Rose terpaku mendengar ucapan polisi tersebut. Apa yang akan terjadi pada ayah dan keponakannya jika sampai dirinya di penjara? Rose semakin pusing dan gelisah. Rasa takut begitu kuat mendera, menjadikan seluruh tubuh gadis itu menggigil dengan keringat dingin yang menetes.
Dia melirik ke arah papan nama yang ada di meja, Polisi tersebut bernama Sebastian. Rose mengangkat kepalanya perlahan dan menoleh ke arah wajah-wajah yang sejak tadi membuli dirinya. Aneh, tidak terlihat rasa senang ketika tawaran untuk memenjarakan dirinya dilontarkan Sebastian.
"Kalau dia dipenjarakan, apakah kami masih bisa mendapatkan ganti rugi?" Pertanyaan Tuan Oswaldo menjelaskan keheranan di hati Rose.
Wanita itu tertawa dalam hati, mencemooh pikirannya sendiri yang mengira jika semua orang bersimpati, kasihan padanya. Sungguh kenyataannya mereka semua hanya mengkhawatirkan uang ganti rugi tersebut. Benar, uang dan mantan tetangga siapa yang akan memilih mantan?
"Aku akan menc
"Hmph!" Rose terkejut ketika Robert tiba-tiba mendorongnya ke dinding gang.Pria itu menghimpit tubuh Rose sehingga tidak ada celah baginya untuk bergerak. Wajah mereka sangat dekat nyaris bersentuhan hanya terbatas pada masker yang menutupi sebagian wajah Robert.Rose bahkan bisa mendengarkan deru napas Robert dan detak jantungnya. Bahkan yang paling tidak dapat dihindarinya adalah aroma maskulin pria itu yang menyeruak masuk dalam rongga pernapasannya.Tatapan mata biru Robert begitu dingin menghujam ke arah manik mata hitam Rose. Namun, wanita itu tidak terlihat gentar, melainkan penuh keberanian memberikan pandangan yang menantang. Rose merasa gusar dan tidak nyaman dengan tubuh Robert yang mengintimidasi dirinya."Lepas--" Rose tidak dapat melanjutkan kalimatnya, karena dengan gerakan cepat tangan Robert membekap dirinya.Rose melotot dengan tindakan Robert, dia memberontak dan secepat itu pula tangan Robert menarik pinggangnya seh
"A--apa yang kau lakukan di sini?" Rose mendorong tubuh Robert menjauh dari pintu kamar losmen itu. Dia tidak menyangka jika pria itu akhirnya mengetahui tempat persembunyiannya. Rose mantap Robert dengan perasaan was-was, dia khawatir jika lelaki itu akan memaksa mengambil Kenzie darinya, saat ini. "Kau menyembunyikan anakku di tempat seperti ini?" Robert menatap jijik ke arah pintu di belakang Rose. Wanita itu menelan ludah menghilangkan rasa bersalah dan kegugupannya. Dia juga tahu, jika losmen ini jauh dari pantas untuk ditinggal seorang bocah kecil. "Ini hanya sementara, aku akan menemukan tempat tinggal untuk kami semua," jawabnya tegas dengan sorot mata angkuh. "Serahkan anak itu padaku, Rose, maka bebanmu akan berkurang satu." "Menyerahkan? Bukankah kau tidak pernah menginginkan dirinya, kenapa tiba-tiba kau sekarang begitu menginginkan Kenzie?" Rose berisik dengan sinis. Dia
Bukanlah hal yang mudah bagi Rose untuk menemukan tempat tinggal nyaman dan murah. Semua tempat yang dia tuju sudah penuh. Beberapa gedung apartemen tidak memiliki lift yang tentunya akan menyulitkan untuk Romeo, sehingga Rose terpaksa mengurungkan niat untuk menyewa.Dia terus berjalan dengan Kenzie di sisinya. Anak kecil itu tidak mengeluh sama sekali, karena Rose membuat Kenzie merasa jika mereka sedang melakukan petualangan mencari harta karung dalam gedung-gedung tua."Kenapa kau tidak tinggal di perumahan dinas sosial saja?" Saran sinis dari salah satu pemilik gedung yang merasa jengkel pada Rose, karena tidak jadi menyewa. Rose hanya menjawab perkataan itu dengan senyuman sebelum berlalu.Tinggal di Rumah perlindungan dinas sosial bukanlah hal yang mudah bagi Rose. Pemerintah hanya memberikan perlindungan selama beberapa hari. Hal yang lebih mengkhawatirkan bagi wanita itu adalah bagaimana jika mereka menemukan Kenzie dan merampas anak itu darinya.
