“Bukankah itu Bunga di dalam taksi. Hendak ke mana dia pagi-pagi begini? Bukankah terlalu pagi untuk bepergian. Apa dia sudah mendapatkan pekerjaan lagi di kota lain?” aku coba memacu motorku agak mendekat ke arah taksi yang dinaiki oleh Bunga. Benar juga Bunga tampak tengah berpamitan pada teman-teman kosnya. Mereka seakan melepas bunga dengan lambaian tangan untuk yang terakhir kalinya. Sejenak aku letakkan motor menghadang laju taksi. Aku sudah tidak peduli hidup atau mati. Bahkan bila pagi ini memang aku harus mati, karena tertabrak taksi. Aku rela agar terlepas semua beban ruwet semrawut di dalam otakku. Aku mulai berdiri menantang maut di tengah jalannya. Bila memang Bunga akan pergi aku harus meminta maaf padanya. Mungkin juga ia pergi tak akan kembali ke kota ini lagi. Tentu aku tak ada kesempatan untuk bertemu dia lagi. Bahkan untuk mengucapkan kata maaf aku harus rela mengorbankan seluruh hidup dengan menantang maut. Sebenarnya lakon apa yang aku jalani? Sebenarnya milik
“Siapa sih yang usil sepagi ini, masih belum jam enam loh ini. Woi sini maju sekalian ambil orangnya jangan motornya saja. Kita duel satu lawan satu kalau kalian memang berani!” aku agak bingung bercampur kesal sambil teriak-teriak tak karuan sendiri di area tempat parkir pemakaman. Namun suasana hening masih saja tercipta tiada suara. Walau ada suara hanya ada suara jangkrik dan suara kodok yang senang akan datangnya hujan kala subuh tadi. Lalu aku mendengar suara langkah yang menginjak dedaunan. Tak jauh dari tempatku berdiri sambil kebingungan mencari motorku yang hilang. “Oh kalian mau main-main ya sama saya. Baik tunggu saja di situ dikira aku takut dengan kalian. Berapa pun jumlah kalian aku layani. Kalian jual aku borong, bukan lagi aku beli,” lantas aku berlari ke arah semak belukar sebelah luar pagar pembatas area makam dan jalan raya. Saat aku sudah benar-benar ingin mengambil dua sosok bayangan yang tengah mengintip dan mengendap-endap beberapa waktu lalu. Ternyata juga
Pagi itu Rindu membuka mata dari terpejam lelapnya semalam. Matanya berputar sekali mencoba menyibak keheningan suasana kamarnya. Tak lagi ia dapati sosok yang ia kira adalah Danang. Namun sebetulnya adalah Raja bukanlah Danang. “Kenapa kau pergi meninggalkan aku lagi?” riak hati Rindu mulai tersentak dalam. Sayatannya mulai kembali terbuka lebar. Rasa amat perih di lubuk sanubari mulai tumbuh lagi. Sepi kembali berjajar bagai satu raksasa besar dengan cakar-cakar tajam menghardik Rindu. Setidaknya begitulah khayalan yang tercipta dalam otaknya pagi ini. Tubuhnya masih lusuh lemas sebab ia merayu Raja yang ia anggap Danang semalam. Sebab ia menginginkan sepenuhnya Raja yang ia anggap Danang menjadi miliknya selalu di sisinya. “Kamu pergi ke mana Mas Danang?” Rindu bersandar pada dinding di atas kasurnya. Tubuhnya mulai menggigil dan ia balut penuh dengan selimut putih bergaris-garis hitam dan mulai bersendiku. Entah kenapa setelah kematian Danang, air mata Rindu seakan tiada
“Bro mau ke mana tunggu dulu lah. Kita seduh kopi bareng lagi seperti dulu. Kebetulan aku bawa dua bungkus kopi dari gang depan. Kangen juga aku bicara berdua denganmu. Aku cari-cari enggak ada, eh ternyata ada di sini. Tidak apalah walau di depan area makam jadilah,” begitulah Agung berteriak memanggilku dari kejauhan. Tampak ia membawa satu kantung keresek berisi dua bungkus kopi hitam. Setelah dia tepat di sampingku malah memelukku erat. Seakan kita lama sudah tidak bertemu atau seakan ini adalah satu salam perpisahan antara teman. “Apa sih Gung kamu ini, kayak aku cewek saja tiba-tiba main peluk, hi najis! Ada apa sih Gung. Ada apa seolah kamu mencariku dan ingin mengatakan hal penting saja?” aku mencoba menarik pembicaraan biar Agung mengatakan maksud dan tujuannya langsung. “Ets, selo Boy jangan terburu nafsu. Kamu ini Raja sudah berubah sekarang ya. Bahkan kita berlima sudah tidak lagi berkumpul seperti dahulu. Bunga sudah pergi pulang ke kampungnya dan tak akan kembali. Ron
