"APA KAMU GILA?" bentak Hans pada Rio yang kini duduk di hadapannya. Sebuah map tergeletak di meja, dilempar olehnya sesaat lalu. Dia marah besar mengetahui laporan keuangan yang selama ini dilihatnya hanya fiktif belaka. Nyatanya, Rio dan asistennya sudah memanipulasinya sedemikian rupa.
"Bagaimana kalau para investor tahu rencana busukmu?" Nada bicara Hans sedikit turun, tapi tetap terasa kemarahannya. "Akuisisi perusahaan lain tanpa meminta pendapat mereka. Itu gila!"
Rio masih tetap bungkam. Dia mengangkat dagunya dengan jemawa. Sikap angkuh dan congkaknya tidak berubah, selalu menjadi andalan di depan Hans Dirgantara. Sama seperti lima tahun yang lalu sejak menghandle perusahaan ini pertama kali.
"Tidak bisakah kamu berpikir rasional? Jangan campuri urusan orang lain! Bisnis Mahendra bukan ranah kita. Tidak ada untungnya menghancurkan mereka."
Rio mengangkat satu sudut bibirnya, menatap Hans dengan pandangan meremehkan. "Maksud ayah aku harus ber
Give away masih author tunggu ya sampai tanggal 23. Jangan lupa rate bintang lima dan komen semenarik mungkin di beranda novel ini. See you, Hanazawa Easzy
"Apa aku bisa bertemu istrimu?" tanya Hans penuh harap "Untuk apa? Kenapa tiba-tiba?" Hans mengangkat bahunya. "Entahlah. Minta maaf, mungkin." Dengan kening yang berkerut, Rio berdiri, menjauh dari ayahnya beberapa langkah. "Apa yang ayah lakukan sampai ingin minta maaf pada istriku?" selidik pria yang kini melirik jam di pergelangan tangannya. Sudah masuk jam pulang kantor. Dia bisa terkena macet jika tidak segera meninggalkan tempat ini. Sebenarnya dia sudah mendapat laporan dari Leo hari itu, tapi Rio ingin mendengar fakta memalukan itu dari mulut ayahnya. "Itu..." Hans tergagap. Dia tidak bisa mengakui kesalahannya yang pernah berpikir mesum pada menantunya sendiri. "Kalau begitu lupakan saja. Aku hanya ingin menyapanya." "Tidak perlu." Rio semakin menjauh, kini duduk di ujung meja kerja sambil membuat jalinan tangan di depan perut. "Ayah hanya akan memperkeruh hubunganku dengan Monika. Dia semakin mantap bercerai setelah bertemu
Audi R8 warna hitam membelah jalanan ibukota yang cukup sepi, tak seperti biasanya yang penuh sesak oleh kendaraan. Langit sore terlihat cerah dan hangat, sama seperti perasaan seorang pria yang kini duduk di balik kemudi. Ingatannya kembali pada petuah Sang Ayah beberapa saat lalu, saat keduanya berbicara empat mata. "Perlakukan istrimu dengan baik. Jangan membuatnya menangis," tukas Hans, menepuk pundak Rio sambil memaku pandang tepat ke arah manik mata hitam gelapnya. "Ayah pernah salah memperlakukan ibumu, semoga kamu tidak mengulangi kesalahan itu. Berlaku lembutlah padanya." "Tapi, Yah, aku takut tidak bisa mengendalikan diri jika terus berdekatan dengannya. Ayah tahu seperti apa bahayanya. Seperti menara listrik tegangan tinggi." Rio menggambarkan dirinya yang begitu berhasrat ingin menyentuh Monika. Hans terkekeh mendengarnya. "Ayah tahu. Karena ayah juga pernah mengalaminya. Tapi, kendalikan dirimu sebaik mungkin. Buatlah istrimu nyam
