Dengan penampilan sederhananya, meskipun Robert sudah memberikan uang bulanan yang cukup besar, Rose tetap terlihat anggun. Wanita itu duduk tenang di kursi penumpang bersama Robert dan Kenzie, bagaikan sebuah keluarga, sementara seorang supir membawa mereka menuju ke rumah utama.
"Jadi, Sean dan Kenzie itu sepupu? Saudara?" Kenzie kembali mengulang pertanyaan yang sama.
"Iya, Sayang," sahut Rose yang memahami perasaan gembira keponakannya.
Mereka tiba di rumah utama. Sean, Jasmine dan Conrad sudah menanti kedatangan mereka. Senyuman lebar mengembang di wajah mereka semua. Sean berlari senang menuju ke arah Kenzie dan langsung menarik anak itu untuk berbagi mainan.
"Rose." Jasmine memeluk wanita itu dengan hangat. "Aku sangat senang sekali kita bisa bertemu lagi. Kalian memberiku kejutan." Jasmine menatap Rose dan Robert bergantian.
"Kalian meninggalkan Miami cukup lama sekali." Rose mengalihkan pembicaraan.
"Benar. Karena
"Terima kasih sudah mengundangku kemari, Nyonya Miller. Aku merasa bahagia sekali." Rosa memandang ibu Robert dengan gembira.Wanita itu kemudian mengerling manja ke arah Robert yang tidak mengubah raut wajah datarnya sama sekali. Senyuman kebahagiaan tak pernah lenyap dari wajah Rosa."Kami hanya ingin mengenal dirimu, Nona Rosa. Robert terlalu tertutup untuk urusan pribadinya, membuatku bertanya-tanya siapa sebenarnya wanita yang bisa menaklukan hatinya dan mungkin … bisa mengantar dirinya ke jenjang pernikahan." Micheel tersenyum bijaksana."Anda membuatku tersanjung, Nyonya Miller." Rosa melingkarkan tangannya di bahu Robert."Putra Anda lelaki yang luar biasa. Aku merasa sangat beruntung bisa bertemu dengannya, dengan pekerjaanku sebagai mantan pragawati dan juga perancang busana yang selalu dikelilingi banyak pria, Robert benar-benar memberiku kebebasan dan kepercayaan." Rosa menatap Robert penuh cinta. "Dia tidak pernah mengekang
Rose tidak dapat memejamkan matanya dan terlelap. Dia menatap Kenzie dan Sean yang sudah semenjak tadi tertidur, wajah bocah-bocah itu terlihat damai. Dia memilih menempati kamar bersama dengan kedua bocah tersebut daripada menempati kamar sendirian.Gadis itu akhirnya memutuskan untuk keluar dari kamar, menghirup udara segar. Saat melalui kamar yang ditempati oleh Robert dan Rosa, batinnya terasa sangat sakit. Rose memegang dadanya yang berdenyut."Kenapa aku harus merasa begitu perih. Ini bukan pertama kali Rosa tinggal sekamar dengan Robert, tetapi kenapa kali ini dadaku … Ruby, ah, pasti karena aku merasakan sakit hatinya Ruby."Rose teringat beberapa kali Rosa datang ke apartemen Robert dan bermesraan tanpa merasa malu dengan keberadaannya. Wanita itu juga seringkali menginap, membuat Rose merasa risih. Namun, wanita itu diam dan tetap bersikap bagaikan Robort yang tak mempedulikan keberadaan dua sejoli itu.Di taman belakang yang sepi,
