Monika masih menatap langit gelap di luar sana saat Rio keluar dari kamar mandi. Dia baru saja pulang bekerja, hanya sekadar membasuh wajah sebelum menemui istrinya.
Tubuhnya berbalut kemeja hitam dengan dasi biru laut yang tampak kontras. Sisa parfum di tubuhnya menguar saat kemeja itu dibuka. Perut kotaknya terekspose sempurna, membuat wanita mana saja pasti tergoda.
Namun hal itu tampaknya tidak berlaku bagi Monika. Wanita dengan surai pirang sebatas bahu itu tak tertarik sama sekali. Tubuhnya tetap tersembunyi di dalam selimut, tak terusik sama sekali dengan kehadiran suaminya yang begitu menggoda iman.
"Sudah mengantuk, Sweety?" tanya Rio, mendekat ke arah Monika dan mencium keningnya dengan sayang. Aroma feromon yang kuat menyapa indera penciuman istrinya yang tengah berbaring di atas ranjang.
Monika tak menjawab, hanya melempar senyum hambar melalui sudut bibirnya yang sedikit naik ke atas. Fokusnya terpecah, tidak peduli dengan perlakuan manis dar
WARNING! 21+ NOT FOR CHILD * * * "Sweety, aku bisa menjelaskannya." Monika membuang wajah. Seharusnya dia tahu kalau tidak akan ada masalah tanpa penyebab. Dan masalah fotonya dengan Devan yang beredar di internet, itu mungkin juga sebagai salah satu balasan karena Rio mengusik kehidupan orang lain. "Tunggu di sini. Aku ambil sesuatu." Rio meraih tangan Monika dan membawanya ke depan dada, takut wanita ini akan marah dan meninggalkannya lagi. Meski kasusnya berbeda, namun bisa saja memicu keinginan gadis ini untuk mengakhiri hubungan mereka yang masih dalam tahap percobaan. Ujung netra sipit itu kehilangan sosok Rio yang berlari keluar kamar dengan tergesa, menuju ruang kerjanya di sebelah ruang tamu. Hanya dalam hitungan detik, dia kembali membawa tablet dan album foto yang entah dari mana asalnya. "Apa ini?" tanya wanita yang mau tak mau menerima uluran dari tangan sang suami. Dia membukanya
Senja menghilang di ujung asa, meninggalkan luka tak kasat mata yang menyayat hati seorang pria. Sosoknya yang tak terlalu tinggi berdiri di dekat jendela, menyesap gulungan tembakau di tangannya dalam-dalam. Asap putih ia buang ke udara, berharap bisa mengangkat sedikit lara di hatinya."Baby, sorry," lirihnya hampir tak terdengar. Kepalanya tertunduk, menatap jalanan ibukota di luar sana yang mulai ramai oleh kendaraan.Memori di kepalanya kembali berputar, mengisahkan dimana ia sempat berlarian bersama Monika mengejar bus kota bertahun-tahun silam. Dua muda mudi berseragam putih abu-abu yang belum tahu kerasnya dunia. Senyum dan tawanya masih melekat jelas di kepala seorang Devan Mahendra."Aku berharap kita kembali ke masa lalu. Itu bodoh, 'kan?" gumamnya sinis, menertawakan diri sendiri."Jika saja aku tidak tergoda kenikmatan sesaat bersama Lisa, mungkinkah kita masih bisa bersama, Baby?"Hening.Tak ada yang menjawab karena Devan seor
Holla readers tercinta. Gimana kabarnya nih? Weekend bareng keluarga, sahabat, pacar halal, atau sendiri? Ehmm, yang terakhir itu si Author yaa, haha. Big love and thanks buat kalian semua yang masih mau baca karya unfaedah ini sampai sekarang. Suka duka banyak, tapi resiko pekerjaan yaa. Karena memang menulis ini Author anggap sebagai pekerjaa jadi sebisa mungkin akan menampilkan yang terbaik. Terima kasih untuk kakak semua yang sudah mau meluangkan waktu, kesempatan, dan koinnya untuk saya yang bukan siapa-siapa. Jadi sebagai rasa terima kasih dari author untuk kalian semua, ada lah give away ecek-ecek ini, wkwk. Maaf kalau belum bisa kasih ke semua orang yaa. Author udah pilih 7 orang. Nanti bisa DM ke akun sosmed hanazawa.easzy atau wa di +62. 898. 0767. 250 (duh ini kena sensor nggak yaa. Heuheuu) Ini free bebas, dan sudah diperbolehkan oleh pihak Good Novel melalui konsultasi ke editor. Karena hanya beberapa akun yang memenuhi rule
