"Sweety, ada apa? Tubuhmu gemetar. Apa kamu sakit?" Rio memeluk Monika dari belakang dan mendapati tubuh ramping itu gemetar cukup hebat.
"Sweety?" panggil Rio panik. Dia segera bangun dan membalik tubuh istrinya. "Kamu sakit?"
Sambil meraba kening Monika, Rio menghidupkan lampu utama di ruangan ini. Terlihatlah tubuh pucat wanita bersurai panjang ini.
Monika menundukkan kepala, tidak menyahut pertanyaan pria yang berstatus sebagai suaminya dua minggu ini. Perlahan dia beranjak duduk, menempelkan punggungnya ke belakang.
"Sweety," panggil Rio lirih, berusaha menopang tubuh wanita ini.
"Aku baik-baik saja. Mungkin masih jetlag." Monika memasang wajah tanpa ekspresi seperti sebelum-sebelumnya, membuat Rio mengerutkan kening. Suaranya terdengar begitu datar, seolah tidak tertarik sama sekali dengan kebersamaan mereka ini.
"Masih merasa mual atau pusing?" tanyanya penuh perhatian.
Bukannya menjawab, Monika hanya melirik Rio sekilas sebelu
Rio tidak bisa terlelap sedetik pun. Dia masih terganggu dengan pertanyaan Monika tiga jam yang lalu. "Apa dia bisa membaca garis tangan seseorang?" tanya Monika begitu Jun pergi dari tempat ini. "Apa yang dia katakan padamu?" Bukannya menjawab pertanyaan Monika, Rio justru balas bertanya. "Dia tidak mengatakan apapun. Hanya menggengam tanganku beberapa detik." Rio bungkam. Dia tahu kemampuan rahasia sahabatnya itu, Jun Morimoto. Dia bisa membaca pikiran dan garis tangan seseorang jika menyentuh pusat garis tangannya. "Apa benar dia bisa membaca garis tanganku?" Monika kembali bertanya. Dia sendiri tidak yakin ada kemampuan khusus seperti itu. Tapi, melihat ekspresi Jun setelahnya, dia jadi berpikiran yang tidak-tidak. Rio segera menetralkan ekspresi wajahnya, berpura-pura tidak memikirkan hal itu. "Mana mungkin ada kemampuan seperti itu. Ini bukan cerita novel fantasi dimana seseorang bisa membaca pikiran dan garis takdir oran
Dua buah kaligrafi besar bertuliskan huruf Jepang tampak tergantung di dinding. Tak jauh dari kain kanvas super besar itu, terlihat lampu berbalut lampion kertas tergantung di langit-langit ruangan ini.Seorang pria tampak gelisah. Sejak tiga puluh menit yang lalu, dia terus saja sibuk berjalan kesana kemari seperti setrika laundry. Kedua kakinya terus menapak di lantai secara bergantian, melangkah tanpa arah."Duduklah. Ibu akan segera datang." Suara Monika terdengar, mencoba menenangkan pria yang terlihat gugup. Dia menatap arloji di pergelangan tangannya, masih ada waktu lima menit sampai waktu yang Jun katakan.Dokter muda itu berhasil membuat janji temu dengan dokter Eva untuk makan malam bersama di restoran khas Jepang ini. Setidaknya akan ada waktu tiga puluh menit sampai satu jam untuk berbincang dengannya."Bagaimana kalau ibu tidak mau datang menemui kita?" Rio menggigit bibir bawahnya. "Ah, tidak tidak! Tepatnya dia tidak ingin menemuiku."
