"Arrgghhh! Akhirnya selesai juga!" seru wanita yang kini merenggangkan tubuhnya. Dia merasa lelah setelah bekerja keras, memperagakan berbagai pose yang sutradara minta. Ini adalah pertama kalinya ia menjadi bintang iklan sebuah porduk minuman di Indonesia.
"Bagaimana rasanya?" Devan mendekat, memberikan minuman isotonik yang dibelinya di minimarket sebelum datang ke tempat ini.
"Ah, Dev." Clara terlihat begitu bahagia, melihat Devan mendekat ke arahnya. "Cukup menyenangkan."
Devan menyunggingkan senyum terbaiknya. Dia memang merekomendasikan Clara pada rekan kerjanya yang bekerja di sebuah agen iklan. Tentunya agar ia bisa menjerat wanita ini lebih jauh lagi.
"Terima kasih. Ini semua berkat bantuanmu." Wajah dengan make up tebal itu tersenyum manja. Dia sengaja menggoda Devan dengan menggigit bibir bawahnya. Wanita ini semakin terpesona dengan aura seorang Devan Mahendra.
"Dimana manajermu? Aku tidak melihatnya." Pria dengan sweater panjang w
WARNING! Adegan di bawah ini mengandung konten 18+ BUKAN UNTUK DITIRU!! * * * Sebuah mobil SUV warna putih terhenti di pelataran sebuah gedung pencakar langit. Dua orang keluar dari dalam kendaraan mewah seharga enam ratus jutaan itu, langsung masuk ke lobi apartemen. Tanpa keduanya sadari, mobil Audi 8 warna hitam turut berhenti. Leo keluar dari sana dan bergegas masuk untuk mengikuti dua orang itu. Namun sayang, tak ada jejak sama sekali. Dua orang itu sudah masuk ke dalam lift. Mau tak mau, Leo menghentikan langkahnya. Seorang petugas keamanan yang berdiri di samping meja resepsionis bergegas menghampirinya. "Selamat malam, ada yang bisa saya bantu?" tanya pria berkumis itu dengan kewaspadaan yang tergambar jelas di wajahnya. Dia tahu kalau Leo bukanlah salah satu penghuni unit apartemen yang ada di gedung bertingkat ini. Wajahnya terlihat asing. Leo mengamati situasi yang ada. Dia tahu, tidak mungkin jujur bahwa dia tengah
Langit terlihat semakin pekat saat Devan keluar dari balkon apartemennya. Dia menatap deretan pertokoan yang berjajar di bawah sana. Ingatannya kembali ke hari dimana Monika pernah menunggunya di sana saat mereka berselisih paham kala itu. Perlahan tapi pasti, Devan menyesap rokok di tangannya kuat-kuat. Dia belum bisa melupakan bayang-bayang Monika dari dalam kepalanya. Gadis itu masih saja bertahta di dalam hatinya. "Monika, I miss you," lirih Devan penuh perasaan. Dia merindukan wanita itu, bahkan sangat ingin bertemu dengannya. "Jika kamu tidak ingin lagi menemuiku, setidaknya izinkan aku melihat wajahmu meskipun hanya dari kejauhan." Penyesalan Devan semakin tak tertahankan. Dia tidak akan bisa melupakan cinta pertamanya, wanita yang selalu ada untuknya bertahun-tahun ke belakang. Dan bodohnya, ia balas kesetiaan Monika dengan sebuah pengkhianatan. Jika saja dia bisa bersabar, hanya dalam hitungan bulan mereka akan resmi menikah seperti kesepakat
"Mari kita berbincang. Aku akan buatkan segelas kopi untukmu." Rio masih bungkam, tak tahu bagaimana harus merespon ajakan wanita ini. Dia masih merasa canggung bertemu pandang dengan wanita yang telah melahirkannya. "Aku menantikan momen ini," lirih wanita yang kini membuka bungkus kopi di tangannya. Dia meletakkan tiga sendok serbuk hitam kecoklatan itu ke dalam Vietnam drip, yakni alat berbentuk gelas metal yang terdiri dari tabung, plunger, dan sebuah tutup. *Vietnam drip adalah metode alat seduh yang menghasilkan minuman dengan cara ekstraksi lewat tetesan. Itu adalah alat khusus yang digunakan oleh para pecinta kopi agar minuman yang dihasilkan lebih pekat. Eva sering meminum cairan pekat itu saat butuh pelampiasan penat. Dibandingkan minum alkohol, kopi lebih aman untuk tubuhnya yang tak lagi muda. "Mau tambahkan susu atau krimer?" tawar wanita yang bersiap membuka lemari di atas kepalanya. Rio mengangguk. "Boleh," jawab pria it
