Gemercik hujan semalam masih tersisa di area permakaman desa Kembang Lor. Tanahnya masih terlalu basah untuk sekedar diinjak oleh alas kaki.
Sehingga para pelayat haruslah teramat berhati-hati dalam melangkahkan kaki di antara berjajarnya pemakaman. Mereka masih berkerumun dalam suasana berkabung. Dalam pembaringan terakhir Danang Waluyo bin Khotim Waluyo.Ada isak dan tangis bersama gerimis yang terus mengucur deras dari langit. Ada mendung masih tertambat menggelayut ogah-ogahan di atas desa. Seolah menggambarkan suasana hati di setiap anggota keluarga.“Mas Danang! Tidak Mas Danang, kenapa semua bisa terjadi. Dua hari lagi cita-cita kita naik pelaminan akan terwujud Mas. Dua hari lagi kita akan resmi menjadi suami istri secara sah Mas. Kenapa sekarang kau malah meninggalkanku. Aku harus bagaimana tanpamu Mas. Bagaimana dengan pernikahan kita Mas?” teriak Aisyah Rindu Fatimah menangis begitu menjadi-jadi di atas pusaran pembaringan terakhir Danang.Bahkan beberapa kali Pak Bandi dan Bu Dian kedua orang tua Rindu. Mencoba untuk menenangkannya, tetapi tetap saja. Tetap Rindu begitu syok dan begitu terpukul atas kematian Danang yang secara tiba-tiba.Bahkan seakan dia tidak menerima semua yang terjadi. Rindu lah orang yang paling terpukul selain keluarga Danang sendiri atas kematian Danang yang begitu cepat.“Sudah Ndok Rindu biarkan Masmu tenang di atas sana. Relakan semua sudah terjadi dan ini semua sudah garis takdir dari Yang Maha Esa. Masmu Danang sudah pergi Ndok, ayo kita pulang. Tenangkan hatimu terlebih dahulu baru kita bicarakan kembali dengan keluarga Pak Khotim baiknya bagaimana?” bujuk Bu Dian memapah Rindu yang kembali pingsan. Setelah beberapa saat lalu sudah berulang kali pingsan.“Pak Khotim dan Bu Juariah maaf kami tak bisa berlama-lama lagi. Kami mohon undur diri, kasihan anak kami Rindu, Pak, Buk. Dia sangat terpukul atas kepergian Nak Danang. Biar kami menenangkan Ndok Rindu terlebih dahulu. Mungkin satu atau dua hari lagi saya sendiri akan datang bertamu ke rumah Pak Khotim. Guna memusyawarahkan bagaimana baiknya,” ucap Pak Bandi yang jua merasa tersentak dan begitu bingung.Sebab resepsi acara pernikahan dan semua yang sudah direncanakan di depan mata. Terancam buyar dan urung diselenggarakan. Sebab semua undangan juga sudah tersebar.“Baik Pak Bandi saya dan keluarga memaklumi akan itu dan saya harap Pak Bandi dan keluarga memaafkan kami, saya terutama. Sebab kelalaian saya semua ini terjadi, saya lupa akan membenarkan rem mobil yang sudah agak aus. Kalau dibolehkan dan dikembalikan waktu tentu saya ingin menggantikan diposisi Danang pagi itu,” jawab Pak Khotim.Pak Khotim masih dengan air mata derasnya sambil duduk pas di samping nisan Danang. Pak Khotim merasa bodoh dan kecewa pada dirinya sendiri. Dia merasa dirinya yang bersalah, karena lupa mengganti rem mobil yang sudah saatnya diganti.“Bukan salah Pak Khotim dan bukan salah siapa pun. Semua sudah terjadi sebagai takdir dari Nak Danang. Semua sudah ada garis yang menentukan Pak. Mari Pak saya mewakili keluarga Ndok Aisyah mohon pamit, Assalamualaikum,” ucap salam dari Pak Bandi serasa membuat badai di keluarga Pak Khotim. Seakan semua ini kesalahan titik berat pada keluarga Pak Khotim. Akibatnya dua keluarga harus sama-sama menanggung imbasnya.