Tetapi Mila bukan perempuan yang pemalu di depan siapa pun. Interaksinya dengan Stephen, Revan, bahkan Diaz sama saja. Revan mungkin sudah jengah dengan Mila, karena itu dia dicampakkan. Kalau Stephen tidak bisa muak, kalau begitu dia tidak ada teman curhat saat tertekan.
Mila menunjuk Stephen dengan sendok di tangan kanannya. "Jangan mancing-mancing gue ya," cetusnya.
"Saya bahagia bisa kumpul bertiga," ujar Diaz.
"Gue berasa kayak orang ketiga," balas Stephen.
"Gue selingkuh pilih-pilih orang juga kali. Model kayak lo emang pantes diselingkuhin, tapi gue ogah jadi selingkuhan lo."
"Lo ada masalah apa sih sama gue? Gue punya utang? Berapa, sini gue bayar sekarang?"
"Halah, bawa 100 rebu doang lo mau bayar utang yang mana? Lo kan sekali minta traktir ke starbucks. Nih sekarang, makan begini doang lo tau gak berapa harganya?"
Diaz tersenyum pada karyawan yang melihat mereka bertengkar. Pendengarannya menjadi tidak baik kalau teru
Stephen naik taksi untuk pulang. Acara makan siang telah selesai pas pertanyaan terakhir."Apa yang lo lakuin ke Mila? Tetap kejar atau tarik ulur?"Diaz tidak menjawab salah satu. Stephen sampai apal dengan kalimat mutiara dari suami Mila beberapa saat lalu."Saya lebih nyaman suatu hubungan mengalir. Tanpa memaksa dan tanpa merasa dipermainkan. Kalau saya tarik ulur berarti saya sibuk, artinya jangan ganggu sampai kesibukan saya selesai. Saya bukan tipe kejar terus-menerus seperti kamu, kalau begitu pantas perempuannya lari karena barangkali merasa takut. Gak semua perempuan yang kamu dekati baik-baik aja, siapa tau ada yang masih trauma sama laki-laki. Biar mengalir aja.""Gue setuju... " gumam Mila setelah mendengar jawaban Diaz masuk akal juga."Lo setuju?" beo Stephen."Diaz mah netral ... Dia tau jawaban yang baik. Makanya lo jangan agresif sama cewek. Kalau gue jadi ceweknya juga lari sampe merauke dikejar cowok kayak lo," cetu
"Hari ini lo gak berangkat kerja?" Mila bertanya sebab Diaz keluar kamar mandi sudah pakai baju batik coklat lengan pendek dan jeans putih.Diaz berdeham pelan sebagai jawaban sambil menyisir rambutnya ke belakang menggunakan jari-jari tangan. Diaz biasa mandi duluan sebelum Mila, dia masih merapikan tempat tidur sebagai konsekuensi bangun siang."Nanti siang ke Paviliun, latihan taekwondo." Diaz duduk di kursinya untuk melanjutkan pekerjaan yang semalam belum tuntas. Sepertinya ini akan selesai dengan cepat karena sisanya tidak sampai setengah arsip. Kalau dia fokus, bisa cuma 2 jam.Mila menaruh bantal, unek-uneknya mulai keluar. "Tangan gue baru sembuh, lo udah ngajak latihan lagi?"Maksud Diaz ya begini. Sebaliknya jika banyak iklan lewat, prediksi 2 jam menjadi 4 jam. "Apa maksud kamu, lagi? Latihan satu pekan 3 kali, pekan ini baru sekali dan durasi waktunya gak pantas disebut latihan. Itu namanya pemanasan," jawab Diaz dengan tekanan di setia
Cuaca Kota Jakarta kalau sedang musim panas, sangat panas. Kalau musim dingin, tetap panas. Mila tidak heran karena kota tempatnya lahir dan dibesarkan terlalu padat bangunan. Ada taman, tapi di beberapa tempat yang masih asri."Pasang AC dong! Gerah banget sumpah!" Mila sudah mengambil buku tulis tipis untuk kipasan tetapi tetap gerah.Apa kabar Diaz yang memakai dobok? Dia berkeringat namun tidak terlihat lelah. Ia memperhatikan Diaz yang mencontoh beberapa gerakan lanjutan yang harus dipelajari pekan depan. Mila bahkan bingung dengan pukulan Diaz yang tak kunjung berhenti. Katanya, untuk latihan memperkuat otot tangan. Kalau Mila yang melakukan pukulan selama 5 menit nonstop pasti akan kebas. Kesal karena tidak selesai-selesai sesi melihat tanpa meniru gerakan, Mila melempar buku tulisnya ke kaki Diaz.Diaz berhenti memukul lalu balik badan. "Kenapa?""Capek!""Kamu gak contohin gerakan apa-apa.""Capek liat lo mukul ang