"ROSE!" teriakan melengking dari suara bariton seorang pria memenuhi apartemen mewah di pusat kota. Wajah pria tersebut merah padam dengan rahang yang mengeras. Otot-otot di keningnya mencuat keluar dan bola mata yang melebar. Kedua alisnya bertautan semakin rapat ketika melihat wanita yang dia panggil berjalan dengan santai. "Kenapa harus berteriak, dokter Robert Miller?" Senyuman sinis menghiasi wajah cantik Rose. "apa kau tidak takut jika suaramu putus dan tidak bisa tampil di acara televisi kebanggaanmu. Anda bertanya dokter Robert menjawab." Rose terkekeh mengucapkan kalimat penuh ejekan itu. Tawa Rose membuat Robert semakin terbakar emosi. Pria itu menatap Rose dengan penuh kebencian. "Apa maksud semua ini?" Robert melempar tumpukan foto ke hadapan wanita itu. Rose melirik sekilas pada foto-foto yang berhamburan tanpa memperdulikannya. Wanita itu menyeringai puas melihat reaksi yang ditunjukkan oleh Robert. Rose meras
Rose tidak pernah menyangka jika hal ini akhirnya itu benar-benar harus terjadi pada dirinya. Kini dia berdiri di depan sebuah cermin besar dan menatap pantulan dirinya yang mengenakan baju pengantin. Gaun putih berhiaskan batu permata itu terlihat begitu pas di lekuk tubuhnya, seakan memang diperuntukkan untuk dirinya. Wajah cantik itu tak terlihat bahagia. Rose yang tidak pernah merasakan sentuhan tangan profesional di tubuhnya, terkejut melihat perubahan dirinya. Wanita itu tidak tahu harus bahagia atau menangis melihat dirinya yang berdiri bagaikan bidadari. Ingin sekali dia merobek baju pengantin tersebut dan berlari keluar meninggalkan pengantin pria yang dibencinya, membiarkan pria itu menanggung malu di depan altar. Namun, Rose tak berdaya. Ancaman Robert membuat kedua tangannya terikat. Dia tidak mungkin melarikan diri dari pernikahan
“Robert! Minggir!” Rose mendelik kesal ketika pria itu diam saja di tengah pintu.Tubuh tinggi dan besar lelaki itu membuat Rose tidak dapat menyusup pergi. Masih dengan gaun pengantin yang penuh permata dan renda, dia menatap Robert tajam. Semenjak pertunjukan mesra yang dipertontonkan pada wartawan, saat dia menggendong Rose masuk ke dalam kamar, tak lama kemudian Robert pergi mengunci wanita itu sendiri di dalam kamar pengantin."Tidak ku sangka kau suka mengenakan gaun pengantin. Jujur, pakaian ini sangat cocok untukmu, kau terlihat sangat cantik dan anggun," ujar Robert lembut tanpa bermaksud menggoda.Dada Rose berdesir mendengar perkataan pria itu. Wajahnya memanas dan dia benci merasakannya. Rose kesal dengan dirinya sendiri yang tiba-tiba berubah lemah di hadapan Robert. Bahkan, dia merasa terlalu malu untuk membalas tatapan mata pria itu.Rose memalingkan wajahnya dan menggerutu dalam hati, 'Kenapa aku jadi seperti ini? Memalukan! Pr
Rose duduk tegak di kursi meja rias. Dia melirik ke arah Robert yang keluar dari kamar mandi dengan mengenakan selembar handuk, menutupi bagian pinggang ke bawah. Raut wajah tampan itu terlihat begitu mempesona dengan tetesan air yang masih membasahi rambut dan tengkuknya.Wanita itu memalingkan pandangannya ke arah cermin, tetapi pantulan Robert terlihat nyata di sana. Rose memejamkan matanya sambil menunduk merasa kesal dengan hal yang tak dapat dia hindari. Gadis itu merutuki dirinya sendiri saat bayangan Robert terus menerus menari-nari dalam benaknya."Kau tidak perlu membayangkan diriku karena aku ada di sini bersamamu," Bisikan lembut Robert membuat Rose seketika menegakkan tubuhnya.Semilir hembusan napas lelaki itu menerpa kulit tubuhnya membuat bulu kuduk Rose kembali berdiri. Harumnya aroma sabun yang bercampur dengan aura feromon seorang pria, menggelitik pernapasan Rose. Gadis itu tampak terkejut dengan mata yang memandang pantulan diri mereka melal
