"Sepertinya aku benar-benar jatuh cinta padamu. Apa kamu juga jatuh hati padaku?" Rio menatap Monika yang tengah sibuk mengeringkan rambutnya.
Tak ingin membuka mulutnya, gadis bersurai kuning kecokelatan itu mengendikkan bahu.
"Hey, ayolah. Katakan kamu juga mencintaiku," pinta Rio sedikit memaksa. Dia meletakkan kedua tangannya di pinggang ramping Monika. "Katakan padaku tentang perasaanmu."
Monika menunjukkan senyum simpulnya. Sifat pemaksa Rio ternyata bisa terlihat lucu juga, berbeda dengan paksaan yang dia tunjukkan dua minggu yang lalu saat mereka pertama kali bertemu.
"Sweety," panggil pria yang kini meraih tangan wanitanya, membiarkan alat pengering rambut itu teronggok di pangkuan.
"Hmm?"
"Lanjutkan omelanmu yang tadi," pintanya dengan senyum terkembang.
"Omelan apa?" Monika tidak tahu apa yang suaminya ini bicarakan. Apa dia sedang mengomel sebelumnya? Dia bahkan lupa.
"Ah, kenapa kamu mudah sekali melupakannya?" Kal
Devan mendatangi kamar kost Monika, berharap mantan kekasihnya itu ada di sana. Dia sungguh merindukan Monika, ingin menebus semua kesalahannya selama ini. Dia menyesali perbuatannya selama ini, yang berani bermain api dengan Lisa. Dan sekarang, baik Monika maupun Lisa, dua orang itu tak ada yang terlihat sama sekali, seolah keduanya menghilang ditelan bumi. Dengan langkah cepat hampir berlari, pria berkacamata kotak itu menyusuri jalanan di depannya. Dia seperti tidak ingin membuang waktu satu detik pun untuk sampai ke studio tempat temannya berada. "Bagaimana? Kamu sudah memperbaikinya?" tanya Devan, menatap pria di depannya dengan pandangan penuh tanda tanya. "Bukan hal yang besar. Layarnya memang retak di banyak tempat, sepertinya Monika membanting ponselnya dengan keras. Tapi semua data aman. Tidak ada yang rusak sama sekali. Hanya kehabisan daya saja." Pria dengan kaus hitam itu menyerahkan ponsel milik Monika yang Devan temukan di lantai pagi i
Monika yang tak ingin menanggung malu karena menjadi pusat perhatian orang-orang di taman bermain, memilih pergi tanpa berpikir kemana arah langkah kakinya. Akibatnya, ia tidak tahu dimana keberadaan mereka saat ini.Wanita bersurai panjang itu menatap sekeliling, namun tak mendapati satu petugas pun di sekitar mereka. Sepertinya ini bagian belakang taman bermain yang tak terpakai lagi, bahkan mungkin tak pernah terjamah oleh pengunjung manapun."Apa yang harus kita lakukan?" tanya Rio, menggoda wanita yang kini berdiri tiga langkah di depannya.Monika bungkam. Dia tidak bisa berkomentar apapun. Ini murni kesalahannya. Dia terlalu buru-buru, tidak ingin menjadi pusat perhatian lagi. Tapi, dia juga tidak yakin harus bagaimana."Sweety," panggil Rio, mencoba membuat wanita itu semakin panik."Diamlah!" tukas Monika dengan nada jengkel.Wanita ini buta arah, sama sekali tidak tahu jalan mana yang tadinya mereka lalui. Lurus, ke kanan, atau ke k
Tangis Monika mereda, beberapa menit setelah Rio mendekapnya dengan erat. "Sweety," panggil Rio, menyodorkan satu cup es krim rasa vanilla untuk Monika. Wanita itu duduk diam di atas bangku kayu sambil memainkan jemarinya. "Untukmu." Dengan senyum yang dipaksakan, Monika menerima pemberian suaminya. "Terima kasih," lirihnya hampir tak terdengar. Rio tak mempermasalahkan hal itu. Dia segera duduk di samping Monika, menggenggam tangan kiri wanita itu yang terbebas di atas pahanya. "Aku tidak tahu apa rasa kesukaanmu. Jadi aku memilih vanila. Atau kamu mau yang coklat?" Rio menawarkan es krim di tangannya. "Tapi aku sudah mencicipinya," canda pria itu, coba berkelakar. Monika mengangkat satu sudut bibirnya, merasa sedikit tergelitik dengan candaan Rio yang sama sekali tidak lucu. Pria ini memiliki sense humor yang rendah, sama dengannya. "Aku tidak bisa menghibur wanita, tidak bisa melucu, tidak bisa bersikap lembut. Hanya bisa me