“Waalaikumsalam, oh ia Pak Bandi, mungkin apabila Bapak tak bisa ke rumah Pak Bandi untuk berunding. Biar saya yang datang Pak, mungkin bersama Paman atau saudara Bapak yang lebih tua. Pak Bandi jangan khawatir kami yang akan datang ke rumah Pak Bandi,” ucap Raja menambahkan keterangan penguatan akan ucapan Bapaknya.“Baik Nak Raja terima kasih atas keterangannya, mari Nak Raja,” ucap Pak Bandi lalu keluarga Aisyah berangsur-angsur pergi.Begitu jua dengan keluarga Pak Khotim. Satu demi satu mereka kembali pulang meninggalkan area pemakaman. Hujan jua sudah mulai agak reda, sebab matahari sudah menampakkan tajinya sebagai penerang alam semesta.Pak Khotim yang memang begitu terpukul dan merasa bersalah. Diminta untuk segera pulang oleh beberapa keluarga besarnya. Begitu jua dengan Bu Juariah yang sungguh sangat menyayangi Danang ditemani beberapa keluarga untuk pulang.Kini tinggallah Raja sendirian di samping pemakaman terakhir Danang. Sebuah pemberhentian dari kehidupan dunia. Sebuah pembaringan akhir yang bertuliskan di muka Nisan. Danang Waluyo Bin Khotim Waluyo dengan waktu tanggal satu Januari dua ribu dua puluh tiga.Tangan Raja meraih satu kepalan tanah atas makam Danang. Adik lelaki yang biasanya tegar, bahkan lebih tegar dari Sang Kakak. Akhirnya hati yang bak karang itu rapuh juga. Mata Raja mulai berair perlahan menetes di atas tanah makam.“Mas Danang, kenapa kau lakukan ini padaku? Bukankah sudah aku bilang. Bukankah beberapa hari ini aku sudah mengoceh padamu. Jangan keluar dahulu dan ini bukan masalah takhayul. Bukan masalah orang dulu atau istilah kolot. Kau tak mengerti juga perkataanku dan kau anggap semua hanya bercanda,” ucap Raja kali ini lirih dan mulai tersedu-sedu.“Mas aku yang lebih tahu masalah adat dan istiadat. Aku yang lebih memahami masalah kebudayaan dan kultur tanah Jawa. Sebab itu sudah keahlian turun-temurun yang diwariskan Mbah Buyut Dalang dahulu. Mas sih dulu enggak mau pernah ikut kalau diajak Bapak ke rumah Buyut. Sekarang kalau sudah begini kami harus bagaimana menghadapi keluarga bakal istri Mas itu?” Raja masih terus mengoceh sendirian di atas pusara Danang.Tanpa ia duga dan ia sadari sudah ada lima remaja muda-mudi yang berdiri di belakangnya. Mereka adalah teman Raja para novelis yang sudah ada janji bertemu pagi ini untuk membahas satu novel mereka bersama. Dimanah novel itu telah dikontrak satu stasiun televisi nasional.Mereka baru datang, karena baru mendapat kabar melalui kawan mereka yang baru saja melihat berita tayangan langsung lokal. Setelah mencari informasi dan kebenarannya, lalu mereka lekas menuju pemakaman desa Kembang untuk menemui Raja.“Raja maaf kami telat datang, kami tidak tahu kejadiannya. Bahkan kami baru tahu setelah dikabari Agung yang tanpa sengaja melihat berita tayangan langsung atas kecelakaan yang menimpa Danang,” ucap Bunga duduk berjongkok di samping Raja. Seraya mengusap air mata Raja dengan sapu tangan yang ia bawa.“Tidak apa-apa kalian tidak salah, semua sudah terjadi. Bahkan aku juga tak mengira semuanya terjadi secepat ini,” kata Raja masih terus menatap makam Sang Kakak.