Di apartemennya yang mewah, Robert termangu seorang diri dalam ruang besar yang kosong. Dia duduk di beranda, menatap ke arah gemerlap malam kota Miami. Hiruk pikuk dunia malam di bawah sana berbanding terbalik dengan kesunyian hatinya.Pria itu duduk diam sambil menikmati segelas anggur merah dalam gelas cembung di tangannya. Netra birunya terlihat dingin, sedingin hembusan angin malam. Kehangatan dari anggur tersebut tak mampu membuat perasaannya menjadi hangat.Robert menghela napas dan menoleh ke arah handphone yang tak berhenti berdering. Tak terlihat keinginan untuk menjawab panggilan tersebut. Dia bahkan mematikan ponselnya."Robert, bawa anak itu kembali dalam keluarga kita, segera. Bagaimana kau bisa membiarkan benihmu tercecer sembarangan, apa dirimu tidak khawatir berita itu tersebar dan nama baikmu menja
Hati Rose menjadi lega, karena keluarga kecilnya saat ini memiliki tempat tinggal. Meskipun tempat itu sangat kecil dan hanya memiliki satu tempat tidur, Rose merasa tenang.Dia juga sudah mulai mencicil uang dengan mengutamakan pria pengidap sakit jantung terlebih dahulu. Rose tidak mempedulikan cibiran tetangga lamanya yang hanya mendapatkan sedikit bagian.Rose memilih menggunakan sebagai uangnya untuk membeli sepeda bekas di pedagang barang loak. Benda itu dia berikan pada Dulce Untuk mengantar dan menjemput Kenzie ke sekolah."Satu paket A dan dua paket B." Rose dengan cepat melayani pelanggan.Gadis itu senang sekali berhasil mendapatkan pekerjaan tambahan sebagai kasir di restoran cepat saji, selama enam jam di pagi hari. Pendapatan yang kecil tidak membuatnya kecil hati karena beberapa kali dia diizinkan untuk membawa makanan sisa semalam.Selain bekerja di restoran ayam goreng, wanita hebat itu juga bekerja di Coffee shop dari sore h
"Berapa pekerjaan sebagai petugas kebersihan?" Pertanyaan Rose membuat Clara terkejut.Gadis yang usianya lebih muda dua tahun dari Rose menatap sahabat barunya dengan heran. Pekerjaan kotor sebagai cleaning service banyak dihindari oleh gadis muda apalagi cantik. Hanya di drama televisi saja hal itu ada."Hanya sekitar lima belas dolar setiap jamnya," Jawab Clara.Rose berpikir sesaat, gaji bekerja tengah malam ternyata lebih besar daripada pekerjaan di pagi dan siang hari yang dilakukannya. Pekerjaan tambahan ini cukup membantu banyak dalam kebutuhan Rose, walaupun masih jauh dari membayar kerugian yang entah perlu berapa lama pelunasannya."Aku rasa pekerjaan itu lebih cocok untukku."Clara menatap Rose dengan heran. Dia tidak percaya jika temannya itu begitu teguh. Imingan uang yang cukup besar tidak begitu saja membuat Rose tergiur. Wanita itu seakan memiliki harga diri yang sukar ditawar."Kau yakin, Rose, bukankah dirimu memerlukan ua
Baru saja dua jam Rose memejamkan matanya, tubuhnya sudah diguncangkan oleh seorang wanita cleaning service. Gadis itu mengerjapkan matanya dengan susah payah, berusaha terjaga dari rasa kantuk dan lelah yang menggerogoti tubuhnya."Terima kasih," ucap Rose setelah berhasil menepis rasa kantuknya."Kau bekerja di area pub ya, aku ambil area diskotik." Wanita yang terlihat berusia lebih dari tiga puluh tahun itu menyeringai ke arah Rose."Iya, tidak masalah bagiku." Rose tersenyum mengiyakan.Wanita itu segera mengambil seragam miliknya. Sebuah pakaian terusan seperti seorang montir. Baju berwarna coklat tua itu terlihat kebesaran, membuat tubuh mungilnya semakin tenggelam, bagaikan badut. Namun, warna dan model pakaian itu tidak dapat menyembunyikan kecantikan Rose yang alami."Kau terlihat seperti anak-anak memakai pakaian dewasa." Wanita yang se-profesi dengannya tergelak. "Perkenalkan namaku Liz.""Senang bertemu denganmu, Liz
