"Berhenti di depan. Cukup sampai di sini saja," ucap Monika, meminta Maria menghentikan Audi R8 warna hitam yang dikendarainya.
"Tapi, Nona. Tempat kerja Anda masih dua ratus meter ke depan."
"Tidak masalah. Aku bisa jalan kaki dari sini."
Maria tidak yakin dengan perintah wanita di kursi belakang. Meski ia melambatkan laju mobil mewah ini, tapi nyatanya tak langsung berhenti begitu saja.
"Maria, tolong berhenti sekarang!"
Maria sedikit terhenyak, mengmati wajah nonanya melalui kaca spion di hadapannya.
"Ah, maaf. Baik. Saya akan menghentikannya sekarang." Mau tak mau, wanita berpakaian serba hitam ini menginjak pedal rem dengan kakinya. Dia tidak bisa membantah perintah Monika lagi.
"Kamu bisa kembali." Monika membenahi penampilannya sejenak, sebelum bersiap membuka pintu di sisi kirinya.
"Tunggu, Nona." Maria sibuk mengambil sebuah paperbag yang sedari tadi teronggok di atas kursi depan yang kosong. Dia mendapatkan b
Monika berjalan gontai keluar dari minimarket tempatnya bekerja. Hatinya terasa sesak mengingat pemutusan hubungannya dengan Devan pagi ini. Jujur saja, wanita 26 tahun ini tidak rela melepaskan pria yang sudah membersamainya selama bertahun-tahun. Mereka tidak pernah bertengkar sekali pun. Lalu, tiba-tiba hubungan keduanya kandas begitu saja karena orang ketiga. Tentu saja Monika belum bisa merelakan hal itu. "Kenapa jadi seperti ini?" lirih Monika, berjongkok sambil memegangi dadanya yang terasa sakit. Dia menyibukkan diri dengan pekerjaannya di toko, bahkan mengabaikan waktu istirahat agar tidak teringat pada Devan. Tapi kenyataannya, sekarang dia ingat lagi saat pekerjaannya sudah selesai. "Nona. Apa Anda sakit?" Dari kejauhan, Maria tampak berjalan cepat menghampiri Monika. Dia takut sesuatu yang buruk terjadi pada nona yang menjadi tanggung jawabnya ini. Hening. Monika tak menjawab. Remasan di kemejanya semakin erat, menandakan bahwa dia tidak bisa meng
Monika duduk di depan cermin besar yang tertanam di dinding. Sebuah kain melingkupi tubuh bagian atasnya, bersiap dirapikan potongan rambutnya. Sebuah anting berlian menghiasi sepasang indera pendengarannya. Mereka meninggalkan galeri perhiasan itu beberapa menit yang lalu dan sekarang ada di sebuah salon untuk memperbaiki penampilan wanita ini. "Potongan seperti yang Anda inginkan, Nona?" tanya seorang wanita yang bersiap menata rambut kuning kecoklatan di hadapannya. "Aku tidak ingin memotongnya, tolong rapikan saja ujung-ujungnya." Monika melirik Rio sekilas, sebelum menjawab pertanyaan wanita ini. Rio tak ikut berkomentar. Dia duduk memangku lutut, memperhatikan Monika yang berjarak tiga meter darinya. Rambutnya yang tergerai indah, menambah nilai kecantikannya sebagai seorang wanita. "Ini, Tuan." Leo mendekat, menyerahkan sebuah tablet di tangannya pada Rio. Disana terpampang laporan keuangan yang sebelumnya ia minta, tentunya dengan beberapa pen
"Apa dia begitu memanjakan Anda?" Seketika wajah cantik itu merah merona. Pergulatan panasnya dengan Rio kembali terbayang. Pria itu bukan hanya kuat di atas ranjang, bahkan bisa melakukannya dengan berdiri seperti yang terjadi di ruang ganti kemarin. "Ah, maaf atas ketidaksopanan saya." Wanita itu tampak merasa bersalah, telah bertanya sesuatu yang tidak sepantasnya. Monika tersenyum hambar, tidak tahu bagaimana cara menyikapi wanita ini yang sepertinya kelepasan bicara. "Tolong maafkan saya." "Tidak apa-apa. Lanjutkan saja pekerjaan Anda. Kami harus ada di bandara pukul lima sore nanti." "Baik-baik. Saya akan segera menyelesaikannya," ucapnya setelah mengamati jam dinding di atas cermin. Masih ada dua jam kedepan sebelum waktu yang pelanggannya ini ucapkan. Jadi cukup waktu untuk menyelesaikan pekerjaannya. "Anda asli lahir di sini atau...?" Kalimat wanita ini menggantung, ragu-ragu dengan tebakannya. Dari wajah dan warna ram