"Ayo naik," ajak Rio, mengulurkan tangannya, meminta Monika segera masuk ke atas salah satu wahana permainan yang berbentuk seperti kapal bajak laut.Sesaat wanita berdarah Indonesia - Inggris itu tampak ragu. Tidak ada satu pun pengunjung yang ada di sana. Hanya mereka berdua. Keduanya datang terlalu awal, tidak ada orang yang datang sepagi ini untuk kencan di taman bermain."Ayo." Rio menarik tangan Monika dengan sedikit paksa, membuat wantia itu hampir terjerembap jika Rio tidak segera meraih pinggang rampingnya.Wajah tak suka segera terlukis di paras ayu itu. Dia tidak suka jika Rio memaksakan kehendaknya seperti barusan."Hey, ada apa dengan wajahmu? Kenapa murung?" Rio meraih dagu istrinya, meminta wanita itu untuk menatapnya.Monika segera menepis tangan Rio, menggeser duduknya satu jengkal lebih jauh dari Sang Suami."Hey, ada ap--""Diamlah. Dasar cerewet!" maki Monika, semakin sebal karena Rio begitu banyak bicara. Lama-lam
Gondola warna merah tempat Rio dan Monika berada semakin naik ke atas, menampilkan pemandangan kota Tokyo dari ketinggian."Sweety, itu Tokyo tower." Rio menunjuk menara setinggi 333 meter yang berdiri kokoh di tempatnya. Bangunan tinggi itu salah satu tujuan utama wisata di Tokyo yang banyak dikunjungi turis asing saat melancong kemari.Monika menoleh, mengarahkan pandang pada tempat yang Rio tunjukkan. Menara itu terlalu jauh dari mereka, tidak terlalu jelas seperti apa penampakannya."Kamu mau ke sana?" tanya Rio, menatap kedua manik mata istrinya. Dia menggenggam punggung tangan istrinya dengan penuh cinta."Terserah," jawabnya pasrah sambil mengangkat bahu.Monika sama sekali tidak memiliki ide apapun tentang kencan mereka hari ini. Pikirannya penuh, berisi pernyataan Rio sebelumnya. Dia mengatakan kalimat-kalimat yang terdengar aneh, bahkan menyinggung tentang perceraian. Apa maksudnya?"Baik. Aku akan pesan tiket masuk ke sana nanti m
Langit gelap seluruhnya. Bintang gemintang menghiasi angkasa saat Rio dan Monika memasuki kamar sebuah hotel mewah. Aroma citrus yang menyegarkan seketika tertangkap indera penciuman keduanya. "Huahh... Akhirnya bisa istirahat juga," tukas Monika, merebahkan diri di atas ranjang empuk yang dijumpainya. Dia memejamkan mata, mengambil napas dalam-dalam untuk memenuhi rongga dadanya dengan oksigen. Rio menutup pintu di belakangnya, menatap Monika dari kejauhan. Raut wajah pria itu terlihat tidak senang, seolah memikul beban berat di pundaknya. Tapi, Monika tidak menyadari hal itu. Dia terlalu lelah setelah berkencan seharian dengan Rio. "Mau mandi dulu?" tanya Rio, menawarkan Monika untuk memakai ruangan untuk bersih-bersih di sebelah kanan mereka. Monika menggeleng. "Aku lelah. Nanti saja." Rio mengangguk sekali. Dia tidak berkomentar apa-apa lagi. Punggungnya menghilang di balik pintu, meninggalkan Monika seorang diri. "Ada apa denganny
-Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta Seorang wanita bersurai pirang berjalan dengan menarik koper hitam di tangannya. Wajah cantiknya terlihat muram, langkah kakinya tak bersemangat sama sekali. Beberapa orang yang datang dengan pesawat yang sama dengannya tampak berjalan mendahului, melalui pintu kedatangan penerbangan internasional. "Nona?!" panggil Maria, melambaikan tangannya di udara. Senyum yang semula terukir di wajah tirusnya, kini menghilang seketika. 'Nona pulang seorang diri?' batin wanita berpakaian serba hitam yang kini menghadang langkah kaki wanita yang sedari tadi ia tunggu-tunggu. Dengan sigap, dia segera mengambil alih barang bawaan Monika. "Izinkan saya membawakannya untuk Anda." Tanpa kata, Monika tak tahu harus apa. Dia menutup mulutnya rapat-rapat dengan raut wajah penuh luka. "Anda baik-baik saja?" tanya Maria, mendapati nonanya tak segera masuk ke dalam mobil begitu ia membukakan pintunya. "Aku bukan
Leo duduk dengan gelisah di depan Hans Dirgantara, pendiri sekaligus pemegang saham tertinggi perusahaan ini. Dia adalah ayah kandung Rio, CEO sebelumnya.Hans membaca stopmap di depannya. Pria yang selama lima tahun terakhir menjalani pengobatan di Singapura itu, kini tampak sehat dengan tubuh segar bugar. Tidak ada satu mili pun racun di dalam tubuhnya. Pihak rumah sakit berhasil mendetoksifikasi tubuhnya."Jadi, dia tahu aku akan kembali? Itu sebabnya dia kabur mencari ibunya?" Suara dingin dan tajam Hans menggema. Dia bertanya pada Leo, tangan kanan putra semata wayangnya."Be-benar, Tuan." Leo tidak bisa menyembunyikan rahasia yang selama ini tersimpan dengan baik di kepalanya. Kali ini, rencana besar Rio harus terungkap."Ceritakan padaku semuanya. Dari awal hingga akhir." Hans menyilangkan kakinya, membuat satu paha ada di atas paha lainnya. Dia menyandarkan punggung ke belakang, siap mendengarkan seluruh penuturan asisten pribadi yang tergolong ma
Tiga tahun kemudian ...."Daddy," panggil gadis dua setengah tahun yang kini memanjat dada bidang ayahnya."Hmm. Alea?" Rio mengerjapkan mata, namun belum membukanya. Dia masih dikuasai kantuk dan ingin terpejam sebentar lagi.Mentari bersinar hangat di musim semi, bersamaan dengan aroma bunga sakura yang diam-diam menelisik hidung. Di sebuah hunian mewah dengan dekorasi minimalis, seorang pria tidur terlentang di atas sofa bed bersama putrinya."Dad ...." Jemari mungil Alea meraba dada bidang Rio yang tertutup kaus putih. Aroma bayi yang menyegarkan menguar, menyapa indera penciuman sang ayah.Tiruan Monika itu mengulurkan tangannya, mengelus pelipis pria yang menjadi cinta pertama dalam hidupnya. Sama seperti sang ibu yang suka mencium pipi Rio diam-diam saat tidur, Alea juga melakukan hal yang sama. Dia mendaratkan kecupan sayangnya sekedip mata di rahang kokoh ayahnya yang ditumbuhi cambang tipis.Rio mengangkat kedua alis sebelum balas
"Sweety, ada dua bayi di dalam perutmu?" tanya Rio tidak percaya, menatap Monika dengan pandangan yang penuh binar bahagia. "Kita akan punya twins baby?"Anggukan kepala terlihat, membuat kebahagiaan yang Rio rasakan semakin berlipat-lipat. Dia tidak pernah menyangka kalau dalam satu waktu akan ada dua buah cinta yang melengkapi kebahagiaannya dengan Monika. Seolah semua hanya mimpi, tidak pernah terjadi."Aku juga baru tahu."Rio memeluk istrinya, menyalurkan rasa cinta yang begitu luar biasa. Mereka baru sempat melakukan pemeriksaan kandungan setelah kondisi Rio benar-benar membaik. Observasi lanjutan pasca siuman harus dijalaninya selama dua minggu."Kondisi istri Anda baik, kedua janin di dalam perutnya juga sangat baik. Namun, alangkah baiknya jika porsi makannya ditambah lagi. Kebutuhan gizi dua anak tentu berbeda dengan kehamilan tunggal.""Saya akan memperhatikannya, Dok." Rio menjawab penuturan dokter kandungan di hadapannya dengan bahasa
