Disti merasa ingin mati saat itu juga ketika seorang pengunjung karaoke yang terhipnotis pesonanya pada pandangan pertama berani membayar dengan harga fantastis untuk mengajaknya ke tempat tidur. Pria itu membawa Disti ke sebuah hotel berbintang tidak jauh dari pub dan tempat karaoke.
"Pak, saya tidak bisa melakukan ini. Saya mau pulang saja." Disti menghentikan langkah setelah berpikir berulang-ulang selama dalam perjalanan.
Pria berambut hitam berpotongan buzz cut yang berjalan beberapa langkah di depan Disti pun menghentikan langkahnya. Ia berbalik. Raut wajah dan kilat matanya menyiratkan amarah yang terpendam. "Apa maksudmu? Aku sudah membayar mahal untuk membawamu ke sini. Kamu pikir kamu bisa seenaknya memutuskan?"
Tubuh Disti merespon dengan cepat tatapan tajam pria itu. Tangan dan kakinya mulai dingin dan jantungnya berdegup kencang. Otaknya pun berputar mencari alasan, meskipun napasnya tersengal-sengal.
"Saya akan mengganti uang yang sudah Bapak keluarkan. Saya janji." Disti asal bicara demi menghindari pria itu.
Pria itu tersenyum getir. "Kalau kamu punya uang sebanyak yang sudah aku bayar ke kasir pub sialan itu, kamu tidak akan menjual diri kamu."
Disti bergeming. Pria itu memang benar. Jika saja ia punya uang, ia tidak akan terjebak dengan pekerjaan yang menjadi cibiran orang.
Pria itu meraih lalu mencekal tangan Disti. Ia tidak segan menyeret Disti melewati lobi. Namun, tak seorang pun yang berada di sana—baik karyawan hotel maupun pengunjung hotel—yang menghentikan aksinya.
"Pak, lepaskan saya!" Disti hampir berteriak ketika pria itu terus menyeretnya hingga ke depan pintu lift.
Saat pintu lift terbuka, kemalangan Disti bertambah dua kali lipat. Ia tidak hanya terperangkap dalam jerat pria yang ingin berkencan satu malam dengannya, tapi karena tatapan lain yang terpaut oleh netranya.
“Mas Yasa?” Jantung Disti seketika akan meledak melihat Yasa dan Shalimah tengah berdiri di dalam lift.
Keberadaan Disti di sana dengan seorang pria menegaskan kesimpulan Yasa bahwa ia memang pantas menjadi wanita penghibur.
"Mas Yasa, Mbak Shali ...." Tatapan Disti mengarah pada pasangan yang baru saja keluar dari lift.
"Disti?!" Mata Shalimah membelalak melihat Disti, lalu ia melihat ke arah pria yang datang bersama adik iparnya. "David? Apa yang kamu lakukan pada Disti?"
Tubuh Disti menegang dan lidahnya mulai kaku. Harga dirinya meluruh diiringi perasaan malu luar biasa yang menyelubungi. Apa yang Yasa dan Shalimah lihat membuktikan bahwa ia memang tidak pantas disejajarkan dengan mereka sebagai bagian dari keluarga Wijaya yang terhormat.
"Ayo!" Pria bernama David itu menarik dan memaksa Disti untuk meninggalkan Yasa dan Shalimah. Meskipun Shalimah tampak mengenalnya, namun pria itu seakan tidak peduli.
"Tidak!" tegas Disti.
Penolakan Disti membuat David geram. Ia tetap memaksa Disti dan hampir menyeretnya. Pria itu seperti mengabaikan semua hal di sekitarnya dan tidak memedulikan pertanyaan Shalimah.
"David, berhenti!" Suara Yasa menghentikan langkah David, membuatnya menoleh ke belakang, dan melayangkan pandangan menyelidik.
"Lepaskan dia!" Yasa mengulang perintahnya.
David menarik sebelah ujung bibirnya tersenyum sinis. "Apa urusanmu dengan pelacur ini?"
"Dia bukan wanita seperti itu, Dave."
"Oh, iya? Kamu begitu mengenalnya. Apa kamu juga pernah "pake" dia?"