Sebuah pesawat yang terbang dari Singapura baru saja mendarat. Beberapa petugas tampak sibuk, memberi bantuan bagi para penumpang first class mereka untuk mengambilkan barang bawaan yang tersimpan di atas kabin. Seorang petugas berjaga di depan pintu keluar, memberikan ucapan selamat tinggal pada penumpang yang mulai meninggalkan burung besi ini. "Silakan, Nona, Nyonya. Semoga selamat sampai tujuan Anda berikutnya." Wanita dengan pakaian serba biru itu menangkupkan tangan di depan dada, tersenyum ramah pada nyonya Liliana dan gadis yang bergandeng tangan dengannya. "Mommy, aku lapar." Clara merajuk, menggoyangkan lengan wanita paruh baya yang berjalan di sampingnya. Nyonya Liliana tersenyum. "Tunggu sebentar lagi. Kita akan makan bersama Rio." "Aah, iya. Aku hampir lupa." Clara mengambil ujung rambut ikal miliknya dan memilin benda itu sambil tersenyum. Berbagai bayangan indah tergambar di dalam kepalanya. Dia membayangkan Rio yang akan menyambutnya d
WARNING!! 18+ Rio mengajak Monika makan di sebuah restoran mewah bintang lima bersama nyonya Liliana dan juga Clara. Keempatnya duduk di meja yang sama, tentu saja dengan posisi Monika di dekat Rio. Itu sengaja Rio lakukan untuk membuat ibu tirinya marah. Sepanjang perjalanan menuju tempat ini, Rio terus menggandeng tangan Monika. "Mau pesan apa, Sweety?" tanya Rio, membukakan buku menu yang diberikan oleh salah satu pelayan di tempat ini. "Aku bisa makan apa saja," jawabnya lirih. Rio tersenyum, mengelus puncak kepala istrinya dengan sayang, membuat Monika sedikit menundukkan kepalanya. "Berikan kami dua porsi menu spesial yang kalian miliki." Rio berkata dengan ramah pada pelayan wanita berpakaian hitam putih itu. "Bagaimana dengan Nona dan Nyonya? Mau pesan apa?" "Aku tidak lapar!" ketus nyonya Liliana, tidak sudi makan satu meja dengan wanita yang menurutnya tidak pantas ini. 'Dasar wanita jalang!' umpat wanita lima
WARNING!!!! 21+ NOT FOR CHILD * * * Rio mengingat kejadian satu jam lalu, bagaimana obat perangsang itu bisa Monika konsumsi. Seorang pramusaji mengantar makanan yang Rio pesan sebelumnya. Wanita itu pergi setelah memastikan tidak ada komplain ataupun permintaan lain dari pelanggan VVIP ini. Rio menatap jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Sudah lima menit Monika pergi tapi wanita itu tak jua kembali. "Apa dia marah padaku?" gumam Rio, kembali mengingat eksresi wajah Monika yang tampak begitu menyeramkan tepat sebelum ia pergi. "Apa yang harus aku lakukan untuk membuatnya setuju berakting di depan Liliana?" Rio sedikit frustasi, mengingat hubungannya dengan Monika kembali memburuk. Entah kenapa interaksi mereka berdua masih labil, pasang surut hanya dalam hitungan detik. "Haruskah aku menggunakan jalan pintas itu lagi?" Rio kembali mengingat apa yang pernah ia lakukan pada Monika tempo hari, mencampur se