"Bu," panggil Rio, menatap Eva tepat di manik mata coklatnya. "Apa ibu membenciku?"Deg!Eva tak lantas menjawab. Hatinya mencelos mendengar pertanyaan itu dari mulut putranya. Dia tahu kenapa Rio tiba-tiba menanyakan hal itu. Sepertinya pria muda yang memiliki wajah rupawan ini belum bisa menerima masa lalunya. Ya, masa lalu dimana Eva pergi meninggalkannya."Kenapa ibu tidak pernah kembali? Pernahkan sekali saja ibu ingin melihatku? Anak-anak seusiaku berangkat dan pulang diantar oleh orangtuanya. Sedangkan aku?!" Suara Rio terdengar sedikit bergetar, menandakan gemuruh di dalam hatinya semakin menguat.Eva tidak bisa berkata apa-apa. Dia siap mendengarkan semua keluhan Rio, bahkan jika putranya itu mengumpat atau mengatakan kata-kata kasar, dia akan menerimanya dengan lapang dada. Memang ialah yang paling pantas untuk dipersalahkan kali ini."Apa ibu tahu berapa kali aku menatap pintu gerbang setiap malamnya? Apa ibu mendengar saat aku menangis
"Bukankah ibu ingin segera menimang cucu?" lanjut Rio sebelum ibunya sempat mengucapkan respon lainnya. Dia benar-benar tidak menyangka anaknya ini begitu frontal. "Aku ingin Monika segera hamil. Dengan begitu, dia tidak akan bisa meninggalkanku." Rio menelan kenyataan pahit itu dengan paksa. Dia menyadari kalau sampai sekarang Monika belum bisa menyukainya. "Apa maksudmu?" Eva belum tahu kisah kasih putranya dengan Sang Menantu. Kenapa mereka bisa menikah tiba-tiba? Gadis secantik Monika, tidak mungkin tidak dilirik oleh pria lain, 'kan? "Dia sama sekali tidak menyukaiku. Bahkan jauh di dalam lubuk hatinya yang terdalam, mungkin dia membenciku, Bu." Rio mulai bernarasi, mengungkapkan hubungannya dengan Monika yang sebenarnya. Mereka memulai sebuah hubungan dengan adanya perjanjian dua miliar itu. "Kenapa bisa seperti itu?" "Kemarilah. Duduk dan ceritakan pelan-pelan pada ibu." Eva menepuk kursi kayu di sebelahnya, meminta laki-laki tampan rup
Clara panik karena tidak mendapati Devan di mana pun. Pria itu menghilang, tak ada jejaknya sama sekali. Namun, hal tak terduga terjadi saat dia bersiap keluar dari unit apartemen ini. Sebuah pigura terjatuh karena tidak sengaja tersenggol tangannya."Siapa ini?!" gumam Clara, mengambil pigura yang tergeletak di lantai. Kacanya pecah, membuat garis wajah wanita bersurai pirang itu tidak terlihat jelas.Wanita itu membalik pigura di tangannya, membaca nama yang tertera di belakang foto."Monika Alexandra? Dimana aku pernah mendengarnya?"Clara sedikit menelengkan kepalanya, merasa nama itu tidak asing di pikirannya. Entah kenapa dia jadi penasaran siapa wanita ini sebenarnya. Jika bukan seseorang yang spesial, mana mungkin Dev memajang fotonya?Keinginan Clara untuk mencari Devan sirna seketika. Dia justru ingin mengulik lebih dalam jejak wanita ini di kehidupan pria yang ditaksirnya."Ini kesempatan bagus untukku." Detik berikutnya Clara ber
