Masih misteri siapa yang membawa Kamila malam itu. Apakah Erza, Bimo atau Tama? Entahlah. Dan benrkah Aron ada kaitannya dengan kematian orang tua Kamila? Jika iya, mengapa dia tiidak tahu apa yang terjadi. Semoga kalian tidak jenuh menunggu titik terang dari teka teki ini.
“Dokter Relin, sendiri saja?” Wanita itu mendongak, melihat rekan kerjanya. “Iya, Dokter. Saya sedang menunggu Bibi Dona.” Relin menjawab santai sembari mempersilahkan sang empu untuk duduk. “Ah, ya. Saya turut sedih atas apa yang menimpa Dokter Tama, semoga beliau segera pulih.” Relin tersenyum tipis. “Aamiin, omong-omong Dokter belum pulang? Sudah pukul sebelas malam.” Wanita itu terkekeh pelan. “Awalnya mau pulang, tapi mampir dulu ke kantin buat beli coffee. Eh, taunya melihat Dokter Relin sendirian sedang makan malam.” Relin yang sedang menyantap nasi goreng di hadapannya tersenyum manis. “Iya, nih. Tumben sekali adik bayinya mau makan nasi malam-malam.” “Tapi Dokter Relin, walau sedang hamil justru semakin cantik dan seksi. Jadi, siapa yang tidak kepincut.” Wanita itu meringis. “Maksud saya, Anda sangat menarik dalam keadaan apa pun.” Relin terkekeh serak. “Terima kasih atas pujiannya,” ucapnya malu-malu.“Sama-sama Dokter, dan saya doakan semoga bisa bersama Tuan Aron
Relin yang akan menemui Dona seketika tersentak kala berpapasan dengan Aron, pria itu berlari tergesa-gesa dengan wajah pucat pasi. Dan herannya mengapa Aron tak menghiraukan keberadaanya.“Aron!” Relin berlari kecil dan menarik tangan sang empu, benar saja. Aron langsung berhenti walau tak menoleh. “Kau—”“Lepaskan,” selanya dingin. Relin terperangah, ada apa dengan pria itu. Sungguh ia tak suka jika Aron bersikap acuh tak acuh seperti ini. “Kau kenapa?” Ia semakin mendekat dan berdiri di depan sang empu. “Wajahmu pucat,” bisiknya, lalu menangkup wajah Aron. “Lepaskan!” sentaknya kesal.Seketika jantung wanita itu mencelos, jika tak berpegangan pada tembok di sampingnya, mungkin ia akan jatuh dari tangga. “Tuan!” Suara teriakan Bimo menyentak atensi Aron, dengan cepat pria itu berlari menjauh, tanpa menghiraukan Relin yang masih membeku atas sikap kasarnya tadi. Ketika sudah sampai di dalam BMW-nya, Aron bergegas menancap gas membelah jalan raya. Pikirannya sedang kalut sekarang,
“Tuan, Anda sudah siuman?”Aron tersentak saat melihat Bimo yang sudah berdiri di samping kasurnya, ketika ingin duduk ia meringis karena kepalanya berdenyut hebat. “Apa yang terjadi?” tanya pria itu serak. “Anda ditemukan pingsan di jembatan, apa yang Anda lakukan saat hujan deras seperti itu?” Bimo bertanya balik, sangat khawatir ketika ia dan timnya berpencar mencari Aron semalam, dan menemukan sang empu sudah tak sadarkan diri.Aron terdiam, memejamkan mata sembari memijat pelipis pelan. Terakhir yang ia ingat sedang berhenti di jembatan sambil memikirkan cara untuk turun menyusuri sungai panjang itu dalam keadaan hujan deras. “Pukul berapa sekarang?” Lirihnya tanpa menjawab pertanyaan Bimo.“Pukul dua siang, Tuan,” balas Bimo.Kening Aron berkerut bingung, selama itukah ia memejamkan mata? Pria itu mengusap keningnya yang terasa begitu panas—ah, tapi seluruh tubuhnya juga. Sepertinya ia demam tinggi. “Siapkan mobil, dan kerahkan semua anak buahmu untuk terus mencari Kamila. J
