“Astaghfirullahaladzim, Sayang. Aku itu ke KUA Cuma mau membatalkan pendaftaran pernikahan kamu sama Kevin lalu mendaftarkan pernikahan kita. Supaya pernikahan kita tercatat di sana dan jika suatu saat kita punya anak tidak bingung mengurus akta kelahiran dan lain-lainnya, karena kita sudah punya buku nikah,” terang lelaki yang terlihat kian menawan itu seraya mengusap lembut rambut Sania.“Ya sudah. Aku jalan dulu. Kamu jaga diri baik-baik di rumah. Kalau ada apa-apa langsung telepon.”Sania mengangguk lalu melingkarkan tangannya di pinggang Sadewa, mengantar suaminya hingga sampai di parkiran dengan mode tetap memeluk pinggang sang pujaan hati.“Aku mencintai kamu, San,” bisik Sadewa di telinga Sania, seraya menghidu wangi tubuh yang selalu menggoda.“Jangan ngegombal, ah. Masih pagi.” Dicubitnya pinggang Sadewa hingga dia mengaduh kesakitan.Setelah mobil hitam milik Sadewa terlihat menjauh, Sania segera masuk dan menghampiri Mbok Darmi yang sedang sibuk berkutat di dapur menyiapka
“Habis si Ibu beberapa hari ini mual-mual terus. Si Mbok rada feeling kalo Ibu lagi mbobot, Pak.”“Aamiin.”Setelah mencuci tangan, Sadewa segera naik ke lantai atas. Masuk ke dalam kamarnya menyembunyikan apa yang dia bawa di belakang tubuh seraya menghampiri sang istri.“Om Dewa bawa apa?” tanya Sania sambil melongok penasaran.“Buat kamu.” Sambil menerbitkan senyuman si lelaki menyodorkan boneka serta buket bunga, membuat wajah perempuan yang sedang duduk menyandar di dipan terlihat berbinar.“Ya Allah, Om. Om Dewa romantis banget. Terima kasih ya.”“Sama-sama, Sayang.” Bibir tipis Sadewa mendarat begitu lama di puncak kepala Sania, sementara sang istri menyambutnya dengan mendekap tubuh Kekar Sadewa.“Om sudah makan?”“Belum!”“Kok belum makan? Ini sudah siang, loh!”“Aku maunya makan kamu.”Mata Sania membola sedang bibirnya mengerucut manja.“Maksud aku, mau makan sama kamu, Sayang. Pikirannya jangan ngeres terus!”“Om ‘kan yang ngajarin,” kekeh Sania“Ya sudah. Kita ke bawah du
“Ya Allah, kamu kenapa, Sayang?” tanya Sadewa panik saat melihat tubuh istri terkulai lemas di lantai toilet dengan tubuh menyandar di tembok.Buru-buru dia membopong tubuh bidadari hatinya, membawanya masuk ke dalam mobil dan menyuruh David mengantarnya ke rumah sakit.“Sayang, kok kamu bisa pingsan seperti ini?” ucapnya lagi seraya mengusap lembut kepala Sania yang tertutup hijab.Sementara David, dia terus saja menatap wajah sang mertua dari kaca spion depan, memindai dua sejoli yang berada di belakangnya dengan ekspresi tidak suka. Lebih tepatnya cemburu melihat kemesraan yang selalu ditunjukkan oleh Sania dan Sadewa, sementara dia tidak pernah berlaku seperti itu saat bersama Clarissa.Setelah menembus jalanan kota selama kurang lebih lima belas menit, perputaran keempat roda mobil milik Sadewa berhenti tepat di depan instalasi gawat darurat sebuah rumah sakit.Gegas Sadewa kembali menggendong tubuh istrinya yang tergolek tidak berdaya, berteriak memanggil suster meminta dibawaka
Apa Sania tidak bahagia dengan kabar ini? Pikirnya.Akan tetapi dia segera membuang jauh-jauh pemikiran itu, dan kembali mengulas senyum menyambut kehadiran calon buah hati.Selesai memeriksa kandungan Sania, dokter berwajah cantik serta kulit putih itu memeriksa catatan medis yang diberikan dokter yang menangani sebelumnya, lalu memberikan sedikit arahan kepada sepasang suami istri itu cara untuk menjaga kesehatan selama masa kehamilan.“Menurut catatan medis dari Dokter Ria, Ibu mengalami keram perut, dehidrasi parah juga kelelahan. Sepertinya kalian masih pengantin baru ya?” tanya dokter kandungan dan dijawab anggukan oleh Sadewa.“Begini, Pak. Untuk jaga-jaga, selama Ibu masih mengalami kram perut, sebaiknya Bapak jangan ngajak campur dulu. Soalnya itu sangat berisiko terhadap calon janin kalian, dan, kalaupun sedang melakukan ‘olahraga’ harus dikontrol semangatnya. Pelan-pelan saja!” pesan sang dokter membuat Sadewa langsung meneguk saliva dengan susah payah.Puasa? Gumamnya dala
