Ting tong!
"Selamat datang!"
Suara bel tanda pelanggan masuk, membuat Rose mendongakkan wajahnya. Gadis yang baru saja mencatat hasil penjualan hari ini, terpaku melihat sosok yang tak diharapkan tiba-tiba sudah berdiri tegak di hadapannya.
Jika saja dia tahu pria itu yang akan muncul, Rose tidak akan mengucapkan salam dan yang lebih penting dia akan menutup minimarket lebih awal.
"Mau apa kau di sini?" tanya Rose dengan nada dingin.
Dia menutup buku yang berisi catatan keuangan dan menyimpannya di dalam laci. Rose menatap tajam ke arah pria itu yang datang dengan menggunakan setelan baju berwarna hitam dan menyembunyikan wajah tampan yang terkenal di balik topi.
"Aku ingin menemui anakku." Pria itu menengadahkan wajahnya menatap tajam ke arah Rose.
"Anakmu? Heh! Mana aku tahu siapa anakmu." Rose menatap sinis ke arah pria tampan yang berusaha menyembunyikan wajahnya di balik topi hitam.
"Jangan main-main, Rose. Biarkan aku menemui Kenzie." terdengar jelas sekali jika pria tersebut menekan suaranya menahan emosi.
"Aku tidak main-main, dokter Robert Miller. Sejak kapan kau menitipkan anakmu padaku? Apa aku terlihat memiliki usaha penitipan anak." Tawa lirih mencemooh dari Rose membuat Robert semakin geram.
Pria itu menahan emosinya sedemikian rupa ketika melihat ada seorang pelanggan lain yang masuk. Robert melangkah ke arah samping kasir seakan hendak memilih makanan ringan di sana.
"Rose! Aku hanya ingin bertemu Kenzie, keponakanmu." bisik Robert perlahan.
"Ooo anak Ruby, adikku? Dia sudah tidur, Tuan. Lihat sekarang pukul sembilan malam. Ada apa kau mencari dia?” Rose sengaja berbicara dengan keras,
“Siapa dia, Rose?” tanya seorang wanita setengah baya yang sudah menjadi pelanggan tetap.
“Entahlah." Rose mengangkat kedua bahunya sambil menghitung barang belanjaan pelanggan tersebut.
"Hati-hati jaman sekarang banyak kasus penculikan anak. Motif mereka juga bermacam-macam."
"Benarkah?" Rose merendahkan suaranya dengan melirik ke arah Robert. "menurutmu apakah seperti pria itu?"
Wanita setengah baya yang terlihat sangat suka gosip itu, melirik ke arah yang ditunjukkan Rose. Dia mengamati gerak-gerik Robert dari samping dengan teliti. Kedua alisnya bertautan seakan sedang berusaha menimbang keras apa yang ada dalam pikirannya.
"Paling berbahaya pria seperti itu. Jangan terkecoh wajah tampannya, bisa jadi dia adalah otak penculikan yang sesungguhnya."
"Hii mengerikan." Rose dengan sengaja mengeraskan suaranya dan pura-pura takut.
"Iya. Kau harus jaga Kenzie baik-baik."
"Nyonya Tan, apa yang harus aku lakukan?" Rose menekuk wajahnya seolah dia kebingungan.
"Jangan khawatir aku akan menolongmu." Nyonya Tan berjalan mendekati Robert dengan sikap sok jagoan.
"Hai, Tuan. Apa yang kau pilih kenapa dari tadi hanya berdiri di sini?" Nyonya Tan membungkukkan wajahnya hendak melihat wajah Robert yang tertunduk di balik topi.
Robert yang sedari tadi mendengar dengan jelas percakapan wanita itu dengan Rose menjadi sangat kesal, apalagi ketika wanita tua cerewet itu mendekat ke arahnya dengan tatapan menyelidik.
Robert mendengus kesal dan mengambil beberapa buah coklat untuk dia beli. Tanpa menjawab pertanyaan wanita tua itu, Robert langsung meletakan coklat tersebut di kasir dan mengeluarkan selembar uang lima puluh dolar.