"Sweety, aku merindukanmu."Suara Rio yang lirih dan dalam berhasil membuat bulu roma Monika meremang seketika. Dia tidak tahu bagaimana bisikan itu bisa membuatnya jadi seperti sekarang ini, hang, blank, tidak bisa berpikir sama sekali."Apa kamu tidak merindukanku?"Melihat Monika tak merespon, Rio sengaja menggelitik perut istrinya, membuat bola mata sipitnya membulat seketika. Dua tangannya langsung menahan tangan Rio yang masih ada di dalam blouse putih yang dipakainya."Hubby?!" Kali ini tatapan tajam yang ia hadiahkan pada suaminya. Tak cukup sampai di sana, Monika juga segera berdiri, menjauh dari jangkauan tangan suaminya yang nakal.Gelak tawa Rio terdengar menggema, merasa bahagia melihat istrinya kembali sadar. Entah pergi ke mana akal sehatnya beberapa saat lalu, terlihat dari wajah cantik yang tampak bodoh."Berhenti bermain-main. Kamu koma satu minggu dan hampir meregang nyawa. Semua orang panik saat detak jantungmu berhenti k
"Rio," panggil Eva, memeriksa Respon putranya yang tampak mengerjapkan mata namun tak membukanya. Jemari tangan Rio bergerak perlahan, menunjukkan kalau kesadarannya sudah mulai kembali. Dia mendengar panggilan ibunya, tapi masih berat untuk melihat dunia di hadapannya. "Rio, kamu dengar ibu?" ulang Eva, menyentuh pipi putra semata wayangnya yang dilaporkan mengalami tanda-tanda akan bangun dari koma. Tak sia-sia dia dibawa ke Jepang dan mendapat perawatan intensif selama satu pekan. Wajah cantik Evalia menjadi pemandangan pertama yang Rio lihat begitu ia membuka mata. Namun, terlihat buram bersamaan rasa nyeri yang terasa di pangkal hidungnya seperti orang bangun tidur. "Dok, kondisi pasien sudah stabil," lapor perawat yang bertugas melakukan observasi lanjutan pada Rio. Eva mengangguk, sekilas melihat angka yang terpampang di monitor. Pandangan selanjutnya tertuju pada tabung ventilator yang tampak berembun semakin banyak, menunjukkan
"Dear," panggil Eva, memeluk bahu menantunya dari samping. Dia menemui Monika di ruangan khusus yang disediakan oleh pihak rumah sakit untuk keluarga pasien. Kondisi Rio yang semakin menurun memaksa Eva harus menyetujui saran suaminya, membawa anak mereka ke negeri sakura untuk mendapat perawatan lebih lanjut. Tidak ada jalan lain. Dia harus mengupayakan penyelamatan yang terbaik untuk putranya."Ayo temui Rio," ajaknya, "kondisinya sudah semakin baik. Kemungkinan hari ini dia akan siuman."Namun, hanya gelengan kepala yang terlihat dari wajah cantik Monika. Pipinya tampak semakin tirus. Dia tidak makan, juga tidak istirahat dengan baik seminggu ke belakang. Pemikirannya tertuju pada Rio. Rasa bersalah masih terus membayang, membuatnya bungkam seribu bahasa."Sayang, sudahi kesedihanmu. Jika kamu terus seperti ini, tidak baik untuk buah hatimu. Dia ikut tertekan dan tidak bahagia di dalam sana."Lagi-lagi gelengan kepala yang tampak di wajah Monika, bersa