Monika memejamkan matanya kembali, berharap bisa terlelap beberapa menit kedepan. Tubuhnya lelah, jiwanya pergi ke negeri antah berantah. Entah kenapa setelah Rio 'menggarap' tubuhnya, ia selalu saja ingin tidur sepanjang waktu. Ia terlalu lelah menghadapi nafsu binatang suaminya. Rio tersenyum lebar melihat seluruh tubuh Monika terbungkus rapat di dalam selimut. Dia menyembunyikan tubuhnya dengan baik, tidak ingin tangan nakal pria ini menggerayanginya lagi seperti tadi. 'Bagaimana caraku menggodanya?' batin Rio, tidak tahu harus bertingkah apa. Dia sama sekali tidak pengalaman mengambil hati perempuan. Benar apa yang dikatakan ibunya semalam, ia dan ayahnya benar-benar pria bodoh yang tidak bisa memperlakukan wanita dengan baik. Rio mengambil ponsel pintarnya di atas nakas dan mencari kontak bernama Pram, sahabatnya. Tapi, gerakan jarinya terhenti beberapa mili di atas layar sentuh itu. "Ini masih pukul lima pagi. Itu artinya di Indonesia ma
"Kamu ingin bermain-main denganku, Sweety?" tanya Rio, mendekap tubuh istrinya yang hanya mengenakan lingerie seksi. Tubuh Monika yang terasa hangat menempel di dada bidangnya yang dingin dan basah setelah mandi. Itu membuat Rio hampir gila. Ingin sekali Rio menduselkan hidungnya ke ceruk leher Monika, menyesap aroma tubuhnya. Tak cukup di sana, otak mesumnya bekerja, membayangkan wanita ini meremas rambut basahnya. 'Astaga!' keluh Rio dalam hatinya, menghentikan pikiran liarnya yang tak terkendali. Monika menelan salivanya dengan paksa. Dia menekan kuat-kuat pesona yang terpancar dari tubuh suaminya. Tetes-tetes air jatuh di bahunya yang lebar membuat Monika hampir hilang arah. Suasana berubah menjadi canggung. Wajah kedua orang itu memerah, menahan hasrat masing-masing. Mereka sibuk menetralkan detak jantung yang berderap kencang, seperti genderang mau perang. "Aku mandi dulu," cetus Monika, menyingkirkan tangan Rio yang melingkupi pinggang
Tiga tahun kemudian ...."Daddy," panggil gadis dua setengah tahun yang kini memanjat dada bidang ayahnya."Hmm. Alea?" Rio mengerjapkan mata, namun belum membukanya. Dia masih dikuasai kantuk dan ingin terpejam sebentar lagi.Mentari bersinar hangat di musim semi, bersamaan dengan aroma bunga sakura yang diam-diam menelisik hidung. Di sebuah hunian mewah dengan dekorasi minimalis, seorang pria tidur terlentang di atas sofa bed bersama putrinya."Dad ...." Jemari mungil Alea meraba dada bidang Rio yang tertutup kaus putih. Aroma bayi yang menyegarkan menguar, menyapa indera penciuman sang ayah.Tiruan Monika itu mengulurkan tangannya, mengelus pelipis pria yang menjadi cinta pertama dalam hidupnya. Sama seperti sang ibu yang suka mencium pipi Rio diam-diam saat tidur, Alea juga melakukan hal yang sama. Dia mendaratkan kecupan sayangnya sekedip mata di rahang kokoh ayahnya yang ditumbuhi cambang tipis.Rio mengangkat kedua alis sebelum balas
"Sweety, ada dua bayi di dalam perutmu?" tanya Rio tidak percaya, menatap Monika dengan pandangan yang penuh binar bahagia. "Kita akan punya twins baby?"Anggukan kepala terlihat, membuat kebahagiaan yang Rio rasakan semakin berlipat-lipat. Dia tidak pernah menyangka kalau dalam satu waktu akan ada dua buah cinta yang melengkapi kebahagiaannya dengan Monika. Seolah semua hanya mimpi, tidak pernah terjadi."Aku juga baru tahu."Rio memeluk istrinya, menyalurkan rasa cinta yang begitu luar biasa. Mereka baru sempat melakukan pemeriksaan kandungan setelah kondisi Rio benar-benar membaik. Observasi lanjutan pasca siuman harus dijalaninya selama dua minggu."Kondisi istri Anda baik, kedua janin di dalam perutnya juga sangat baik. Namun, alangkah baiknya jika porsi makannya ditambah lagi. Kebutuhan gizi dua anak tentu berbeda dengan kehamilan tunggal.""Saya akan memperhatikannya, Dok." Rio menjawab penuturan dokter kandungan di hadapannya dengan bahasa
