Di dunia ini, ada banyak sekali ketakutan-ketakutan yang Kamila alami. Salah satunya adiknya yang mulai bertumbuh dan mengerti banyak hal. Contohnya, saat ini. Arfin menatapnya sendu dengan air mata berlinang. “Apa Tuan Aron menyiksa, Kakak? Katakan pada Arfin, mereka memperlakukan Kak Mila buruk, bukan?” “Arfin ….” “Arfin melihat bagaimana mereka menyuruh Kakak bekerja, dan meneriaki Kak Mila ketika berbuat salah!” Arfin memegang erat tangan Kamila, tubuh kecil itu bergtar kala tangisnya semakin pecah. “Jika Kakak tidak kuat, ayo kita pergi dari sini. Arfin tidak apa-apa hidup sederhana seperti dulu lagi, asalkan Kak Mila tidak disakiti lagi.” Kamila terududuk, secara perlahan ia merengkuh tubuh kecil sang adik. Wanita itu menangis keras, ia tak pernah menyangka jika keputusannya akan membuat Arfin menyaksikan semua ini. Kamila pikir Arfin tak akan mengerti semua yang terjadi, tapi ia salah besar. Adik kecilnya berubah menjadi pengamat hebat. “Maaf, Sayang. Maaf telah membaw
“Apa yang kau lakukan pada Relin!” Kamila tersentak ketika mendengar suara bariton dari belakang punggungnya. Belum sempat ia menoleh, Aron sudah mencekal lengan kurusnya. Dan kini posisi mereka saling berhadapan. “Katakan, mengapa kau membuatnya menangis!” Aron menyorot Kamila tajam, wajah pria itu memerah menahan amarah. “Saya tidak mengatakan apa pun, Anda bisa tanya sendiri ke Nyonya Relin,” jawab Kamila tenang. Walau dalam hati begitu takut melihat ekspresi Aron yang diliputi kemarahan. “Saya tidak perlu bertanya pada Relin, jelas-jelas dia bersedih karenamu!” Aron memegang bahu Kamila, seolah ingin meremukkan tubuh ringkih itu. “Pasti sebentar lagi kau mengadu pada Bimo jika saya memarahimu, huh?” bisiknya tajam. Kamila yang sedari tadi memejamkan mata karena takut menjadi membeku, secara perlahan kelopak matanya terbuka, netra itu menyorot Aron penuh kebingungan. “Apa hubungannya dengan Tuan Bimo? Saya sama sekali tidak mengerti.” Lirihnya. Aron mengumpat dalam hati,
“Kandungannya sehat, dan sepertinya sang Ibu juga sedang berbahagia terus, ya?” ucap dokter cantik itu. Relin terkekeh, kedua pipinya bersemu merah. Apalagi kala mengingat Aron yang sedang menemaninya ke klinik untuk memeriksa kandungan. Meskipun sedikit kesal karena pria itu tak mau ikut ke dalam bersamanya. “Saya juga salut dengan Nyonya Relin, pasti berat sekali ditinggal oleh suami dalam keadaan hamil muda. Tapi untungnya Tuan Aron sangat memperhatikan Anda, dan semoga bisa berjodoh, karena saya dari dulu mengikuti kisah cinta Kalian.” Dokter itu tahu ia sedikit lancang, tapi siapa yang tak mau panjat sosial dengan orang terdekat sultan di kota ini?Relin tersenyum lebar. “Apakah Anda salah satu teman kuliah kami dulu? Maaf saya tidak mengenal semuanya,” tanya Relin, pasalnya dokter ini terlihat seumuran dengannya. “Benar, kita satu kampus. Tapi Anda serta Tuan Aron adalah kakak tingkat saya.”Relin mengangguk paham, obrolan mereka mulai mengalir dan melebar ke mana-mana. Semen