Tubuh Monika bergetar semakin hebat. Bulir-bulir keringat terus membanjiri pelipisnya. Seluruh tubuhnya bereaksi setelah mendapat sentuhan tangan Rio barusan. Obat perangsang yang ada terkandung dalam makanan dan minuman yang ia konsumsi, sudah aktif bekerja meningkatkan hormon libido di tubuhnya hingga ke batas maksimal. "Apa yang harus aku lakukan?" gumam Rio. Tangannya mencengkeram kemudi erat-erat, bingung dengan apa yang harus dilakukan untuk menolong istrinya. Rio tidak menyangka akan seperti ini jadinya. Tujuan awalnya adalah agar Monika bisa memuaskan hasratnya sekaligus memprovokasi Liliana dan Clara. Tapi, ternyata wanita ini mempertahankan harga diri yang dimilikinya, tak ingin menyerah begitu saja. Monika berpikir lebih baik membiarkan tubuhnya menderita daripada harus menuntaskan hasratnya dengan Sang Suami. Gemeletuk gigi-gigi Monika terdengar jelas, menandakan bahwa gelombang di dalam tubuhnya semakin hebat. Monika semakin erat memeluk lenganny
"Apa kamu ingin membunuh istrimu?" Rio bungkam. Dia tidak menyangka tindakannya akan membahayakan nyawa Monika. Dia tidak tahu efek obat perangsang yang ia berikan akan membuat istrinya begitu menderita. Pram mengembuskan napas beratnya, menatap wajah pria paling bodoh yang pernah ditemuinya. "Kamu bisa melihat dengan mata kepalamu sendiri betapa menyedihkannya keadaan istrimu. Ku pikir kamu sendiri pernah merasakan hal itu. Kenapa sampai berbuat bodoh seperti ini, huh?" "Obat perangsang bukan zat yang bisa kamu gunakan sembarangan. Itu bisa menyebabkan penyakit jantung, tekanan darah rendah atau tinggi yang tidak terkontrol, gangguan penglihatan, sirosis atau gangguan hati yang kronis, bahkan sampai gangguan ginjal yang nantinya mengharuskan penderitanya untuk cuci darah selama sisa hidupnya." Rio menundukkan kepalanya dalam-dalam. Dia tidak berniat menyakiti Monika sama sekali. Dia hanya ingin membuat wanita itu bersikap liar seperti sebelum
Tiga tahun kemudian ...."Daddy," panggil gadis dua setengah tahun yang kini memanjat dada bidang ayahnya."Hmm. Alea?" Rio mengerjapkan mata, namun belum membukanya. Dia masih dikuasai kantuk dan ingin terpejam sebentar lagi.Mentari bersinar hangat di musim semi, bersamaan dengan aroma bunga sakura yang diam-diam menelisik hidung. Di sebuah hunian mewah dengan dekorasi minimalis, seorang pria tidur terlentang di atas sofa bed bersama putrinya."Dad ...." Jemari mungil Alea meraba dada bidang Rio yang tertutup kaus putih. Aroma bayi yang menyegarkan menguar, menyapa indera penciuman sang ayah.Tiruan Monika itu mengulurkan tangannya, mengelus pelipis pria yang menjadi cinta pertama dalam hidupnya. Sama seperti sang ibu yang suka mencium pipi Rio diam-diam saat tidur, Alea juga melakukan hal yang sama. Dia mendaratkan kecupan sayangnya sekedip mata di rahang kokoh ayahnya yang ditumbuhi cambang tipis.Rio mengangkat kedua alis sebelum balas
"Sweety, ada dua bayi di dalam perutmu?" tanya Rio tidak percaya, menatap Monika dengan pandangan yang penuh binar bahagia. "Kita akan punya twins baby?"Anggukan kepala terlihat, membuat kebahagiaan yang Rio rasakan semakin berlipat-lipat. Dia tidak pernah menyangka kalau dalam satu waktu akan ada dua buah cinta yang melengkapi kebahagiaannya dengan Monika. Seolah semua hanya mimpi, tidak pernah terjadi."Aku juga baru tahu."Rio memeluk istrinya, menyalurkan rasa cinta yang begitu luar biasa. Mereka baru sempat melakukan pemeriksaan kandungan setelah kondisi Rio benar-benar membaik. Observasi lanjutan pasca siuman harus dijalaninya selama dua minggu."Kondisi istri Anda baik, kedua janin di dalam perutnya juga sangat baik. Namun, alangkah baiknya jika porsi makannya ditambah lagi. Kebutuhan gizi dua anak tentu berbeda dengan kehamilan tunggal.""Saya akan memperhatikannya, Dok." Rio menjawab penuturan dokter kandungan di hadapannya dengan bahasa