WARNING! 18+BUKAN UNTUK DITIRU!* * *Devan membuka pintu restoran tempat kakinya berpijak. Kedua netranya menatap sekeliling, mencari keberadaan wanita yang lima belas menit lalu menghubunginya.Berbagai perasaan tidak nyaman segera menghantuinya, namun berusaha ia tepis dan tidak terlalu overthinking tentang apa yang terjadi. Toh, nasi sudah menjadi bubur. Dia tidak bisa mencegah rencana jahat Clara."Dev!" panggil seorang wanita, melambaikan tangan bersamaan dengan senyum lebar di wajahnya. Dia mengenakan pakaian kurang bahan, menampakkan bahu mulusnya yang bisa membuat pria mana saja tergoda. Termasuk Devan tentunya.Untuk sesaat Devan menghentikan langkahnya, mengambil napas dalam sebelum mendekat ke arah Clara. Detak jantungnya semakin cepat, merasa tertantang melihat penampakan wanita cantik di depan sana. Dia pria normal dengan keinginan besar. Namun demi Monika, Devan bertekad tidak akan tergoda pada wanita lainnya."Aku pikir
MATURE CONTENT! NOT FOR CHILD!* * *Monika memegangi pinggangnya yang serasa hampir patah. Beberapa kali keningnya mengernyit, bersamaan dengan bibir bawahnya yang ia gigit kuat-kuat. Ujung matanya menangkap sosok Rio yang kini tidur berbalut selimut di sampingnya."Dasar maniak!" ketus wanita yang kini sibuk mengikat tali kimono di depan perut. Tubuh rampingnya beranjak bangun, memunguti piyama yang berserak di lantai dan meletakkannya ke dalam keranjang pakaian kotor.Dengan langkah lemah, Monika meninggalkan kamar utama yang menjadi saksi tautan hasrat liarnya dengan sang Suami. Dia tidak bisa menolak pesona pria yang kini tertidur lelap setelah melepaskan benih ke dalam rahimnya.Langkah kaki wanita berbadan dua itu menuju bagian belakang dapur dan mulai memasukkan satu per satu pakaian ke dalam mesin cuci. Tubuhnya yang kecil hampir tak berisi tak membuatnya bermalas-malasan untuk mengerjakan pekerjaan rumah. Terlebih besok ia masuk shift pag
"Aku akan segera ke sana. Minta Maria untuk bersiaga," tukas Rio, berbicara melalui alat bantu dengar di telinganya. Leo menghubunginya sesaat lalu, memberikan laporan terkait proses akuisisi yang tengah ia tangani dan satu masalah baru lainnya.Satu tangannya sibuk memegang kemudi, sedang yang lain mencabut earphone dan meletakkannya di atas dashboard."Sudah. Berhenti di sini saja," pinta Monika yang membuat Rio menekan pedal rem secepat mungkin. Audi R8 itu terhenti seketika di tepi jalan."Tapi tempat kerjamu masih 100 meter di depan.""Aku mau jalan kaki," jawabnya sambil melepas seat belt.Rio mengembuskan napas berat dari mulutnya."Tidak bisakah kamu berhenti saja dari pekerjaanmu, Sweety?""Huh?" Monika yang bersiap membuka pintu, mengurungkan niatnya. Wajahnya menoleh ke belakang, menatap sang Suami dengan pandangan heran. "Kenapa?"Rio meraih tangan Monika dan menciumnya sekilas."Aku hanya tidak ingin kamu ke
