AYAH? JADI, MEREKA???? Teng neng nong neng...... Team Relin Aron angkat tangan Kamila Aron komen uhuy
“Narendra, mengapa ke sini malam-malam?” tanya Aron sembari tersenyum tipis pada Rendra, anak laki-laki itu selalu berbinar kala melihatnya. “Rindu Ayah, Ibu bilang Ayah pasti ada di villa.” Rendra mengangkat kedua tangan, ingin duduk di pangkuan Aron. Tapi pria itu justru menggeser tubuhnya dan mendudukkan Rendra di sampingnya. Hal itu tak luput dari perhatian Bimo. “Sepertinya aku dan Rendra akan menginap di sini,” ungkap Relin santai.“Maaf, tapi jika bukan suami istri tidak diperbolehkan. Apalagi villa ini hanya ada dua kamar saja, untuk saya dan Tuan Aron sendiri.” Bimo seperti ibu yang melindungi anaknya dari marabahaya. Relin tampak tersinggung, terlihat dari raut wajahnya yang berubah masam. “Aron—”“Bimo benar, Relin. Di sini memang cukup untuk dua orang saja, jika kau mau saya bisa pesankan hotel di sekitar sini. Daripada kau pulang malam-malam ke villa bersama Renda,” sahut Aron santai. Sesekali mengusap punggung ringkih anak laki-laki di sampingnya. Relin tersenyum kik
Dona melangkah menuruni undakan tangga, kening wanita itu berkerut tatkala melihat kepala pelayannya yang keluar dari kamar bekas Kamila dulu. “Atika!” panggilnya.Wanita itu tergugu, menatap Dona takut-takut. “Kenapa kau ke kamar Kamila? Bukankah saya sudah katakan untuk jangan pernah membuka kamar itu lagi?” Dona mendekat, menyorot kepala pelayannya penuh curiga.“Sa–saya hanya membereskan kamarnya, Nyonya. Tanpa menyisakan satu helai pakaian Kamila,” jawab Atika gugup.Dona melotot tak percaya. “Bukankah saya sudah menyuruhmu dari tahun lalu? Astaga, ceroboh sekali!” “Ma–maaf, Nyonya. Saya mengaku salah.” Dona mengibaskan kedua tangan. “Ya, sudah. cepat kunci pintunya, jangan sampai Aron curiga dan bertanya macam-macam mengenai kamar ini. Karena saya tidak akan membiarkannya mengingat sekecil apa pun tentang wanita itu.”“Baik, Nyonya. Tapi barang-barang pribadi seperti dompet serta ponsel Kamila, saya buang saja atau bagaimana, Nyonya?” Dona berdecak tak suka. “Kau masih bertan
“Ibu, boleh aku bertanya?” Ayana menatap Kamila ragu-ragu.“Tentu, sayangku.” Wanita itu tersenyum tipis sembari menatap Ayana penuh kelembutan. “Apa Ibu tidak menyukai Paman Aron? Kenapa waktu itu Ibu langsung meninggalkannya, padahal dia anak yang baik.” Ayana berucap pelan, mata bulat nan jernihnya mengerjap polos. Kamila tergugu, ia memalingkan wajah—menatap ke sembarang arah. “Ibu, jika pertanyaanku menyinggung. Tidak usah dijawab, aku hanya penasaran—sedikit, hehe ….” Gadis kecil itu tersenyum lucu, seolah mengerti saja apa arti pernyataannya barusan. Kamila menghembuskan napas berat, ia menunduk dalam. Merasa begitu egois karena melibatkan perasaan buah hatinya. “Ibu, aku sudah siap. Dan mengapa Ayana masih belum mengenakan sepatu? Sebentar lagi pukul delapan.” Saga datang sambil menenteng tasnya. “Ah, ya. Maaf, Sayang. Ibu tak fokus.” Kamila memaksakan senyum dengan mata berkaca-kaca.Selang tiga puluh menit kemudian, Saga serta Ayana sampai di sekolahnya. Kamila sendiri