Sania mengangguk pelan. Dia lalu mengajak sang suami untuk turun ke bawah, menikmati roti bakar yang sudah disediakan oleh Mbok Darmi karena saat ini Sania sedang tidak bisa menyantap nasi.Dan sepertinya janjinya, Sadewa mengajak sang istri bertandang ke rumah orang tuanya, menjajakan kaki di rumah Sania untuk yang pertama kalinya semenjak menjadi menantu Romi.Beberapa pasang mata memperhatikan sambil berbisik kala sepasang suami istri itu turun dari mobil, apalagi ketika melihat dengan penuh kasih sayang lelaki berusia empat puluh lima tahun itu merangkul pundak Sania.“Duh, kalo udah bau tanah dan nikah sama daun muda, kira-kira pas lagi nyampur ngos-ngosan nggak ya?” celetuk salah seorang Ibu yang sedang memilih sayuran tidak jauh dari Sadewa memarkirkan kendaraan roda empatnya.“Saya agak ngeri pas lagi nganu malah kena serangan jantung!” timpal si ibu berkacamata.Mendengar kata-kata itu, Sadewa mengepalkan tangan, namun, Sania langsung menggenggam erat jemari suaminya, menggel
Si pemilik tubuh atletis menarik hidung Sania dan segera menyalami tangan mertuanya, melangkahkan kaki keluar dari rumah menuju tempat dimana dia memarkirkan mobil.***Sambil menyalakan mesin kendaraan roda empatnya Sadewa bersenandung ria, karena semenjak menikah dan menjadikan Sania sebagai istri seutuhnya dia merasa teramat bahagia. Hidupnya lebih berwarna juga berarti. Hanya bahagia, bahagia, dan bahagia yang menyelimuti hari-harinya.Lampu lalu lintas di depan komplek perumahan tempat Romi tinggal menyala merah. Tandanya semua kendaraan baik yang roda empat maupun roda dua harus berhenti, dan mata Sadewa menyipit ketika melihat seorang laki-laki persis seperti Kevin sedang berboncengan dengan perempuan sambil bercanda ria.Sadewa menurunkan kaca mobil, ingin memastikan kalau yang dia lihat benar-benar putranya, namun, tiba-tiba lampu lalu lintas menyala hijau dan sepeda motor yang ditumpangi pria yang persis sekali seperti Kevin tersebut langsung melesat cepat menjauh dari kenda
Perputaran keempat roda kendaraan pria dengan rahang tegas serta tubuh atletis itu berhenti tepat di depan sebuah bangunan sederhana yang ditinggali Lisa. Sadewa mengetuk pintu perlahan sambil mengucap salam, dan tidak lama kemudian seraut wajah lelah muncul seraya mengelus perut yang terlihat menggendut.“Ayah? Tumben ke sini? Apa kabar?” sapa sang pemilik rumah sembari mengambil tangan mertuanya dan mencium bagian punggungnya dengan khidmat.“Kevin mana, Sa? Saya mau bertemu dengan dia. Ada yang mau saya bicarakan. Penting!”Lisa menundukkan wajah sambil menangis.“Semenjak kami menikah, dia tidak pernah datang ke sini, Yah. Bahkan dia tidak pernah memberiku nafkah sama sekali,” lirih perempuan itu berujar, laksana angin yang sedang berkesiur.“Kamu tidak membohongi saya, ‘kan?”“Demi Allah, aku tidak pernah bohong.”Sadewa membuang napas kasar.Apa iya Kevin masih dibui, dan lelaki yang dia lihat tadi pagi hanya kebetulan mirip saja?Pria berhidung bangir tersebut memijat pelipis,