Rio memeluk pinggang Monika erat-erat, menyembunyikan wajahnya yang basah oleh air mata."Tetap seperti ini. Sebentar saja," pintanya dengan suara serak. Seluruh image angkuh dan kasar terpatahkan oleh sisi lemah dan rapuh yang ia tunjukkan saat ini."Aku di sini." Monika tak lagi berniat mengurai pelukan mereka, justru semakin mendekatkan badannya ke arah Rio.Tadinya dia merasa tidak nyaman. Tapi setelah melihat keadaan suaminya, Monika akhirnya luluh. Toh semua orang tidak mengenalnya. Mereka hanya tahu bahwa ia pengunjung di restoran ini. Itu saja."Hanya ada aku di sini. Tidak ada yang melihatmu. Menangislah sepuasmu. Aku akan tetap ada bersamamu." Monika coba menenangkan suaminya, memberikan rasa aman dan nyaman di saat dia membutuhkan belaian kasih sayang seperti sekarang.Puk pukMonika menepuk-nepuk punggung suaminya, berharap tangisnya mereda dan mereka bisa melanjutkan makan malam bersama. Setidaknya sudah sepuluh menit berl
"Ada aku yang akan membantumu bicara padanya." Monika coba meyakinkan Rio agar pria ini tidak lagi menghindari ibunya."Terima kasih," ucap Rio tulus, merapatkan tubuhnya dengan Sang Istri. Mereka meninggalkan bagian depan restoran, menuju ruangan dimana Eva berada.Rio yang mulai terlihat tenang, memanfaatkan momen yang ada. Dia memeluk pinggang Monika dengan erat menggunakan satu tangannya. Sementara itu, tangan yang lain mencengkeram lengan istrinya erat-erat seolah tak ingin wanita ini menjauh darinya barang selangkah pun."Tunggu!" Rio menghentikan langkahnya, tepat sebelum Monika membuka pintu geser satu langkah di depannya."Ada apa?""Aku gugup." Rio kembali menggigit bibir bagian bawahnya, menunjukkan bahwa dia sungguh-sungguh dengan pernyataannya barusan. Dia memang canggung bertemu ibunya. Wanita yang paling ia rindukan selama ini."Tidak apa-apa. Tenang saja," ucap Monika sambil merentangkan tangannya. Dia bersedia dipeluk untuk
"Apa yang akan kita lakukan sekarang?" tanya Rio, menatap Monika dengan pandangan penuh tanda tanya."Kenapa?" Kening wanita 26 tahun itu berkerut, tidak tahu apa yang suaminya bicarakan. "Kita sudah selesai makan, tentu saja tinggal pulang."Raut wajah Rio semakin tak sedap untuk dipandang, seperti menahan sesuatu."Apa? Perutmu mulas mau ke kamar mandi?" tebak Monika tanpa berpikir lebih dulu.Rio menggeleng. Dia kebingungan mencari kata yang tepat untuk mendeskripsikan kemelut di dalam hatinya. Dia gelandangan tanpa uang sepeser pun sekarang. Apa yang akan terjadi jika ibunya bertanya tentang pekerjaan atau semacamnya?"Apa?" Monika mengangkat kedua bahunya dengan tangan terangkat di depan dada. "Aku tidak tahu apa yang kamu pikirkan."Tanpa menunggu perkataan Rio terucap, Monika beranjak dari duduknya. Dia meraih tas jinjing mungil miliknya dan bersiap melenggang keluar dari ruangan ini, menyusul ibu mertuanya di depan sana yang sedang m
"Arrgghhh! Akhirnya selesai juga!" seru wanita yang kini merenggangkan tubuhnya. Dia merasa lelah setelah bekerja keras, memperagakan berbagai pose yang sutradara minta. Ini adalah pertama kalinya ia menjadi bintang iklan sebuah porduk minuman di Indonesia. "Bagaimana rasanya?" Devan mendekat, memberikan minuman isotonik yang dibelinya di minimarket sebelum datang ke tempat ini. "Ah, Dev." Clara terlihat begitu bahagia, melihat Devan mendekat ke arahnya. "Cukup menyenangkan." Devan menyunggingkan senyum terbaiknya. Dia memang merekomendasikan Clara pada rekan kerjanya yang bekerja di sebuah agen iklan. Tentunya agar ia bisa menjerat wanita ini lebih jauh lagi. "Terima kasih. Ini semua berkat bantuanmu." Wajah dengan make up tebal itu tersenyum manja. Dia sengaja menggoda Devan dengan menggigit bibir bawahnya. Wanita ini semakin terpesona dengan aura seorang Devan Mahendra. "Dimana manajermu? Aku tidak melihatnya." Pria dengan sweater panjang w