“Mencari mereka saja kalian tidak becus!” Aron berteriak murka, semua anak buah Bimo serta penjaga gudang sudah habis babak belur olehnya, tak ada yang bisa menghentikan pria itu. Ia seperti orang kesetanan beberapa jam yang lalu. “Tu–tuan muda, kita semua berjanji akan mencari mereka lagi. Sepertinya mereka sedang bersembunyi tak jauh dari sini,” ucap salah satu pria berbadan kekar dengan sudut bibir mengeluarkan darah segar.Aron terdiam, aura di sekelilingnya tampak mencekam. Kilat murka masih menyala-nyala pada netra amber itu, rasanya ia ingin menghancurkan apa pun detik ini juga. “Pergi kalian semua dari hadapan saya, dan cepat cari keberadaan Kamila. Jika tidak menemukannya—kalian tahu sendiri akibatnya!” sergah pria itu lantang. Sontak saja titah sang tuan muda langsung membuat mereka semua bergegas pergi dan berpencar, kemarahan Aron kali ini benar-benar membuat nyali menciut. Dan orang normal tentu saja memilih untuk menjauh daripada kena amuknya. “Tuan, apa yang Anda laku
Pernah merasakan hancur dan sesak tapi tidak tahu penyebabnya? Ya, begitulah yang Aron rasakan saat ini. Pria itu meremas pakaian Kamila, ia terduduk di ruang kerja yang terapat di kedimannya dengan tatapan kosong. Polisi sedang memeriksa tempat kejadian perkara, dan ada jejak sidik jari Kamila serta Arfin pada besi pembatas. Sayangnya memang tak ada CCTV di sana, dan lokasinya juga jauh di dari pemukiman warga. Jadi, tak ada sanksi mata. “Saya yakin kau tidak melakukan hal bodoh ini, katakan—di mana kau bersembunyi,” tekan Aron dingin dingin. Menatap tajam sepenggal pakaian Kamila yang tersisa. “Selamat sore, Tuan.” Aron menoleh ke sumber suara, terlihat Bimo yang melangkah mendekat dan berdiri di hadapannya. “Katakan, bagaimana kelanjutannya.” “Begini, Tuan. Polisi dan basarnas sudah melakukan pencarian sampai ke muara, tapi tidak ada hasil. Pencarian pun dihentikan sementara karena arus sungai yang tak bersahabat, dan dilanjutkan esok hari,” jelas Bimo. “Kerahkan orangmu
“Dokter Relin, sendiri saja?” Wanita itu mendongak, melihat rekan kerjanya. “Iya, Dokter. Saya sedang menunggu Bibi Dona.” Relin menjawab santai sembari mempersilahkan sang empu untuk duduk. “Ah, ya. Saya turut sedih atas apa yang menimpa Dokter Tama, semoga beliau segera pulih.” Relin tersenyum tipis. “Aamiin, omong-omong Dokter belum pulang? Sudah pukul sebelas malam.” Wanita itu terkekeh pelan. “Awalnya mau pulang, tapi mampir dulu ke kantin buat beli coffee. Eh, taunya melihat Dokter Relin sendirian sedang makan malam.” Relin yang sedang menyantap nasi goreng di hadapannya tersenyum manis. “Iya, nih. Tumben sekali adik bayinya mau makan nasi malam-malam.” “Tapi Dokter Relin, walau sedang hamil justru semakin cantik dan seksi. Jadi, siapa yang tidak kepincut.” Wanita itu meringis. “Maksud saya, Anda sangat menarik dalam keadaan apa pun.” Relin terkekeh serak. “Terima kasih atas pujiannya,” ucapnya malu-malu.“Sama-sama Dokter, dan saya doakan semoga bisa bersama Tuan Aron
Relin yang akan menemui Dona seketika tersentak kala berpapasan dengan Aron, pria itu berlari tergesa-gesa dengan wajah pucat pasi. Dan herannya mengapa Aron tak menghiraukan keberadaanya.“Aron!” Relin berlari kecil dan menarik tangan sang empu, benar saja. Aron langsung berhenti walau tak menoleh. “Kau—”“Lepaskan,” selanya dingin. Relin terperangah, ada apa dengan pria itu. Sungguh ia tak suka jika Aron bersikap acuh tak acuh seperti ini. “Kau kenapa?” Ia semakin mendekat dan berdiri di depan sang empu. “Wajahmu pucat,” bisiknya, lalu menangkup wajah Aron. “Lepaskan!” sentaknya kesal.Seketika jantung wanita itu mencelos, jika tak berpegangan pada tembok di sampingnya, mungkin ia akan jatuh dari tangga. “Tuan!” Suara teriakan Bimo menyentak atensi Aron, dengan cepat pria itu berlari menjauh, tanpa menghiraukan Relin yang masih membeku atas sikap kasarnya tadi. Ketika sudah sampai di dalam BMW-nya, Aron bergegas menancap gas membelah jalan raya. Pikirannya sedang kalut sekarang,