Ucapan David membuat darah dengan cepat naik ke kepala Yasa dan menimbulkan semburat merah di wajahnya. Tangan Yasa mengepal erat dan jika saja Shalimah tidak menahannya, ia pasti sudah melayangkan tinjunya ke wajah David dalam hitungan detik.
"Tidak, Dave." Shalimah berusaha menengahi. Wanita itu dengan tenang melanjutkan ucapannya. "Disti adik kami. Jadi, aku mohon jangan punya prasangka seperti itu dan tolong lepaskan dia."
David tertawa merendahkan sambil memandang ke arah Shalimah dan Yasa. "Yang benar saja? Adik ketemu gede maksudnya?"
"Bukan urusanmu, Dave!” Yasa menyergah. Wajahnya tampak menegang menatap David. “Lepaskan Disti dan aku anggap urusan kita selesai," imbuh Yasa dengan nada bicara yang terdengar begitu dingin dan mengintimidasi.
"Aku sudah membayar mahal wanita murahan ini. Jika kamu mau mengganti uang yang sudah kukeluarkan untuknya, akan kuberikan dia padamu." David mengubah air mukanya. Pria itu memberengut dengan tatapan tajam terarah pada Yasa.
"Berapa pun akan kuganti. Kamu tahu aku tidak pernah bermasalah dengan uang, 'kan?" tantang Yasa.
Pernyataan Yasa membuat Disti tercengang. Ia tidak akan memanfaatkan kebaikan Yasa demi bisa lepas dari jeratan David. Disti sendiri yang memutuskan untuk kembali ke tempat karaoke itu dan ia yang harus menanggung risikonya.
"Mas, jangan, Mas. Aku sudah banyak merepotkan Mas dan Mbak," cegah Disti.
Tak peduli ucapan Disti, Yasa kembali menunjukkan keseriusannya pada David. "Berapa banyak yang sudah kamu keluarkan untuk dia?"
"Empat puluh juta."
Disti membelalak. "Tidak sebanyak itu, Mas. Dia bohong!"
"Diam kamu!" Bentakan David membuat Disti terdiam dengan tubuh gemetaran.
Yasa mengeluarkan ponselnya lalu mentransfer sejumlah uang ke rekening David. "Done. Lepaskan dia!"
David tersenyum getir menerima kekalahannya. Dugaannya salah kali ini. Yasa ternyata tidak hanya asal bicara. Ia melepaskan cekalannya dari tangan Disti.
Disti beringsut menjauh dari David sambil memegang pergelangan tangannya yang memerah dan terasa sakit. Kabut bening menutupi pandangannya. Marah, sedih, dan kecewa pada dirinya sendiri terasa sangat menyesakkan dada hingga Disti kesulitan bernapas. Namun, rangkulan penuh kasih Shalimah di pundaknya menerjang dengan kasih sayang seperti ombak pasang, melenyapkan segala rasa, dan menegaskan kebenaran bahwa masih ada yang peduli padanya.
"Kita pulang, yuk!" ajak Shalimah dengan suara lembutnya.
"Terima kasih, Mbak." Disti mengalihkan pandangannya ke Yasa. "Terima kasih, Mas."
"Jangan sungkan. Kita kan keluarga," ucap Shalimah.
Disti mengangguk, merasakan ketulusan Shalimah. Malam itu Yasa dan Shalimah mengantar Disti pulang. Shalimah terenyuh ketika menginjakkan kakinya di rumah kontrakan Disti dan berkenalan dengan ibunya Disti yang tampil sangat sederhana. Duduk melingkar di ruang tamu tanpa kursi dan hanya berlapis karpet plastik murahan kembali menyayat hati Shalimah. Disti wanita yang tangguh, pikirnya.
Disti menceritakan apa yang baru ia alami pada ibunya. Ucapan terima kasih berulang-ulang Sari lontarkan pada Yasa dan Shalimah.
"Terima kasih, Nak Yasa, Nak Shalimah. Kalian sudah sangat baik pada Disti. Seandainya saja pihak karaoke itu tidak mengancam—"
"Bu," sela Disti untuk mencegah ibunya berbicara.