Rose tersentak ketika merasakan sesuatu dengan aura yang menyeramkan membayanginya. Wanita itu meringis kesakitan ketika merasakan sebuah tangan yang kekar meremas pundaknya. Gadis itu segera menengadahkan wajahnya dan melihat pria muda berkulit coklat gelap menatapnya tajam."Apa yang kau lihat, Nona?" desisan mengerikan bagaikan ular itu terdengar seperti bisa di telinga Rose.Rose melirik dengan posisi kepala yang masih menunduk, sebuah tato menghiasi tangan gelap lelaki itu yang tak dapat dia mengerti bentuknya. Gadis itu kemudian menatap pria yang setengah sekarat di hadapannya, tak berkutik dalam keadaan lemahnya.Tiba-tiba entah keberanian dari mana, wanita itu meremas kuat tongkat pel di tangannya. Dia telah melihat ketidak adilan yang membuat jiwanya meronta. Amarah yang selama ini terpendam bergolak keluar."Saya melihat ketidak adilan," desisnya perlahan. Rose melirik ke arah tangan lelaki yang sedang meremas bahunya dan entah mengapa lelaki it
“Mommy! Cereal Kenzie ditumpahin sama adik." Kenzie berteriak manja menunjukan pada tumpahan susu di kaosnya."Ivy, yuk tidak boleh ambil punya kakak ya. Ivy kan sudah punya sendiri." Rose meletakkan sutil dan segera menghampiri kedua anaknya."Biar saya saja yang membersihkan, Nyonya." Wanita pengasuh segera datang dengan membawa lap basah."Iya, tolong ya." Rose mengangkat bayi perempuannya yang sedang asyik menghisap sendok plastik di mulutnya."Au … am … am …," celoteh Ivy yang hari ini genap berusia satu tahun."Ivy mau makan cereal punya, Kakak?" Rose menduga-duga keinginan anak bungsunya itu."Kenzie masih lapar," rajuk si sulung dengan manja."Cereal lagi?" Pertanyaan Rose dijawab dengan gelengan oleh Kenzie."Mau kaya punya daddy." Kenzie menunjuk pada seiring toast dan omelet."Okay, Mommy buatkan dulu ya. Ivy mau? Omelette juga ya seperti Daddy dan kakak?" Rose mencium pi
"Mommy …." Kenzie berlari menghampiri Rose yang sedang duduk santai di balkon apartemen."Hey, Sayang." Rose memeluk dan mencium pucuk kepala Kenzie. "Sudah puas bermain di taman?"Kenzie mengangguk menjawab pertanyaan Rose. Bocah kecil yang kini berusia lima tahun itu tampak semakin tinggi dan pintar. Dia mencium perut Rose yang kini sudah semakin membesar."Berapa usia adik, sekarang Mom?" Pertanyaan yang tak pernah bosan diucapkan setiap harinya."Tujuh bulan dua puluh hari, Kakak." Rose tersenyum geli merasakan tangan mungil Kenzie membelai perutnya."Ah, sebentar lagi ya." Kenzie mencium perut Rose. "Adik Sayang, kakak tunggu ya. Nanti kalau sudah lahir, kita bermain bola dan kadang-kadang main boneka deh.""Kalau adik lahir Kakak harus jadi bodyguard ya." Rose membelai rambut si sulung penuh kasih. "Selalu menjadi panutan dan menjaga adik ya."Mata Kenzie berbinar, dia sangat senang ketika mendapatkan tanggung jawab