WARNING! 21+ BUKAN UNTUK DITIRU! Rio masih mendekap tubuh ramping istrinya dari belakang. Dia menempelkan hidungnya di ceruk leher Monika yang terbilang mulus. "Hubby," lirih Monika, meredam geleyar aneh yang mulai membuat tubuhnya menegang seketika. Akhir-akhir ini dia tidak pernah sedekat ini dengan Rio. Pria itu sengaja menjauhkan diri, tak melakukan skinship apapun dengannya. Tapi hari ini? Sikapnya tiba-tiba berubah menjadi lembut dan penuh cinta. "Biarkan seperti ini sebentar saja, Sweety." Rio semakin mempererat pelukannya, membuat dada bidangnya menempel dengan punggung Monika. Perlahan namun pasti, Monika mulai merasa nyaman dengan dekapan Rio di tubuhnya. Ketegangan yang sempat melanda, kini terkikis dengan sendirinya. Dia ikut memejamkan mata, seperti yang Rio lakukan sejak beberapa detik yang lalu. Dua insan berbeda usia itu menyelami pikiran masing-masing, bagaimana keberadaan mereka salin
"Sweety, maaf," ucap Rio, membenahi helai rambut istrinya yang tergerai di belakang telinga. Selimut hitam menyelimuti keduanya, menjadi saksi penyatuan mereka beberapa saat yang lalu. Rencana hanya berendam berdua di bath tube hanya wacana, karena pada akhirnya Monika yang meminta Rio untuk menyentuhnya. "Maaf, aku tidak bisa menjaga komitmenku sendiri." Rio merasa bersalah karena dia lagi-lagi mengambil haknya sebagai seorang suami. Padahal, awalnya dia bertekad akan menunggu hingga satu bulan kedepan. "Umm. Kamu tidak perlu minta maaf. Memang aku yang memintanya." Monika meraih tangan Rio dan mendekapnya di depan dada. "Aku juga tidak bisa mengendalikan diri. Aku merindukanmu," lirihnya namun masih bisa tertangkap oleh indera pendengaran Sang Suami. Mendengar pernyataan Monika, membuat Rio mengulas senyum hangat di wajahnya. Dia bahagia karena Monika mulai terbuka padanya. Dia tidak tahu kalau akan sebahagia ini mendapat kembali kepuasannya setelah berpuas
"Menjelaskan apa?" geram Monika, mencengkeram lengan Rio erat-erat. "Awas saja kalau penjelasanmu tidak masuk akal!" ancamnya. Wanita berbadan dua itu mengerucutkan bibirnya, merasa tidak suka.Keringat dingin segera menyapa pelipis pria dengan kemeja warna merah marun, senada dengan gaun yang dipakai Monika. Dia harus mempertanggungjawabkan rencana yang ia anggap brilian. Jika tidak, bisa saja ibu dan istrinya pergi begitu saja. Maka makan malam ayah dan ibunya akan batal."Ayah," panggil Rio ragu-ragu."Hmm?""Apa ayah bisa masuk lebih dulu ke dalam? Kami akan segera menyusul." Rio memberikan isyarat agar Hans pergi dari mereka. Ia akan mengondisikan istri dan ibunya.Hans mengangguk dua kali, "Tentu saja."Dengan langkah tegap dan penuh kharisma, Hans melenggang masuk ke dalam restoran dengan konsep klasik itu. Lampu berhias anyaman bambu menjadi penerangan di beranda depan. Hampir seluruh tempat ini terbuat dari kayu, dengan dekorasi uni
Monika terus bungkam sekembalinya dari restoran, menatap keluar jendela dan memperhatikan setiap benda yang tertangkap oleh indera penglihatannya. Dia masih tidak habis pikir, kenapa Eva bisa begitu tenang menghadapi pria yang sangat dibencinya. Mereka bahkan memutuskan untuk pergi berdua, berbicara empat mata."Sweety," panggil Rio.Hening. Monika tak merespon, membuat Rio melirik wanita yang tampak sibuk dengan pemikirannya sendiri. Dia kembali fokus pada jalanan di depan, hanya sesekali menatap Monika dari samping.Bahkan, hingga kendaraan mewah ini terparkir di basement apartemen, Monika masih tetap menutup mulutnya rapat-rapat."Sweety, kita sudah sampai." Rio menyentuh puncak lengan istrinya."Hmm?" Monika tersenyum hambar, membuka pintu dan mengabaikan ekspresi wajah Rio yang mengkhawatirkannya.Rio menggenggam punggung tangan istrinya, merasakan hawa dingin di sana."Sayang, kenapa tanganmu dingin sekali? Kamu sakit?" Rio mele