Sari menoleh pada Disti. Ia memahami kode yang diberikan putrinya lalu diam.
"Kenapa dengan pihak karaoke itu?" tanya Yasa.
Disti memandang ke arah Sari. Ia tidak ingin Yasa dan Shalimah terbebani oleh masalahnya. Malam itu mereka sudah cukup membantunya.
"Disti, aku tanya sama kamu. Kenapa dan ada apa dengan pihak karaoke tersebut?" Nada tanya Yasa yang tegas membuat Disti sedikit ketakutan.
"Ti-tidak ada apa-apa, Mas," jawab Disti gugup. Shalimah akhirnya angkat bicara membujuk Disti. "Dis, aku sedih kamu tiba-tiba memutuskan berhenti bekerja dari butikku. Awalnya aku berpikir kamu memang tidak mau membantuku di butik. Namun, kenyataan yang kulihat tadi saat kamu bersama David membuatku berasumsi lain. Ada apa sebenarnya?" Disti menelan ludah dengan susah payah. Ia mengumpulkan keberanian untuk mengatakan semuanya pada Shalimah dan Yasa. "Pihak karaoke mengancam akan memenjarakanku jika aku tidak menuntaskan masa kerja yang tertera dalam kontrak kerja. Bodohnya aku, dulu aku asal menandatangani tanpa membaca isi kontrak itu terlebih dahulu." Disti menunduk. "Berapa lama masa kerja kamu yang tertera dalam kontrak itu?" selidik Yasa. Disti masih menunduk. "Satu tahun, Mas. Aku baru bekerja tiga bulan." "Berapa penalti yang harus dibayar agar mereka tidak menyeretmu ke kantor polisi?" Disti mengangkat wajahnya. Lagi-lagi masalah uang. Yasa sudah mengeluarkan banyak u
Yasa bersandar pada punggung ranjang di kamarnya di sebelah kamar Shalimah. Ucapan Shalimah terus terngiang di telinganya. Yasa hanya mampu menatap album foto yang terbentang di tangannya. Deretan kebahagiaan yang tergambar dari senyumnya dan Shalimah dalam foto-foto tersebut kian menyayat hati. Seandainya ia tidak melakukan kesalahan yang membuat Shalimah hari itu mengalami kecelakaan, malam dingin ini tidak akan menjadi miliknya sekarang. Yasa sangat menyesalinya. Wajah Shalimah dengan balutan kebaya putih dan kilat mata yang berbinar dalam foto yang ditatapnya membuatnya ingin berteriak mengutuki dirinya sendiri. Selama enam tahun mereka tidak putus asa berjuang untuk mendapatkan momongan, tapi karena satu kesalahan dua tahun lalu, mereka harus kehilangan semua harapan.Tidak Yasa sadari bayangan wajah tanpa dosa Arjuna berkelebat mengganggu lamunannya. Ia tersenyum getir mengingat wajah menggemaskan dan tanpa dosa bocah itu. Varen sangat beruntung. Meskipun Yang Maha Kuasa memangg
"Ya Allah, Pak. Aku tidak pernah berbuat seperti itu. Aku memang kerja di karaoke, tapi tidak seperti yang Bapak kira." Disti membela harga dirinya yang terinjak-injak. Tentunya, si bapak yang terlanjur menyatakan ketidaksukaannya pada Disti tetap berbicara lantang. "Ah, banyak alasan kamu. Semua orang juga tahu, yang kerja di tempat begituan ujung-ujung ngelonte!""Astagfirullah. Itu tidak benar, Pak." Disti mulai merasa terpojok dan air bening mulai meluncur ke pipi dari sudut matanya."Sabar, Pak. Kami bukan pria-pria seperti yang Bapak tuduhkan," jelas Yasa."Pria macam apa yang mendatangi rumah wanita sundal?" Si bapak berbaju koko yang merupakan salah satu warga di tempat itu berkacak pinggang. Pria itu tampak punya pengaruh besar di lingkungan tersebut hingga hampir semua warga yang berkerumun hanya mengiakan semua ucapannya. Namun, tidak untuk beberapa orang yang baru saja tiba di sana. Seorang pria berbaju batik dan berkopiah melangkah maju dan berusaha menenangkan kegaduha