“Dasar Dokter bejat, PlayBoy mesum!” serentetan kalimat penuh makian diucapkan oleh Rose. Dia merasa malu dengan keadaan dirinya yang berantakan. Rose membenahi tali gaunnya dan bersusah payah memunguti handuk yang terlepas dari tubuhnya. Wanita itu tidak sadar jika usahanya membuat seluruh bagian tubuhnya dengan mudah terlihat oleh Robert, membuat sesak napas pria itu. Rose kembali berusaha membebatkan handuk pada tubuhnya. Dia melotot ke arah Robert yang masih saja tak bergeming dengan pandangan tertuju padanya. Ingin sekali Rose menghilang dari dalam kamar itu, seandainya pintu ke mana saja adalah nyata. Wajahnya terasa sangat panas bagaikan terpanggang matahari. "Apa lihat-lihat!" ucap Rose kesal. "Kau di depanku bagaimana aku bisa tidak melihat, mataku masih sehat." "Kau bisa menutup matamu! Dasar PlayBoy!" "Kenapa aku harus--" pembelaan Robert di potong oleh Rose. "Sudah, minggir sana! Jangan ganggu aku!" Rose
Rose duduk mendekat kedua kakinya di bawah pancuran air di kamar mandi. Dia membiarkan air dingin itu mengalir terus menerus membasahi tubuhnya. Rose tidak bergeming dia membuka kedua matanya, membasuh semua kenangan semalam yang terasa begitu kuat menhantuinya. Berulang kali dia menggosok bibirnya, tetapi jejak kelembutan Robert masih dia rasakan dengan kuat di sana. Pria itu semalam melumatnya tanpa memberi kesempatan bagi Rose untuk beristirahat. Dia masih mengingat bagaimana jari jemari dengan kuku pendeknya mencengkram pundak Robert. Berusaha terlepas dari pelukan pria bertubuh besar itu, tetapi dia justru terhanyut dalam suatu perasaan aneh yang tak dapat dimengertinya. Rose marah pada dirinya sendiri yang merasa lemah di bawah intimidasi pesona sinar mata biru itu. "Gila! Aku sudah gila! Ini baru mal
“Mommy! Cereal Kenzie ditumpahin sama adik." Kenzie berteriak manja menunjukan pada tumpahan susu di kaosnya."Ivy, yuk tidak boleh ambil punya kakak ya. Ivy kan sudah punya sendiri." Rose meletakkan sutil dan segera menghampiri kedua anaknya."Biar saya saja yang membersihkan, Nyonya." Wanita pengasuh segera datang dengan membawa lap basah."Iya, tolong ya." Rose mengangkat bayi perempuannya yang sedang asyik menghisap sendok plastik di mulutnya."Au … am … am …," celoteh Ivy yang hari ini genap berusia satu tahun."Ivy mau makan cereal punya, Kakak?" Rose menduga-duga keinginan anak bungsunya itu."Kenzie masih lapar," rajuk si sulung dengan manja."Cereal lagi?" Pertanyaan Rose dijawab dengan gelengan oleh Kenzie."Mau kaya punya daddy." Kenzie menunjuk pada seiring toast dan omelet."Okay, Mommy buatkan dulu ya. Ivy mau? Omelette juga ya seperti Daddy dan kakak?" Rose mencium pi
"Mommy …." Kenzie berlari menghampiri Rose yang sedang duduk santai di balkon apartemen."Hey, Sayang." Rose memeluk dan mencium pucuk kepala Kenzie. "Sudah puas bermain di taman?"Kenzie mengangguk menjawab pertanyaan Rose. Bocah kecil yang kini berusia lima tahun itu tampak semakin tinggi dan pintar. Dia mencium perut Rose yang kini sudah semakin membesar."Berapa usia adik, sekarang Mom?" Pertanyaan yang tak pernah bosan diucapkan setiap harinya."Tujuh bulan dua puluh hari, Kakak." Rose tersenyum geli merasakan tangan mungil Kenzie membelai perutnya."Ah, sebentar lagi ya." Kenzie mencium perut Rose. "Adik Sayang, kakak tunggu ya. Nanti kalau sudah lahir, kita bermain bola dan kadang-kadang main boneka deh.""Kalau adik lahir Kakak harus jadi bodyguard ya." Rose membelai rambut si sulung penuh kasih. "Selalu menjadi panutan dan menjaga adik ya."Mata Kenzie berbinar, dia sangat senang ketika mendapatkan tanggung jawab