Berbulan-bulan sudah Kamila pergi, hidup Aron berjalan seperti biasa. Namun, hanya kekosongan yang dirasakan. Ia tak tahu, ternyata wanita itu mempengaruhinya begitu besar. Ia juga sudah mengerahkan seluruh anak buahnya, baik mencari Kamila di bandara maupun pelabuhan. “Jika Kamila ke luar negeri, tidak mungkin, bukan? Wanita itu sama sekali tak memiliki sanak saudara,” ungkap Aron. “Benar, Tuan. Apakah ada orang di balik semua ini? Mengingat Nyonya Kamila sama sekali tak meninggalkan jejak,” tanya Bimo. “Tidak mungkin, dia sama sekali tak memiliki koneksi dengan siapa pun, kau tahu sendiri jika sedari kecil dia hidup di desa. Dan ketika ke kota, Kamila selalu berada di rumah ini,” jawab Aron lugas. Bimo menghembuskan napas berat. “Kalau pergi ke luar kota, pasti menggunakan data diri lengkap, tapi Tuan mengatakan jika Nyonya Kamila sama sekali tak membawa apa pun pada malam itu.” Bimo berucap lirih, tapi masih bisa didengar oleh sang tuan muda. Aron termenung, bagaimana mungkin
“Bukankah kau berjanji akan menikahiku?” Pria itu terdiam seraya mengalihkan atensi ke arah lain, wajah tampannya semakin bersinar tatkala terkena sinar mentari pagi. Kendati demikian, tatapan mata amber itu tak bisa berbohong jika ia menyimpan begitu banyak beban serta kesedihan.“Aron, bukankah dulu kau meminta untuk kembali? Dan sekarang kenapa sikapmu berubah, bahkan ketika sampai aku akan melahirkan.” Lirih Relin penuh derita. Berbulan-bulan semenjak kepergian wanita yang bernama Kamila itu pergi—dan sikap Aron kian mendingin. Tidak bisa, pria ini tak boleh mempermainkannya begitu saja. HPL-nya diperkirakan satu minggu lagi, dan ia butuh support dari orang tercinta. “Saya sedang keliru mengenai itu, dan juga—kau tentu tahu jika saya masih berstatus suami Kamila.” Kini ia mengalihkan atensinya pada Relin.Wanita itu membeku dengan napas memburu. “Mengapa kau begitu tega?” tanya Relin tak percaya.”Kau thu bukan, jika anakku butuh figur seorang ayah. Dan dengan entengnya kau memut
Setelah tiga hari si kembar berada di inkubator—dan tepat pada hari ketujuh Kamila langsung pulang ke kediamannya, tentu saja dibantu oleh Bastara serta Agni. Mereka berdualah yang selalu tampak sibuk menyiapkan segala keperluannya. “Terima kasih, Tuan. Maaf merepotkan Anda,” ucap Kamila pada pria itu.“Tidak apa-apa, kau langsung istirahat saja. Ah, iya. Besok ada tukang bersih-bersih serta memasak ke sini, dia kerja dari pukul delapan pagi sampai empat sore,” ungkap Bastara. Kening Kamila berkerut. “Bukankah saya yang Tuan tugaskan untuk merawat rumah ini?”Bastara terkekeh serak. “Tentu, tapi tidak mungkin kau bersih-bersih serta memasak dengan keadaan seperti ini, bukan?” Kamila mengulum bibir, semakin tak enak kala merepotkan orang lain. Ia menatap cincin berlian yang tersemat di jari manisnya. Lalu membuka perlahan dan memberikannya pada Bastara. “Tuan, ambillah. Ini mahar dari suami saya, Anda bisa menjualnya untuk biaya rumah sakit dan biaya hidup saya sebelum memulai bekerj
“Apa maksudmu jika saya yang mengakhiri hubungan?” tanya Aron datar. Relin menunduk dengan wajah sedih. “Kau meminta usai karena aku tidak kunjung menerima lamaranmu, padahal kau tahu sendiri alasanku menolaknya.” Aron terdiam, ia mencoba mengingat-ingat. Namun, justru semakin pusing yang didapat. Relin mendongak, menatap Aron yang sedang meringis kesakitan. “Paman Tama tak kunjung menyetujui pertunangan kita karena dia ingin kau fokus pada bisnismu, di tengah kebingungan itu, ada Mas Panji yang mau menikahiku. Tentu aku tak bisa menolak, apalagi Ibu dan Ayah ingin segera menimang cucu.” Aron menatap wanita itu dengan napas tercekat. “Panji? Kau menikah dengan sepupu saya sendiri?” Relin mengangguk, dan mulai menceritakan dari awal Panji melamarnya, sampai sang suami pergi untuk selama-lamanya. Dan Aron, hanya bisa terdiam mendengar penjelasan Relin. Ia merasa bersalah karena sudah berpikiran buruk pada wanita cantik di sampingnya ini. Pria itu mengepalkan tangan, andai ayahnya