“Raja kau ketua kami dalam naskah novel untuk kejar tayang. Saya selaku wakil ketua di departemen kita memohon ijin,” ucap Agung hendak meminta izin tapi dipotong dengan tatapan mata tajam cenderung melotot dari Bunga dan Agung mengurungkan niatnya. Serta menghentikan bicaranya seketika.“Tidak apa Agung, kita teruskan saja tidak masalah itu. Tapi aku minta libur selama tujuh hari berkabung ini. Bukankah naskah yang kita musyawarahkan cukup untuk sinetron itu selama tujuh hari ke depan?” ucap Raja memastikan semuanya berjalan terkendali.“Tenang saja Raja jangan terlalu dikhawatirkan. Kamu libur saja dahulu kamu juga memaklumi. Maaf ya Raja bukan maksud kami membicarakan hal itu di sini. Mas Agung tuh memang suka begitu, dia tidak tahu tempat dan situasi,” ucap Bunga mencoba menenangkan Raja.“Ia maaf Raja aku salah,” timpal Agung.“Sudah semua sudah terjadi, memang membuatku sangat terpukul dan aku butuh istirahat dahulu. Rehat barang tujuh hari ke depan, tetapi kalian harus tetap jalan. Sebab semua sudah ada pada kontrak, dan kau Bunga. Tolong jaga asa kita menembus nasional seutuhnya. Pulanglah kalian biarkan aku sendiri di sini dahulu,” ujar Raja.“Tapi Raja aku ingin menemanimu di sini, aku ingin berbagi sedihmu di sini. Kau dahulu yang mengajariku ketegaran akan hidup. Aku tak mau lelaki itu yang membuat aku kagum terpuruk saat ini,” ucap Bunga yang memang sudah lama menaruh hati pada Raja.“Tidak Bunga pergilah kau juga bersama yang lain. Mungkin nanti sore aku akan menghubungimu,” ucap Raja mencoba melepaskan tangan Bunga dari pundaknya.“Ayo Bunga kita pergi, biarkan Raja sendiri. Kita harus memberi ruang untuknya, untuk terakhir kalinya menghabiskan waktu bersama Danang,” ucap siti mengajak Bunga pergi.Mereka akhirnya pergi dengan rasa tidak tega pada Raja pagi itu. Bahkan Bunga masih terus menoleh ke arah Raja yang masih duduk berjongkok di depan makam Danang.“Bunga saat inilah kesempatanmu dekat dengan Danang. Tengoklah dia setiap sore nanti di tujuh hari ke depan. Kau harus ikut di setiap pengajian untuk Danang. Agar keluarga Raja juga jadi simpati dan mulai mengenalmu,” ucap Siti sambil menstater mobilnya lalu pergi bersama keempat temannya yang lain meninggalkan area pemakaman.Malam sudah terlalu larut untuk sekedar memejamkan mata bagi Raja. Tetapi otaknya masih berkecamuk tentang kenangan bersama Danang. Pagi tadi terasa benar adanya ucapan kedua orang tuanya. Bahwa kedua orang tuanya selalu melerai pertengkaran-pertengkaran kecil. Antara Danang dan Raja sejak sedari kecil dengan kata-kata. Nanti kalau kalian berpisah dan tak bersama lagi kangen loh. Nyatanya malam ini kerinduan yang menyayat pada Danang sangat terasa di otak dan hati Raja. Bahkan waktu sudah melewati jam dua belas malam pas lebih lima belas menit. Raja tak kunjung jua beranjak dari berdirinya di muka kamar Danang. Menghadap ke dalam kamar sambil terus mengulas balik semua album kenangan. Semua tentang kebersamaan kemarin, kemarin lusanya, kemarin lampaunya. Sempat jua terlintas sore yang tadi tanpa sengaja. Raja mendengarkan percakapan antara Pak Khotim Ayahnya dan Pak Bandi Ayah Rindu. Walau sedikit ia mendengarkan lalu ia berlalu pergi menemui para tamu yang hendak ikut berdoa di pe