"Rose … please." Robert merajuk manja pada istrinya. "Tidak mau." "Please sudah hampir satu minggu juniorku terlantar." Robert menunduk sedih. "Tamu bulananku belum bersih." Rose mengacuhkan Robert yang terus merayu dengan membaca beberapa buku tentang perekonomian. "Benarkah?" Suara Robert terdengar lemah. "Kalau begitu aku peluk-peluk saja ya …." Semenjak sebulan lalu Robert kembali normal, dia tidak pernah berhenti untuk menyiksa Rose dalam permainan ranjang. Pria itu seakan memiliki ekstra gairah yang tak pernah padam, membuat Rose tak bisa melakukan apapun lagi, selain bercinta. Proses Menstruasi yang seringkali menjadi derita bagi setiap wanita, berbeda dengan Rose. Kedatangan tamu bulanan itu menjadi momen berkah bagi dirinya. Dia bisa berhenti sejenak dari pagi, siang dan malam yang membara. Rose sangat menyukai kegiatan tersebut, kemesraan di antara dirinya dan Robert. Hanya saja dia ingin rutinitas s
Rose terkejut mendengar ucapan seorang dokter wanita yang baru saja keluar dari dalam ruang operasi. Tidak dia temukan sedikit pun kebohongan di wajah cantik tersebut. Bahkan, wajah wanita tersebut terlihat memerah dengan mata yang berkaca-kaca."Komplikasi? Maksudnya? Apa sesuatu yang buruk terjadi?" tanya Rose berusaha untuk bersikap tenang."Iya sesuatu terjadi di meja operasi."Rose menatap raut wajah dokter wanita tersebut, dia menanti agar dokter tersebut menyelesaikan penjelasannya. Melihat dokter wanita itu diam saja, Rose menjadi lebih pusing dan kesal karena penasaran."Apa yang terjadi dengan suamiku?" jelas terlihat kepanikan di nada bicara Rose."Duduklah dengan tenang, Nyonya Miller." Wanita itu membawa Rose duduk di sebuah bangku panjang. "Bagaimana kau bisa menghadapi semua ini?""Menghadapi apa?" Rose menatap wanita di depannya dengan heran. Dia juga mengalihkan pandangannya ke arah pintu di ruang operasi. Rasa p
Rose duduk dengan gelisah di depan ruang operasi. Dia tahu seharusnya dirinya tidak perlu khawatir, tetapi kegelisahan itu tidak dapat dikendalikannya. Wanita itu tak hentinya memanjakan doa agar operasi berjalan lancar.Teringat di benaknya peristiwa beberapa hari yang lalu, ketika mereka semua berkumpul di kediaman keluarga Miller. Jelas terlihat kebahagian di wajah keluarga tersebut ketika melihat dirinya semakin mesra dengan Robert, putra pertama keluarga tersebut.Namun, Rose kembali dikejutkan dengan hal yang tidak dia ketahui. Rahasia Robert yang membuat seluruh keluarga itu terperanjat. Alasan dari lelaki itu menjalani operasi hari ini."Jadi bagaimana, apakah kalian sudah merencanakan kapan Kenzie akan memiliki adik?" Pertanyaan Michael kala itu membuat Rose sedikit cemas."Ah, Daddy aku belum puas menjalankan bulan madu dengan Rose," keluh Robert dengan membelai rambut Rose yang berbaring di bahunya."Belum puas bagaimana, kalian sudah me