"Tuan. Gawat!" Leo masuk ke dalam ruangan tanpa mengetuk pintunya terlebih dahulu. Napasnya yang masih tersengal menandakan kalau dia berlari dengan sekuat tenaga, tak ingin membuang waktu lebih lama. Satu detik terasa begitu berharga."Ada apa?" Rio menoleh, terpaksa menghentikan tawa renyah yang sebelumnya keluar dari mulutnya. Begitu juga dengan Hans, langsung memasang wajah tanpa ekspresi andalannya. Dia juga menantikan jawaban Leo."Nyonya Liliana kembali. Beliau datang bersama nona Clara. Bagian keamanan berusaha mencegahnya tapi beliau memaksa masuk untuk menemui Anda.""Menemuiku?" Rio menunjuk hidungnya sendiri, "Atau ayah?""Nyonya mengatakan ingin bertemu Anda. Sepertinya beliau tahu kalau Anda kembali mengurus perusahaan." Leo masih terengah, berusaha meraup oksigen untuk masuk ke dalam paru-paru.Sekilas Rio dan Hans saling pandang tanpa bersuara."Biarkah dia masuk," ucap Rio dan Hans bersamaan. Keduanya memiliki pemikiran yang
"Apa rencanamu?" tanya Hans, duduk di kursi yang Liliana tinggalkan. Dengan wajah penuh tanya, pria yang tak lagi muda itu menatap putra semata wayangnya."Ayah tidak perlu tahu. Cukup diam dan lihat saja. Orang-orang yang menyakiti ibu dan istriku, tidak akan aku biarkan begitu saja. Aku ingin membuat mereka merasakan lebih baik pergi ke neraka." Jemari Rio masih tetap menari di atas keyboard saat mengungkapkan tekadnya.K Kilat matanya terlihat tajam, sangat yakin dengan rencana yang telah ia siapkan.Terpisah meja, Hans menaikkan satu alis matanya. Dia masih meraba-raba kemana Rio akan membawa obrolan mereka. Meski dia tidak menjelaskan detail rencananya, Hans ingin tahu lebih banyak."Kamu membuat jebakan lain untuk mereka?" Senyum miring kini terbit di wajah Rio Dirgantara. Dia tidak bisa menyembunyikan semangatnya."Bukan hanya jebakan. Aku akan membuat mereka tidak akan pernah mengganggu ibu dan Monika lagi. Seumur hidupnya.""Semoga nasib ba
Tiga tahun kemudian ...."Daddy," panggil gadis dua setengah tahun yang kini memanjat dada bidang ayahnya."Hmm. Alea?" Rio mengerjapkan mata, namun belum membukanya. Dia masih dikuasai kantuk dan ingin terpejam sebentar lagi.Mentari bersinar hangat di musim semi, bersamaan dengan aroma bunga sakura yang diam-diam menelisik hidung. Di sebuah hunian mewah dengan dekorasi minimalis, seorang pria tidur terlentang di atas sofa bed bersama putrinya."Dad ...." Jemari mungil Alea meraba dada bidang Rio yang tertutup kaus putih. Aroma bayi yang menyegarkan menguar, menyapa indera penciuman sang ayah.Tiruan Monika itu mengulurkan tangannya, mengelus pelipis pria yang menjadi cinta pertama dalam hidupnya. Sama seperti sang ibu yang suka mencium pipi Rio diam-diam saat tidur, Alea juga melakukan hal yang sama. Dia mendaratkan kecupan sayangnya sekedip mata di rahang kokoh ayahnya yang ditumbuhi cambang tipis.Rio mengangkat kedua alis sebelum balas
"Sweety, ada dua bayi di dalam perutmu?" tanya Rio tidak percaya, menatap Monika dengan pandangan yang penuh binar bahagia. "Kita akan punya twins baby?"Anggukan kepala terlihat, membuat kebahagiaan yang Rio rasakan semakin berlipat-lipat. Dia tidak pernah menyangka kalau dalam satu waktu akan ada dua buah cinta yang melengkapi kebahagiaannya dengan Monika. Seolah semua hanya mimpi, tidak pernah terjadi."Aku juga baru tahu."Rio memeluk istrinya, menyalurkan rasa cinta yang begitu luar biasa. Mereka baru sempat melakukan pemeriksaan kandungan setelah kondisi Rio benar-benar membaik. Observasi lanjutan pasca siuman harus dijalaninya selama dua minggu."Kondisi istri Anda baik, kedua janin di dalam perutnya juga sangat baik. Namun, alangkah baiknya jika porsi makannya ditambah lagi. Kebutuhan gizi dua anak tentu berbeda dengan kehamilan tunggal.""Saya akan memperhatikannya, Dok." Rio menjawab penuturan dokter kandungan di hadapannya dengan bahasa