“Raja bagaimana keadaanmu sekarang? Oh ia aku membawakan buah. Tadi juga aku meminta Ibu untuk aku membuatkan segelas susu hangat untukmu. Mari Raja aku bantu untuk minum,” ucap Bunga sambil membantu Raja meminum segelas susu buatan Bunga. “Raja selain desakan Bunga, kami kemari juga atas desakan Pak Broto. Beliau ingin ikut menjengukmu pagi ini, kami sudah bilang kepada beliau kalau kau ingin istirahat seminggu. Tetapi beliau memaksa untuk ikut dengan kami kemari,” ucap Agung yang tengah berdiri di samping Bunga. Pak Broto adalah yang memiliki agensi penyalur tulisan-tulisan atau novel dari Raja dan kelima kawannya. Beliau yang mempunyai Channel orang dalam untuk novel dari Raja dan kawan-kawannya menjadi sebuah naskah sinetron. “Selamat Pagi maaf Ibu Juariah saya lancang masuk tanpa permisi. Tapi saya tadi sudah meminta izin pada Pak Khotim untuk masuk ke dalam kamar ini. Tidak apa ya Bu Juariah, saya hanya ingin mengetahui kondisi rekan saya Raja saja,” tutur Pak Broto yang lang
Kantor PT. Broto, Siang yang panas di atas area perkantoran kota Bangzo. Bahkan aspal di setiap depan blok setiap kantor terasa bagaikan memuai saja. Sementara itu di dalam area perkantoran milik Pak Broto. Terdengar sebuah pintu dibanting dan terbuka secara paksa. Brak, “Bandot tua sudah kesal aku dengan tingkah lakumu Broto. Aku berhenti dan aku sudah tidak tahan menutupi perilaku bejatmu itu!” terlihat Bunga dengan pakaian tampak acak-acakan keluar dari dalam ruangan Pak Broto. Berjalan dengan tergopoh-gopoh menuju ke meja kerjanya. Sekali ambil tas dan beberapa peralatannya terkemas sudah. Tampak kedua mata bunga teramat marah. Bahkan saking marahnya ia sampai meneteskan air mata merasa begitu jengkel. Agung yang begitu terkejut sontak berdiri diikuti Ambar dan sepasang pengantin baru Roni dan Siti. Mereka lantas mencegat langkah Bunga untuk keluar dari kantor. Bukan untuk mencegahnya berhenti bekerja, tetapi hanya sekedar bertanya ada apa. “Bunga kenapa, ada apa, apa bando
Malam terlalu larut untuk pulang sebaiknya menginap saja Nak Raja. Begitulah ucapan Bu Dian kepadaku di saat aku ingin berpamitan pulang dari rumahnya. Sempat aku melirik Rindu yang hanya tertunduk lesu dengan tatapan mata kosong di ujung sofa ruang tamu. Kasihan dia betapa sungguh terpukul hatinya akan kematian Mas Danang. “Apakah baik Bu saya menginap malam ini di sini. Sedangkan tetangga-tetangga Ibu sudah kepalang tahu. Jikalau Rindu akan menikah dengan Mas Danang. Apakah tiada kecurigaan berlebihan oleh mereka bila mengetahui aku menginap malam ini,” aku coba menolak dengan cara halus tanpa mengurangi rasa sopan santun dan segala hormat pada seorang Ibu tua di depanku ini. Lalu Pak Bandi segera berdiri mendekati kami yang tengah berdiskusi tentang pulang atau menginap di balik pintu. Aku sudah dapat menebak apa yang beliau katakan. Tentunya beliau juga akan mencegahku untuk pulang dan menginginkan aku menginap saja. “Benar Nak Raja malam sudah sangat gelap untuk berkendara se