“Tuan, Anda sudah siuman?”Aron tersentak saat melihat Bimo yang sudah berdiri di samping kasurnya, ketika ingin duduk ia meringis karena kepalanya berdenyut hebat. “Apa yang terjadi?” tanya pria itu serak. “Anda ditemukan pingsan di jembatan, apa yang Anda lakukan saat hujan deras seperti itu?” Bimo bertanya balik, sangat khawatir ketika ia dan timnya berpencar mencari Aron semalam, dan menemukan sang empu sudah tak sadarkan diri.Aron terdiam, memejamkan mata sembari memijat pelipis pelan. Terakhir yang ia ingat sedang berhenti di jembatan sambil memikirkan cara untuk turun menyusuri sungai panjang itu dalam keadaan hujan deras. “Pukul berapa sekarang?” Lirihnya tanpa menjawab pertanyaan Bimo.“Pukul dua siang, Tuan,” balas Bimo.Kening Aron berkerut bingung, selama itukah ia memejamkan mata? Pria itu mengusap keningnya yang terasa begitu panas—ah, tapi seluruh tubuhnya juga. Sepertinya ia demam tinggi. “Siapkan mobil, dan kerahkan semua anak buahmu untuk terus mencari Kamila. J
Kamila menatap kosong ke depan, Aron yang sejak tadi memeluknya ikut merasa sedih. Ini semua adalah mimpi buruk baginya, ia hanya tertidur sebentar di mobil. Lalu tiba-tiba sudah berakhir di rumah sakit, setelah siuman justru menerima berita kehilangan sang buah hati. “Aku egois ya, Mas? Andai aku tidak membuntuti Relin, mungkin anak kita masih ada di sini,” kata Kamila setelah kebisuan panjang. Wanita itu mengusap perutnya yang rata, satu bulan berlalu. Duka itu masih menyapa, sakit dan perih akan kehilangan yang tak pernah terduga. “Sayang, dengarkan aku.” Aron menangkup wajah Kamila, menatap mata wanita yang dicintainya itu. “Kau boleh bersedih, tapi jangan berlarut-larut. Aku tidak mau Ayana serta Saga merasa tersisihkan.” Kamila tertegun, tanpa sadar sudah abai dengan keberadaan si kembar lantaran larut akan kesedihan. “Ayana, Saga ….” Lirih wanita itu. “Ya, mereka takut mendekat padamu. Terkadang Ayana maupun Saga hanya melihatmu dari celah pintu,” jelas Aron, membuang pa
Nyatanya, kebahagian itu tak pernah berpihak padaku ~Kamila Cahaya *** Semua yang terjadi di hadapannya begitu cepat, menarik napas pun terasa sulit. Kamila memegang tangan dingin Aron. Ia bodoh dan ceroboh, sehingga melakukan sesuatu tanpa berpikir panjang. “Tolong! Siapa pun tolong!” Wanita itu menjerit seraya memukul kaca mobilnya. Tak berselang lama, suara pecahan kaca serta teriakan orang-orang mulai terdengar. Sedangkan Kamila, bukannya merasa lega. Justru ia semakin panik kala melihat darah yang mengaliri betisnya. Kamila tercekat, napasnya memburu tak beraturan. Ia menoleh ke arah Aron, memegang tangan sang suami kuat. Sebelum kegelapan merenggut kesadarannya. *** Masayu duduk lemas tak bertenaga setelah menerima kabar jika mobil yang Relin serta Sandra tumpangi menabrak pembatas jembatan. Lantas jatuh ke bawah dan sampai sekarang tak bisa ditemukan. Belum lagi Kamila, Aron serta Bimo kecelakaan di lokasi yang sama dengan Relin, tapi bedanya mereka hanya