WARNING! Adegan di bawah ini mengandung konten 18+ BUKAN UNTUK DITIRU!! * * * Sebuah mobil SUV warna putih terhenti di pelataran sebuah gedung pencakar langit. Dua orang keluar dari dalam kendaraan mewah seharga enam ratus jutaan itu, langsung masuk ke lobi apartemen. Tanpa keduanya sadari, mobil Audi 8 warna hitam turut berhenti. Leo keluar dari sana dan bergegas masuk untuk mengikuti dua orang itu. Namun sayang, tak ada jejak sama sekali. Dua orang itu sudah masuk ke dalam lift. Mau tak mau, Leo menghentikan langkahnya. Seorang petugas keamanan yang berdiri di samping meja resepsionis bergegas menghampirinya. "Selamat malam, ada yang bisa saya bantu?" tanya pria berkumis itu dengan kewaspadaan yang tergambar jelas di wajahnya. Dia tahu kalau Leo bukanlah salah satu penghuni unit apartemen yang ada di gedung bertingkat ini. Wajahnya terlihat asing. Leo mengamati situasi yang ada. Dia tahu, tidak mungkin jujur bahwa dia tengah
Langit terlihat semakin pekat saat Devan keluar dari balkon apartemennya. Dia menatap deretan pertokoan yang berjajar di bawah sana. Ingatannya kembali ke hari dimana Monika pernah menunggunya di sana saat mereka berselisih paham kala itu. Perlahan tapi pasti, Devan menyesap rokok di tangannya kuat-kuat. Dia belum bisa melupakan bayang-bayang Monika dari dalam kepalanya. Gadis itu masih saja bertahta di dalam hatinya. "Monika, I miss you," lirih Devan penuh perasaan. Dia merindukan wanita itu, bahkan sangat ingin bertemu dengannya. "Jika kamu tidak ingin lagi menemuiku, setidaknya izinkan aku melihat wajahmu meskipun hanya dari kejauhan." Penyesalan Devan semakin tak tertahankan. Dia tidak akan bisa melupakan cinta pertamanya, wanita yang selalu ada untuknya bertahun-tahun ke belakang. Dan bodohnya, ia balas kesetiaan Monika dengan sebuah pengkhianatan. Jika saja dia bisa bersabar, hanya dalam hitungan bulan mereka akan resmi menikah seperti kesepakat
Tiga tahun kemudian ...."Daddy," panggil gadis dua setengah tahun yang kini memanjat dada bidang ayahnya."Hmm. Alea?" Rio mengerjapkan mata, namun belum membukanya. Dia masih dikuasai kantuk dan ingin terpejam sebentar lagi.Mentari bersinar hangat di musim semi, bersamaan dengan aroma bunga sakura yang diam-diam menelisik hidung. Di sebuah hunian mewah dengan dekorasi minimalis, seorang pria tidur terlentang di atas sofa bed bersama putrinya."Dad ...." Jemari mungil Alea meraba dada bidang Rio yang tertutup kaus putih. Aroma bayi yang menyegarkan menguar, menyapa indera penciuman sang ayah.Tiruan Monika itu mengulurkan tangannya, mengelus pelipis pria yang menjadi cinta pertama dalam hidupnya. Sama seperti sang ibu yang suka mencium pipi Rio diam-diam saat tidur, Alea juga melakukan hal yang sama. Dia mendaratkan kecupan sayangnya sekedip mata di rahang kokoh ayahnya yang ditumbuhi cambang tipis.Rio mengangkat kedua alis sebelum balas
"Sweety, ada dua bayi di dalam perutmu?" tanya Rio tidak percaya, menatap Monika dengan pandangan yang penuh binar bahagia. "Kita akan punya twins baby?"Anggukan kepala terlihat, membuat kebahagiaan yang Rio rasakan semakin berlipat-lipat. Dia tidak pernah menyangka kalau dalam satu waktu akan ada dua buah cinta yang melengkapi kebahagiaannya dengan Monika. Seolah semua hanya mimpi, tidak pernah terjadi."Aku juga baru tahu."Rio memeluk istrinya, menyalurkan rasa cinta yang begitu luar biasa. Mereka baru sempat melakukan pemeriksaan kandungan setelah kondisi Rio benar-benar membaik. Observasi lanjutan pasca siuman harus dijalaninya selama dua minggu."Kondisi istri Anda baik, kedua janin di dalam perutnya juga sangat baik. Namun, alangkah baiknya jika porsi makannya ditambah lagi. Kebutuhan gizi dua anak tentu berbeda dengan kehamilan tunggal.""Saya akan memperhatikannya, Dok." Rio menjawab penuturan dokter kandungan di hadapannya dengan bahasa
