia lalu terkekeh. Spontan aku mendorong bahunya. “Mana ada! Gue bakal dijadiin bulan-bulanan Papa. Lo tahu sendiri Papa gue gimana sekarang. Gue dah kaya anak yang terbuang pokoknya!” sungutku. Kalo di sinetron-sinetron, setelah mengucapkan kalimat ini, akan terdengar bcksound, “Kumenangiiiis … membayangkan ….” “Dududu cup cup ….” Bimo mengusap mataku dengan sapu tangannya. Segera kutepis. “Apa-apaan sih lo! jijik!” “Gue serius ini Mo, gue butuh duit buat beli beras sama minyak goreng!” Bimo tergelak. Sangat keras sampai-sampai seisi kelas menoleh ke arah kami. Untung lagi jam istirahat. Tak banyak siswa yang tinggal di kelas. Bisa dihitung jari sebelah tangan. “MasyaAllah
"Brader, ada info lowker, nih!” Bimo terengah-engah menghampiriku. Bel masuk tinggal satu menit lagi. Pastilah ia berlari dari parkiran sampai kelas takut terlambat. “Info dari mana?” tanyaku sambil memasukkan tas ke kolong meja. “Dari tiang listrik yang gue lewatin pas berangkat tadi.” Mendengar kata tiang listrik, aku langsung menatap curiga pada Bimo. “Jangan bilang jadi tukang sedot wc atau badut ultah, ya!” “Yee, curiga aja, lo. Lagian jadi tukang sedot wc sama badut ultah juga gapapa Bro, yang penting halal!” Bimo menceramahiku, udah kaya Mamah Dedeh aja dia! “Dicari laki-laki usia minimal 18 tahun untuk bekerja di café” Aku membaca lirih tulisan di kertas yang diberikan Bimo barusan. “Kafé, Mo! Sepertinya bisa dicoba.” “Oke, sepulang sekolah kita langsung ke sana. Gue temenin deh.” Kafé yang membuka lowker ternyata posisinya di pertengahan antara sekolah dan apartemen yang kutinggali. Aku sempat galau jadi melamar atau tidak. Begitu sampai di depan pintu kafé, kucekal le
Sudah seminggu aku bekerja di kafé. Sepulang sekolah aku akan menumpang istirahat sebentar di rumah Bimo, mandi, lalu berangkat ke kafe dengan motor masing-masing, karena arah pulang kami dari kafe bertolak belakang. Masih kurahasiakan perihal ini dari Yura. Tiap kali ia bertanya mengapa pulang malam, aku hanya menjawab habis main dari rumah teman. Biasanya ia akan mengomel, menasihatiku harus lebih banyak belajar dan mengurangi main karena sudah mendekati ujian kelulusan. Rencananya, nanti kalau sudah gajian, akan kuajak ia makan di suatu tempat lalu kuberi tahu bahwa aku sudah bekerja. Akan tetapi, bukannya berhasil memberi kejutan, justru aku yang terkejut ketika ia tiba-tiba muncul di kafe tempatku bekerja. Yang lebih bikin kaget lagi, ia berada di sana dengan Mr.Dika. Mereka ngapain sih? Kencan? Aku mendengkus kesal. Menyesal mengapa tak kubeli alat penyadap suara yang sempat nongol iklannya di socmedku belakangan ini. Kondisi kafe siang ini cukup ramai. Seniorku, Mas Seno, mem
POV AZYURA “Ayo Mbak, nanti terlambat!” Zaydan menengok jam tangannya. Kurasa dia bukannya kuatir aku terlambat, hanya tidak sabar saja menungguku selesai berdandan. Hari ini hari wisudaku. Daripada ke salon aku lebih mempercayakan urusan make up kepada Febi. Tak perlu repot mengantri dan mengeluarkan biaya. Lumayan, penghematan. Zaydan sendiri sudah sampai Jakarta dari kemarin sore dan menginap di salah satu guest house dekat kosku. “Dek, masmu sudah tahu kalau Mbak wisuda hari ini?” tanyaku pada Zaydan. “Mas Arka? Bukannya Mbak bilang jangan kasih tahu?” Aku menghela napas. Aku memang melarang Zaydan memberi tahu Arka kalau aku wisuda hari ini. Tapi, kan, tak harus nurut begitu aja dengan apa yang kukatakan. Diam-diam tetap memberi tahu apa gimana, kek. Laki-laki memang ya, tak ada peka-pekanya. Zaydan dan Arka, sama saja! “Kalau Mbak pengen Mas Arka datang, kenapa nggak dikasih tahu aja, sih?” Zaydan merebahkan badan pada kursi kosong di sampingku. “Jangan! Mbak pengen tahu