Mila berjalan sesuai keinginan hatinya. Ia tidak tahu bisa menahan penjelasan Diaz. Semestinya ia tidak perlu bertanya sebab sudah tahu Irene sulit Diaz lupakan. Walau begitu ia bersyukur keinginan untuk membuang foto benalu itu tercapai tanpa menggunakan tangannya. Untungnya sisa satu foto, kalau masih banyak yang berterbaran pasti akan Mila geledah kamar Diaz.Toko-toko dan pedagang asongan sangat memanjakan perutnya. Mila pergi tanpa membawa uang karena tanpa direncana. Perutnya sudah lapar sekali, hanya satu orang yang bisa membantu Mila saat ini.***Mila memandang sahabatnya yang kali ini sangat baik mau membantu. Sedari tadi Stephen melihatnya seperti iba."Gak usah liatin gue begitu, lo kemarin udah ditraktir Diaz, sekarang traktir gue. Anggap lo gak punya utang."Stephen tidak masalah kalau Mila makan banyak di pinggir jalan. Tetapi dia penasaran mengapa tiba-tiba Mila memintanya datang dan bawa uang untuk beli batagor dan es teh manis.
"Mila ... Mama ada kondangan di Tangerang."Meida berpamitan padanya beberapa jam lalu saat ia sarapan seorang diri di bawah. Ini sangat tidak menguntungkan Mila karena Diaz masih demam terbaring di atas kasur tidak berbuat apa-apa.Kesal karena terus mendengar rintihan Diaz, Mila tidak bisa lagi melanjutkan tulisannya."Berhenti panggil nama gue. Kalau lo mau sembuh ayo kita periksa ke puskesmas, klinik, atau rumah sakit."Mila sudah buatkan Diaz bubur, membawakan minum beserta obat yang semalam dia minum, namun ketiganya tidak disentuh sama sekali. Tetapi Diaz tidak menjawab, hanya menghela napas dengan mata tetap terpejam.Tunggu, jangan bilang Mila harus menyuapi Diaz. "Hah, emang gue yang selalu dihukum sama alam." Ia menarik untuk duduk lalu meraih mangkuk. Diaz tidak perlu dibantu duduk karena tidur dengan posisi hampir duduk. "bangun. Gue suapin makanannya."Mila hari ini menahan makian untuk suaminya sendiri karena sedan
Mila dalam posisi duduk di kursi dengan dua kaki terangkat dan menyesap susu kotak yang diberi sedotan kecil. Ia berputar pelan di atas kursi eksekutifnya seraya mencari ide untuk bab selanjutnya. Kemarin rencana menulis gagal total karena mengurus Diaz makan dan minum."Eh, Diaz. Lo gak BAB?" Mila tidak lihat Diaz masuk kamar mandi kemarin, dia terus berbaring sepanjang hari."Udah, semalam."Mila mengangguk mengerti, mungkin ia sudah tidur lalu Diaz ke toilet. Baguslah, tidak ada yang membuat pikiran Mila terganggu lagi. Ia juga sudah menyuapi dan memberi Diaz obat seperti kemarin, demamnya sudah turun dan keringat cukup deras keluar dari tubuhnya. Beruntungnya lagi, keringat Diaz tidak beraroma yang aneh-aneh, justru harum seperti jeruk. Mungkin karena pengharum ruangan, wanginya memengaruhi."Kamu gak pusing berputar terus?"Mila berhenti tepat menghadap Diaz lalu menurunkan kakinya. Susu kotaknya sampai mengempis karena terisap pad