“Ayah?” Relin membuka mata perlahan ketika Farzan menepuk lembut keningnya. Ia menguap sebentar, lalu menekan tombol yang berada pada remot kontrol, biasanya terdapat di pagar pengaman tempat tidur pasien sisi sebelah kiri. Dan setelahnya wanita itu menyandarkan punggung senyaman mungkin. “Maaf, Ayah membangunkanmu, ya?” tanya Farzan sembari mengambil duduk di kursi samping hospital bed. Relin menggeleng singkat, melihat jam dinding yang sudah menunjukkan pukul delapan pagi. “Ayah tidak bekerja?” Farzan menghembuskan napas pelan. “Ayah akan ke kebun nanti siang, karena ada panen sayuran, sekalian mengecek proses recooling serta sortasi. Berhubung kemarin ada pelanggan Ayah yang komplain.”Relin mengangguk pelan, sudah lama rasanya ia tak mengobrol dengan sang ayah karena kesibukan masing-masing. Apalagi mereka tinggal terpisah. “Nak, sebenarnya sudah lama Ayah ingin bertanya mengenai hal ini padamu.” Farzan menatap putri satu-satunya penuh kelembutan. “Apa kau menjalin hubungan kem
Kamila menatap kosong ke depan, Aron yang sejak tadi memeluknya ikut merasa sedih. Ini semua adalah mimpi buruk baginya, ia hanya tertidur sebentar di mobil. Lalu tiba-tiba sudah berakhir di rumah sakit, setelah siuman justru menerima berita kehilangan sang buah hati. “Aku egois ya, Mas? Andai aku tidak membuntuti Relin, mungkin anak kita masih ada di sini,” kata Kamila setelah kebisuan panjang. Wanita itu mengusap perutnya yang rata, satu bulan berlalu. Duka itu masih menyapa, sakit dan perih akan kehilangan yang tak pernah terduga. “Sayang, dengarkan aku.” Aron menangkup wajah Kamila, menatap mata wanita yang dicintainya itu. “Kau boleh bersedih, tapi jangan berlarut-larut. Aku tidak mau Ayana serta Saga merasa tersisihkan.” Kamila tertegun, tanpa sadar sudah abai dengan keberadaan si kembar lantaran larut akan kesedihan. “Ayana, Saga ….” Lirih wanita itu. “Ya, mereka takut mendekat padamu. Terkadang Ayana maupun Saga hanya melihatmu dari celah pintu,” jelas Aron, membuang pa
Nyatanya, kebahagian itu tak pernah berpihak padaku ~Kamila Cahaya *** Semua yang terjadi di hadapannya begitu cepat, menarik napas pun terasa sulit. Kamila memegang tangan dingin Aron. Ia bodoh dan ceroboh, sehingga melakukan sesuatu tanpa berpikir panjang. “Tolong! Siapa pun tolong!” Wanita itu menjerit seraya memukul kaca mobilnya. Tak berselang lama, suara pecahan kaca serta teriakan orang-orang mulai terdengar. Sedangkan Kamila, bukannya merasa lega. Justru ia semakin panik kala melihat darah yang mengaliri betisnya. Kamila tercekat, napasnya memburu tak beraturan. Ia menoleh ke arah Aron, memegang tangan sang suami kuat. Sebelum kegelapan merenggut kesadarannya. *** Masayu duduk lemas tak bertenaga setelah menerima kabar jika mobil yang Relin serta Sandra tumpangi menabrak pembatas jembatan. Lantas jatuh ke bawah dan sampai sekarang tak bisa ditemukan. Belum lagi Kamila, Aron serta Bimo kecelakaan di lokasi yang sama dengan Relin, tapi bedanya mereka hanya