"Total semuanya lima dolar, Tuan." ujar Rose sambil meletakan coklat tersebut ke dalam kantong kertas.
"Ambil saja kembaliannya." Robert menyambar kantong kertas tersebut dan berlalu dengan cepat.
Rose tersenyum penuh kemenangan melihat punggung dokter tampan itu yang berjalan menjauh. Dia akhirnya bisa mengusir pria tersebut tanpa harus menggunakan kekerasan. Perasaan Rose sedikit lega tanpa keberadaan Robert.
"Pria yang mencurigakan, hati-hati padanya Rose. Bagaimana bisa dia meninggalkan uang lima puluh dolar tanpa menerima kembaliannya." Nyonya Tan menatap selembar uang lima puluh dolar yang masih di tangan Rose dengan iri. "Kau harus berhati-hati, Rose, dia bisa saja kembali dan menuduh dirimu mengambil uangnya."
"Tentu saja, Nyonya Tan. Bagaimana jika lima puluh dolar ini aku berikan padamu. Jika dia kembali, akan aku katakan uang itu telah disedekahkan pada orang lain, bagaimana?"
Tanpa menunggu lama uang lima puluh dolar itu sudah berpindah tangan. Nyonya Tan memandang uang lima puluh dolar dengan mata berkilau. "Terimakasih, Rose. Jika ada apa-apa panggil aku dengan segera, kau masih memiliki nomor teleponku, 'kan?"
Rose mengangguk mengiyakan perkataan wanita itu. Nyonya Tan dengan senyum lebar keluar dari mini market, sepanjang perjalanan dia tersenyum riang karena mendapatkan jackpot hari ini, sepuluh dolar yang dibelanjakan telah menjadi lima puluh dolar di tangannya.
Setelah kepergian Nyonya Tan, Rose segera mematikan lampu di bagian depan untuk menandakan mini marketnya tutup. Gadis itu kemudian keluar dari dalam meja kasir menuju pintu masuk untuk menguncinya.
Namun, baru saja tangan Rose menyentuh gagang pintu, tiba-tiba entah dari arah mana asalnya Robert sudah muncul. Pria itu mendorong pintu yang dia pertahankan sekuat tenaga untuk tetap tertutup.
"Pergi kau, Robert!"
"Biarkan aku masuk, Rose!" Robert menambah kekuatannya sehingga Rose terhuyung ke belakang menabrak rak makanan.
"Keluar kau!" bentak Rose penuh amarah.
"Aku hanya ingin melihat Kenzie."
Pria itu mengedarkan pandangannya mencari jalan menuju ke bagian atas ruko. Rose yang menyadari bahaya segera berlari dengan cepat menghadang langkah Robert. Wanita itu tanpa rasa takut mendorong tubuh besar pria itu dengan kedua tangan kecilnya.
"Keluar kau sekarang juga atau aku akan berteriak!" ancam Rose.
"Coba kalau kau berani!" tantang balik Robert.
"Kau pikir aku takut, Dokter bejat?" Rose melotot ke arah Robert. "Kita lihat saja bagaimana reaksi mereka, jika mengetahui dokter terkenal di televisi bertindak kriminal dengan merampok sebuah mini market kecil!"
Rose tidak tampak takut sedikit pun berhadapan dengan Robert, karena yang paling ditakutkannya adalah kehilangan Kenzie. Rose tidak rela jika anak yang tidak pernah diinginkan Robert, tiba-tiba saja direbut pria itu.
"Kau! Dasar rubah licik!" dengus Robert kesal.
"Kau serigala berbulu domba!"
Robert menyeringai melihat bagaimana Rose sekuat tenaga mendorong dirinya keluar dari tempat itu, jika dia mau sekali hentak saja wanita itu akan jatuh tersungkur. Namun, Robert memilih bermain-main dengan membiarkan otot-otot tangan Rose menegang karena berjuang keras.
"Tenagamu kuat juga rubah licik!"