"Rose … please." Robert merajuk manja pada istrinya. "Tidak mau." "Please sudah hampir satu minggu juniorku terlantar." Robert menunduk sedih. "Tamu bulananku belum bersih." Rose mengacuhkan Robert yang terus merayu dengan membaca beberapa buku tentang perekonomian. "Benarkah?" Suara Robert terdengar lemah. "Kalau begitu aku peluk-peluk saja ya …." Semenjak sebulan lalu Robert kembali normal, dia tidak pernah berhenti untuk menyiksa Rose dalam permainan ranjang. Pria itu seakan memiliki ekstra gairah yang tak pernah padam, membuat Rose tak bisa melakukan apapun lagi, selain bercinta. Proses Menstruasi yang seringkali menjadi derita bagi setiap wanita, berbeda dengan Rose. Kedatangan tamu bulanan itu menjadi momen berkah bagi dirinya. Dia bisa berhenti sejenak dari pagi, siang dan malam yang membara. Rose sangat menyukai kegiatan tersebut, kemesraan di antara dirinya dan Robert. Hanya saja dia ingin rutinitas s
Rose terkejut mendengar ucapan seorang dokter wanita yang baru saja keluar dari dalam ruang operasi. Tidak dia temukan sedikit pun kebohongan di wajah cantik tersebut. Bahkan, wajah wanita tersebut terlihat memerah dengan mata yang berkaca-kaca."Komplikasi? Maksudnya? Apa sesuatu yang buruk terjadi?" tanya Rose berusaha untuk bersikap tenang."Iya sesuatu terjadi di meja operasi."Rose menatap raut wajah dokter wanita tersebut, dia menanti agar dokter tersebut menyelesaikan penjelasannya. Melihat dokter wanita itu diam saja, Rose menjadi lebih pusing dan kesal karena penasaran."Apa yang terjadi dengan suamiku?" jelas terlihat kepanikan di nada bicara Rose."Duduklah dengan tenang, Nyonya Miller." Wanita itu membawa Rose duduk di sebuah bangku panjang. "Bagaimana kau bisa menghadapi semua ini?""Menghadapi apa?" Rose menatap wanita di depannya dengan heran. Dia juga mengalihkan pandangannya ke arah pintu di ruang operasi. Rasa p
Rose duduk dengan gelisah di depan ruang operasi. Dia tahu seharusnya dirinya tidak perlu khawatir, tetapi kegelisahan itu tidak dapat dikendalikannya. Wanita itu tak hentinya memanjakan doa agar operasi berjalan lancar.Teringat di benaknya peristiwa beberapa hari yang lalu, ketika mereka semua berkumpul di kediaman keluarga Miller. Jelas terlihat kebahagian di wajah keluarga tersebut ketika melihat dirinya semakin mesra dengan Robert, putra pertama keluarga tersebut.Namun, Rose kembali dikejutkan dengan hal yang tidak dia ketahui. Rahasia Robert yang membuat seluruh keluarga itu terperanjat. Alasan dari lelaki itu menjalani operasi hari ini."Jadi bagaimana, apakah kalian sudah merencanakan kapan Kenzie akan memiliki adik?" Pertanyaan Michael kala itu membuat Rose sedikit cemas."Ah, Daddy aku belum puas menjalankan bulan madu dengan Rose," keluh Robert dengan membelai rambut Rose yang berbaring di bahunya."Belum puas bagaimana, kalian sudah me