"Sweety, aku merindukanmu."Suara Rio yang lirih dan dalam berhasil membuat bulu roma Monika meremang seketika. Dia tidak tahu bagaimana bisikan itu bisa membuatnya jadi seperti sekarang ini, hang, blank, tidak bisa berpikir sama sekali."Apa kamu tidak merindukanku?"Melihat Monika tak merespon, Rio sengaja menggelitik perut istrinya, membuat bola mata sipitnya membulat seketika. Dua tangannya langsung menahan tangan Rio yang masih ada di dalam blouse putih yang dipakainya."Hubby?!" Kali ini tatapan tajam yang ia hadiahkan pada suaminya. Tak cukup sampai di sana, Monika juga segera berdiri, menjauh dari jangkauan tangan suaminya yang nakal.Gelak tawa Rio terdengar menggema, merasa bahagia melihat istrinya kembali sadar. Entah pergi ke mana akal sehatnya beberapa saat lalu, terlihat dari wajah cantik yang tampak bodoh."Berhenti bermain-main. Kamu koma satu minggu dan hampir meregang nyawa. Semua orang panik saat detak jantungmu berhenti k
"Rio," panggil Eva, memeriksa Respon putranya yang tampak mengerjapkan mata namun tak membukanya. Jemari tangan Rio bergerak perlahan, menunjukkan kalau kesadarannya sudah mulai kembali. Dia mendengar panggilan ibunya, tapi masih berat untuk melihat dunia di hadapannya. "Rio, kamu dengar ibu?" ulang Eva, menyentuh pipi putra semata wayangnya yang dilaporkan mengalami tanda-tanda akan bangun dari koma. Tak sia-sia dia dibawa ke Jepang dan mendapat perawatan intensif selama satu pekan. Wajah cantik Evalia menjadi pemandangan pertama yang Rio lihat begitu ia membuka mata. Namun, terlihat buram bersamaan rasa nyeri yang terasa di pangkal hidungnya seperti orang bangun tidur. "Dok, kondisi pasien sudah stabil," lapor perawat yang bertugas melakukan observasi lanjutan pada Rio. Eva mengangguk, sekilas melihat angka yang terpampang di monitor. Pandangan selanjutnya tertuju pada tabung ventilator yang tampak berembun semakin banyak, menunjukkan
"Dear," panggil Eva, memeluk bahu menantunya dari samping. Dia menemui Monika di ruangan khusus yang disediakan oleh pihak rumah sakit untuk keluarga pasien. Kondisi Rio yang semakin menurun memaksa Eva harus menyetujui saran suaminya, membawa anak mereka ke negeri sakura untuk mendapat perawatan lebih lanjut. Tidak ada jalan lain. Dia harus mengupayakan penyelamatan yang terbaik untuk putranya."Ayo temui Rio," ajaknya, "kondisinya sudah semakin baik. Kemungkinan hari ini dia akan siuman."Namun, hanya gelengan kepala yang terlihat dari wajah cantik Monika. Pipinya tampak semakin tirus. Dia tidak makan, juga tidak istirahat dengan baik seminggu ke belakang. Pemikirannya tertuju pada Rio. Rasa bersalah masih terus membayang, membuatnya bungkam seribu bahasa."Sayang, sudahi kesedihanmu. Jika kamu terus seperti ini, tidak baik untuk buah hatimu. Dia ikut tertekan dan tidak bahagia di dalam sana."Lagi-lagi gelengan kepala yang tampak di wajah Monika, bersa