“Mas .…” Kamila menyentuh pelan bahu Aron. Ia menggigit bibir bawah ketika melihat tatapan kosong sang suami. “Mila, Erza pergi untuk selamanya. Apakah sikapku keterlaluan selama ini? Aku kecewa padanya. Tapi bukan berarti dia—” Napas Aron tercekat, pria itu mendongkak, menghalau air mata yang hendak keluar. Ia kembali menunduk, melihat gundukan tanah di hadapannya. Erza memeng tak bisa diselamatkan, pria itu ditemukan sudah tak bernyawa. Mengingat terlalu banyak menghirup asap, serta luka bakar yang yang didapat. “Mas, aku tahu jika ini pasti sangat berat. Ada aku di sini, Mas tidak sendiri.” Kamila memeluk sang suami, ia bisa merasakan napas lelah pria itu yang berhembus di ceruk lehernya. “Tuan, hujan sudah mulai turun. Apakah tidak sebaiknya kita berteduh?” tanya Bimo pelan. Tak tahan melihat Aron yang mendapat kesedihan secara bertubi-tubi. Bimo sudah menganggap pria itu seperti adiknya sendiri, dan ia ikut merasakan kesakitan Aron.Aron melepas pelukannya dari Kamila, lant
“Kemungkinan besar dia dijatuhi hukuman seumur hidup, mengingat Erza juga terlibat dalam pembunuhan berencana. Ayahnya pun sudah tutup mata dan memutuskan hubungan dengan Erza. Sementara Relin, hingga saat ini belum ditemukan,” jelas Tama menatap ke arah Aron yang sedang menatap jauh ke depan. Satu bulan sejak terakhir kali ia bertemu dengan Erza, Tama ingat betul kala orang tua Panji menyumpahi Erza dengan kemarahan membeli buta, tak lupa mengutuk menantunya yang tidak lain adalah Relin, meskipun wanita itu menghilang entah ke mana.“Apa si Brengsek itu menyesali semua perbuatannya?” tanya Aron dingin, setelah keheningan panjang.Tama menghembuskan napas berat, meneliti ekspresi sang putra yang terlihat kecewa serta marah. “Tentu saja dia menyesal, seperti yang Ayah katakan satu bulan yang lalu. Jika dia ingin bertemu denganmu untuk meminta maaf, tapi mengingat kau yang tak mau melihat wajahnya. Jadi, Ayah tidak bisa memaksa.”“Syukurlah dia sadar diri, memang orang jahat sepertin
“Setelah saya selidiki semuanya, ternyata Tuan Erza juga yang membakar kebun apel Anda. Dia mengaku telah mengambil cincin Tuan Farzan dan ditaruh di lokasi kejadian, agar kecurigaan kita mengarah padanya,” jelas Bimo. Pria itu menyesal karena dulu sempat berburuk sangka pada Farzan, tapi siangka Erza adalah dalang dari semua ini. Sungguh, tak pernah terbesit dalam pikirannya. Bimo kembali mengalihkan atensi pada Aron, terlihat jelas wajah kecewa serta terluka sang tuan. Ia turut sedih, mengingat Aron serta Erza berteman sejak kecil.“Lalu mengenai kasus Panji bagaimna?” tanya Aron setelh kebungkamn yang cukup panjang. “Sedang diurus oleh pengacara Anda, Tuan Erza juga sudah ditahan. Tadi siang ketika saya ke selnya, dia berpesan ingin melihat Anda,” ungkap Bimo hati-hti. “Tidak akan.” Aron mengeraskan rahang. “Jika saya bertemu dengannya, saya tak yakin jika dia masih bernapas esok hari.” Pria itu mengepalkan tangan, sudah seminggu sejak kematian Rendra, ia sama sekali tidak sudi
“Tunggu dulu, apa maksudnya jika Erza mendonorkan darahnya pada Rendra?” tanya Aron. Mencegah Erza yang hendak mengikuti Relin. “Mengapa kau memikirkan itu! Yang terpenting sekarang kami harus menyelamatkan Rendra!” bantah Relin kuat, menatap Aron tajam. “Bukan maksud saya seperti—” Perkataan Aron terhenti ketika dokter serta suster tergesa-gesa menuju ruangan Rendra. Mereka semua yang melihat itu tentu saja panik. Relin yang hendak masuk langsung dihentikan oleh Farzan. Membuat wanita itu menangis karena panik. “Mas ….” Lirih Kamila sembari memegang lengan Aron. Pria itu tersentak, baru menyadari jika sang istri sedari tadi bersamanya.“Tidak apa-apa, semuanya akan baik-baik saja,” kata Aron lembut. Berbanding terbalik dengan tatapan tajamnya ke arah Relin serta Erza. Satu jam berlalu, seorang dokter keluar. Pria itu menatap keluarga pasien dengan wajah tak terbaca. Lalu berucap, ”Pasien tidak bisa diselamatkan. Dia terlalu banyak kehilangan darah, ditambah lagi dengan penyakit