"Kau seharusnya mendengar juga kekuatanku jika berteriak." Rose menyeringai licik.
Gadis itu sadar jika dia tidak akan mampu menghadapi kekuatan fisik Robert, karena itu Rose berlari menuju ke pintu keluar dan berteriak dengan keras.
"TOLONG! ADA RAMPOK!"
Robert tercengang dengan apa yang dilakukan wanita itu. Dia benar-benar tidak menyangka jika ancaman Rose bukan sekedar isapan jempol belaka. Dengan beringas Robert berjalan mendekati Rose dan mencengkram bahu wanita itu.
"Ingat Rose, ini bukan yang terakhir. Kau akan merasakan akibatnya bermain-main dengan diriku!"
"Aku tidak takut denganmu Dokter bejat, Manusia licik!" Rose menepis tangan Robert dengan kasar.
Gadis itu membuka pintu dengan lebar sambil bersiap untuk kembali berteriak, "TOLONG …."
Rose tertawa gembira ketika melihat Robert dengan cepat keluar. Ancamannya berhasil. Pria itu berjalan menyeberangi jalan dan menatap tajam padanya dari kejauhan.
"Bye-Bye!" Rose melambaikan tangan sambil menjulurkan lidahnya.
Novel ini adalah sequel dari Novel DIA ANAKKU
silahkan follow AUTHOR @taurusdi_author untuk karya lainnya
Empat puluh hari sudah Ruby pergi dari dunia fana ini. Selama itu pula Robert tidak pernah mengganggu Rose dan keluarganya. Pria itu tidak menunjukan batang hidung bahkan bayangannya pun tak pernah muncul. Rose merasa tenang karena itu artinya Robert Miller benar-benar sudah melupakan Kenzie. Gadis cantik itu tersenyum sinis setiap kali mengingat bagaimana sikap Robert yang seakan-akan menginginkan Kenzie. Namun, pada akhirnya semua hanya topeng untuk mencari simpati. Rose semakin yakin jika pria itu tak akan pernah menunjukan batang hidungnya. Pria dengan kesuksesan di mana dirinya menjadi panutan di setiap acara televisi dan talk show, tidak mungkin membiarkan kariernya hancur hanya karena anak di masa lalu. Anak yang tak pernah dia inginkan. "Anda resah bertanyalah pada ….." Host di sebuah stasiun tel
"Rose! Apa yang terjadi? Bagaimana bisa ruko kita kebakaran?" Romeo syok melihat sisa-sisa api yang masih menyala di dalam bangunan tersebut. Tubuh Romeo terhuyung, hampir saja dia jatuh ketika dengan cepat tangan Dulce menahannya. Dulce yang tak kalah terkejut segera membawa pria tua itu duduk di pinggiran trotoar. Wanita imigran itu duduk di samping Romeo dengan tubuh yang tak kalah gemetaran. "Bagaimana mungkin?" desis Rose tak percaya. Seluruh apa yang dia miliki, rumah tempat keluarganya berlindung dan mata pencahariannya ada di sana. Rose terpaku pucat membeku menatap bangunan yang telah menghitam dengan masih menggendong Kenzie. Waktu menunjukan pukul sembilan malam ketika kebakaran itu terjadi. Mereka baru saja tiba dari makan malam di sebua
Rose memeluk Kenzie dengan erat. Tubuhnya gemetaran mengingat jika baru saja dia akan kehilangan bocah kecil itu. Pertengkaran Rose dengan Robert membuat Kenzie terbangun. Bocah itu menangis dengan keras. "Cup … cup, Sayang. Semua baik-baik saja." Rose menepuk punggung Kenzie dengan lembut dan sedikit menggoyangkan tubuhnya agar bocah tersebut menjadi lebih tenang. "Rose … kenapa kau marah pada pria tadi. Dia hanya hendak membantu kita." Romeo tidak dapat mengenali Robert Miller karena topi yang dikenakannya. "Jangan percaya pada siapapun itu, Dad. Kau hanya boleh mempercayai aku. Ingat itu, Dad." ujar Rose dengan tegas. Wanita itu sangat cemas jika kejadian yang sama akan terulang lagi. Dia menebarkan pandangannya ke sekeliling jalanan terutama ke arah d