“Mas .…” Kamila menyentuh pelan bahu Aron. Ia menggigit bibir bawah ketika melihat tatapan kosong sang suami. “Mila, Erza pergi untuk selamanya. Apakah sikapku keterlaluan selama ini? Aku kecewa padanya. Tapi bukan berarti dia—” Napas Aron tercekat, pria itu mendongkak, menghalau air mata yang hendak keluar. Ia kembali menunduk, melihat gundukan tanah di hadapannya. Erza memeng tak bisa diselamatkan, pria itu ditemukan sudah tak bernyawa. Mengingat terlalu banyak menghirup asap, serta luka bakar yang yang didapat. “Mas, aku tahu jika ini pasti sangat berat. Ada aku di sini, Mas tidak sendiri.” Kamila memeluk sang suami, ia bisa merasakan napas lelah pria itu yang berhembus di ceruk lehernya. “Tuan, hujan sudah mulai turun. Apakah tidak sebaiknya kita berteduh?” tanya Bimo pelan. Tak tahan melihat Aron yang mendapat kesedihan secara bertubi-tubi. Bimo sudah menganggap pria itu seperti adiknya sendiri, dan ia ikut merasakan kesakitan Aron.Aron melepas pelukannya dari Kamila, lant
“Kemungkinan besar dia dijatuhi hukuman seumur hidup, mengingat Erza juga terlibat dalam pembunuhan berencana. Ayahnya pun sudah tutup mata dan memutuskan hubungan dengan Erza. Sementara Relin, hingga saat ini belum ditemukan,” jelas Tama menatap ke arah Aron yang sedang menatap jauh ke depan. Satu bulan sejak terakhir kali ia bertemu dengan Erza, Tama ingat betul kala orang tua Panji menyumpahi Erza dengan kemarahan membeli buta, tak lupa mengutuk menantunya yang tidak lain adalah Relin, meskipun wanita itu menghilang entah ke mana.“Apa si Brengsek itu menyesali semua perbuatannya?” tanya Aron dingin, setelah keheningan panjang.Tama menghembuskan napas berat, meneliti ekspresi sang putra yang terlihat kecewa serta marah. “Tentu saja dia menyesal, seperti yang Ayah katakan satu bulan yang lalu. Jika dia ingin bertemu denganmu untuk meminta maaf, tapi mengingat kau yang tak mau melihat wajahnya. Jadi, Ayah tidak bisa memaksa.”“Syukurlah dia sadar diri, memang orang jahat sepertin
“Setelah saya selidiki semuanya, ternyata Tuan Erza juga yang membakar kebun apel Anda. Dia mengaku telah mengambil cincin Tuan Farzan dan ditaruh di lokasi kejadian, agar kecurigaan kita mengarah padanya,” jelas Bimo. Pria itu menyesal karena dulu sempat berburuk sangka pada Farzan, tapi siangka Erza adalah dalang dari semua ini. Sungguh, tak pernah terbesit dalam pikirannya. Bimo kembali mengalihkan atensi pada Aron, terlihat jelas wajah kecewa serta terluka sang tuan. Ia turut sedih, mengingat Aron serta Erza berteman sejak kecil.“Lalu mengenai kasus Panji bagaimna?” tanya Aron setelh kebungkamn yang cukup panjang. “Sedang diurus oleh pengacara Anda, Tuan Erza juga sudah ditahan. Tadi siang ketika saya ke selnya, dia berpesan ingin melihat Anda,” ungkap Bimo hati-hti. “Tidak akan.” Aron mengeraskan rahang. “Jika saya bertemu dengannya, saya tak yakin jika dia masih bernapas esok hari.” Pria itu mengepalkan tangan, sudah seminggu sejak kematian Rendra, ia sama sekali tidak sudi
“Tunggu dulu, apa maksudnya jika Erza mendonorkan darahnya pada Rendra?” tanya Aron. Mencegah Erza yang hendak mengikuti Relin. “Mengapa kau memikirkan itu! Yang terpenting sekarang kami harus menyelamatkan Rendra!” bantah Relin kuat, menatap Aron tajam. “Bukan maksud saya seperti—” Perkataan Aron terhenti ketika dokter serta suster tergesa-gesa menuju ruangan Rendra. Mereka semua yang melihat itu tentu saja panik. Relin yang hendak masuk langsung dihentikan oleh Farzan. Membuat wanita itu menangis karena panik. “Mas ….” Lirih Kamila sembari memegang lengan Aron. Pria itu tersentak, baru menyadari jika sang istri sedari tadi bersamanya.“Tidak apa-apa, semuanya akan baik-baik saja,” kata Aron lembut. Berbanding terbalik dengan tatapan tajamnya ke arah Relin serta Erza. Satu jam berlalu, seorang dokter keluar. Pria itu menatap keluarga pasien dengan wajah tak terbaca. Lalu berucap, ”Pasien tidak bisa diselamatkan. Dia terlalu banyak kehilangan darah, ditambah lagi dengan penyakit