"Sweety, aku merindukanmu."Suara Rio yang lirih dan dalam berhasil membuat bulu roma Monika meremang seketika. Dia tidak tahu bagaimana bisikan itu bisa membuatnya jadi seperti sekarang ini, hang, blank, tidak bisa berpikir sama sekali."Apa kamu tidak merindukanku?"Melihat Monika tak merespon, Rio sengaja menggelitik perut istrinya, membuat bola mata sipitnya membulat seketika. Dua tangannya langsung menahan tangan Rio yang masih ada di dalam blouse putih yang dipakainya."Hubby?!" Kali ini tatapan tajam yang ia hadiahkan pada suaminya. Tak cukup sampai di sana, Monika juga segera berdiri, menjauh dari jangkauan tangan suaminya yang nakal.Gelak tawa Rio terdengar menggema, merasa bahagia melihat istrinya kembali sadar. Entah pergi ke mana akal sehatnya beberapa saat lalu, terlihat dari wajah cantik yang tampak bodoh."Berhenti bermain-main. Kamu koma satu minggu dan hampir meregang nyawa. Semua orang panik saat detak jantungmu berhenti k
"Rio," panggil Eva, memeriksa Respon putranya yang tampak mengerjapkan mata namun tak membukanya. Jemari tangan Rio bergerak perlahan, menunjukkan kalau kesadarannya sudah mulai kembali. Dia mendengar panggilan ibunya, tapi masih berat untuk melihat dunia di hadapannya. "Rio, kamu dengar ibu?" ulang Eva, menyentuh pipi putra semata wayangnya yang dilaporkan mengalami tanda-tanda akan bangun dari koma. Tak sia-sia dia dibawa ke Jepang dan mendapat perawatan intensif selama satu pekan. Wajah cantik Evalia menjadi pemandangan pertama yang Rio lihat begitu ia membuka mata. Namun, terlihat buram bersamaan rasa nyeri yang terasa di pangkal hidungnya seperti orang bangun tidur. "Dok, kondisi pasien sudah stabil," lapor perawat yang bertugas melakukan observasi lanjutan pada Rio. Eva mengangguk, sekilas melihat angka yang terpampang di monitor. Pandangan selanjutnya tertuju pada tabung ventilator yang tampak berembun semakin banyak, menunjukkan
"Dear," panggil Eva, memeluk bahu menantunya dari samping. Dia menemui Monika di ruangan khusus yang disediakan oleh pihak rumah sakit untuk keluarga pasien. Kondisi Rio yang semakin menurun memaksa Eva harus menyetujui saran suaminya, membawa anak mereka ke negeri sakura untuk mendapat perawatan lebih lanjut. Tidak ada jalan lain. Dia harus mengupayakan penyelamatan yang terbaik untuk putranya."Ayo temui Rio," ajaknya, "kondisinya sudah semakin baik. Kemungkinan hari ini dia akan siuman."Namun, hanya gelengan kepala yang terlihat dari wajah cantik Monika. Pipinya tampak semakin tirus. Dia tidak makan, juga tidak istirahat dengan baik seminggu ke belakang. Pemikirannya tertuju pada Rio. Rasa bersalah masih terus membayang, membuatnya bungkam seribu bahasa."Sayang, sudahi kesedihanmu. Jika kamu terus seperti ini, tidak baik untuk buah hatimu. Dia ikut tertekan dan tidak bahagia di dalam sana."Lagi-lagi gelengan kepala yang tampak di wajah Monika, bersa