“Jelaskan siapa itu Kamila!” Aron menatap Bimo tajam, setelah sang ayah mengatakan hal itu, Tama tiba-tiba mengeluh sakit kepala, yang langsung mendapatkan penanganan oleh tim medis. Dan di sinilah Aron sekarang, di ruang kerjanya sembari menunggu jawaban Bimo.“Apa yang Tuan Tama katakan pada Anda?” tanya Bimo tenang.“Saya mempunyai istri yang bernama Kamila, dan kami sudah memiliki anak.” Aron tersenyum remeh. “Sangat mustahil, padahal yang saya cintai dari dulu hanya Relin. Mana mungkin saya mau menikah dengan perempuan selain dia.” Bimo menghembuskan napas berat, ini juga salahnya karena memberitahu Tama begitu cepat. Namun, ia juga tak punya pilihan lain, karena setelah sadar pria itu justru mencari Kamila. “Jika saya mengatakan apa yang Tuan Tama utarakan adalah kebenaran—apakah Anda percaya?” Bimo bertanya pelan. Aron mendengkus, “Kau jangan membual! Kau tahu jika hanya Relin satu-satunya wanita saya dari dulu!” “Anda menikah karena wasiat mendiang Tuan Abraham,” balas Bimo
“Ibu, maafkan kami.” Saga beserta Ayana mendekat pada Kamila, tak lupa menundukkan kepala. Setelah pukul delapan malam, barulah mereka berani menyapa kembali ibunya, dikarenakan tak bisa tidur sebelum dibacakan dongeng oleh Kamila. Ayana serta Saga juga merasa bersalah ketika melihat mata Kamila yang membengkak, pasti ini semua karena mereka yang tiba-tiba tantrum dan meminta ayah. Padahal sebelumnya sudah berjanji tak akan membahas perihal itu karena akan membuat sang ibu sedih. “Sini, Sayang. Tidak mau memeluk Ibu?” Kamila tersenyum lembut seraya merentangkan kedua tangan, membuat si kembar langsung berlari dan memeluknya erat.“Aku sayang Ibu, maaf telah membuat Ibu menangis.” Anak laki-laki menenggelamkan kepalanya di ceruk leher Kamila, matanya juga ikut berkaca-kaca.“Aku juga, Ibu. Janji tidak akan mengulanginya lagi,” kata Ayana tak mau kalah. Kamila terkekeh serak, lalu mencium pipi si kembar. “Wah, ada yang berbaikan rupanya.” Bastara datang sambil memakai jaketnya, pri
“Aron tak kunjung bisa membuat menantu saya pulang?” tanya Tama datar, sudah dua minggu pasca ia tersadar dari koma. Dan sekarang ia sudah kembali pulih. Meskipun belum bisa berjalan, karena kakinya masih terasa kaku.“Belum, Tuan. Dua minggu yang lalu saat kami menemuinya—justru Tuan Aron berdebat dengan Nyonya Kamila, dan mengancam hal yang tak seharusnya diucapkan. Tapi untung saja saya bisa membujuknya untuk menyetujui jika si kembar melakukan tes DNA dengan ayahnya,” jelas Bimo panjang lebar.Tama mendengkus, “Anak itu, awas saja jika ingatannya sudah pulih. Saya sendiri yang menghukumnya karena tak mengakui darah dagingnya sendiri!”Bimo memang sudah menceritakan bagaimana Aron sampai amnesia, serta Kamila yang pergi karena permasalahannya dengan Dona serta Relin. Pun ketika Aron ingin menggugurkan cucunya, Tama yang mendengar itu semua tentu murka luar biasa. Ia bahkan menarik fasilitas Dona untuk beberapa waktu, sampai wanita itu menyadari kesalahannya.“Jadi, kapan hasilnya ak
“Aku sudah bilang, Mas. Jika hubungan Relin dan Aron itu adalah kemustahilan, tapi Mas sendiri yang mendukung Relin sampai sejauh ini.” Masayu menatap sang suami penuh kekecewaan, merasa malu pada Tama karena masalah ini. “Aku hanya mendukung demi kebahagiaan putri kita,” kelit Farzan.Masayu menghembuskan napas berat. “Tidak ada namanya kebahagiaan jika merebut milik wanita lain, dari dulu aku tidak setuju dengan rencana kalian. Tapi kalian tetap memaksakan kehendak.”“Lantas aku harus bagaimana, Ayu? Ini semua sudah terjadi, dan kau tahu secinta apa Relin pada Aron, begitu pula sebaliknya. Belum lagi Rendra yang sangat dekat dengan pria itu,” ungkap Farzan lelah. Masayu membuang pandangan ke arah lain, lalu kembali menatap ke arah sang suami. “Mas jangan mendukungnya lagi, dan jangan terlalu memanjakannya. Mengenai Rendra nanti aku yang menjelaskan perlahan pada cucu kita.” Final Masayu tak mau dibantah.Berbeda halnya dengan Relin, kini wanita itu sedang memarahi sang putra yang t