Esok pagi menjelang dan aku lekas pergi dari rumah Rindu sebelum subuh datang. Aku masih tidak terbayang betapa aku bersalah dengan mendiang almarhum Mas Danang. Bukankah Rindu hanya milik Mas Danang. Kenapa aku menyentuhnya bahkan untuk seluruh milik Mas Danang yang ada pada diri Rindu. Pagi ini belum teramat terang benar dan aku sudah meninggalkan Rumah Rindu teramat jauh. Namun saat ini aku berkendara dengan keadaan kalut bercampur bingung. Bagaimana bisa istilah Turun Ranjang ini ada di dalam satu adat istiadat tanah Jawa. Bagaimana bisa seorang yang tidak tahu menahu akan satu hubungan yang semestinya bukan milikku. Harus aku miliki dengan suka rela dalam keadaan tiada rasa cinta di dalamnya. Kabut masih menebal dan masih terlalu gelap saat aku melintasi jalan-jalannya. Sejenak roda dua yang aku kendarai menepi di satu trotoar jalan yang aku lintasi. Sekedar melepas penat dengan sebatang dan sebotol minuman kemasan yang dibawakan oleh Bu Dian saat aku berpamitan dengan belia
“Asallamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh, Asallamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,” Bunga tampak ayu dibalut mukena biru berenda ungu di atas sajadah merah dengan motif bunga-bunga. Matanya teduh agak basah menetes hingga mukena. Kedua tangannya menengadah ke atas dengan segala harap dan memohon. Bibirnya yang masih tampak ranum mulai melafazkan kalimat-kalimat doa, zikir dan selawat. Bagaimana pun jua dia masih ada rasa sayang dan keinginan tetap bersama dengan Raja. Rasa cintanya tetap menggebu-gebu ingin bersatu sejiwa dengan Raja. Tetapi apa daya tangan tak sampai pada lengan Raja yang mungkin di waktu hampir terang ini Raja bersama Rindu jua. “Allah Ya Tuhanku maafkanlah aku bila meminta dengan menangis. Apabila Raja memang benar jodohku maka berilah hamba satu keajaiban untuk bersamanya. Namun apabila memang dia bukan milikku. Maka relakanlah hati ini untuk menjauh darinya,” usapan penuh keheningan dari dua telapak tangan Bunga. Mengusap wajahnya yang ayu alami. Tampak
“Bukankah itu Bunga di dalam taksi. Hendak ke mana dia pagi-pagi begini? Bukankah terlalu pagi untuk bepergian. Apa dia sudah mendapatkan pekerjaan lagi di kota lain?” aku coba memacu motorku agak mendekat ke arah taksi yang dinaiki oleh Bunga. Benar juga Bunga tampak tengah berpamitan pada teman-teman kosnya. Mereka seakan melepas bunga dengan lambaian tangan untuk yang terakhir kalinya. Sejenak aku letakkan motor menghadang laju taksi. Aku sudah tidak peduli hidup atau mati. Bahkan bila pagi ini memang aku harus mati, karena tertabrak taksi. Aku rela agar terlepas semua beban ruwet semrawut di dalam otakku. Aku mulai berdiri menantang maut di tengah jalannya. Bila memang Bunga akan pergi aku harus meminta maaf padanya. Mungkin juga ia pergi tak akan kembali ke kota ini lagi. Tentu aku tak ada kesempatan untuk bertemu dia lagi. Bahkan untuk mengucapkan kata maaf aku harus rela mengorbankan seluruh hidup dengan menantang maut. Sebenarnya lakon apa yang aku jalani? Sebenarnya milik
