Ketika sampai di depan pintu kamar Citra, Dokter Ardian segera membuka pintu kamar itu tanpa mengetuknya terlebih dahulu. Kebetulan Citra juga tidak mengunci pintu kamarnya.
Citra pun terkejut saat mendengar suara pintu kamarnya terbuka. Ia segera menoleh pada pintu kamarnya dan tampaklah Dokter Ardian berdiri di sana.“Kenapa dia menangis?” tanya Dokter Ardian sembari berjalan mendekat ke arah Citra lalu mengambil alih bayi itu dari tangan Citra.“Mungkin dia merindukan Mamanya, Dok,” jawab Citra dengan ragu. Sedari tadi ia sudah berusaha merawat dan menjaga anak Dokter Ardian agar tidak sampai menangis kencang.“Apa kamu sudah mengganti popoknya?” tanya Dokter Ardian seraya meraba diapers yang dipakai anaknya.“Sudah, Dok. Bahkan susu pun baru saja ia habiskan,” jawab Citra menjelaskan.Dokter Ardian pun berusaha menenangkan bayi itu dengan menimang-nimangnya. Namun, hasilnya nihil. Ia pun berpikir bagaimana caranya membuat bayi itu berhenti menangis. Tiba-tiba terbesit sebuah ide yang mungkin bisa dikatakan ide gila, tapi apa salahnya mencoba, pikir Dokter Ardian.“Coba susui dia,” ujar Dokter Ardian seraya mendekati Citra.“Apa, Dok? Susui?” ulang Citra untuk memastikan ia tidak salah dengar dengan mengerutkan keningnya.“Iya. Mungkin dia pengen nenen,” balas Dokter Ardian seraya memberikan bayinya pada Citra.“Tapi, Dok, saya kan bukan ibunya. Saya juga tidak punya ASI,” tutur Citra berusaha menolak permintaan Dokter Ardian. Bagaimana pun ia masih perawan. Tubuhnya belum pernah dijamah siapapun. Masa iya, bayi Dokter Ardian yang akan menjamah tubuhnya untuk pertama kalinya. Tentu saja ia tidak rela. Apalagi bayi itu bukan anaknya.Karena tangisan bayi itu semakin keras, Dokter Ardian pun segera meraih kancing atas piama Citra untuk segera membukanya. Ia tidak tega melihat anaknya menangis seperti itu.“Dokter!” jerit Citra seraya menepis tangan Dokter Ardian dengan kasar dari dadanya.Dokter Ardian pun melihat tangannya sendiri yang ditepis Citra. Ia menyesal telah berlaku kurang ajar pada Citra.“Maaf,” ucap Dokter Ardian dengan pasrah dan menundukkan kepalanya.Citra pun mengerti dan menyesal karena sudah berteriak pada Dokter Ardian.“Saya akan melakukannya, tapi tolong Dokter keluar dulu dari kamar ini,” tutur Citra akhirnya mengalah. Ia juga tidak tega melihat bayi itu menangis terus menerus.“Oke, baiklah. Kalau kamu butuh bantuan apapun, kamarku ada di sebelah kamar ini,” ujar Dokter Ardian lalu keluar dari kamar Citra dan menutup pintunya.Setelah Dokter Ardian keluar dari kamarnya, Citra membuka kancing atas piamanya dan mengeluarkan buah dadanya. Meskipun agak ragu, ia akan mencoba menyusui bayi itu untuk pertama kalinya. Memang tidak mengeluarkan ASI, paling tidak bayi itu bisa mengempeng tanpa kembung dan kekenyangan.Tidak lama kemudian tangisan bayi itu sudah tidak terdengar lagi. Dokter Ardian yang berdiri di depan pintu kamar Citra pun tersenyum dan merasa lega. Setelah itu ia masuk ke dalam kamarnya kembali.Sementara itu Citra di dalam kamarnya sedang menyusui bayi Dokter Ardian dengan menahan sakit karena bayi itu menyedotnya dengan sangat kuat.“Cepat tidur ya, Sayang …,” gumam Citra seraya membelai kepala bayi itu. Ia merasa kasihan pada bayi itu karena sejak lahir sudah tidak bisa melihat wajah Ibunya.***Keesokan harinyaPagi-pagi sekali Widia sudah datang ke rumah Dokter Ardian dengan membawa banyak belanjaan di tangannya. Kemudian ia menuju dapur untuk memasak sebelum Dokter Ardian turun ke lantai bawah untuk sarapan.Setelah semua masakannya matang, Widia menata makanan itu di atas meja makan sambil menunggu Dokter Ardian turun.Tidak berapa lama kemudian Dokter Ardian menuruni anak tangga sambil mengancingkan lengan kemejanya. Hari ini ia akan mulai bekerja seperti biasa. Di rumah sakit sudah banyak pasien yang menunggunya.Widia yang melihat Dokter Ardian menuruni anak tangga, dengan segera ia membenahi pakaian dan merapikan rambutnya. Kemudian ia menyambut Dokter Ardian di anak tangga terakhir.“Selamat pagi, Kak …,” sapa Widia dengan tersenyum riang.“Pagi,” balas Dokter Ardian singkat seraya melewati Widia dan berjalan menuju meja makan.Widia pun cemberut lalu mengikuti Dokter Ardian menuju meja makan.“Aku sudah memasak semua ini untuk Kak Ardian loh. Biar aku ambilkan, ya,” tutur Widia menawarkan diri seraya mengambil piring yang ada di depan Dokter Ardian. Ia ingin menggantikan pekerjaan Nadia mengurus Dokter Ardian saat ini.“Terima kasih, tapi aku bisa mengambilnya sendiri. Mulai besok t