"Sweety, aku merindukanmu."Suara Rio yang lirih dan dalam berhasil membuat bulu roma Monika meremang seketika. Dia tidak tahu bagaimana bisikan itu bisa membuatnya jadi seperti sekarang ini, hang, blank, tidak bisa berpikir sama sekali."Apa kamu tidak merindukanku?"Melihat Monika tak merespon, Rio sengaja menggelitik perut istrinya, membuat bola mata sipitnya membulat seketika. Dua tangannya langsung menahan tangan Rio yang masih ada di dalam blouse putih yang dipakainya."Hubby?!" Kali ini tatapan tajam yang ia hadiahkan pada suaminya. Tak cukup sampai di sana, Monika juga segera berdiri, menjauh dari jangkauan tangan suaminya yang nakal.Gelak tawa Rio terdengar menggema, merasa bahagia melihat istrinya kembali sadar. Entah pergi ke mana akal sehatnya beberapa saat lalu, terlihat dari wajah cantik yang tampak bodoh."Berhenti bermain-main. Kamu koma satu minggu dan hampir meregang nyawa. Semua orang panik saat detak jantungmu berhenti k
"Rio," panggil Eva, memeriksa Respon putranya yang tampak mengerjapkan mata namun tak membukanya. Jemari tangan Rio bergerak perlahan, menunjukkan kalau kesadarannya sudah mulai kembali. Dia mendengar panggilan ibunya, tapi masih berat untuk melihat dunia di hadapannya. "Rio, kamu dengar ibu?" ulang Eva, menyentuh pipi putra semata wayangnya yang dilaporkan mengalami tanda-tanda akan bangun dari koma. Tak sia-sia dia dibawa ke Jepang dan mendapat perawatan intensif selama satu pekan. Wajah cantik Evalia menjadi pemandangan pertama yang Rio lihat begitu ia membuka mata. Namun, terlihat buram bersamaan rasa nyeri yang terasa di pangkal hidungnya seperti orang bangun tidur. "Dok, kondisi pasien sudah stabil," lapor perawat yang bertugas melakukan observasi lanjutan pada Rio. Eva mengangguk, sekilas melihat angka yang terpampang di monitor. Pandangan selanjutnya tertuju pada tabung ventilator yang tampak berembun semakin banyak, menunjukkan
"Dear," panggil Eva, memeluk bahu menantunya dari samping. Dia menemui Monika di ruangan khusus yang disediakan oleh pihak rumah sakit untuk keluarga pasien. Kondisi Rio yang semakin menurun memaksa Eva harus menyetujui saran suaminya, membawa anak mereka ke negeri sakura untuk mendapat perawatan lebih lanjut. Tidak ada jalan lain. Dia harus mengupayakan penyelamatan yang terbaik untuk putranya."Ayo temui Rio," ajaknya, "kondisinya sudah semakin baik. Kemungkinan hari ini dia akan siuman."Namun, hanya gelengan kepala yang terlihat dari wajah cantik Monika. Pipinya tampak semakin tirus. Dia tidak makan, juga tidak istirahat dengan baik seminggu ke belakang. Pemikirannya tertuju pada Rio. Rasa bersalah masih terus membayang, membuatnya bungkam seribu bahasa."Sayang, sudahi kesedihanmu. Jika kamu terus seperti ini, tidak baik untuk buah hatimu. Dia ikut tertekan dan tidak bahagia di dalam sana."Lagi-lagi gelengan kepala yang tampak di wajah Monika, bersa