David meninggalkan rumah Disti. Tampak di luar rumah kontrakan sederhana itu masih ada beberapa wanita yang masih berkumpul. Pandangan mereka semua tertuju pada David yang sengaja melintas ke samping kerumunan mereka. Entah apa yang dibicarakan mereka, tetapi David hanya merespons dengan memperlihatkan wajah pongah. Sementara itu, Yasa masih bertahan di rumah Disti. Tatapan harunya tertuju pada Arjuna yang masih ketakutan dalam pangkuan dan dekapan Disti. Tidak seharusnya Arjuna menyaksikan semua ini, pikirnya.Rasa bersalah kembali merasuk ke dalam sukmanya. Yasa tidak habis pikir emosinya akan terpancing oleh ucapan David sehingga ia lepas kendali. Yasa merasa sangat menyesal kenapa ia tidak bisa menahan diri untuk menghadapi David."Aku minta maaf karena sudah membuat kekacauan di sini. Aku datang hanya ingin memberitahumu bahwa kamu sudah bebas dari penalti di tempat karaoke itu. Jika kamu masih berminat kerja di butik istriku, kamu bisa datang lagi ke sana. Andaikan tidak, aku
Pagi itu, Disti sudah berdandan rapi. Ia mengenakan kemeja merah muda dengan garis vertikal hitam kecil dan rok span hitamnya. Ia berniat kembali bekerja ke butik Shalimah. Semua kebaikan Yasa dan Shalimah layak dibalas dengan kerja kerasnya. Karena hanya itu satu-satunya cara yang ia bisa lakukan untuk membalas semua yang sudah mereka lakukan untuknya, pikir Disti. "Disti pergi dulu, ya, Bu. Titip Arjuna. Assalamualaikum." Disti mencium punggung tangan ibunya."Hati-hati di jalan, ya, Ti.""Iya, Bu."Disti berjalan menyusuri gang sempit menuju ke jalan besar dengan doa yang terus ia panjatkan dalam hati. Aku berniat beribadah dengan bekerja di butik Mbak Shalimah dan semoga ini adalah jalan terbaik dalam hidupku.Disti sedang berdiri di antara beberapa calon penumpang di halte bus ketika sebuah hypercar buatan Prancis berhenti di depan halte tersebut. Si pemilik mobil sport mewah itu tidak memedulikan bahwa kendaraannya dilarang berhenti di sana. Ia keluar dari mobil dan membuat Di
Tidak ingin mengecewakan Disti, David melajukan mobilnya secepat yang ia bisa menuju butik milik Shalimah yang berada sekitar 10 kilometer dari hotel tersebut. Beruntung, jalan pagi itu cukup bersahabat sehingga mobil yang dikemudikan David tiba tepat waktu di butik Shalimah. David sengaja memasukkan mobilnya ke halaman parkir persis di depan jendela ruang kerja Shalimah. “Ya, ampun! Saya lupa membawa proposal kerja samanya,” kata David sambil menepuk dahinya sendiri dengan tangan. “Saya harus balik lagi,” tambahnya. “Kalau begitu, aku duluan. Terima kasih tumpangan dan cokelat panasnya,” tutur Disti sambil melepas sabuk pengaman. “Sama-sama. By the way, saya senang sarapan ditemani kamu, Dis.” Disti hanya tersenyum menanggapi ucapan David, kemudian keluar dari mobil David tanpa banyak kata-kata. Dari dalam ruang kerja Shalimah, menembus jendela kaca selebar dinding, wanita itu dan Yasa rupanya sedang memperhatikan kedatangan Disti dan David. “Itu sepertinya mobil David,” cetus