Pulang dari pemakaman, raga ini sebenarnya telah lelah. Pasti lebih-lebih Yura, kulihat ia sangat pucat dan matanya sembab. “Yura istirahatlah.” Aku berbisik di telinganya. Ia hanya menggeleng lemah. Masih banyak tamu yang melayat, mungkin ia tak enak hati meninggalkan mereka. “Makan ya, Sayang. Aku suapi.” Kembali ia menggeleng. Entah karena tak lapar, tak berselera makan, atau masih marah denganku sehingga semua tawaranku ditolaknya. “Kalau begitu minum, wajahmu pucat sekali.” Aku memberinya sebotol air mineral. Untungah ia mau menerima, meski hanya seteguk yang ia minum. “Arka!” Tiba-tiba saja Papa sudah di sampingku. Memanggil dengan suara pelan. “Ya, Pa.” “Papa sama Mas Deny pulang duluan. Kamu hibur istrimu di sini.” Papa menepuk pundakku. “Ya, Pa,” jawabku bersamaan dengan datangnya taksi pesanan Papa. Yura berdiri ketika kubisikkan bahwa taksi yang akan mengantar Papa ke bandara telah tiba. Kami mengiringi Papa sampai ke depan. “Nak maaf Papa tidak bisa lama-lama di si
Yura di mana? Sudah selarut ini dan dia tidak ada di apartemen? Kucoba menghubungi ponselnya sampai tak terhitung lagi berapa kali, tapi hanya nada sambung yang kudengar. Bergegas aku turun, mencoba mencarinya di minimarket 24 jam dekat apartemen. Namun sampai dua kali aku menyusuri minimarket itu rak demi rak, tak jua Yura kutemukan. Aku kembali ke apartemen dengan langkah gontai, ketika melewati pos keamanan, salah seorang sekuriti menyapaku. “Ada yang bisa saya bantu Mas?” Mungkin ia melihat raut wajahku yang kalut sehingga menawarkan bantuan. “Bapak lihat istri saya pergi dari apartemen?” tanyaku yang sudah mulai putus asa. “Oh Mbak Yura? Tadi sih saya lihat Mbak Yura kaya buru-buru pergi, terus ada yang jemput ke sini pakai mobil.” “Pakai mobil? Bukan Mas Deny?” “Oh bukan Mas, kalau Mas Deny saya hapal.” Tentu saja ia hapal, Mas Deny seringkali menyupiri aku dan Papa. Bahkan saat Papa mengirimkan bahan pangan ke kamar apartemenku, sekuriti ini juga yang membantu Mas Deny
Aku berjalan beriringan bersama Bimo dari parkiran. Kami memang berangkat sekolah bersama dari rumah Bimo. Pagi-pagi sekali aku ke rumahnya, setelah akhirnya berhasil menemukan kos buat Mauren. Tak sempat pulang ke apartemen karena jaraknya cukup jauh. Bisa terlambat nanti aku sampai sekolah. Untung saja, ada pakaian seragamku di rumah Bimo. Bebeberapa hari lalu tertinggal. Sudah dicuci bersih bahkan disetrika oleh ibunya Bimo, tapi aku selalu lupa ambil saat ke rumahnya. Baru beberapa langkah meninggalkan parkiran, ponselku dan Bimo berbunyi, bersamaan. Ah aku lupa mematikan notif. Sama sekali tak kubuka isi pesan, hanya settingan kuatur agar silent. “Bro, tunggu!” Tangan kanan Bimo terjulur ke depanku, menghalangi tubuhku yang hendak melangkah maju. “Udah cek grup SMA?” “Belum, ada pengumuman apa?” Daripada sekrol panjang aku memilih menanyakan langsung saja pada Bimo. “Tadi malam elo ….” Alih-alih melanjutkan kalimat, Bimo malah menunjukkan ponselnya. Aku terkejut ketika meli
Hari ini aku tidak berangkat ke sekolah. Papa sudah memintakan ijin dengan menelepon langsung wali kelasku. Biasanya susah mendapat persetujuan dari Papa soal perijinan. Bahkan aku mengeluh sakit pun, Papa seringkali tidak percaya. “Alasan kamu! Bilang saja malas berangkat sekolah!” Begitu pasti tuduhnya. Tapi kali ini, begitu aku bilang mau mengantarkan ibu mertua, Papa langsung mengiyakan. “Dalam hal menjadi anak dan mantu berbakti, Papa pasti dukung,” katanya. “Tapi setelah itu langsung pulang dan belajar. Ingat, ujianmu tinggal beberapa hari lagi. Kalau mau pacaran, di rumah aja. Pacaran ala anak sekolah, belajar bersama.” Papa terbahak meledekku. Sementara Ibu, tahunya aku sengaja menyediakan waktu, sehingga tidak berangkat ke kantor. Sepanjang perjalanan menuju rumah Bulik Yura, Ibu banyak memberikan wejangan pernikahan. “Suami istri, susah senang harus dihadapi bersama. Laki-laki dan perempuan punya sifat dasar yang berbeda, apalagi berasal dari keluarga yang beda. Pola asuhn