“Jadi, aku sudah boleh pulang?” tanya Aron sekali lagi. Kamila mengangguk pelan, sudah pukul delapan malam. Lantas mereka keluar dari hotel, menuju kediaman Dewangga. “Apa pun yang terjadi ke depannya, kau harus percaya padaku.” Aron mengecup punggung tangan Kamila, mengabaikan Bimo yang seperti nyamuk di antara mereka.“Ya, asalkan jangan sembunyikan hal besar lagi dariku,” jawab Kamila. Aron mengangguk, mengusap rambut wanita itu lembut. Lalu menyandarkan kepala Kamila di dada bidangnya. “Mengenai Relin, ternyata dulu Mas tidak direstui, ya?” tanya Kamila pelan. Tubuh Aron terlihat menegang, tapi dengan cepat rileks kembali. “Ya, itu dulu. Sekarang ada dirimu da si kembar. Kami juga sudah bahagia dengan jalan hidup masing-masing.” Kamila terdiam, ia pikir Relin begitu diterima di keluarga Aron, mengingat dulu Dona sangat menyanjung sang sepupu.“Tuan, kita disuruh ke rumah sakit. Rendra jatuh dari tangga, dan keadaannya drop.”Perkataan Bimo menyentak Kamila dari lamunannya, b
“Enam tahun penjara?” tanya Aron dengan wajah kaku. “Benar, Tuan. Namun, hukuman yang sebenarnya dapat bervariasi tergantung pada pertimbangan hakim dan fakta yang terungkap dalam proses peradilan. Hakim bisa saja menjatuhkan hukuman penjara di bawah atau di atas enam tahun. Tapi balik lagi, itu semua tergantung pada keadaan kasus dan pertimbangan-pertimbangan lainnya seperti keadaan pelaku, korban, serta faktor-faktor pengurangan hukuman lainnya.”“Apanya yang enam tahun!” Seruan itu membuat Aron menoleh, ia tersentak ketika melihat Kamila yang menatapnya marah.“Jawab! Kenapa kau lakukan hal ini, Mas!” Kamila memukul dada Aron kuat, meremas kemeja yang pria itu kenakan dengan air mata yang sudah berjatuhan. “Ka–kamila … kau di sini?” tanya Aron linglung. Mengapa sang istri ke hotel tempatnya menginap? Wanita itu mendongak. “Ya, aku ke sini untuk membawamu pulang. Sudah cukup kebodohan yang kau lakukan, Mas. Ayo, lupakan semuanya. Ak–aku ….” Napas Kamila tercekat, tak bisa melanj
“Ibu, mengapa Ayah selalu menemuiku dan Saga di luar? Memangnya kenapa tidak di rumah saja?” tanya Ayana sembari menatap ke arah Kamila.Gadis kecil itu melihat kembali penampilannya pada cermin, setelah merasa cantik ia kembali menghadap ke arah Kamila.“Ayah sedang bekerja, Sayang. Mungkin setelah semuanya selesai baru dia pulang.” Wanita itu menjawab pelan, meski terdapat kekhawatiran pada raut wajahnya. “Oh … begitu. Padahal aku kangen tahu dibacakan dongeng sama Ayah. Memangnya Ibu tidak kangen sama Ayah?” Kamila melotot kaget, setelah itu tertawa canggung. “Ah, Yaya sangat cantik hari ini. Bagaimana jika sore ini kita ke taman? Ajak Aga juga nanti.” Ia mengalihkan pembicaraan, dan benar saja Ayana langsung mengangguk.“Siap, Bu! Nanti aku boleh makan ice cream ya, soalnya sudah satu minggu aku libur.” Gadis kecil itu mengerjap lucu, berharap Kamila luluh. “Tentu, Sayang. Hari ini Yaya dan Aga boleh makan ice cream, dan sekarang ambil tasnya ya.” Kamila mengacak rambut Ayana g