"Sweety, aku merindukanmu."Suara Rio yang lirih dan dalam berhasil membuat bulu roma Monika meremang seketika. Dia tidak tahu bagaimana bisikan itu bisa membuatnya jadi seperti sekarang ini, hang, blank, tidak bisa berpikir sama sekali."Apa kamu tidak merindukanku?"Melihat Monika tak merespon, Rio sengaja menggelitik perut istrinya, membuat bola mata sipitnya membulat seketika. Dua tangannya langsung menahan tangan Rio yang masih ada di dalam blouse putih yang dipakainya."Hubby?!" Kali ini tatapan tajam yang ia hadiahkan pada suaminya. Tak cukup sampai di sana, Monika juga segera berdiri, menjauh dari jangkauan tangan suaminya yang nakal.Gelak tawa Rio terdengar menggema, merasa bahagia melihat istrinya kembali sadar. Entah pergi ke mana akal sehatnya beberapa saat lalu, terlihat dari wajah cantik yang tampak bodoh."Berhenti bermain-main. Kamu koma satu minggu dan hampir meregang nyawa. Semua orang panik saat detak jantungmu berhenti k
"Rio," panggil Eva, memeriksa Respon putranya yang tampak mengerjapkan mata namun tak membukanya. Jemari tangan Rio bergerak perlahan, menunjukkan kalau kesadarannya sudah mulai kembali. Dia mendengar panggilan ibunya, tapi masih berat untuk melihat dunia di hadapannya. "Rio, kamu dengar ibu?" ulang Eva, menyentuh pipi putra semata wayangnya yang dilaporkan mengalami tanda-tanda akan bangun dari koma. Tak sia-sia dia dibawa ke Jepang dan mendapat perawatan intensif selama satu pekan. Wajah cantik Evalia menjadi pemandangan pertama yang Rio lihat begitu ia membuka mata. Namun, terlihat buram bersamaan rasa nyeri yang terasa di pangkal hidungnya seperti orang bangun tidur. "Dok, kondisi pasien sudah stabil," lapor perawat yang bertugas melakukan observasi lanjutan pada Rio. Eva mengangguk, sekilas melihat angka yang terpampang di monitor. Pandangan selanjutnya tertuju pada tabung ventilator yang tampak berembun semakin banyak, menunjukkan
"Dear," panggil Eva, memeluk bahu menantunya dari samping. Dia menemui Monika di ruangan khusus yang disediakan oleh pihak rumah sakit untuk keluarga pasien. Kondisi Rio yang semakin menurun memaksa Eva harus menyetujui saran suaminya, membawa anak mereka ke negeri sakura untuk mendapat perawatan lebih lanjut. Tidak ada jalan lain. Dia harus mengupayakan penyelamatan yang terbaik untuk putranya."Ayo temui Rio," ajaknya, "kondisinya sudah semakin baik. Kemungkinan hari ini dia akan siuman."Namun, hanya gelengan kepala yang terlihat dari wajah cantik Monika. Pipinya tampak semakin tirus. Dia tidak makan, juga tidak istirahat dengan baik seminggu ke belakang. Pemikirannya tertuju pada Rio. Rasa bersalah masih terus membayang, membuatnya bungkam seribu bahasa."Sayang, sudahi kesedihanmu. Jika kamu terus seperti ini, tidak baik untuk buah hatimu. Dia ikut tertekan dan tidak bahagia di dalam sana."Lagi-lagi gelengan kepala yang tampak di wajah Monika, bersa