Masih pagi, saat bersiap ke sekolah usai sarapan, kudengar bel pintu apartemen berbunyi. Ketika membuka pintu, kulihat Mas Deny -sopir Papa-berdiri dengan beberapa kantongan besar berisi penuh barang. Melihat sekilas, sepertinya isinya bahan pangan. “Mas Deny?” “Saya pamit dulu Pak,” kata Pak satpam yang membersamainya. “Iya, makasih bantuannya ya Pak,” jawab Mas Deny. “Mau apa?” tanyaku masih memandang kantongan itu dengan heran. “Dari Bapak.” Bersamaan Mas Deny menjawab, ponselku berdering. “Papa kirim apa, banyak sekali?” tanyaku begitu menekan tombol terima panggilan. “Assalamualaikum, Arka. Kebiasaan kamu terima telepon nggak ngucap salam!” hardik Papa. “Iya … Waalaikum salam Pa …” jawabku. “Papa dengar Ibunya Yura mau datang, jadi Papa kirim bahan makanan untuk kalian.” Ya, adik kandung dari Ibunya Yura di Jakarta akan menikahkan anak sulungnya. Ibu ingin sekali datang. Sebenarnya Yura tak setuju, mengingat penyakit gagal ginjal yang dideritanya, ibu jadi mudah lelah
Tanggal merah, aku masuk kafe shift sore. Satu jam sebelum kafé buka, aku sudah datang. Bersih-bersih, merapikan meja kursi, dan aktivitas pre opening lainnya. Pertama kalinya aku kerja tanpa Bimo. Masa kerjanya dua minggu sudah usai. Sebenarnya ia masih ingin memperpanjang lagi, terlanjur nyaman kerja di sini, katanya. Akan tetapi ibunya melarang. Sebagai anak baik, Bimo tentu saja menurut. “Arka!” Suara seorang perempuan memanggilku ketika aku sedang mengepal lantai. Terdengar familiar, tapi aku lupa suara itu milik siapa. Aku mendongak. "Lo kerja di sini?” Ia menunjukkan wajah takjub. Siapapun yang mengenalku, responnya pasti seperti ini, Arka anak pengusaha kaya raya kerja menjadi pelayan kafe, apa yang terjadi? “Mauren?” Aku menatap gadis berambut ikal sebahu itu tak percaya. Sudah sekitar setengah tahun tak ada kabar tiba-tiba kami bertemu di kafe. “Kemana saja selama ini, Ren?” Sebenarnya aku agak pangling. Dengan pulasan make up ia terlihat lebih dewasa dari usianya. “Wah,
“Silakan buku menunya Ka ….” Aku terkejut begitu wanita yang kusodorkan buku menu itu menoleh. “Arka?” panggil wanita itu. “Ma-ma ….” jawabku terbata, sama sekali tak menyangka akan bertemu Mama di sini. Sudah setahun lebih aku tak bertemu dengannya. Semenjak ia dan keluarga barunya tinggal di Singapura. “Ini kafé milik papamu?” Mama mengedarkan pandangan ke sekeliling kafe. Aku menggeleng. “Lalu?” “Arka bekerja paruh waktu di sini, Ma.” “Ada apa? Papamu bangkrut lagi?” Wanita itu berdecak nampak prihatin. Aku tersenyum sinis mendengar dugaannya. “Bahkan usaha Papa berkembang sangat pesat, Ma. Mama selalu begitu, suka merendahkan Papa!” sahutku dengan nada kesal. “Terus, apa maksudnya ini?” Mama memandangku dari atas sampai bawah. “Arka mau belajar mandiri, Ma. Arka sudah menikah jadi harus ….” “Nah! Apa Mama bilang!” Mama menyambar omonganku. “Kamu masih muda Arka, kenapa buru-buru menikah? Seandainya waktu itu Mama tidak sedang sibuk dengan usaha baru Papa Indra, Mama suda
POV Yura “Kita mau ke mana?” tanyaku ketika kami sampai di lift. Arka menekan tombol menuju basement. Hening sesaat, lalu tiba-tiba, ia menggenggam tanganku, menautkan jari jemarinya, membuatku sedikit tersentak. Kaget. “Pegang tangan boleh kan?” tanyanya. Aku mengangguk. Dia suamiku, bahkan dia menyentuhku lebih dari ini pun seharusnya boleh. Perlahan ia mendekatkan wajahnya pada wajahku. Hah mau apa dia? Spontan aku mundur. “Oh, maaf.” Ia urung mendekat, nampaknya paham dengan penolakanku. “Kupikir kalau sudah pacaran, kita bisa ….” Ia tak melanjutkan kata-katanya tapi aku mengerti apa yang ia maksud. Aku berdehem untuk melepas kegugupan. “Oh, jadi selama ini kalau pacaran kamu begitu ya?” sindirku. “Belum pernah pacaran, kok. Kamu pacar pertamaku.” Aku tertawa sinis. “Bohong. Lalu, Aina?” “Belum sampai pacaran, baru gebetan. Udah mantan sekarang.” “Oh, pantes!” sahutku ketus. Teringat bagaimana Aina peluk-peluk Arka waktu di parkiran. “Cemburu?” Ia melirikku sambil tersen