“Om, sabar!” Sania merangkul lengan sang suami, menggenggam erat jemari pria yang berdiri dengan gagah di sebelahnya meredam amarah yang mulai berkobar bagai api yang siap menghanguskan siapa saja yang ada di dekatnya. “Asal kalian tau, ibu-ibu. Wanita itu sudah meninggalkan saya sejak dua puluh empat tahun yang lalu, meninggalkan kedua anaknya yang masih batita karena saya miskin. Sekarang, setelah dia dicampakkan dan dibuang oleh suami barunya, juga tau kalau saya sudah mapan, dia terus saja mencoba merayu saya. Bahkan dia pernah mengajak saya untuk bertemu dan ngamar, padahal dia sudah tau kalau saat ini saya sudah menikah. Dia juga berani mengirim foto seksinya kepada saya, terus mengganggu hidup saya dan selalu berusaha menghancurkan rumah tangga saya dan Sania. Sekarang, siapa pelakor sebenarnya. Dia, atau Sania?!” sungut Sadewa muntap. “Bohong! Jangan percaya sama dia!” sanggah Veronika. “Ini, saya masih menyimpan chatnya. Silakan ibu-ibu liat sendiri!” Lelaki bertubuh atlet
Tangis sahabat seperjuangannya itu semakin pecah ketika melihat sang mertua datang. Sadewa ikut duduk di lantai, menatap lemas dengan air mata sudah merebak dari balik kelopak.“Maaf, Pak. Silakan anak-anaknya diazani dulu!” Seorang perempuan berseragam khas perawatan keluar sambil tersenyum, menyuruh Aditya segera masuk untuk mengazani anak-anaknya.Sambil menghapus air mata laki-laki berkumis tipis itu berjalan masuk, menghampiri istrinya yang masih terbaring lemah dan menciumi pipinya sambil menangis.“Jangan cengeng, Abang. Masa seorang penembak jitu nangis sesenggukan begini?” ucap Clarissa sembari menerbitkan senyum.“Iya, Ca. Saking jitunya Abang nembak, sekali jadi langsung tiga! Makanya Abang terharu dan melihat perjuangan kamu melahirkan ketiga anak kita. Padahal, dokter kemarin Cuma bilang kalau kamu hamil kembar. Abang pikir Cuma dua. Ternyata malah tiga!” Aditya kembali mengusap air matanya.“Alhamdulillah, Bang. Rezeki kita langsung dikasih amanah banyak sama Allah. Ting
“Maaf, Sayang. Abang begitu mengkhawatirkan kamu soalnya. Plis jangan nangis. Abang liat kamu kesakitan saja sudah stres, ditambah liat kamu nangis. Abang minta maaf kalo Abang salah. Tolong jangan menangis. Mana yang sakit biar Abang elus-elus.” Aditya terus saja mencerocos sambil mengusap perut gendut istrinya.“Sakit semua, Bang!” Wanita berambut ikal itu melingkarkan tangan di pinggang, mencengkeram baju yang tengah dikenakan sang suami sambil meringis menahan sakit yang semakin terasa.“Minum air hangat dulu, Kak. Biar rileks!” Sania berjalan sambil menyodorkan segelas air putih hangat dan langsung disambar oleh menantunya, ditenggak habis hingga tersisa gelasnya saja.“Istri gue ngasih minum buat anak gue! Kenapa jadi lo yang minum?!” Sadewa menjitak kepala sahabatnya itu.“Maaf, Wa. Aku terlalu grogi!”“Wa...Wa... Dasar mantu durjana, sama mertua sendiri panggil nama. Nanti gue coret kamu dari daftar keluarga!” protes sang pemilik rahang tegas sambil menjitak kepala Aditya seka
“Naik motor, ya Bang. Ica pengen peluk Abang dari belakang!”Lelaki berambut cepak itu menghela napas berat, akan tetapi dia tidak berani menolak permintaan si istri, karena saat ini Clarissa tengah berbadan dua dan perasaannya begitu sensitif. Ia pun akhirnya mendorong sepeda motor miliknya keluar, menyuruh Clarissa merapatkan tubuh serta memeluknya dan segera melajukan kendaraan roda dua miliknya menuju tukang sate langganan.Clarissa tersenyum sembari menyenderkan kepala di punggung sang suami, merasa begitu nyaman serta bahagia hidup bersama sahabat ayahnya yang kini sudah sah menjadi suaminya.Tidak seperti saat membina biduk rumah tangga dengan David dulu, yang penuh luka juga liku. David tidak pernah berlaku manis, bahkan sekedar tersenyum kepadanya pun tidak pernah. Hanya luka yang selalu ditorehkan, baik di sanubari maupun fisiknya.“Terima kasih, ya Bang,” bisiknya seraya mempererat dekapan.“Untuk apa?” Raditya menggenggam jemari Clarissa yang tengah bertengger di pinggang.