Hans masih lekat memandangi wanita di hadapannya. Mereka duduk berhadapan, terhalang meja bundar di private romm restoran. Keduanya tak berbincang satu jam kebelakang, hanya saling tatap dalam diam. "Ini seperti mimpi. Akhirnya kamu kembali, Sayang," komentar Hans membuka percakapan. Dia menatap Eva sambil mengulas senyum tipis di wajah. Samar-samar lesung pipi di kedua sisi wajahnya terlihat, satu ketidaksempurnaan yang ia turunkan pada putranya, Rio Dirgantara. "Sayangnya ini kenyataan. Dan aku kembali untuk putraku, bukan untuk menemuimu," ketus wanita yang kembali menerima cangkir kopi pesanannya. Dua cangkir lain telah kosong, menyisakan satu dua tetes di dasar gelas. "Tapi, tetap saja akhirnya kita bisa bertemu. Aku masih tidak menyangka hal ini. Bahkan dalam mimpi pun kamu tidak pernah muncul. Dan sekarang wujud aslimu ada di hadapanku." Eva membuang pandangannya ke samping, enggan mendengar berbagai ucapan suaminya. "Sayang, ada yang i
Monika masih menatap langit gelap di luar sana saat Rio keluar dari kamar mandi. Dia baru saja pulang bekerja, hanya sekadar membasuh wajah sebelum menemui istrinya.Tubuhnya berbalut kemeja hitam dengan dasi biru laut yang tampak kontras. Sisa parfum di tubuhnya menguar saat kemeja itu dibuka. Perut kotaknya terekspose sempurna, membuat wanita mana saja pasti tergoda.Namun hal itu tampaknya tidak berlaku bagi Monika. Wanita dengan surai pirang sebatas bahu itu tak tertarik sama sekali. Tubuhnya tetap tersembunyi di dalam selimut, tak terusik sama sekali dengan kehadiran suaminya yang begitu menggoda iman."Sudah mengantuk, Sweety?" tanya Rio, mendekat ke arah Monika dan mencium keningnya dengan sayang. Aroma feromon yang kuat menyapa indera penciuman istrinya yang tengah berbaring di atas ranjang.Monika tak menjawab, hanya melempar senyum hambar melalui sudut bibirnya yang sedikit naik ke atas. Fokusnya terpecah, tidak peduli dengan perlakuan manis dar
Tiga tahun kemudian ...."Daddy," panggil gadis dua setengah tahun yang kini memanjat dada bidang ayahnya."Hmm. Alea?" Rio mengerjapkan mata, namun belum membukanya. Dia masih dikuasai kantuk dan ingin terpejam sebentar lagi.Mentari bersinar hangat di musim semi, bersamaan dengan aroma bunga sakura yang diam-diam menelisik hidung. Di sebuah hunian mewah dengan dekorasi minimalis, seorang pria tidur terlentang di atas sofa bed bersama putrinya."Dad ...." Jemari mungil Alea meraba dada bidang Rio yang tertutup kaus putih. Aroma bayi yang menyegarkan menguar, menyapa indera penciuman sang ayah.Tiruan Monika itu mengulurkan tangannya, mengelus pelipis pria yang menjadi cinta pertama dalam hidupnya. Sama seperti sang ibu yang suka mencium pipi Rio diam-diam saat tidur, Alea juga melakukan hal yang sama. Dia mendaratkan kecupan sayangnya sekedip mata di rahang kokoh ayahnya yang ditumbuhi cambang tipis.Rio mengangkat kedua alis sebelum balas
"Sweety, ada dua bayi di dalam perutmu?" tanya Rio tidak percaya, menatap Monika dengan pandangan yang penuh binar bahagia. "Kita akan punya twins baby?"Anggukan kepala terlihat, membuat kebahagiaan yang Rio rasakan semakin berlipat-lipat. Dia tidak pernah menyangka kalau dalam satu waktu akan ada dua buah cinta yang melengkapi kebahagiaannya dengan Monika. Seolah semua hanya mimpi, tidak pernah terjadi."Aku juga baru tahu."Rio memeluk istrinya, menyalurkan rasa cinta yang begitu luar biasa. Mereka baru sempat melakukan pemeriksaan kandungan setelah kondisi Rio benar-benar membaik. Observasi lanjutan pasca siuman harus dijalaninya selama dua minggu."Kondisi istri Anda baik, kedua janin di dalam perutnya juga sangat baik. Namun, alangkah baiknya jika porsi makannya ditambah lagi. Kebutuhan gizi dua anak tentu berbeda dengan kehamilan tunggal.""Saya akan memperhatikannya, Dok." Rio menjawab penuturan dokter kandungan di hadapannya dengan bahasa