Suara ketukan pintu membuat Disti tergesa-gesa mengambil tas berbahan kanvasnya dari dalam kamar. Ia kemudian menuntun tangan Arjuna ke dapur di mana Sari tengah menyiapkan teh hangat untuk dirinya. “Bu, Disti sama Juna pergi ya,” ucap Disti pada Sari. Sari menghampiri Disti dan Arjuna, kemudian membelai puncak kepala Arjuna sambil berkata, “Cucu nenek ganteng banget.” lalu, ia mengalihkan pandangannya pada Disti. “Memang sudah ada yang menjemput?”“Sudah, Bu. Itu sudah ada yang mengetuk pintu. Pasti sopirnya Mbak Shalimah,” jawab Disti dengan percaya diri. Sebelumnya, Shalimah memang mengatakan pada Disti bahwa sopirnya akan menjemput Disti pada hari Minggu pagi. Mereka rencananya akan membuat acara barbeku-an. Disti sendiri tidak paham benar apa yang akan dilakukan Shalimah dan dirinya nanti di sana. Yang Disti tahu, barbeku adalah acara panggang memanggang sejenis ikan, daging, dan lainnya. Disti, Arjuna, dan Sari berjalan ke ruang tamu. Sementara itu, suara ketukan di pintu t
Shalimah mengembus napas dan mencoba bersikap setenang mungkin di hadapan Disti. Wanita berhijab abu-abu itu menutupi rasa gugupnya dengan melontarkan senyum. “Kita langsung ke dapur saja, yuk! Kemarin sore aku sudah membeli daging sapi dan memarinasinya. Tinggal dipanggang saja.”“Iya, Mbak.”Disti dan Arjuna mengikuti langkah Shalimah menuju ke dapur. Namun, di tengah jalan, tepatnya di ruang keluarga, Shalimah menghentikan langkahnya. Ia kemudian meraih tangan mungil Arjuna dan berkata dengan manis kepada anak itu. “Bude sudah beli mainan buat Juna.”Arjuna tersenyum senang mendengar pemberitahuan yang disampaikan Shalimah. Wajahnya bersinar dipenuhi euforia. “Mana mainannya, Bude?”Shalimah menoleh ke arah Disti. “Sebentar ya, Dis. Aku ingin menunjukkan mainan yang kubeli kemarin pada Juna.”“Silakan, Mbak.”Disti hanya mematung memandangi Shalimah yang membawa Arjuna ke ruang keluarga. Ia memperhatikan cara Shalimah memperlakukan anaknya dengan sangat baik. Perasaan bahagia menye
Plaaak! Tamparan Disti mendarat di pipi Yasa. Wanita itu tidak menduga Yasa akan berkata yang menyakitkan hatinya seperti tadi. Apa yang bisa Disti lakukan jika Yasa benar-benar membawa masalah hak asuh Kieran ke ranah hukum? Yasa punya segalanya. Jelas ia akan memenangkan hak asuh itu, meskipun anak di bawah umur seharusnya dibesarkan oleh ibunya. Yasa bisa melakukan apa saja untuk merebut hak asuh Kieran.Disti terdiam. Semua kata tertahan di tenggorokannya. Hanya air mata yang membasahi pipi yang mewakili kehancuran hati dan harapannya. Begitupun, dengan Yasa. Pria itu tertegun merenungi bagaimana ia dengan bodohnya melayangkan kalimat intimidasi pada Disti. Wanita yang pernah mengisi hati dan telah memberinya seorang putri. Dorongan yang tak terbendung memberikan kekuatan pada Yasa. Mengabaikan semua permasalahan yang ada, Yasa merengkuh Disti ke dalam pelukannya.