"Mommy," panggil Clara, menggoyangkan lengan Liliana dengan gerakan yang cepat dan tidak sabar. Netranya menatap sekeliling, menyadari kalau mereka berada di tempat antah berantah yang sepi dan lengang. Rumput ilalang yang tinggi mengepung mereka yang masih ada di dalam mobil."Ada apa?" Liliana mengerjap matanya dua kali, merasa enggan meladeni panggilan tadi. Tubuhnya terlalu lelah, ingin istirahat sedikit lebih lama lagi. Mereka berkejaran dengan sesuatu yang entah apa, seperti kriminal yang lari dari kejaran polisi. Meski kenyataannya, justru Hans dan orang-orangnya lebih mengerikan dari para petugas berseragam coklat muda itu."Kita ada di mana?""Hmm? Di mana?" Liliana mengambil alih kesadarannya, menatap Clara dengan pandangan heran. Isi kepalanya berputar, mencoba mengingat apa yang terngah terjadi pada mereka. Bukankah Clara yang memesan taksi online ini? Kenapa dia terlihat panik?Dengan enggan Liliana menatap arloji di tangannya, mendapati jaru
"Mom, ayo cepat!" Clara menyeret koper di tangannya dengan tergesa. Dua langkah di belakangnya, tampak Liliana melakukan hal yang sama. Namun, wanita yang tak lagi muda itu tampak kerepotan. Beberapa kali kakinya hampir tersandung kakinya sendiri. "Mommy!" teriak Clara, segera berpindah ke taksi yang lainnya. Dia tidak ingin membuang waktu dan membuat orang-orang suruhan Hans mengejarnya. "Tunggu!" Liliana harus melepas sepatu hak tinggi yang dipakainya dan berjalan tanpa alas kaki untuk menyusul calon menantu kesayangannya. Keduanya kini duduk di kursi belakang taksi yang mereka pesan online sesaat lalu. "Sayang, sebenarnya apa yang kamu dengar? Apa sesuatu yang buruk terjadi? Kenapa kita harus lari?" Liliana yang semakin heran dengan perilaku Clara, tak ayal mengeluarkan pertanyaannya juga. "Kamu gagal menyingkirkan Monika?" Clara langsung membekap mulut Liliana dengan tangannya, takut supir taksi yang ada di balik kemudi mendengarkan percak
"Silakan, Nyona." Perawat yang pergi bersama Monika mempersilakan wanita blasteran yang Eva percayakan padanya untuk masuk ke dalam ruangan ICU. Baju hijau menempel di tubuhnya yang tetap terlihat kurus meski berbadan dua. "Aku boleh masuk?" Monika masih setengah tak percaya bisa menemui suaminya. "Sebenarnya, belum diizinkan jika kondisi pasien belum lepas dari kondisi kritis. Tapi, karena ini permintaan dokter Eva, kami tidak bisa menyangkalnya. Beliau pasti lebih tahu. Mungkin Anda bisa membuat suami Anda bangun dari komanya." "Dia koma?! Tapi ibu tidak ... " Bulir hangat luruh di wajah Monika, bersamaan dengan tangan yang menutup rapat mulutnya. Dia tidak bisa berkomentar lebih banyak. Eva tidak mengatakan hal itu, bahkan terlihat tenang dan tidak menitikkan air mata sama sekali. Perawat dengan pakaian hijau itu tampak terhenyak di posisinya. Dia tidak tahu jika pernyataan yang terlontar dari mulutnya akan melukai Monika. "Maaf, Ny
"Kamu siap mendengar penjelasanku, Sayang?" Eva menatap Monika, berharap menantunya cukup tegar dan tidak tumbang. Ada hal yang harus ia sampaikan sebagai seorang dokter kepada keluarga pasien."Katakan saja! Jangan membuatku penasaran!" Bukannya Monika yang menjawab, tapi suara Hans-lah yang terdengar menggema di ruang konsultasi.Eva mengembuskan napas berat. Dia tahu tabiat dan temperamen suaminya, to the point dan tidak suka berbelit-belit. Berbeda dengan pembawaan Monika yang cenderung lemah dan mulai terlihat pucat wajahnya."Sayang?" Eva masih bersikeras, memastikan kesiapan hati dan indera pendengaran wanita cantik yang lagi-lagi meneteskan air mata tanpa suara."Aku baik-baik saja, Bu." Suara bergetar dari mulut Monika berhasil membuat Hans menoleh. Lagi-lagi dia melihat sisi lemah wanita, membuatnya membuang muka karena tidak nyaman. Hatinya terasa sakit, merasa tidak bisa menjaga mereka dengan baik. Seolah-olah tangisan Monika ini disebabkan ol