“Siapa sih yang usil sepagi ini, masih belum jam enam loh ini. Woi sini maju sekalian ambil orangnya jangan motornya saja. Kita duel satu lawan satu kalau kalian memang berani!” aku agak bingung bercampur kesal sambil teriak-teriak tak karuan sendiri di area tempat parkir pemakaman. Namun suasana hening masih saja tercipta tiada suara. Walau ada suara hanya ada suara jangkrik dan suara kodok yang senang akan datangnya hujan kala subuh tadi. Lalu aku mendengar suara langkah yang menginjak dedaunan. Tak jauh dari tempatku berdiri sambil kebingungan mencari motorku yang hilang. “Oh kalian mau main-main ya sama saya. Baik tunggu saja di situ dikira aku takut dengan kalian. Berapa pun jumlah kalian aku layani. Kalian jual aku borong, bukan lagi aku beli,” lantas aku berlari ke arah semak belukar sebelah luar pagar pembatas area makam dan jalan raya. Saat aku sudah benar-benar ingin mengambil dua sosok bayangan yang tengah mengintip dan mengendap-endap beberapa waktu lalu. Ternyata juga
Raja membuka matanya perlahan dan keseluruhan badannya telah basah kuyup. Bahkan ia kembali dan kembali diguyur air satu ember. Satu ember air comberan yang berbau menyengat tak sedap. Bagai bau kotoran manusia yang sangat menyengat. Byur, “Bangun kau Raja sang legenda MMA kota Bangzo. Bangun jagoan yang selalu dapat mengalahkan lawan-lawanya dari alam nyata maupun alam gaib. Lihatlah sekelilingmu sekarang Raja dan perhatikan kau ada dimanah sekarang?” Oceh Nona Ana yang tengah berdiri bertolak pinggang. Sambil membawa satu ember berukuran tanggung bekas terisi penuh air comberan yang ia guyurkan pada Raja. Raja menatap sekitar ia berada dan kali ini Raja benar-benar tak bisa berbuat apa-apa. Sebab kedua tangannya terikat oleh pasung dan juga lehernya. Kedua kakinya terikat rantai besi dengan bandul bola besi besar di ujungnya. Raja melihat istrinya Rindu tak memakai apa pun di tubuhnya dirantai di kedua kaki dan tangannya dengan cara direntangkan. Matanya ditutup dan mulutnya dis
Langkah kaki Raja menapak kembali rumah kosong di belakang pos hansip. Tangannya meraih pintu pagar depan yang sudah hampir hancur. Membukanya dengan cepat dan mulai berjalan ke arah pintu depan rumah tersebut. “Sudah aku bilang padamu untuk berhenti Joni. Tetapi kau tetap saja tak mengindahkan perkataanku. Kalau demikian percuma aku menganggapmu saudara selama ini,” gerutu Raja yang mulai basah di beberapa bagian pakaian yang ia kenakan. Sebab kali ini tengah malam turunlah air mata langit. Berupa titik-titik gerimis dengan intensitas agak kerap. Ceklek, Gagang pintu depan rumah kosong belakang pos hansip. Segera terbuka oleh Raja hanya gelap menyeruak dari dalam rumah kosong. Tidak ada cahaya sama sekali yang bisa untuk menerangi mata. Agar seseorang bisa melihat apa yang ada di dalam rumah. Hanya sebatas satu penglihatan satu sentimeter saja. Tetapi ada satu cahaya lilin di tengah-tengah ruang tamu yang menyala. Ada satu tikar kecil yang digelar di belakang lilin. Ada satu soso
“Hai Joni temanku welcome selamat datang di Istanaku yang bisa dibilang ini hasil warisan Ayahku. Kau tahulah teman bahkan kau adalah salah satu teliksandi atau kaki tangan Ayahku dulu yang tak terlihat. Maaf aku tak bisa datang saat kematian Nenek Lembayung. Saya ikut mengucapkan bela sungkawa,” ucap Nyonya Lintang menyambut kedatangan Joni di taman sisi depan halaman rumahnya.Ternyata Joni selama ini merahasiakan hal sebesar ini dari Raja. Bahkan Raja tak mengetahui bila saudara sesusunnya Joni dari desa Lembayung yang kapan hari ia kunjungi. Ternyata ada hubungan erat dengan Nyonya Lintang. Bahkan Nyonya Lintang menyambut kedatangan Joni bagai kawan lama. Raja juga tidak mengetahui jikalau yang membunuh Nenek Lembayung bukan para dukun desa. Tetapi Joni dan istrinya sendiri agar seluruh aset rumah, sawah dan pekarangan Nenek Lembayung yang lebarnya hampir mencakup setengah desa menjadi milik Joni sendiri. Tanpa harus dibagi pada Raja yang hanya anak sesusuan saja. “Nona Lintang