Rose terbangun dalam pelukan Robert. Matanya mengerjap perlahan, menunduk menatap tangan kekar yang melingkar di pinggangnya. Kehangatan di punggung telanjangnya yang menempel rapat pada dada Robert, memberinya kesadaran jika semua itu bukan mimpi.Ingatan Rose berselancar pada kenikmatan yang tidak pernah dia rasakan sebelumnya. Merasa malu pada desahan yang lolos begitu saja dari bibirnya, tanpa bisa dikendalikan. Semalaman mereka habiskan dalam kemesraan, hanya jedah sesaat untuk menikmati makan malam."Apakah ini artinya aku sudah menjadi istri yang sesungguhnya?" bisik Rose lirih.Jarum jam weker berbunyi menandakan waktu bagi Robert untuk bersiap bekerja. Rose berusaha menjangkau weker untuk mematikan bunyi nyaringnya, tetapi tangan Robert membuat gerakannya terhambat. Wanita itu tidak dapat bergerak leluasa akibat tekanan kuat di pinggangnya."Robert … waktunya bangun." Bisikan Rose terabaikan."Robert." Rose berputar membalikan
Entah itu sebuah kode atau bukan, Rose tidak peduli. Bau keringat pria kriminal bertubuh tidak terlalu besar di belakangnya sungguh sangat menyengat. Butiran keringat yang mungkin muncul karena tegang, terlihat jelas di tangan lelaki itu. Rose hampir dibuat muntah karenanya.Rose mengumpulkan keberanian dan membuang rasa jijiknya. Dia membuka mulut dan mengarahkan taringnya pada lengan lelaki yang dipenuhi bulu itu. Rose menggigitnya dengan keras sekuat tenaga, melampiaskan kemarahan yang disebabkan oleh ucapan Robert."Aaa, Wanita sialan!" Pria tersebut berteriak kesakitan.Gigitan Rose yang cukup kuat, membuatnya tidak mudah menggerakkan tangan untuk menghujamkan pulpen tajam dan menyakiti Rose.Tetapi tak cukup dengan hal itu, Rose mengangkat kaki dan menjejakkan tumit sepatunya dengan sangat keras ke arah telapak kaki kriminal tersebut. Hak runcing itu berhasil melukai kaki pria tersebut sehingga membuatnya membungkuk dan kehilangan kekuatan untuk men
Rose mengatur napasnya perlahan di dalam mobil. Dia menatap dirinya di kaca spion untuk sesaat. Sebelum turun, wanita itu memutuskan untuk memoleskan sedikit bedak dan pelembab berwarna di bibirnya, aroma strawberry yang terasa menyegarkan.Rose mengatur degupan di jantungnya. Dia menarik napas berulang kali sebelum memutuskan untuk turun dari dalam mobil, menuju ke dalam rumah sakit besar tersebut.Dia melangkah dengan seluruh tubuh yang gemetaran. Degup di jantungnya semakin keras tak kala kakinya semakin dekat dengan pintu lobby rumah sakit. Rose bingung apa yang harus dia katakan ketika bertemu Robert nantinya."Hai, Robert, aku minta maaf--, ah itu terlalu cepat. Hai, Robert sudah makan siang, makan bareng yuk--. Huh! Aku tidak pernah melakukan hal itu sebelumnya." Rose mondar-mandir dengan gelisah sambil berbicara sendiri.Perempuan itu tidak sadar kalau gerakannya mencuri perhatian beberapa orang."Robert, apa kau sibuk? Ada yang harus
"Daddy." Rose tersenyum lebar menghampiri Romeo yang terlihat semakin sehat. "Grandpa." Kenzie berlari mendahului Rose memeluk pria setengah baya yang terlihat begitu senang melihat kehadiran kedua orang tersebut. "Apa kabar kalian." Romeo mengangkat cucu satu-satunya dalam gendongan. "Kenzie dan Mommy baik-baik saja. Grandpa terlihat semakin ceria." Kenzie mengusap wajah kakeknya. “Tentu saja Grandpa ceria melihat dirimu begitu sehat dan semakin tampan.” Pria tua itu mengecup kening cucunya. “Lihatlah apa yang Grandpa beli untuk cucu kesayangan.” Romeo membawa Kenzie menuju ruang tengah. Di sana terlihat seperangkat permainan mobil yang terbaru. Kenzie memekik gembira dan langsung turun dari pelukan kakeknya