"Mommy," panggil Clara, menggoyangkan lengan Liliana dengan gerakan yang cepat dan tidak sabar. Netranya menatap sekeliling, menyadari kalau mereka berada di tempat antah berantah yang sepi dan lengang. Rumput ilalang yang tinggi mengepung mereka yang masih ada di dalam mobil."Ada apa?" Liliana mengerjap matanya dua kali, merasa enggan meladeni panggilan tadi. Tubuhnya terlalu lelah, ingin istirahat sedikit lebih lama lagi. Mereka berkejaran dengan sesuatu yang entah apa, seperti kriminal yang lari dari kejaran polisi. Meski kenyataannya, justru Hans dan orang-orangnya lebih mengerikan dari para petugas berseragam coklat muda itu."Kita ada di mana?""Hmm? Di mana?" Liliana mengambil alih kesadarannya, menatap Clara dengan pandangan heran. Isi kepalanya berputar, mencoba mengingat apa yang terngah terjadi pada mereka. Bukankah Clara yang memesan taksi online ini? Kenapa dia terlihat panik?Dengan enggan Liliana menatap arloji di tangannya, mendapati jaru
"Mom, ayo cepat!" Clara menyeret koper di tangannya dengan tergesa. Dua langkah di belakangnya, tampak Liliana melakukan hal yang sama. Namun, wanita yang tak lagi muda itu tampak kerepotan. Beberapa kali kakinya hampir tersandung kakinya sendiri. "Mommy!" teriak Clara, segera berpindah ke taksi yang lainnya. Dia tidak ingin membuang waktu dan membuat orang-orang suruhan Hans mengejarnya. "Tunggu!" Liliana harus melepas sepatu hak tinggi yang dipakainya dan berjalan tanpa alas kaki untuk menyusul calon menantu kesayangannya. Keduanya kini duduk di kursi belakang taksi yang mereka pesan online sesaat lalu. "Sayang, sebenarnya apa yang kamu dengar? Apa sesuatu yang buruk terjadi? Kenapa kita harus lari?" Liliana yang semakin heran dengan perilaku Clara, tak ayal mengeluarkan pertanyaannya juga. "Kamu gagal menyingkirkan Monika?" Clara langsung membekap mulut Liliana dengan tangannya, takut supir taksi yang ada di balik kemudi mendengarkan percak
"Silakan, Nyona." Perawat yang pergi bersama Monika mempersilakan wanita blasteran yang Eva percayakan padanya untuk masuk ke dalam ruangan ICU. Baju hijau menempel di tubuhnya yang tetap terlihat kurus meski berbadan dua. "Aku boleh masuk?" Monika masih setengah tak percaya bisa menemui suaminya. "Sebenarnya, belum diizinkan jika kondisi pasien belum lepas dari kondisi kritis. Tapi, karena ini permintaan dokter Eva, kami tidak bisa menyangkalnya. Beliau pasti lebih tahu. Mungkin Anda bisa membuat suami Anda bangun dari komanya." "Dia koma?! Tapi ibu tidak ... " Bulir hangat luruh di wajah Monika, bersamaan dengan tangan yang menutup rapat mulutnya. Dia tidak bisa berkomentar lebih banyak. Eva tidak mengatakan hal itu, bahkan terlihat tenang dan tidak menitikkan air mata sama sekali. Perawat dengan pakaian hijau itu tampak terhenyak di posisinya. Dia tidak tahu jika pernyataan yang terlontar dari mulutnya akan melukai Monika. "Maaf, Ny
"Kamu siap mendengar penjelasanku, Sayang?" Eva menatap Monika, berharap menantunya cukup tegar dan tidak tumbang. Ada hal yang harus ia sampaikan sebagai seorang dokter kepada keluarga pasien."Katakan saja! Jangan membuatku penasaran!" Bukannya Monika yang menjawab, tapi suara Hans-lah yang terdengar menggema di ruang konsultasi.Eva mengembuskan napas berat. Dia tahu tabiat dan temperamen suaminya, to the point dan tidak suka berbelit-belit. Berbeda dengan pembawaan Monika yang cenderung lemah dan mulai terlihat pucat wajahnya."Sayang?" Eva masih bersikeras, memastikan kesiapan hati dan indera pendengaran wanita cantik yang lagi-lagi meneteskan air mata tanpa suara."Aku baik-baik saja, Bu." Suara bergetar dari mulut Monika berhasil membuat Hans menoleh. Lagi-lagi dia melihat sisi lemah wanita, membuatnya membuang muka karena tidak nyaman. Hatinya terasa sakit, merasa tidak bisa menjaga mereka dengan baik. Seolah-olah tangisan Monika ini disebabkan ol