Pagi itu Raja menemukan dua kantong belanjaan yang berserakan di depan pagar rumah terbengkalai samping pos satpam. Raja juga menemukan sobekan daster dua lengan dengan Rendra bunga-bunga. Dia tahu benar kalau itu adalah sobekan dari dua lengan daster Rindu. Sebab ia yang membelikan daster yang kini dikenakan Rindu. Tanpa pikir panjang Raja langsung melompati pagar depan rumah kosong. Pos hansip atau pos satpam di sampingnya juga belum jua ada penjaganya. Padahal hari sudah melewati pukul setengah enam lebih lima menit. Raja terus masuk ke area halaman rumah kosong yang kebetulan. Halamannya hanya sedikit selebar satu setengah meter. Kali ini Raja menemukan sandal jepit milik Rindu yang tersangkut di pot bunga dan yang satunya terlempar di sebelah kiri rumah kosong. Akhirnya Raja menemukan daster utuh milik Rindu. Tergeletak di lantai ubin warna merah di teras rumah kosong tersebut. Wajah Raja semakin memerah marah bercampur geram. “Kalau seperti ini kejadiannya dan ini sudah tida
“Nak pulanglah sekarang Bapak ini sudah lama mengenal tabiat anak itu. Nyonya Lintang itu tentu tak akan tinggal diam dengan apa yang kamu lakukan dua hari ini. Anggrek Hitam berbeda sistemnya dengan mafia orang tuanya dahulu. Bila orang tuanya dahulu lebih senang mengumpulkan satu titik kekuatannya. Pada satu tempat saja tak menyebarkannya di beberapa titik atau mereka sebut pos bagian. Sekarang mereka tersebar di seluruh kota. Termasuk di pos hansip tempat Pak RT yang kamu ajak kemarin. Belakang pos hansip itu ada rumah kosong di sana mereka juga ada,” tutur Pak Bandot mengingatkan Raja. “Yah saya sudah menduganya akan hal itu Pak Bandot. Baiklah saya pamit pulang terlebih dahulu. Semoga Bapak tetap sehat selalu dan lain kali kita dapat berjumpa lagi, Asallamualaikum,” ucap Raja mengucapkan salam lalu beranjak pergi dari Warkop Pak Bandot. Sementara itu di tempat yang dikatakan Pak Bandot. Belakang pos hansip tak jauh dari rumah Pak RT. Ternyata adalah sebuah rumah terbengkalai da
Pagi berikutnya, Brak, dar, pyar, Tiga algojo penunggu teras rumah mewah Nyonya Lintang terlempar ke arah jendela kaca pas di samping pintu masuk rumah. Bahkan tiga algojo yang dahulu menyeret-nyeret Rajo lalu membunuhnya. Tak mampu mengalahkan Raja yang hanya menggunakan tangan kosong. Raja sempat duduk di kursi ukir klasik khas orang kaya yang berada di sisi kiri teras. Sedangkan tiga algojo sudah tidak bergerak dengan kaca berserakan di sekitar mereka. Raja masih bergaya bak tamu yang datang berkunjung. Menyulut sebatang rokok dan menghembuskan asap ke udara dari bibirnya. “Lumayan juga dua hari saat pagi seperti ini berolah raga. Sudah lama otot-ototku kaku tak bergerak. Dua hari ini cukup membuat keringat. Hitung-hitung biar badan segar-bugar dan sehat kembali,” ucap Raja memandang ke arah taman. “Woi kalian berlima apa tidak ingin sedikit membuat keringat. Kemarilah kita berolah raga sejenak diam-diam saja. Buatkan aku kopi mendingan tamu ini,” teriak Raja memanggil lima aj