Rose jatuh dalam pelukan petugas pemadam kebakaran, saat pria itu menarik tubuh Rose ketika dia hendak mengangkat sisa pintu kayu dari lemari di kamarnya. Api menyembur keluar dari balik pintu kayu yang tebal itu. Ternyata ada lubang besar di bawah kayu di mana masih ada sisa pembakaran dari lantai satu. Api itu hampir saja mengenai tubuh Rose, jika saja petugas tersebut tidak segera menarik tubuhnya. Rose bisa merasakan hawa panasnya meskipun mereka sudah berada di jarak aman. Wajah Rose seketika pucat pasi merasakan bahaya yang hampir saja menimpanya. Dalam hatinya dia mengucap syukur karena masih bisa selamat, mengingat masih banyak orang yang bergantung padanya. 'Aku harus hidup dan kuat untuk keluargaku.' "Kita harus segera turun, Nona. Saya khawatir ada anak api lain yang masih terjebak." Petugas tersebut menarik tangan Rose untuk segera turun. "Tapi, Tuan. Dokumenku-- akte lahir anakku …." Rose kebingu
Rose masuk dengan mengendap-endap ke dalam kamar. Dia melihat ayahnya tidur dengan nyenyak hanya berselimutkan kain tipis yang lembab, sementara Dulce memeluk Kenzie di ranjang yang sempit. Rose mengusap sisa-sisa air mata yang masih saja mengenang di wajahnya, dia memutuskan untuk menenangkan diri di kamar mandi.Tidak ada air hangat di dalam kamar mandi kecil itu dan bau dari toilet yang sedikit tersumbat menyengat penciuman Rose. Sudut-sudut lantai kamar mandi tampak menguning dan selokan pembuangan airnya pun berkarat dan penuh dengan rambut rontok. Tampak rembesan air di atap dan dinding ruangan sempit tersebut."Aku harus memindahkan mereka semua dari penginapan ini," gumam Rose.Rose mengikat rambut hitam sebahunya ke atas dan menatap pantulan wajahnya di depan cermin. Kesedihan amat sangat jelas terlih
"Ya, dia orangnya. Gara-gara gadis ini, ruko kami pun hampir terbakar." Seorang wanita gemuk menunjuk ke arah Rose dengan mata melotot. "Bukan itu saja, kamu tahu 'kan kalau tokoku selisih tiga gedung dari dia, pelangganku jadi kabur dan ada beberapa dari mereka yang tidak bayar setelah membeli makanan." Wanita lain dengan tubuh yang tak kalah gemuk dan berambut ikal menatap Rose dengan sinis. "Huh! Pelanggan yang hendak membuat tato, juga kabur semua. Coba bayangkan berapa kerugianku." Pria lain dengan rambut gondrong yang berlokasi tiga puluh metre dari lokasi kebakaran tak mau kalah menyudutkan Rose. "Kau tahu, Rose, tokoku ada tepat di sebelah tokomu. Gara-gara kebakaran itu, pelanggan kabur tanpa membayar pakaian yang mereka coba." Wanita Bertubuh tinggi kurus mendengus kesal. Lebih dari sepuluh orang yang datang di kantor polisi untuk menyudutkan dan melaporkan kerugian mereka akibat kebakaran. Tak ada seorang pun yang bersimpati atau sekedar me