Rose terbangun dalam pelukan Robert. Matanya mengerjap perlahan, menunduk menatap tangan kekar yang melingkar di pinggangnya. Kehangatan di punggung telanjangnya yang menempel rapat pada dada Robert, memberinya kesadaran jika semua itu bukan mimpi.Ingatan Rose berselancar pada kenikmatan yang tidak pernah dia rasakan sebelumnya. Merasa malu pada desahan yang lolos begitu saja dari bibirnya, tanpa bisa dikendalikan. Semalaman mereka habiskan dalam kemesraan, hanya jedah sesaat untuk menikmati makan malam."Apakah ini artinya aku sudah menjadi istri yang sesungguhnya?" bisik Rose lirih.Jarum jam weker berbunyi menandakan waktu bagi Robert untuk bersiap bekerja. Rose berusaha menjangkau weker untuk mematikan bunyi nyaringnya, tetapi tangan Robert membuat gerakannya terhambat. Wanita itu tidak dapat bergerak leluasa akibat tekanan kuat di pinggangnya."Robert … waktunya bangun." Bisikan Rose terabaikan."Robert." Rose berputar membalikan
Entah itu sebuah kode atau bukan, Rose tidak peduli. Bau keringat pria kriminal bertubuh tidak terlalu besar di belakangnya sungguh sangat menyengat. Butiran keringat yang mungkin muncul karena tegang, terlihat jelas di tangan lelaki itu. Rose hampir dibuat muntah karenanya.Rose mengumpulkan keberanian dan membuang rasa jijiknya. Dia membuka mulut dan mengarahkan taringnya pada lengan lelaki yang dipenuhi bulu itu. Rose menggigitnya dengan keras sekuat tenaga, melampiaskan kemarahan yang disebabkan oleh ucapan Robert."Aaa, Wanita sialan!" Pria tersebut berteriak kesakitan.Gigitan Rose yang cukup kuat, membuatnya tidak mudah menggerakkan tangan untuk menghujamkan pulpen tajam dan menyakiti Rose.Tetapi tak cukup dengan hal itu, Rose mengangkat kaki dan menjejakkan tumit sepatunya dengan sangat keras ke arah telapak kaki kriminal tersebut. Hak runcing itu berhasil melukai kaki pria tersebut sehingga membuatnya membungkuk dan kehilangan kekuatan untuk men
Rose mengatur napasnya perlahan di dalam mobil. Dia menatap dirinya di kaca spion untuk sesaat. Sebelum turun, wanita itu memutuskan untuk memoleskan sedikit bedak dan pelembab berwarna di bibirnya, aroma strawberry yang terasa menyegarkan.Rose mengatur degupan di jantungnya. Dia menarik napas berulang kali sebelum memutuskan untuk turun dari dalam mobil, menuju ke dalam rumah sakit besar tersebut.Dia melangkah dengan seluruh tubuh yang gemetaran. Degup di jantungnya semakin keras tak kala kakinya semakin dekat dengan pintu lobby rumah sakit. Rose bingung apa yang harus dia katakan ketika bertemu Robert nantinya."Hai, Robert, aku minta maaf--, ah itu terlalu cepat. Hai, Robert sudah makan siang, makan bareng yuk--. Huh! Aku tidak pernah melakukan hal itu sebelumnya." Rose mondar-mandir dengan gelisah sambil berbicara sendiri.Perempuan itu tidak sadar kalau gerakannya mencuri perhatian beberapa orang."Robert, apa kau sibuk? Ada yang harus
"Daddy." Rose tersenyum lebar menghampiri Romeo yang terlihat semakin sehat. "Grandpa." Kenzie berlari mendahului Rose memeluk pria setengah baya yang terlihat begitu senang melihat kehadiran kedua orang tersebut. "Apa kabar kalian." Romeo mengangkat cucu satu-satunya dalam gendongan. "Kenzie dan Mommy baik-baik saja. Grandpa terlihat semakin ceria." Kenzie mengusap wajah kakeknya. “Tentu saja Grandpa ceria melihat dirimu begitu sehat dan semakin tampan.” Pria tua itu mengecup kening cucunya. “Lihatlah apa yang Grandpa beli untuk cucu kesayangan.” Romeo membawa Kenzie menuju ruang tengah. Di sana terlihat seperangkat permainan mobil yang terbaru. Kenzie memekik gembira dan langsung turun dari pelukan kakeknya