“Paman mau menemani Ayana tidur malam ini?” tanya gadis kecil itu penuh binar. Aron tersenyum simpul. “Tentu, kau mau Ayah—em … Paman temani tidur setiap hari pun tidak apa-apa.” Ia mengatupkan bibir, tak tahan menyebut dirinya dengan panggilan itu, andai saja Kamila tak melarangnya. Ayana terdiam sesaat, lalu mendekat ke arah Aron. “Apakah boleh aku panggil Ayah?” pintanya malu-malu. Aron tergugu, pria arogan itu bisa merasakan jika jantungnya berdegup kencang sekarang. “Bi–bisa,” ucapnya terbata-bata. Lalu memangku Ayana dan memeluk gadis itu penuh kehangatan. Tanpa diketahui jika seorang wanita sedang menutup mulutnya menahan tangis dari balik tembok ruang tahu. Kamila tahu jika si kembar membutuhkan sosok seorang ayah, dan ia tak bisa menampik jika baik Saga serta Ayana pasti sangat bahagia mengetahui jika sang ayah berada di dekatnya. Akan tetapi, sepertinya hanya Ayana yang mampu mengekspresikan rasa bahagianya, karena Saga masih terlihat kaku dan menghindar dari Aron. “
Kamila menatap kosong ke depan, Aron yang sejak tadi memeluknya ikut merasa sedih. Ini semua adalah mimpi buruk baginya, ia hanya tertidur sebentar di mobil. Lalu tiba-tiba sudah berakhir di rumah sakit, setelah siuman justru menerima berita kehilangan sang buah hati. “Aku egois ya, Mas? Andai aku tidak membuntuti Relin, mungkin anak kita masih ada di sini,” kata Kamila setelah kebisuan panjang. Wanita itu mengusap perutnya yang rata, satu bulan berlalu. Duka itu masih menyapa, sakit dan perih akan kehilangan yang tak pernah terduga. “Sayang, dengarkan aku.” Aron menangkup wajah Kamila, menatap mata wanita yang dicintainya itu. “Kau boleh bersedih, tapi jangan berlarut-larut. Aku tidak mau Ayana serta Saga merasa tersisihkan.” Kamila tertegun, tanpa sadar sudah abai dengan keberadaan si kembar lantaran larut akan kesedihan. “Ayana, Saga ….” Lirih wanita itu. “Ya, mereka takut mendekat padamu. Terkadang Ayana maupun Saga hanya melihatmu dari celah pintu,” jelas Aron, membuang pa
Nyatanya, kebahagian itu tak pernah berpihak padaku ~Kamila Cahaya *** Semua yang terjadi di hadapannya begitu cepat, menarik napas pun terasa sulit. Kamila memegang tangan dingin Aron. Ia bodoh dan ceroboh, sehingga melakukan sesuatu tanpa berpikir panjang. “Tolong! Siapa pun tolong!” Wanita itu menjerit seraya memukul kaca mobilnya. Tak berselang lama, suara pecahan kaca serta teriakan orang-orang mulai terdengar. Sedangkan Kamila, bukannya merasa lega. Justru ia semakin panik kala melihat darah yang mengaliri betisnya. Kamila tercekat, napasnya memburu tak beraturan. Ia menoleh ke arah Aron, memegang tangan sang suami kuat. Sebelum kegelapan merenggut kesadarannya. *** Masayu duduk lemas tak bertenaga setelah menerima kabar jika mobil yang Relin serta Sandra tumpangi menabrak pembatas jembatan. Lantas jatuh ke bawah dan sampai sekarang tak bisa ditemukan. Belum lagi Kamila, Aron serta Bimo kecelakaan di lokasi yang sama dengan Relin, tapi bedanya mereka hanya