"Mommy," panggil Clara, menggoyangkan lengan Liliana dengan gerakan yang cepat dan tidak sabar. Netranya menatap sekeliling, menyadari kalau mereka berada di tempat antah berantah yang sepi dan lengang. Rumput ilalang yang tinggi mengepung mereka yang masih ada di dalam mobil."Ada apa?" Liliana mengerjap matanya dua kali, merasa enggan meladeni panggilan tadi. Tubuhnya terlalu lelah, ingin istirahat sedikit lebih lama lagi. Mereka berkejaran dengan sesuatu yang entah apa, seperti kriminal yang lari dari kejaran polisi. Meski kenyataannya, justru Hans dan orang-orangnya lebih mengerikan dari para petugas berseragam coklat muda itu."Kita ada di mana?""Hmm? Di mana?" Liliana mengambil alih kesadarannya, menatap Clara dengan pandangan heran. Isi kepalanya berputar, mencoba mengingat apa yang terngah terjadi pada mereka. Bukankah Clara yang memesan taksi online ini? Kenapa dia terlihat panik?Dengan enggan Liliana menatap arloji di tangannya, mendapati jaru
"Mom, ayo cepat!" Clara menyeret koper di tangannya dengan tergesa. Dua langkah di belakangnya, tampak Liliana melakukan hal yang sama. Namun, wanita yang tak lagi muda itu tampak kerepotan. Beberapa kali kakinya hampir tersandung kakinya sendiri. "Mommy!" teriak Clara, segera berpindah ke taksi yang lainnya. Dia tidak ingin membuang waktu dan membuat orang-orang suruhan Hans mengejarnya. "Tunggu!" Liliana harus melepas sepatu hak tinggi yang dipakainya dan berjalan tanpa alas kaki untuk menyusul calon menantu kesayangannya. Keduanya kini duduk di kursi belakang taksi yang mereka pesan online sesaat lalu. "Sayang, sebenarnya apa yang kamu dengar? Apa sesuatu yang buruk terjadi? Kenapa kita harus lari?" Liliana yang semakin heran dengan perilaku Clara, tak ayal mengeluarkan pertanyaannya juga. "Kamu gagal menyingkirkan Monika?" Clara langsung membekap mulut Liliana dengan tangannya, takut supir taksi yang ada di balik kemudi mendengarkan percak
"Silakan, Nyona." Perawat yang pergi bersama Monika mempersilakan wanita blasteran yang Eva percayakan padanya untuk masuk ke dalam ruangan ICU. Baju hijau menempel di tubuhnya yang tetap terlihat kurus meski berbadan dua. "Aku boleh masuk?" Monika masih setengah tak percaya bisa menemui suaminya. "Sebenarnya, belum diizinkan jika kondisi pasien belum lepas dari kondisi kritis. Tapi, karena ini permintaan dokter Eva, kami tidak bisa menyangkalnya. Beliau pasti lebih tahu. Mungkin Anda bisa membuat suami Anda bangun dari komanya." "Dia koma?! Tapi ibu tidak ... " Bulir hangat luruh di wajah Monika, bersamaan dengan tangan yang menutup rapat mulutnya. Dia tidak bisa berkomentar lebih banyak. Eva tidak mengatakan hal itu, bahkan terlihat tenang dan tidak menitikkan air mata sama sekali. Perawat dengan pakaian hijau itu tampak terhenyak di posisinya. Dia tidak tahu jika pernyataan yang terlontar dari mulutnya akan melukai Monika. "Maaf, Ny
"Kamu siap mendengar penjelasanku, Sayang?" Eva menatap Monika, berharap menantunya cukup tegar dan tidak tumbang. Ada hal yang harus ia sampaikan sebagai seorang dokter kepada keluarga pasien."Katakan saja! Jangan membuatku penasaran!" Bukannya Monika yang menjawab, tapi suara Hans-lah yang terdengar menggema di ruang konsultasi.Eva mengembuskan napas berat. Dia tahu tabiat dan temperamen suaminya, to the point dan tidak suka berbelit-belit. Berbeda dengan pembawaan Monika yang cenderung lemah dan mulai terlihat pucat wajahnya."Sayang?" Eva masih bersikeras, memastikan kesiapan hati dan indera pendengaran wanita cantik yang lagi-lagi meneteskan air mata tanpa suara."Aku baik-baik saja, Bu." Suara bergetar dari mulut Monika berhasil membuat Hans menoleh. Lagi-lagi dia melihat sisi lemah wanita, membuatnya membuang muka karena tidak nyaman. Hatinya terasa sakit, merasa tidak bisa menjaga mereka dengan baik. Seolah-olah tangisan Monika ini disebabkan ol