Rose tidak percaya dengan apa yang dibacanya. Tangan gadis itu gemetaran, saat membaca dokumen perjanjian yang jelas terdapat tanda tangannya di sana. Dia tidak mengingat pasal mengenai biaya sewa yang akan hilang jika terjadi kerusakan gedung seperti musibah kali ini. Semua yang tertulis di sana, Rose juga tidak dapat membuktikan karena semua dokumen miliknya telah menjadi abu.Tubuh wanita itu menjadi lemas. Dia memegang kepalanya yang terasa sangat pusing, setelah seharian meresahkan banyak hal, Rose lupa jika dia belum mengisi perutnya dengan apapun kecuali air putih. Gadis itu memejamkan mata, berusaha menguatkan diri agar tidak jatuh pingsan."Jangan pura-pura sakit, sudah jelas semua yang tertera di sana. Ayo, cepat dibayar." Tuan Oswaldo pemilik gedung tanpa belas kasihan menghardik Rose."Tuan, tahan emosi Anda." Petugas kepolisian itu merasa kasihan dengan keadaan Rose. Pria tersebut kemudian menyodorkan segelas teh manis untuk Rose dengan mengacuhkan
Rose terpaku mendengar ucapan polisi tersebut. Apa yang akan terjadi pada ayah dan keponakannya jika sampai dirinya di penjara? Rose semakin pusing dan gelisah. Rasa takut begitu kuat mendera, menjadikan seluruh tubuh gadis itu menggigil dengan keringat dingin yang menetes.Dia melirik ke arah papan nama yang ada di meja, Polisi tersebut bernama Sebastian. Rose mengangkat kepalanya perlahan dan menoleh ke arah wajah-wajah yang sejak tadi membuli dirinya. Aneh, tidak terlihat rasa senang ketika tawaran untuk memenjarakan dirinya dilontarkan Sebastian."Kalau dia dipenjarakan, apakah kami masih bisa mendapatkan ganti rugi?" Pertanyaan Tuan Oswaldo menjelaskan keheranan di hati Rose.Wanita itu tertawa dalam hati, mencemooh pikirannya sendiri yang mengira jika semua orang bersimpati, kasihan padanya. Sungguh kenyataannya mereka semua hanya mengkhawatirkan uang ganti rugi tersebut. Benar, uang dan mantan tetangga siapa yang akan memilih mantan?"Aku akan menc
“Mommy! Cereal Kenzie ditumpahin sama adik." Kenzie berteriak manja menunjukan pada tumpahan susu di kaosnya."Ivy, yuk tidak boleh ambil punya kakak ya. Ivy kan sudah punya sendiri." Rose meletakkan sutil dan segera menghampiri kedua anaknya."Biar saya saja yang membersihkan, Nyonya." Wanita pengasuh segera datang dengan membawa lap basah."Iya, tolong ya." Rose mengangkat bayi perempuannya yang sedang asyik menghisap sendok plastik di mulutnya."Au … am … am …," celoteh Ivy yang hari ini genap berusia satu tahun."Ivy mau makan cereal punya, Kakak?" Rose menduga-duga keinginan anak bungsunya itu."Kenzie masih lapar," rajuk si sulung dengan manja."Cereal lagi?" Pertanyaan Rose dijawab dengan gelengan oleh Kenzie."Mau kaya punya daddy." Kenzie menunjuk pada seiring toast dan omelet."Okay, Mommy buatkan dulu ya. Ivy mau? Omelette juga ya seperti Daddy dan kakak?" Rose mencium pi
"Mommy …." Kenzie berlari menghampiri Rose yang sedang duduk santai di balkon apartemen."Hey, Sayang." Rose memeluk dan mencium pucuk kepala Kenzie. "Sudah puas bermain di taman?"Kenzie mengangguk menjawab pertanyaan Rose. Bocah kecil yang kini berusia lima tahun itu tampak semakin tinggi dan pintar. Dia mencium perut Rose yang kini sudah semakin membesar."Berapa usia adik, sekarang Mom?" Pertanyaan yang tak pernah bosan diucapkan setiap harinya."Tujuh bulan dua puluh hari, Kakak." Rose tersenyum geli merasakan tangan mungil Kenzie membelai perutnya."Ah, sebentar lagi ya." Kenzie mencium perut Rose. "Adik Sayang, kakak tunggu ya. Nanti kalau sudah lahir, kita bermain bola dan kadang-kadang main boneka deh.""Kalau adik lahir Kakak harus jadi bodyguard ya." Rose membelai rambut si sulung penuh kasih. "Selalu menjadi panutan dan menjaga adik ya."Mata Kenzie berbinar, dia sangat senang ketika mendapatkan tanggung jawab