"Sweety, aku merindukanmu."Suara Rio yang lirih dan dalam berhasil membuat bulu roma Monika meremang seketika. Dia tidak tahu bagaimana bisikan itu bisa membuatnya jadi seperti sekarang ini, hang, blank, tidak bisa berpikir sama sekali."Apa kamu tidak merindukanku?"Melihat Monika tak merespon, Rio sengaja menggelitik perut istrinya, membuat bola mata sipitnya membulat seketika. Dua tangannya langsung menahan tangan Rio yang masih ada di dalam blouse putih yang dipakainya."Hubby?!" Kali ini tatapan tajam yang ia hadiahkan pada suaminya. Tak cukup sampai di sana, Monika juga segera berdiri, menjauh dari jangkauan tangan suaminya yang nakal.Gelak tawa Rio terdengar menggema, merasa bahagia melihat istrinya kembali sadar. Entah pergi ke mana akal sehatnya beberapa saat lalu, terlihat dari wajah cantik yang tampak bodoh."Berhenti bermain-main. Kamu koma satu minggu dan hampir meregang nyawa. Semua orang panik saat detak jantungmu berhenti k
"Rio," panggil Eva, memeriksa Respon putranya yang tampak mengerjapkan mata namun tak membukanya. Jemari tangan Rio bergerak perlahan, menunjukkan kalau kesadarannya sudah mulai kembali. Dia mendengar panggilan ibunya, tapi masih berat untuk melihat dunia di hadapannya. "Rio, kamu dengar ibu?" ulang Eva, menyentuh pipi putra semata wayangnya yang dilaporkan mengalami tanda-tanda akan bangun dari koma. Tak sia-sia dia dibawa ke Jepang dan mendapat perawatan intensif selama satu pekan. Wajah cantik Evalia menjadi pemandangan pertama yang Rio lihat begitu ia membuka mata. Namun, terlihat buram bersamaan rasa nyeri yang terasa di pangkal hidungnya seperti orang bangun tidur. "Dok, kondisi pasien sudah stabil," lapor perawat yang bertugas melakukan observasi lanjutan pada Rio. Eva mengangguk, sekilas melihat angka yang terpampang di monitor. Pandangan selanjutnya tertuju pada tabung ventilator yang tampak berembun semakin banyak, menunjukkan
"Dear," panggil Eva, memeluk bahu menantunya dari samping. Dia menemui Monika di ruangan khusus yang disediakan oleh pihak rumah sakit untuk keluarga pasien. Kondisi Rio yang semakin menurun memaksa Eva harus menyetujui saran suaminya, membawa anak mereka ke negeri sakura untuk mendapat perawatan lebih lanjut. Tidak ada jalan lain. Dia harus mengupayakan penyelamatan yang terbaik untuk putranya."Ayo temui Rio," ajaknya, "kondisinya sudah semakin baik. Kemungkinan hari ini dia akan siuman."Namun, hanya gelengan kepala yang terlihat dari wajah cantik Monika. Pipinya tampak semakin tirus. Dia tidak makan, juga tidak istirahat dengan baik seminggu ke belakang. Pemikirannya tertuju pada Rio. Rasa bersalah masih terus membayang, membuatnya bungkam seribu bahasa."Sayang, sudahi kesedihanmu. Jika kamu terus seperti ini, tidak baik untuk buah hatimu. Dia ikut tertekan dan tidak bahagia di dalam sana."Lagi-lagi gelengan kepala yang tampak di wajah Monika, bersa