“Jadi, aku sudah boleh pulang?” tanya Aron sekali lagi. Kamila mengangguk pelan, sudah pukul delapan malam. Lantas mereka keluar dari hotel, menuju kediaman Dewangga. “Apa pun yang terjadi ke depannya, kau harus percaya padaku.” Aron mengecup punggung tangan Kamila, mengabaikan Bimo yang seperti nyamuk di antara mereka.“Ya, asalkan jangan sembunyikan hal besar lagi dariku,” jawab Kamila. Aron mengangguk, mengusap rambut wanita itu lembut. Lalu menyandarkan kepala Kamila di dada bidangnya. “Mengenai Relin, ternyata dulu Mas tidak direstui, ya?” tanya Kamila pelan. Tubuh Aron terlihat menegang, tapi dengan cepat rileks kembali. “Ya, itu dulu. Sekarang ada dirimu da si kembar. Kami juga sudah bahagia dengan jalan hidup masing-masing.” Kamila terdiam, ia pikir Relin begitu diterima di keluarga Aron, mengingat dulu Dona sangat menyanjung sang sepupu.“Tuan, kita disuruh ke rumah sakit. Rendra jatuh dari tangga, dan keadaannya drop.”Perkataan Bimo menyentak Kamila dari lamunannya, b
“Enam tahun penjara?” tanya Aron dengan wajah kaku. “Benar, Tuan. Namun, hukuman yang sebenarnya dapat bervariasi tergantung pada pertimbangan hakim dan fakta yang terungkap dalam proses peradilan. Hakim bisa saja menjatuhkan hukuman penjara di bawah atau di atas enam tahun. Tapi balik lagi, itu semua tergantung pada keadaan kasus dan pertimbangan-pertimbangan lainnya seperti keadaan pelaku, korban, serta faktor-faktor pengurangan hukuman lainnya.”“Apanya yang enam tahun!” Seruan itu membuat Aron menoleh, ia tersentak ketika melihat Kamila yang menatapnya marah.“Jawab! Kenapa kau lakukan hal ini, Mas!” Kamila memukul dada Aron kuat, meremas kemeja yang pria itu kenakan dengan air mata yang sudah berjatuhan. “Ka–kamila … kau di sini?” tanya Aron linglung. Mengapa sang istri ke hotel tempatnya menginap? Wanita itu mendongak. “Ya, aku ke sini untuk membawamu pulang. Sudah cukup kebodohan yang kau lakukan, Mas. Ayo, lupakan semuanya. Ak–aku ….” Napas Kamila tercekat, tak bisa melanj
“Ibu, mengapa Ayah selalu menemuiku dan Saga di luar? Memangnya kenapa tidak di rumah saja?” tanya Ayana sembari menatap ke arah Kamila.Gadis kecil itu melihat kembali penampilannya pada cermin, setelah merasa cantik ia kembali menghadap ke arah Kamila.“Ayah sedang bekerja, Sayang. Mungkin setelah semuanya selesai baru dia pulang.” Wanita itu menjawab pelan, meski terdapat kekhawatiran pada raut wajahnya. “Oh … begitu. Padahal aku kangen tahu dibacakan dongeng sama Ayah. Memangnya Ibu tidak kangen sama Ayah?” Kamila melotot kaget, setelah itu tertawa canggung. “Ah, Yaya sangat cantik hari ini. Bagaimana jika sore ini kita ke taman? Ajak Aga juga nanti.” Ia mengalihkan pembicaraan, dan benar saja Ayana langsung mengangguk.“Siap, Bu! Nanti aku boleh makan ice cream ya, soalnya sudah satu minggu aku libur.” Gadis kecil itu mengerjap lucu, berharap Kamila luluh. “Tentu, Sayang. Hari ini Yaya dan Aga boleh makan ice cream, dan sekarang ambil tasnya ya.” Kamila mengacak rambut Ayana g