Pagi-pagi sekali Sania sudah berjibaku di dapur menyiapkan sarapan untuk suami serta putranya. Kebetulan hari ini Mbak Resti izin libur, karena suaminya sedang kurang sehat jadi Sania harus menyiapkan segala sendiri.“Assalamualaikum, selamat pagi bidadari,” sapa Sadewa sembari melingkarkan tangan di pinggang sang istri.“Emangnya aku secantik bidadari, Yah?”“Lebih cantik dari bidadari malahan. Kamu itu luar biasa. Wanita tercantik yang pernah aku temui juga perempuan terbaik yang pernah aku kenal. Kamu adalah jantung serta napasku, dan tanpamu mungkin aku tidak akan sanggup lagi untuk hidup serta berdiri. Terima kasih atas cinta yang selama ini kamu curahkan kepadaku, terima kasih juga karena sudah mau menjadi ibu dari anak-anakku!” bisiknya mesra di telinga istrinya.Saat sedang santap pagi terdengar suara pintu diketuk nyaring. Sania segera keluar untuk melihat siapa yang datang, dan ternyata Malvin—anaknya Darmi yang bertamu. Sania mengulas senyum tipis kepada anak mantan asisten
“Sudah, buruan dimakan. Biar dedeknya tambah besar!”“Iya, Yah. Ayah juga sebaiknya cepat makan. Nanti Embun habisin loh, jatahnya kalau Cuma diliatin doang.”“Kalau mau silakan habiskan. Kalau kamu minta sekalian dibeli sama kios-kiosnya juga akan aku turuti.”“Ish! Memangnya mau buat apaan?” Sania mencebik. Perempuan berhijab ungu itu segera memotong makanan berbentuk bulat dengan isi tertelan daging tersebut dan lekas menyantapnya dengan semangat, hingga keringat sebiji-biji kacang hijau menitik di dahinya.Buru-buru Sadewa menarik dua lembar tisu, mengelap peluh yang membuat istrinya semakin terlihat bertambah menawan sambil tidak henti-hentinya mengagumi wajah cantik Sania.“Kenapa Ayah liatin aku seperti itu?” Sania menghentikan aktivitasnya menyantap bakso karena terus diperhatikan.“Kamu cantik. Aku mencintai kamu!”“Aku tau, kok, kalau Ayah begitu mencintai aku.”“Aku mencintai kamu lebih dari yang kamu tahu, Mbun. Cinta di hati ini begitu besar, dan bahkan tiap detiknya kian
“Abang ngapain? Kok malah olah raga?” tanya Clarissa seraya menatap bingung ke arah suaminya.“Sayangku itu bagaimana sih? Tadi katanya Abang suruh pemanasan. Sekarang malah ditanya lagi ngapain?”Hah? Mulut perempuan berambut ikal itu menganga lebar.Seriusan ini laki nggak mudeng pemanasan? Pikirnya.“Bang, maksud aku pemanasan itu bukan seperti itu. Tapi...Ah, masa Abang tidak tahu. Kan aneh, Abang ini duda, masa nggak paham pemanasan sebelum perang?” Kedua bulat bening milik Clarissa terus saja menatap wajah Aditya yang terlihat basah oleh keringat juga sudah ngos-ngosan.“Sebenarnya, Abang belum pernah perang sebelumnya, Ca. Abang...” Dia menggaruk kepala yang sebenarnya tidak gatal. “Abang dulu belum sempat kikuk-kikuk sama mantan istri Abang. Dia menolak disentuh sama Abang, dan ternyata setelah beberapa bulan usia pernikahan kami, Abang baru tahu kalau dia sedang mengandung benih orang lain!”“Ya Allah, Bang. Miris sekali kisah cinta Abang dulu. Berarti Abang duda perjaka, don