Wanita berkulit putih yang mengenakan gaun merah selutut itu tersenyum. Mata sebiru lautannya berbinar terang seolah tidak ada beban sedikit pun di pundaknya ketika ia harus berhadapan dengan mantan istri Yasa."Halo, aku Azra. Yasa pasti sudah memberitahukanmu bahwa aku yang akan menjemput anak-anak." Azra mengulurkan tangannya.Tidak mau terlihat gugup Disti menjabat tangan Azra. Entah Azra bisa merasakan kegugupannya atau tidak, Disti hanya ingin terlihat kalau ia tidak gentar dengan penampilan sempurna wanita itu."Halo, aku Disti. Iya, Mas Yasa sudah memberitahuku."Pertemuan sekaligus perkenalan canggung itu berlangsung singkat. Sebelum Azra membawa kedua anaknya, ia meminta perempuan cantik itu untuk menyampaikan pesannya pada Yasa agar ia tidak lupa untuk mengant
Mata Disti mulai berkaca-kaca. Dahulu, ia sempat mengira David hanya pria egois yang ingin memanfaatkannya. Namun, seiring waktu, ia melihat sisi lain dari David—pria yang ternyata bijaksana dan tulus. Ia mulai sadar, bahwa di balik sikapnya yang flamboyan, David adalah seseorang yang memahami dirinya lebih dari yang ia duga.David mengulurkan tangan dan menyentuh bahu Disti dengan lembut. "Aku akan tetap di sini, menemanimu. Tapi, kamu perlu berdamai dengan hatimu dulu, Dis. Cari tahu apa yang benar-benar kamu inginkan. Aku nggak akan memaksamu untuk memilihku atau siapa pun. Kamu yang berhak menentukan jalanmu sendiri."Disti mengangguk, mencoba menahan air mata yang hampir jatuh. Kata-kata David menyentuh bagian terdalam hatinya, membuatnya merasa tenang, tapi juga tergugah untuk mencari kejelasan dalam perasaannya.David tersenyum hangat, lalu berkata, "Sekarang makan, ya. Nggak usah banyak pikir dulu. Biar hatimu nggak lelah sendiri."Disti tersenyum kecil. Untuk pertama kalinya
Yasa kembali menghela napas, pandangannya kosong. "Aku bingung, Dis. Saat itu, Shalimah ... kondisinya memburuk. Aku tahu aku yang salah karena membiarkannya merasa tersisihkan, karena aku terus memikirkanmu. Aku sudah jadi pria yang kejam, lebih mementingkan perempuan lain daripada istri yang selalu setia di sampingku. Aku larut dalam penyesalanku. Sampai tiba waktunya aku ingin menemui kalian, David sudah benar-benar menggantikan posisiku." Yasa tersenyum masam, “Aku pengecut, ya?”Disti hanya bisa memandang Yasa tanpa kata-kata. Semua kata-kata yang keluar dari mulut pria itu menusuk hatinya, menciptakan rasa bersalah yang kian menumpuk."Apa yang terjadi pada Mbak Shalimah, Mas?" tanyanya akhirnya, meskipun ia sudah tahu jawabannya. Pertanyaan itu mengandung harapan bahwa jawabannya mungkin berbeda dari apa yang ia duga.Yasa menunduk, suaranya terdengar serak. "Shalimah meninggal dunia beberapa hari setelah melahirkan Gyan, putra kami.""Innalillahi wa inna ilaihi ra'jiun," gumam
Disti menahan napas, kemudian membelai lembut tangan Kieran. "Sayang, Om ini papa kandung Kieran. Jadi, mulai sekarang, Kieran bisa panggil Om ini ‘Papa Yasa’, ya?"Mata Kieran membulat, lalu tersenyum cerah. "Jadi Kieran punya dua papa, ya, Bunda?"Disti mengangguk, berusaha menyembunyikan kegugupannya. "Iya, Sayang. Satu Papa David, satu lagi Papa Yasa."Yasa mencoba tersenyum, meskipun ada kegetiran yang tak bisa sepenuhnya ia sembunyikan. "Iya, Kieran. Kamu bisa panggil Om, ‘Papa Yasa’."Kieran tampak berpikir sejenak, lalu menatap Disti dengan wajah bingung. "Om ini temannya Bunda ya, Bunda?"Pertanyaan itu membuat Yasa spontan menatap Disti, pandangan mereka berserobok sejenak. Disti menelan ludah, lalu menjawab hati-hati, "Iya, Sayang. Papa Yasa ini teman Bunda."Yasa menunduk, menyembunyikan perasaan sakit yang bergemuruh di dadanya. Jawaban Disti mungkin untuk melindungi Kieran yang masih terlalu muda untuk memahami semua ini, tetapi tetap saja menyakitkan mendengarnya."Assa