Mila masih bergidik apa yang terjadi beberapa saat lalu. Tangan kotor itu telah menyentuh tangan suci Mila. Sangat tidak tahu diri, batinnya. Saat petang, Diaz sudah lebih baik karena bisa berjalan ke kamar mandi tanpa terhuyung-huyung. Mila memperhatikan dia lebih lama agar bisa memastikan kondisinya telah pulih. Diaz bahkan bisa mandi sebab kemarin mengatakan tubuhnya merasa dingin hingga tidak ingin mandi. "Udah mendingan lo?" Mila melupakan sejenak apa yang dilakukan pria gila tadi di ruang tamu dan bertanya kondisi Diaz. Diaz tersenyum lebar, wajahnya bercahaya ditambah cahaya senja dari kaca jendela yang terbuka setengah. Mila geleng-geleng kepala melihat efek luar biasa cahaya matahari terbenam untuk mendukung rupa Diaz. "Kerja bagus, Mila." Ia memuji dirinya yang telah menjaga Diaz. "Saya bilang juga apa, kamu istri terbaik." Diaz menggosokkan minyak rambut di depan cermin, memberi senyuman lagi karena Mila menengok
Diaz memakirkan mobilnya di basement, tak disangka-sangka Sekretaris Bayu juga baru sampai.Diaz menunggu Bayu turun dari mobilnya. Setelah dihampiri, Diaz menyapanya. "Kamu kelihatan gak sehat. Pekerjaan kemarin banyak yang saya tinggal ya?"Sekretaris Bayu menggeleng tidak enak ditanya soal pekerjaan yang kemarin tertinggal oleh Bosnya. "Istri saya masih sakit, jadi sedikit kewalahan habis pulang dari kantor. Hari ini saya belum bisa lembur karena anak saya juga kram perut."Diaz prihatin dengan kondisi keluarga sekretarisnya. "Gak masalah, kamu jaga istri dan anak kamu. Saya juga jarang lembur karena urus istri di rumah. Saya paham perasaan kamu."Mereka pekerja keras yang tidak lupa kewajiban sebagai suami di rumah. Diaz meringankan karyawannya jika tidak bisa lembur diwajibkan izin agar ada rekan yang menggantikan. Tidak semua orang selalu lancar dalam rumah tangga, kondisi tubuh juga adakalanya sakit.Seingat Diaz, Bay
Thank youuuu buat teman-teman yang sempat mampir ataupun tetap bertahan masukin novel ini ke rak bacaan kaliaann. Congrats buat aku sendiri yang udah tamatin kisah mereka dengan jangka waktu sangat panjang, bab absurd, dan ending membagongkan dan ngambang.Kalian bisa anggap akan ada sekuel dari Diaz dan Mila entah itu kehidupan anak mereka atau lainnya. Tapi so far, belum ada rancangan gimana gambaran cerita selanjutnya karena masih terjebak genre Teen.Semoga kalian tetap dalam lindungan Tuhan yang Maha Esa dan selalu sehat baik mental maupun fisik karena hidup tidak seringan pilus gais.Sekali lagi thank you so much!And bye bye~
"Ha? Hahaha ... Gue bayangin muka mereka bingungnya gimana."Vio tertawa puas di meja makan saat Diaz menceritakan apa yang terjadi di rumah Monica semalam.Meida menyuruh anaknya berhenti tergelak dan dengarkan saja kakaknya bicara. "Kamu tuh ya, orang lagi ngomong malah ketawa terus.""Yailah, Ma. Bayangin dong muka mereka. Apalagi Mas Agam sama istrinya yang naudzubillah, Haha." "Kapan Monica ketemu Pak Louis?" Diaz bertanya-tanya sebab sebelumnya Monica sibuk bolak-balik ke rumahnya dengan rencana balas dendam.Walaupun balas dendamnya berubah menjadi kasih sayang tak terduga. Kekeluargaan mereka sangat erat."Monica mungkin udah menduga ini bakal terjadi. Dia kan ngomong sendiri sering berdoa ketemu orang tuanya.""Vio!" Meida geram sekali dengan anaknya sampai ingin melempar sendok garpu."Mama kenapa sih sensi banget?" balas Vio."Omongan kamu itu!" "Orang Monica-nya yang bilang ke aku.""Diaz mau minta tolong, Mah."Meida menatap Vio sebab Diaz meliriknya. "Mama?" "Monica m