“Saya terima nikah dan kawinnya Clarissa Arabella binti Veronika untuk diri saya, dengan mas kawin tersebut tunai!” Dengan sekali tarikan napas dan semangat empat lima Aditya mengucap ijab qobul di depan penghulu juga beberapa orang saksi, memindahkan tanggung jawab serta dosa-dosa wanita yang telah resmi menjadi pendamping hidupnya.Clarissa menghampiri lelaki yang kini menyandang gelar suami, menyalami dan mencium bagian punggungnya dengan takzim, disambut ciuman hangat di kening dan Aditya segera membacakan doa setelah ijab kabul.“Alhamdulillah. Akhirnya aku bisa menghalalkan anak kamu, Wa,” ucap Aditya ketika kedua mempelai disuruh sungkeman.“Coba sekali lagi kamu panggilan saya apa?” Kedua manik hitam lawan bicaranya melotot, menatap sang menantu yang tidak ada sopan-sopannya sama sekali.“Lah, saya harus panggil apa, Wa?”“Wa! Wa! Hargai saya sedikit lah, Dit. Saya ini ayahnya Ica dan Ica istri kamu. Otomatis kamu sudah menjadi menantu saya. Harusnya kamu panggil saya ayah. Ja
Kevin tertawa mendengar kabar tersebut, merasa lucu saja jika sang kakak benar-benar menikahi sahabat ayahnya itu.“Kenapa kamu ketawa seperti itu, Kevin? Ada apa? Memangnya nggak boleh, saya nikah sama Ica?” Timpal Aditya yang ternyata sudah berdiri tidak jauh dari tempat kevin serta Sania bercengkerama.“Ya lucu saja, Om. Om kan ... ya sudahlah. Asalkan Om setia dan menyayangi kakak saya. Usia nggak jadi penghalang. Yang penting saling mencintai!” Kevin menjawab sambil menahan tawa.“Tumben kamu lempeng, Vin?”“Kan sudah berguru sama Om waktu saya dipenjara!” kekehnya lagi.Tidak lama kemudian Clarissa keluar sambil menggendong Angel putrinya. Senyum terkembang di bibir merah perempuan itu, apalagi ketika melihat Lisa bersama putrinya datang bertamu untuk pertama kalinya.“Alhamdulillah akhirnya kamu mau main ke rumah juga, Sa. Kakak seneng kamu dateng,” ucap wanita berambut ikal itu seraya menyalami sang adik ipar.“Terima kasih, Kak.”“Hayo masuk ke dalam. Kita ngobrol-ngobrolnya
"Silakan lakukan kalo Mama berani. Aku pastikan Ayah dan Bang Adit tidak akan memberi ampun sama Mama, apalagi sampai melepaskan Mama!" Clarissa mengancam balik. Aditya yang merasa namanya disebut dengan embel-embel 'Bang', tersenyum semringah dan langsung memasang wajah serius serta jemawa. "Maaf, ibu yang pake baju hijau!" Dia menunjuk salah seorang perempuan yang tengah merekam kejadian dan memintanya untuk menghampiri dirinya. "Ma--maaf, Pak. Saya cuma iseng-iseng merekam. Kalo Bapak tidak berkenan akan saya hapus!" Wajah si ibu tampak ketakutan. "Tidak perlu takut, Bu. Saya seorang anggota polisi dan saya akan meminta video yang ibu rekam tadi sebagai barang bukti untuk menjebloskan mantan mertua calon istri saya ke penjara," ucap Aditya kemudian, membuat mamanya David bertambah ketakutan. "Pak, saya tadi cuma bercanda loh. Saya nggak serius ngancem Ica. Lagian Enjel itu kan cucu saya. Mana mungkin saya berani menculik dan menjualnya. Tolong jangan penjarakan saya, Pak Adit.