Ketukan di pintu ruang kerjanya mengalihkan sejenak pikiran Disti yang tengah kalut, memaksanya kembali pada realitas di senja yang pekat."Assalamualaikum. Maaf, aku datang tanpa kabar," ucap David sambil mendorong pintu terbuka. Senyuman yang biasa menghiasi wajah orientalnya segera memudar ketika ia melihat Disti duduk tersedu-sedu. Tanpa berpikir panjang, David mendekati Disti, menaruh tangannya di pundak Disti untuk menenangkan. "Dis, ada apa? Kenapa kamu menangis?"Disti menunduk. Suaranya terdengar bergetar saat akhirnya ia bicara, tapi bukan menjawab pertanyaan David. "Maafkan aku, Mbak. Maafkan aku. Aku yang salah. Aku yang menjadi duri dalam kehidupan kalian."David terdiam sejenak mencoba memahami apa yang sedang terjadi. Pandangannya menyapu ruang kerja Disti dan berhenti pada layar laptopnya yang masih menyala, menunjukkan sebuah file bernama ‘Shalimah’. Hatinya mencelos dan ia tak butuh melihat lebih jauh untuk menyimpulkan bahwa video itu adalah penyebab tangis Disti.“
“Assalamualaikum,” ucap Yasa, suaranya berat dan tegas, membawa suasana dingin yang langsung memenuhi ruangan.Disti mengangguk singkat, mencoba menutupi kegugupannya. “Waalaikumsalam,” jawabnya sambil berusaha menjaga nadanya tetap stabil.Yasa melangkah masuk. Tatapannya tak pernah lepas dari wajah Disti. Sementara itu, Disti bisa merasakan ada sesuatu yang berat dalam tatapan Yasa sesuatu yang membara di balik ketenangan yang Yasa tampilkan.“Kenapa kamu tidak bilang padaku kalau kamu sedang hamil saat kita bercerai?” Yasa langsung bertanya, tanpa basa-basi.Disti tertegun. Pertanyaan itu menghantamnya tanpa ampun, tepat di titik yang paling ia coba sembunyikan selama ini. Ia menatap Yasa, dan untuk pertama kalinya, ia melihat kemar
“Kamu melamarku, Dave?” tanya Disti, suaranya bergetar sedikit, antara terkejut dan tidak percaya.David tersenyum tipis, lalu berpura-pura melempar pandangan ke arah bunga-bunga mawar merah yang tumbuh di sepanjang jalan setapak. “Aku? Melamar kamu? Nggak kok. Aku cuma curhat sama bunga-bunga ini,” jawabnya santai sambil menunjuk ke arah bunga-bunga di sepanjang koridor.Disti tertawa pelan, melirik David dengan pandangan penuh arti. “Begitu saja ngambek,” katanya menggoda. “Tapi serius, Dave, tentu saja aku senang kalau kamu mau menjadi imamku. Hanya saja apa kamu siap menjadi imam seorang janda beranak dua?”David menatap Disti beberapa saat, matanya menyorotkan ketulusan yang begitu dalam. “Menurutmu gimana?” balasnya lembut.
Jantung Disti berdegup kencang, nyaris melompat keluar saat melihat Yasa berjalan mendekat. Tatapannya terkunci pada sosok pria berpostur atletis dengan sorot mata yang masih sama, meski ada sesuatu yang tampak lebih matang, lebih tenang. Waktu seakan melambat. Dan dalam beberapa detik yang panjang itu, kenangan masa lalu menghantamnya bertubi-tubi.Sadar bahwa ia tidak sendirian, Disti segera menoleh ke Kieran yang berdiri di sampingnya. Wajah kecil putrinya yang begitu mirip dengan Yasa membuatnya gelisah. Ia tahu betul, Kieran adalah gambaran Yasa dalam versi perempuan kecil. Jika Yasa memperhatikan lebih teliti, ia pasti akan mengenali kemiripan itu.Dengan sigap, Disti meraih tangan Kieran dan menempatkan gadis kecilnya di belakang tubuhnya, seolah ingin melindungi Kieran dari tatapan yang mungkin penuh pertanyaan. Ketika ia melirik ke arah ana