"Mommy," panggil Clara, menggoyangkan lengan Liliana dengan gerakan yang cepat dan tidak sabar. Netranya menatap sekeliling, menyadari kalau mereka berada di tempat antah berantah yang sepi dan lengang. Rumput ilalang yang tinggi mengepung mereka yang masih ada di dalam mobil."Ada apa?" Liliana mengerjap matanya dua kali, merasa enggan meladeni panggilan tadi. Tubuhnya terlalu lelah, ingin istirahat sedikit lebih lama lagi. Mereka berkejaran dengan sesuatu yang entah apa, seperti kriminal yang lari dari kejaran polisi. Meski kenyataannya, justru Hans dan orang-orangnya lebih mengerikan dari para petugas berseragam coklat muda itu."Kita ada di mana?""Hmm? Di mana?" Liliana mengambil alih kesadarannya, menatap Clara dengan pandangan heran. Isi kepalanya berputar, mencoba mengingat apa yang terngah terjadi pada mereka. Bukankah Clara yang memesan taksi online ini? Kenapa dia terlihat panik?Dengan enggan Liliana menatap arloji di tangannya, mendapati jaru
"Mom, ayo cepat!" Clara menyeret koper di tangannya dengan tergesa. Dua langkah di belakangnya, tampak Liliana melakukan hal yang sama. Namun, wanita yang tak lagi muda itu tampak kerepotan. Beberapa kali kakinya hampir tersandung kakinya sendiri. "Mommy!" teriak Clara, segera berpindah ke taksi yang lainnya. Dia tidak ingin membuang waktu dan membuat orang-orang suruhan Hans mengejarnya. "Tunggu!" Liliana harus melepas sepatu hak tinggi yang dipakainya dan berjalan tanpa alas kaki untuk menyusul calon menantu kesayangannya. Keduanya kini duduk di kursi belakang taksi yang mereka pesan online sesaat lalu. "Sayang, sebenarnya apa yang kamu dengar? Apa sesuatu yang buruk terjadi? Kenapa kita harus lari?" Liliana yang semakin heran dengan perilaku Clara, tak ayal mengeluarkan pertanyaannya juga. "Kamu gagal menyingkirkan Monika?" Clara langsung membekap mulut Liliana dengan tangannya, takut supir taksi yang ada di balik kemudi mendengarkan percak
"Silakan, Nyona." Perawat yang pergi bersama Monika mempersilakan wanita blasteran yang Eva percayakan padanya untuk masuk ke dalam ruangan ICU. Baju hijau menempel di tubuhnya yang tetap terlihat kurus meski berbadan dua. "Aku boleh masuk?" Monika masih setengah tak percaya bisa menemui suaminya. "Sebenarnya, belum diizinkan jika kondisi pasien belum lepas dari kondisi kritis. Tapi, karena ini permintaan dokter Eva, kami tidak bisa menyangkalnya. Beliau pasti lebih tahu. Mungkin Anda bisa membuat suami Anda bangun dari komanya." "Dia koma?! Tapi ibu tidak ... " Bulir hangat luruh di wajah Monika, bersamaan dengan tangan yang menutup rapat mulutnya. Dia tidak bisa berkomentar lebih banyak. Eva tidak mengatakan hal itu, bahkan terlihat tenang dan tidak menitikkan air mata sama sekali. Perawat dengan pakaian hijau itu tampak terhenyak di posisinya. Dia tidak tahu jika pernyataan yang terlontar dari mulutnya akan melukai Monika. "Maaf, Ny
"Kamu siap mendengar penjelasanku, Sayang?" Eva menatap Monika, berharap menantunya cukup tegar dan tidak tumbang. Ada hal yang harus ia sampaikan sebagai seorang dokter kepada keluarga pasien."Katakan saja! Jangan membuatku penasaran!" Bukannya Monika yang menjawab, tapi suara Hans-lah yang terdengar menggema di ruang konsultasi.Eva mengembuskan napas berat. Dia tahu tabiat dan temperamen suaminya, to the point dan tidak suka berbelit-belit. Berbeda dengan pembawaan Monika yang cenderung lemah dan mulai terlihat pucat wajahnya."Sayang?" Eva masih bersikeras, memastikan kesiapan hati dan indera pendengaran wanita cantik yang lagi-lagi meneteskan air mata tanpa suara."Aku baik-baik saja, Bu." Suara bergetar dari mulut Monika berhasil membuat Hans menoleh. Lagi-lagi dia melihat sisi lemah wanita, membuatnya membuang muka karena tidak nyaman. Hatinya terasa sakit, merasa tidak bisa menjaga mereka dengan baik. Seolah-olah tangisan Monika ini disebabkan ol