Sebagai CEO yang memiliki waktu senggang banyak, Diaz memberanikan diri menemui pengacara Monica. Tepat hari sebelumnya mereka bicara serius melalui telepon untuk menentukan pukul berapa akan diskusi sebab pengacara pun punya acara lain.Diaz sangat terkejut rupanya ada kakak serta adik dari orang tua Monica turut datang ke rumah anak malang itu dengan raut tidak sabaran."Semuanya kenapa di sini?" Perasaan Diaz menghubungi pengacaranya saja, tidak mereka juga. Total ada 5 orang, termasuk dirinya.Akhirnya ia bergabung dengan mereka dan itu diperdebatkan."Kenapa ada dia di sini?" sahut Winda, adik terakhir dari Ibu Monica sembari menunjuk Diaz duduk.Diaz lantas menoleh tanpa ekspresi. Bukankah seharusnya ia yang memberi pertanyaan pada mereka?"Monica secara khusus meminta tolong saya untuk panggil Pak Diaz," jawab Louis tak kalah datar dari padang pasir."Hah! Kayaknya sih dia ngerayu Monica biar dikasih beberapa persen asetnya," timpal suami Winda, Agam.Kelihatan dari tampang mer
"Mama tetap gak nyangka, Mila.""Apalagi Mila, Bun."Mereka duduk besandar di ruang tamu setelah menghadiri pemakaman. Mila menatap langit-langit rumahnya seraya berkata, "Monica udah maafin Diaz belum ya, Bun? Kasihan mereka."Fila lantas menjawab, "Sebenarnya Monica pasti udah maafin Diaz dari dulu. Cuma karena mereka kurang akrab dan Monica sempat salah paham juga, dia agak canggung.""Aku padahal mau ke rumahnya lagi.""Nanti kalau Diaz ke sana aja. Dia pasti harus urus semuanya karena walinya Monica."Mila mengusap wajahnya, belum menyesuaikan kenyataan. "Mila mau mandi, Bun. Abis itu ke rumah Diaz lagi, dia harus ditemenin.""Iya sana. Bunda gapapa sendiri di sini."***Vio melihat Diaz berdiri di tengah pintu menghadap halaman belakang sembari memasukkan tangan ke saku celana. Kakaknya diam dengan deru napas teratur yang terdengar berat."Lo lagi ngapain?" Vio memberanikan diri mendekat dan berhenti di belakang Diaz."Bukan apa
Suara langkah Diaz memenuhi lorong yang dihampiri suara petir dan cahaya kilat lewat celah jendela. Sesaat dia memperlebar jarak kaki supaya cepat sampai ruang jenazah yang terletak di bagian belakang rumah sakit.Di belakang Diaz, ada Mila yang juga berusaha mempercepat langkah agar bisa mengiringi suaminya. Kesekian kalinya sudut mata mereka meneteskan bulir bening atas perasaan berkecamuk.Ada-ada saja, diwaktu kurang tepat Diaz dihubungi Bayu, sekretarisnya. "Maaf, saya lagi ada urusan. Nanti saya telepon lagi, Pak." Masalah klien tidak jadi datang besok bukan hal besar. Bayu masih bisa menangani dikarenakan situasi mendesak.Begitu masuk ke kamar jenazah, Diaz sempat menjeda nafas beberapa detik untuk meyakinkan hatinya bahwa yang terjadi sekarang ini bukan bunga tidur. Di atas dua brankar terdapat dua tubuh terbujur kaku diselimuti kain putih. Petugas yang menjaga kamar jenazah malam ini hanya satu berjenis kelamin laki-laki. Dia terlihat sedang memeriksa
Guyuran hujan secara tiba-tiba membasahi tanah dan jalan sejak tengah hari. Rencana Mila pergi ke Taman depan kantor jadi urung. Apalagi niatnya mau hujan-hujanan selagi deras.Diaz menyibukkan diri di depan laptop. Liburnya tetap bekerja. Bahkan lebih pusing dia daripada Mila yang suka mengarang cerita. Omong-omong, sudah 2 hari Mila tidak update bab novel. Apa kabar komentar pembacanya?"Kamu daripada berdiri terus di jendela, mendingan bantu saya beresin ini nih." Diaz menunjuk map-map miliknya yang kurang rapi di dekat meja satunya. Saking banyaknya yang belum tuntas, dia bingung mau membereskan yang mana."Ogah. Kamu kan udah kerjain bareng sekretaris kamu," cebik Mila.Diaz melirik layar laptopnya. Benar, dia sedang melakukan panggilan video dengan sekretarisnya demi mengurus berkas baru maupun yang diarsip bulan lalu."Barangkali mau," balas Diaz.Suara petir menggelegar langsung mengejutkan Mila karena berdiri di dekat jendela.