"Rose … please." Robert merajuk manja pada istrinya. "Tidak mau." "Please sudah hampir satu minggu juniorku terlantar." Robert menunduk sedih. "Tamu bulananku belum bersih." Rose mengacuhkan Robert yang terus merayu dengan membaca beberapa buku tentang perekonomian. "Benarkah?" Suara Robert terdengar lemah. "Kalau begitu aku peluk-peluk saja ya …." Semenjak sebulan lalu Robert kembali normal, dia tidak pernah berhenti untuk menyiksa Rose dalam permainan ranjang. Pria itu seakan memiliki ekstra gairah yang tak pernah padam, membuat Rose tak bisa melakukan apapun lagi, selain bercinta. Proses Menstruasi yang seringkali menjadi derita bagi setiap wanita, berbeda dengan Rose. Kedatangan tamu bulanan itu menjadi momen berkah bagi dirinya. Dia bisa berhenti sejenak dari pagi, siang dan malam yang membara. Rose sangat menyukai kegiatan tersebut, kemesraan di antara dirinya dan Robert. Hanya saja dia ingin rutinitas s
Rose terkejut mendengar ucapan seorang dokter wanita yang baru saja keluar dari dalam ruang operasi. Tidak dia temukan sedikit pun kebohongan di wajah cantik tersebut. Bahkan, wajah wanita tersebut terlihat memerah dengan mata yang berkaca-kaca."Komplikasi? Maksudnya? Apa sesuatu yang buruk terjadi?" tanya Rose berusaha untuk bersikap tenang."Iya sesuatu terjadi di meja operasi."Rose menatap raut wajah dokter wanita tersebut, dia menanti agar dokter tersebut menyelesaikan penjelasannya. Melihat dokter wanita itu diam saja, Rose menjadi lebih pusing dan kesal karena penasaran."Apa yang terjadi dengan suamiku?" jelas terlihat kepanikan di nada bicara Rose."Duduklah dengan tenang, Nyonya Miller." Wanita itu membawa Rose duduk di sebuah bangku panjang. "Bagaimana kau bisa menghadapi semua ini?""Menghadapi apa?" Rose menatap wanita di depannya dengan heran. Dia juga mengalihkan pandangannya ke arah pintu di ruang operasi. Rasa p
Rose duduk dengan gelisah di depan ruang operasi. Dia tahu seharusnya dirinya tidak perlu khawatir, tetapi kegelisahan itu tidak dapat dikendalikannya. Wanita itu tak hentinya memanjakan doa agar operasi berjalan lancar.Teringat di benaknya peristiwa beberapa hari yang lalu, ketika mereka semua berkumpul di kediaman keluarga Miller. Jelas terlihat kebahagian di wajah keluarga tersebut ketika melihat dirinya semakin mesra dengan Robert, putra pertama keluarga tersebut.Namun, Rose kembali dikejutkan dengan hal yang tidak dia ketahui. Rahasia Robert yang membuat seluruh keluarga itu terperanjat. Alasan dari lelaki itu menjalani operasi hari ini."Jadi bagaimana, apakah kalian sudah merencanakan kapan Kenzie akan memiliki adik?" Pertanyaan Michael kala itu membuat Rose sedikit cemas."Ah, Daddy aku belum puas menjalankan bulan madu dengan Rose," keluh Robert dengan membelai rambut Rose yang berbaring di bahunya."Belum puas bagaimana, kalian sudah me