"Mommy," panggil Clara, menggoyangkan lengan Liliana dengan gerakan yang cepat dan tidak sabar. Netranya menatap sekeliling, menyadari kalau mereka berada di tempat antah berantah yang sepi dan lengang. Rumput ilalang yang tinggi mengepung mereka yang masih ada di dalam mobil."Ada apa?" Liliana mengerjap matanya dua kali, merasa enggan meladeni panggilan tadi. Tubuhnya terlalu lelah, ingin istirahat sedikit lebih lama lagi. Mereka berkejaran dengan sesuatu yang entah apa, seperti kriminal yang lari dari kejaran polisi. Meski kenyataannya, justru Hans dan orang-orangnya lebih mengerikan dari para petugas berseragam coklat muda itu."Kita ada di mana?""Hmm? Di mana?" Liliana mengambil alih kesadarannya, menatap Clara dengan pandangan heran. Isi kepalanya berputar, mencoba mengingat apa yang terngah terjadi pada mereka. Bukankah Clara yang memesan taksi online ini? Kenapa dia terlihat panik?Dengan enggan Liliana menatap arloji di tangannya, mendapati jaru
"Mom, ayo cepat!" Clara menyeret koper di tangannya dengan tergesa. Dua langkah di belakangnya, tampak Liliana melakukan hal yang sama. Namun, wanita yang tak lagi muda itu tampak kerepotan. Beberapa kali kakinya hampir tersandung kakinya sendiri. "Mommy!" teriak Clara, segera berpindah ke taksi yang lainnya. Dia tidak ingin membuang waktu dan membuat orang-orang suruhan Hans mengejarnya. "Tunggu!" Liliana harus melepas sepatu hak tinggi yang dipakainya dan berjalan tanpa alas kaki untuk menyusul calon menantu kesayangannya. Keduanya kini duduk di kursi belakang taksi yang mereka pesan online sesaat lalu. "Sayang, sebenarnya apa yang kamu dengar? Apa sesuatu yang buruk terjadi? Kenapa kita harus lari?" Liliana yang semakin heran dengan perilaku Clara, tak ayal mengeluarkan pertanyaannya juga. "Kamu gagal menyingkirkan Monika?" Clara langsung membekap mulut Liliana dengan tangannya, takut supir taksi yang ada di balik kemudi mendengarkan percak
"Silakan, Nyona." Perawat yang pergi bersama Monika mempersilakan wanita blasteran yang Eva percayakan padanya untuk masuk ke dalam ruangan ICU. Baju hijau menempel di tubuhnya yang tetap terlihat kurus meski berbadan dua. "Aku boleh masuk?" Monika masih setengah tak percaya bisa menemui suaminya. "Sebenarnya, belum diizinkan jika kondisi pasien belum lepas dari kondisi kritis. Tapi, karena ini permintaan dokter Eva, kami tidak bisa menyangkalnya. Beliau pasti lebih tahu. Mungkin Anda bisa membuat suami Anda bangun dari komanya." "Dia koma?! Tapi ibu tidak ... " Bulir hangat luruh di wajah Monika, bersamaan dengan tangan yang menutup rapat mulutnya. Dia tidak bisa berkomentar lebih banyak. Eva tidak mengatakan hal itu, bahkan terlihat tenang dan tidak menitikkan air mata sama sekali. Perawat dengan pakaian hijau itu tampak terhenyak di posisinya. Dia tidak tahu jika pernyataan yang terlontar dari mulutnya akan melukai Monika. "Maaf, Ny
"Kamu siap mendengar penjelasanku, Sayang?" Eva menatap Monika, berharap menantunya cukup tegar dan tidak tumbang. Ada hal yang harus ia sampaikan sebagai seorang dokter kepada keluarga pasien."Katakan saja! Jangan membuatku penasaran!" Bukannya Monika yang menjawab, tapi suara Hans-lah yang terdengar menggema di ruang konsultasi.Eva mengembuskan napas berat. Dia tahu tabiat dan temperamen suaminya, to the point dan tidak suka berbelit-belit. Berbeda dengan pembawaan Monika yang cenderung lemah dan mulai terlihat pucat wajahnya."Sayang?" Eva masih bersikeras, memastikan kesiapan hati dan indera pendengaran wanita cantik yang lagi-lagi meneteskan air mata tanpa suara."Aku baik-baik saja, Bu." Suara bergetar dari mulut Monika berhasil membuat Hans menoleh. Lagi-lagi dia melihat sisi lemah wanita, membuatnya membuang muka karena tidak nyaman. Hatinya terasa sakit, merasa tidak bisa menjaga mereka dengan baik. Seolah-olah tangisan Monika ini disebabkan ol