"Mommy," panggil Clara, menggoyangkan lengan Liliana dengan gerakan yang cepat dan tidak sabar. Netranya menatap sekeliling, menyadari kalau mereka berada di tempat antah berantah yang sepi dan lengang. Rumput ilalang yang tinggi mengepung mereka yang masih ada di dalam mobil."Ada apa?" Liliana mengerjap matanya dua kali, merasa enggan meladeni panggilan tadi. Tubuhnya terlalu lelah, ingin istirahat sedikit lebih lama lagi. Mereka berkejaran dengan sesuatu yang entah apa, seperti kriminal yang lari dari kejaran polisi. Meski kenyataannya, justru Hans dan orang-orangnya lebih mengerikan dari para petugas berseragam coklat muda itu."Kita ada di mana?""Hmm? Di mana?" Liliana mengambil alih kesadarannya, menatap Clara dengan pandangan heran. Isi kepalanya berputar, mencoba mengingat apa yang terngah terjadi pada mereka. Bukankah Clara yang memesan taksi online ini? Kenapa dia terlihat panik?Dengan enggan Liliana menatap arloji di tangannya, mendapati jaru
"Mom, ayo cepat!" Clara menyeret koper di tangannya dengan tergesa. Dua langkah di belakangnya, tampak Liliana melakukan hal yang sama. Namun, wanita yang tak lagi muda itu tampak kerepotan. Beberapa kali kakinya hampir tersandung kakinya sendiri. "Mommy!" teriak Clara, segera berpindah ke taksi yang lainnya. Dia tidak ingin membuang waktu dan membuat orang-orang suruhan Hans mengejarnya. "Tunggu!" Liliana harus melepas sepatu hak tinggi yang dipakainya dan berjalan tanpa alas kaki untuk menyusul calon menantu kesayangannya. Keduanya kini duduk di kursi belakang taksi yang mereka pesan online sesaat lalu. "Sayang, sebenarnya apa yang kamu dengar? Apa sesuatu yang buruk terjadi? Kenapa kita harus lari?" Liliana yang semakin heran dengan perilaku Clara, tak ayal mengeluarkan pertanyaannya juga. "Kamu gagal menyingkirkan Monika?" Clara langsung membekap mulut Liliana dengan tangannya, takut supir taksi yang ada di balik kemudi mendengarkan percak
"Silakan, Nyona." Perawat yang pergi bersama Monika mempersilakan wanita blasteran yang Eva percayakan padanya untuk masuk ke dalam ruangan ICU. Baju hijau menempel di tubuhnya yang tetap terlihat kurus meski berbadan dua. "Aku boleh masuk?" Monika masih setengah tak percaya bisa menemui suaminya. "Sebenarnya, belum diizinkan jika kondisi pasien belum lepas dari kondisi kritis. Tapi, karena ini permintaan dokter Eva, kami tidak bisa menyangkalnya. Beliau pasti lebih tahu. Mungkin Anda bisa membuat suami Anda bangun dari komanya." "Dia koma?! Tapi ibu tidak ... " Bulir hangat luruh di wajah Monika, bersamaan dengan tangan yang menutup rapat mulutnya. Dia tidak bisa berkomentar lebih banyak. Eva tidak mengatakan hal itu, bahkan terlihat tenang dan tidak menitikkan air mata sama sekali. Perawat dengan pakaian hijau itu tampak terhenyak di posisinya. Dia tidak tahu jika pernyataan yang terlontar dari mulutnya akan melukai Monika. "Maaf, Ny
"Kamu siap mendengar penjelasanku, Sayang?" Eva menatap Monika, berharap menantunya cukup tegar dan tidak tumbang. Ada hal yang harus ia sampaikan sebagai seorang dokter kepada keluarga pasien."Katakan saja! Jangan membuatku penasaran!" Bukannya Monika yang menjawab, tapi suara Hans-lah yang terdengar menggema di ruang konsultasi.Eva mengembuskan napas berat. Dia tahu tabiat dan temperamen suaminya, to the point dan tidak suka berbelit-belit. Berbeda dengan pembawaan Monika yang cenderung lemah dan mulai terlihat pucat wajahnya."Sayang?" Eva masih bersikeras, memastikan kesiapan hati dan indera pendengaran wanita cantik yang lagi-lagi meneteskan air mata tanpa suara."Aku baik-baik saja, Bu." Suara bergetar dari mulut Monika berhasil membuat Hans menoleh. Lagi-lagi dia melihat sisi lemah wanita, membuatnya membuang muka karena tidak nyaman. Hatinya terasa sakit, merasa tidak bisa menjaga mereka dengan baik. Seolah-olah tangisan Monika ini disebabkan ol