“Mas .…” Kamila menyentuh pelan bahu Aron. Ia menggigit bibir bawah ketika melihat tatapan kosong sang suami. “Mila, Erza pergi untuk selamanya. Apakah sikapku keterlaluan selama ini? Aku kecewa padanya. Tapi bukan berarti dia—” Napas Aron tercekat, pria itu mendongkak, menghalau air mata yang hendak keluar. Ia kembali menunduk, melihat gundukan tanah di hadapannya. Erza memeng tak bisa diselamatkan, pria itu ditemukan sudah tak bernyawa. Mengingat terlalu banyak menghirup asap, serta luka bakar yang yang didapat. “Mas, aku tahu jika ini pasti sangat berat. Ada aku di sini, Mas tidak sendiri.” Kamila memeluk sang suami, ia bisa merasakan napas lelah pria itu yang berhembus di ceruk lehernya. “Tuan, hujan sudah mulai turun. Apakah tidak sebaiknya kita berteduh?” tanya Bimo pelan. Tak tahan melihat Aron yang mendapat kesedihan secara bertubi-tubi. Bimo sudah menganggap pria itu seperti adiknya sendiri, dan ia ikut merasakan kesakitan Aron.Aron melepas pelukannya dari Kamila, lant
“Kemungkinan besar dia dijatuhi hukuman seumur hidup, mengingat Erza juga terlibat dalam pembunuhan berencana. Ayahnya pun sudah tutup mata dan memutuskan hubungan dengan Erza. Sementara Relin, hingga saat ini belum ditemukan,” jelas Tama menatap ke arah Aron yang sedang menatap jauh ke depan. Satu bulan sejak terakhir kali ia bertemu dengan Erza, Tama ingat betul kala orang tua Panji menyumpahi Erza dengan kemarahan membeli buta, tak lupa mengutuk menantunya yang tidak lain adalah Relin, meskipun wanita itu menghilang entah ke mana.“Apa si Brengsek itu menyesali semua perbuatannya?” tanya Aron dingin, setelah keheningan panjang.Tama menghembuskan napas berat, meneliti ekspresi sang putra yang terlihat kecewa serta marah. “Tentu saja dia menyesal, seperti yang Ayah katakan satu bulan yang lalu. Jika dia ingin bertemu denganmu untuk meminta maaf, tapi mengingat kau yang tak mau melihat wajahnya. Jadi, Ayah tidak bisa memaksa.”“Syukurlah dia sadar diri, memang orang jahat sepertin
“Setelah saya selidiki semuanya, ternyata Tuan Erza juga yang membakar kebun apel Anda. Dia mengaku telah mengambil cincin Tuan Farzan dan ditaruh di lokasi kejadian, agar kecurigaan kita mengarah padanya,” jelas Bimo. Pria itu menyesal karena dulu sempat berburuk sangka pada Farzan, tapi siangka Erza adalah dalang dari semua ini. Sungguh, tak pernah terbesit dalam pikirannya. Bimo kembali mengalihkan atensi pada Aron, terlihat jelas wajah kecewa serta terluka sang tuan. Ia turut sedih, mengingat Aron serta Erza berteman sejak kecil.“Lalu mengenai kasus Panji bagaimna?” tanya Aron setelh kebungkamn yang cukup panjang. “Sedang diurus oleh pengacara Anda, Tuan Erza juga sudah ditahan. Tadi siang ketika saya ke selnya, dia berpesan ingin melihat Anda,” ungkap Bimo hati-hti. “Tidak akan.” Aron mengeraskan rahang. “Jika saya bertemu dengannya, saya tak yakin jika dia masih bernapas esok hari.” Pria itu mengepalkan tangan, sudah seminggu sejak kematian Rendra, ia sama sekali tidak sudi
“Tunggu dulu, apa maksudnya jika Erza mendonorkan darahnya pada Rendra?” tanya Aron. Mencegah Erza yang hendak mengikuti Relin. “Mengapa kau memikirkan itu! Yang terpenting sekarang kami harus menyelamatkan Rendra!” bantah Relin kuat, menatap Aron tajam. “Bukan maksud saya seperti—” Perkataan Aron terhenti ketika dokter serta suster tergesa-gesa menuju ruangan Rendra. Mereka semua yang melihat itu tentu saja panik. Relin yang hendak masuk langsung dihentikan oleh Farzan. Membuat wanita itu menangis karena panik. “Mas ….” Lirih Kamila sembari memegang lengan Aron. Pria itu tersentak, baru menyadari jika sang istri sedari tadi bersamanya.“Tidak apa-apa, semuanya akan baik-baik saja,” kata Aron lembut. Berbanding terbalik dengan tatapan tajamnya ke arah Relin serta Erza. Satu jam berlalu, seorang dokter keluar. Pria itu menatap keluarga pasien dengan wajah tak terbaca. Lalu berucap, ”Pasien tidak bisa diselamatkan. Dia terlalu banyak kehilangan darah, ditambah lagi dengan penyakit