Rose terbangun dalam pelukan Robert. Matanya mengerjap perlahan, menunduk menatap tangan kekar yang melingkar di pinggangnya. Kehangatan di punggung telanjangnya yang menempel rapat pada dada Robert, memberinya kesadaran jika semua itu bukan mimpi.Ingatan Rose berselancar pada kenikmatan yang tidak pernah dia rasakan sebelumnya. Merasa malu pada desahan yang lolos begitu saja dari bibirnya, tanpa bisa dikendalikan. Semalaman mereka habiskan dalam kemesraan, hanya jedah sesaat untuk menikmati makan malam."Apakah ini artinya aku sudah menjadi istri yang sesungguhnya?" bisik Rose lirih.Jarum jam weker berbunyi menandakan waktu bagi Robert untuk bersiap bekerja. Rose berusaha menjangkau weker untuk mematikan bunyi nyaringnya, tetapi tangan Robert membuat gerakannya terhambat. Wanita itu tidak dapat bergerak leluasa akibat tekanan kuat di pinggangnya."Robert … waktunya bangun." Bisikan Rose terabaikan."Robert." Rose berputar membalikan
Entah itu sebuah kode atau bukan, Rose tidak peduli. Bau keringat pria kriminal bertubuh tidak terlalu besar di belakangnya sungguh sangat menyengat. Butiran keringat yang mungkin muncul karena tegang, terlihat jelas di tangan lelaki itu. Rose hampir dibuat muntah karenanya.Rose mengumpulkan keberanian dan membuang rasa jijiknya. Dia membuka mulut dan mengarahkan taringnya pada lengan lelaki yang dipenuhi bulu itu. Rose menggigitnya dengan keras sekuat tenaga, melampiaskan kemarahan yang disebabkan oleh ucapan Robert."Aaa, Wanita sialan!" Pria tersebut berteriak kesakitan.Gigitan Rose yang cukup kuat, membuatnya tidak mudah menggerakkan tangan untuk menghujamkan pulpen tajam dan menyakiti Rose.Tetapi tak cukup dengan hal itu, Rose mengangkat kaki dan menjejakkan tumit sepatunya dengan sangat keras ke arah telapak kaki kriminal tersebut. Hak runcing itu berhasil melukai kaki pria tersebut sehingga membuatnya membungkuk dan kehilangan kekuatan untuk men
Rose mengatur napasnya perlahan di dalam mobil. Dia menatap dirinya di kaca spion untuk sesaat. Sebelum turun, wanita itu memutuskan untuk memoleskan sedikit bedak dan pelembab berwarna di bibirnya, aroma strawberry yang terasa menyegarkan.Rose mengatur degupan di jantungnya. Dia menarik napas berulang kali sebelum memutuskan untuk turun dari dalam mobil, menuju ke dalam rumah sakit besar tersebut.Dia melangkah dengan seluruh tubuh yang gemetaran. Degup di jantungnya semakin keras tak kala kakinya semakin dekat dengan pintu lobby rumah sakit. Rose bingung apa yang harus dia katakan ketika bertemu Robert nantinya."Hai, Robert, aku minta maaf--, ah itu terlalu cepat. Hai, Robert sudah makan siang, makan bareng yuk--. Huh! Aku tidak pernah melakukan hal itu sebelumnya." Rose mondar-mandir dengan gelisah sambil berbicara sendiri.Perempuan itu tidak sadar kalau gerakannya mencuri perhatian beberapa orang."Robert, apa kau sibuk? Ada yang harus
"Daddy." Rose tersenyum lebar menghampiri Romeo yang terlihat semakin sehat. "Grandpa." Kenzie berlari mendahului Rose memeluk pria setengah baya yang terlihat begitu senang melihat kehadiran kedua orang tersebut. "Apa kabar kalian." Romeo mengangkat cucu satu-satunya dalam gendongan. "Kenzie dan Mommy baik-baik saja. Grandpa terlihat semakin ceria." Kenzie mengusap wajah kakeknya. “Tentu saja Grandpa ceria melihat dirimu begitu sehat dan semakin tampan.” Pria tua itu mengecup kening cucunya. “Lihatlah apa yang Grandpa beli untuk cucu kesayangan.” Romeo membawa Kenzie menuju ruang tengah. Di sana terlihat seperangkat permainan mobil yang terbaru. Kenzie memekik gembira dan langsung turun dari pelukan kakeknya