Kereta api telah berlari kencang di antara perbukitan. Tertatih menyibak terangnya sang surya menuju selatan jauh. Ada berbagai macam wajah dengan ukiran ribuan kisah di kening mereka. Ada kisah pilu tentang sebuah kekalahan dalam masa perantauan di kota besar. Ada kisah bahagia akan keberhasilan membawa upah dan tabungan menuju kampungnya. Setelah beberapa dekade berusaha meraih cita dan cinta. Tetapi Bunga bersandar layu di samping jendela di salah satu bangku panjang gerbongnya. Tetapi Bunga menatap menerawang pandangan kosong. Walau ribuan wajah berceloteh tentang sebuah perjuangan di sekitarnya. Dalam matanya di dalam ingatan benaknya. Hanya sebuah bayangan-bayangan masa lalu tentang sebuah kerinduan bersama Raja. Namun masa lalu adalah hal kemarin yang tertinggal. Tak mampu lagi Bunga mengulang kisah indah bersama Sang Raja di hatinya. Huftz, nafasnya tampak berat terdengar sengal agak sesak di dadanya. Tiba-tiba air matanya menetes tanpa ia rasakan atau tanpa otaknya atau b
Sementara itu pagi di rumah Raja. Pak Khotim tampak cemas menunggu kepulangan Raja. Matanya terus memandang jalan depan rumah. Melihat serta meneliti pengendara motor yang sedang melintasi depan rumahnya. Harapannya ada sosok Raja putranya yang tinggal hanya Raja datang lalu mencium tangannya dan berkata aku pulang Ayah. Tetapi hingga hitungan keseratus pengendara yang tengah lalu-lalang. Melintasi depan rumahnya tak jua kunjung datang Raja dari rumah Rindu. “Bu, Ibu, apa belum ada kabar dari Raja. Kenapa sampai siang seperti ini dia tidak pulang? Bahkan beberapa kali orang dari kantor Danang ke mari mencarinya. Apa dia langsung ke kantor atau malah masih di rumah Rindu?” ucap Pak Khotim masih celingak-celinguk di depan teras rumahnya. “Apa Ayah, Ayah tadi ngomong apa. Maaf Ibu sedang di belakang di dapur, Ibu sedang masak masakan kesenangan Raja,” sahut Bu Juariah bergegas menghampiri Pak Khotim dengan berlari-lari kecil. “Oalah Ibu, Ibu, anak kita Raja kenapa belum pulang dari
Hai Rindu lihatlah malam ini kita hanya berdua. Walau kita terkurung di dalam ruangan pasien rumah sakit. Tetapi keinginanmu tentangku selalu terwujud. Kenapa pada akhirnya aku tak bisa lepas darimu. Rahasia apa yang kau rangkai dulu dengan kakakku. Lucu sekali pada akhirnya aku mampu mengagumi keindahan wajahmu saat terlelap. Walau aku sadar aku Raja bukan Danang seperti inginmu. Tapi bukankah kita sudah menjadi sepasang suami istri. Hanya saja semua itu belum tercatat pada buku resmi hukum negara. Rindu orang tua kita memang sengaja aku suruh pulang. Mereka sudah terlalu lelah memikirkan semua hal tentang kita. Awalnya memang aku merasa sangat dirugikan. Tapi sungguh bukanlah maksudku mengabaikanmu. Aku hanya membutuhkan waktu untuk menerima semua ini dengan lapang dada. Hai lihatlah Nona bukankah garis tangan kita serasi. Ah sudahlah entah ini perlambang jodoh atau bukan. Ah sudahlah entah kebetulan golongan darah kita sama itu jodoh atau bukan. Tetapi nyatanya kita sudah terhu
“Nak sudah siap kita antar Rindu pulang hari ini. Ayah meminta tolong sebagai Bapakmu Nak untuk kali ini saja. Demi Ayah, Ibu dan mendiang Kakakmu Danang. Tolong besarkan hatimu dan tolong tetap lah pada jalan kisah turun ranjang ini. Ayah meminta maaf padamu anakku, tolonglah kami,” bahkan pagi ayah memohon padaku. Selayaknya beliau memohon pada atasannya terdahulu di kala aku masih begitu kecil. Betapa tersentak kaget saat beliau berlutut kepadaku. Langsung dengan refleks seketika aku angkat lagi tubuh tua Ayah. Sungguh tidak pantas anak disembah oleh Ayah. Bahkan adalah satu hal haram menyembah manusia. Seharusnya yang disembah hannyalah Sang Pencipta. “Ayah, tidak, tidak Ayahku aku anakmu jangan seperti ini. Berdirilah Ayah banyak orang melihat di rumah sakit ini. Jangan memohon kepadaku, jangan berlutut seperti itu. Seakan aku adalah Sang Pencipta, tolong jangan siksa anakmu dengan satu hal ini. Berdirilah Ayah dan bahkan demi Ayah dan Ibu akan kulakukan dengan ikhlas hati pern