“Jadi, aku sudah boleh pulang?” tanya Aron sekali lagi. Kamila mengangguk pelan, sudah pukul delapan malam. Lantas mereka keluar dari hotel, menuju kediaman Dewangga. “Apa pun yang terjadi ke depannya, kau harus percaya padaku.” Aron mengecup punggung tangan Kamila, mengabaikan Bimo yang seperti nyamuk di antara mereka.“Ya, asalkan jangan sembunyikan hal besar lagi dariku,” jawab Kamila. Aron mengangguk, mengusap rambut wanita itu lembut. Lalu menyandarkan kepala Kamila di dada bidangnya. “Mengenai Relin, ternyata dulu Mas tidak direstui, ya?” tanya Kamila pelan. Tubuh Aron terlihat menegang, tapi dengan cepat rileks kembali. “Ya, itu dulu. Sekarang ada dirimu da si kembar. Kami juga sudah bahagia dengan jalan hidup masing-masing.” Kamila terdiam, ia pikir Relin begitu diterima di keluarga Aron, mengingat dulu Dona sangat menyanjung sang sepupu.“Tuan, kita disuruh ke rumah sakit. Rendra jatuh dari tangga, dan keadaannya drop.”Perkataan Bimo menyentak Kamila dari lamunannya, b
“Enam tahun penjara?” tanya Aron dengan wajah kaku. “Benar, Tuan. Namun, hukuman yang sebenarnya dapat bervariasi tergantung pada pertimbangan hakim dan fakta yang terungkap dalam proses peradilan. Hakim bisa saja menjatuhkan hukuman penjara di bawah atau di atas enam tahun. Tapi balik lagi, itu semua tergantung pada keadaan kasus dan pertimbangan-pertimbangan lainnya seperti keadaan pelaku, korban, serta faktor-faktor pengurangan hukuman lainnya.”“Apanya yang enam tahun!” Seruan itu membuat Aron menoleh, ia tersentak ketika melihat Kamila yang menatapnya marah.“Jawab! Kenapa kau lakukan hal ini, Mas!” Kamila memukul dada Aron kuat, meremas kemeja yang pria itu kenakan dengan air mata yang sudah berjatuhan. “Ka–kamila … kau di sini?” tanya Aron linglung. Mengapa sang istri ke hotel tempatnya menginap? Wanita itu mendongak. “Ya, aku ke sini untuk membawamu pulang. Sudah cukup kebodohan yang kau lakukan, Mas. Ayo, lupakan semuanya. Ak–aku ….” Napas Kamila tercekat, tak bisa melanj
“Ibu, mengapa Ayah selalu menemuiku dan Saga di luar? Memangnya kenapa tidak di rumah saja?” tanya Ayana sembari menatap ke arah Kamila.Gadis kecil itu melihat kembali penampilannya pada cermin, setelah merasa cantik ia kembali menghadap ke arah Kamila.“Ayah sedang bekerja, Sayang. Mungkin setelah semuanya selesai baru dia pulang.” Wanita itu menjawab pelan, meski terdapat kekhawatiran pada raut wajahnya. “Oh … begitu. Padahal aku kangen tahu dibacakan dongeng sama Ayah. Memangnya Ibu tidak kangen sama Ayah?” Kamila melotot kaget, setelah itu tertawa canggung. “Ah, Yaya sangat cantik hari ini. Bagaimana jika sore ini kita ke taman? Ajak Aga juga nanti.” Ia mengalihkan pembicaraan, dan benar saja Ayana langsung mengangguk.“Siap, Bu! Nanti aku boleh makan ice cream ya, soalnya sudah satu minggu aku libur.” Gadis kecil itu mengerjap lucu, berharap Kamila luluh. “Tentu, Sayang. Hari ini Yaya dan Aga boleh makan ice cream, dan sekarang ambil tasnya ya.” Kamila mengacak rambut Ayana g