"Udah pasang sabuk pengaman?" tanya Eric barangkali Monica menyepelekan betapa pentingnya menggunakan sabuk pengaman saat berkendara, baik pengemudi maupun penumpang.Satu dehaman menjawab pertanyaan Eric. Asisten keluarga Monica tersenyum kecil dan menjalankan mobil menuju MJ Coffe untuk mengopi santai sambil mengurus jadwal-jadwal tak beraturan dan kurang sesuai dengan keinginan Bosnya.Suasana ramai lancar kendaraan roda empat dan dua masih tampak asing di mata Monica. Bolak-balik antarkota mengakibatkan ia tak dapat lihat perkembangan kota kelahiran secara bertahap. Setiap tahun terdapat penaikan penduduk di Kepulauan Seribu. Syukurlah, pulau wisata itu masih terjaga keasriannya.Pernah satu, dua kali laut sekeliling pulau tercemar akibat pembuangan minyak ilegal. Saat itu penduduk kesulitan mendapat air. Pemerintah kota berbondong-bondong meminta pasokan air bersih walaupun kurang maksimal."Ini kalau urbanisasi dikurangi mungkin 5 tahun ke depan bak
"Gimana jadwalnya? Gak bisa diubah?"Ekspresi datar yang sering ditampilkan gadis berusia 18 tahun itu bukan lagi hal baru untuk asistennya, Eric. Masalah perubahan jadwal dadakan yang dibuat Eric memang tidak disarankan jika bosnya seperti Monica.Umpatan, tatapan tajam, atau keduanya selalu didapat Eric sekali pun hubungan mereka dekat."Udah saya ubah. Jadi gak bisa diubah dua kali."SRRKKMap berwarna merah di atas meja dihempaskan begitu saja hingga lembaran di dalamnya berserakan di lantai."Astaga... " Suka tak suka Eric harus memungut tiap lembaran dan menyusunnya asal untuk diletakkan ke dalam map. "Ini ada kontrak, jangan dibuang-buang.""Lo tau sendiri kan tanggal 25 kita harus ke Sumatera buat baksos. Harusnya tanggal 26 kosongin jadwal. Bukannya malah ada kegiatan! Lo pikir gue gak butuh istirahat?""Iya tau. Tapi klien yang dari Jawa bilang tanggal 26 bisanya," bela Eric."Ya lagian lo sejak kapan mentingin
Tirai berwarna merah menghalangi sinar yang menembus masuk. Wanita berbadan dua itu tengah membaca buku tentang bisnis milik suaminya sambil merebahkan tubuh. Setelah kontrol bulanan ke dokter kandungan, hasilnya janin berkembang baik. Belum begitu buncit perutnya lantaran masih 3 bulan mengandung.Aktivitas menulis novel berkurang, bukan suruhan Diaz melainkan secara inisiatif Mila lakukan. Ia sering tertidur jika menempel kasur, lalu bangun untuk makan dan jalan-jalan di dalam rumah untuk peregangan badan.Seringkali Diaz memergoki Mila bicara dengan perutnya sambil tersenyum riang di bangku teras rumah, apalagi sebelum berangkat bekerja. Sebisa mungkin Diaz turuti keinginan Sang Istri untuk meredam amarah satu sama lain. Selagi Mila tidak meminta rumah di planet Mars, Diaz mau saja tunduk di kakinya."Lagi apa?""Gak liat? Lagi nonton video."Pertama kalinya Mila memutar dokumentasi video pernikahan mereka, sebelumnya ia mengecam Diaz agar tidak