Raja berjalan pelan dan tetap santai menuju gerbang besar warna merah dua sisi. Masih ada ukiran mawar hitam di setiap sisinya persis seperti setahun yang lalu. Ada juga ukiran naga dan tengkorak sebagai ornamen tambahan. Raja sempat menyulut sebatang rokok dari saku kemeja yang ia pakai dan kemeja itu milik Rajo. Persis seperti yang digunakan Rajo setahun yang lalu. Sebelum akhirnya langkah Raja dihentikan oleh beberapa penjaga di gerbang merah. “Woi mau ke mana kau anak muda. Apa kau tidak salah jalan menuju ke mari?” ucap salah satu penjaga gerbang merah. “Maaf Pak saya mau tanya, apakah benar ini kediaman Nyonya Lintang. Saya hendak menemuinya dan hendak menyampaikan sesuatu kepadanya?” jawab Raja masih bersopan-santun dan berlemah-lembut dalam tutur katanya. Namun penjaga gerbang merah di depannya menatap Raja agak mencincingkan mata. Seakan ia pernah melihat Raja sebelumnya. Bahkan mereka agak berbisik-bisik satu sama lain. “Bukankah dia yang datang ke mari setahun yang lal
“Apa benar kau akan melakukannya Ayah. Kenapa Bunda jadi khawatir ya Ayah. Apa tidak bisa dengan cara lain?” Rindu tampak kembali murung dengan niat Raja untuk melihat kediaman mafia Anggrek Hitam. Rindu takut akan terjadi tragedi yang sudah-sudah. Walau mereka selalu selamat dan selalu beruntung. Tapi perasaan wanita sungguh sangat lembut dan gampang sekali. Takut akan terjadinya sesuatu yang tak diinginkan. Sebab perasaan wanita sangat perasa jua. Pagi ini Rindu dengan kandungannya yang sudah membesar dan hampir melahirkan. Berdiri di teras bersama Bu RT melihat Raja berdandan ala Rajo anak dari Pak RT yang sudah meninggal. Bu RT terlihat terus menatap Raja dengan tatapan kerinduan pada almarhum anaknya. “Nak Raja kau sungguh mirip dengan almarhum anak kami Rajo. Baju itu dan celana itu pakaian terakhir yang dipakai Rajo. Saat malam itu ia berpamitan pergi untuk mengambil kembali calon menantu kami. Sayangnya Nak Raja bukan Rajo kalian dua orang berbeda. Anak kami Rajo yang selal
Brak, brak, Rajo tampak berdarah-darah terus dipukuli dua algojo dari Nyonya Lintang. Rajo sudah tak berdaya lagi dan sudah pasrah akan keadaannya. Memang Rajo mampu melewati penjaga gerbang merah. Mampu melewati lima bodyguard di taman. Tetapi melawan dua algojo di depan pintu masuk rumah mewah milik Nyonya Lintang. Rajo sudahlah habis tenaga dan tak mampu lagi melawan dua algojo yang berbadan kekar-kekar tersebut. Sehingga kini Rajo malah diseret ke arah ruangan dimanah calon istrinya tengah dieksekusi para lelaki hidung belang. “Kami akan membawamu menyaksikan calon istrimu menikmati kehangatan yang belum pernah ia rasakan. Kamu harus tahu kegadisannya sudah jebol sejak sore tadi. Istrimu sudah tak lagi gadis dan sekarang sedang dinikmati tiga orang lelaki tua secara bersamaan. Mari saya antar melihatnya agar kau tahu bagaimana rasanya kalau melawan Nyonya Lintang?” ucap satu Algojo sambil menjambak rambut Rajo yang memang agak panjang. Tubuhnya terus diseret walau berdarah-dar