Setelah menghabiskan sarapannya, Widia buru-buru mencari Dokter Ardian. Ia sudah tidak betah berlama-lama berhadapan dengan Citra di meja makan. Ia merasa kehadiran Citra sangat mengancam posisinya yang ingin menggantikan Kakaknya menjadi istri Dokter Ardian. Namun, ia harus bersabar. Tanah kuburan Kakaknya masih belum kering. Tidak mungkin ia membicarakan pernikahan di saat semua orang masih berduka.Citra baru saja menghabiskan makanannya. Ia bingung harus mencari Dokter Ardian ke mana. Ia baru sampai di rumah ini kemarin dan belum sempat berjalan-jalan untuk mengetahui denah tata letak rumah ini. Ia pun pergi ke dapur untuk menanyakannya pada Bik Yati. Kebetulan Bik Yati sedang mencuci piring.“Bik, di mana Dokter Ardian?” tanya Citra pada Bik Yati.Bik Yati pun menoleh dan tersenyum pada Citra. “Ada di taman belakang, Mbak,” jawab Bik Yati.“Oh iya. Terima kasih, Bik,” balas Citra lalu mencari pintu yang menuju ke taman belakang.Ketika Citra sudah menemukan pintu itu, ia mendengar
Dokter Ardian baru saja sampai di rumah sakit. Setelah keluar dari dalam mobilnya, ia berjalan menyusuri area parkir menuju ruang poli kandungan.Sepanjang perjalanan, semua mata yang berpapasan dengan Dokter Ardian merasa heran. Mereka tidak menyangka Dokter Ardian akan masuk bekerja secepat ini. Istrinya baru saja meninggal dua hari yang lalu, tapi Dokter Ardian terlihat tegar.Selama Dokter Ardian tidak masuk bekerja, Dokter Amanda lah yang menggantikannya memeriksa pasien di rumah sakit. Dokter Amanda adalah kakak kandung Dokter Ardian.Dokter Amanda biasanya bekerja di Rumah Sakit Bunda. Sedangkan Dokter Ardian bekerja di Rumah Sakit Husada. Ketika Dokter Ardian tidak masuk bekerja karena kematian istrinya kemarin, Dokter Amanda harus membagi waktunya bekerja di dua rumah sakit untuk menggantikan Dokter Ardian sementara.Ketika Dokter Ardian masuk ke dalam ruang poli kandungan, Dokter Amanda sedang memeriksa seorang pasien dengan alat USG.“Maaf, aku datang terlambat,” ucap Dokter
Usai mandi, Dokter Ardian keluar dari dalam kamarnya lalu masuk ke dalam kamar Citra.Di sana tampak Citra sedang duduk di sofa sambil memainkan ponselnya.“Di mana anakku?” tanya Dokter Ardian ketika melihat Citra tidak memangku anaknya.“Ada di tempat tidurnya, Dok,” jawab Citra sembari menyimpan ponselnya ketika melihat Dokter Ardian masuk ke dalam kamarnya.“Mm … maaf ya, untuk yang tadi malam,” ucap Dokter Ardian merasa tidak enak pada Citra.“Tidak apa-apa, Dok. Saya mengerti,” balas Citra dengan sopan.Di depan pintu kamar Citra, Widia mendengarkan pembicaraan mereka dan mengernyitkan dahinya.‘Apa yang terjadi di antara mereka tadi malam?’ batin Widia. Ia pun semakin penasaran ada hubungan apa antara Dokter Ardian dan Citra.Widia pun masuk ke dalam kamar Citra dengan membawa secangkir kopi untuk Dokter Ardian.“Ini, aku buatkan kopi khusus untuk Kak Ardian,” ucap Widia seraya menaruh secangkir kopi di atas meja.“Terima kasih,” balas Dokter Ardian.“Saya mau ke kamar dulu,” pa
BAB 11Minggu, 07 Juni 20xxHari ini suamiku libur bekerja. Aku pun mengajak-nya untuk berbelanja keperluan calon bayi kami. Tentu saja suamiku sangat antusias karena ini anak pertamanya.Dia terlihat sangat senang saat memilih pakaian dan keperluan bayi. Aku bisa melihat kebahagiaan terpancar di wajahnya.Dokter Ardian membaca buku diary milik Nadia dengan menitikkan air mata. Saat ini, ia sangat merindukan istri yang setiap hari menemani hari-harinya itu.Ia pun menatap tempat tidur yang ada di sampingnya, tampaklah kenangan saat Nadia berbaring dan tersenyum padanya.Biasanya Nadia akan berbaring sembari mengelus perutnya yang buncit dan mengajak bicara janin yang ada di dalam kandungannya.Kemudian Dokter Ardian membelai bantal yang biasa dipakai Nadia. Ia mencium bau bantal itu. Wangi rambut dan tubuh Nadia masih melekat di bantal itu. Ia pun mengambil bantal itu lalu meremas dan memeluknya.“Kenapa kamu pergi secepat ini?” gumam Dokter Ardian dengan tubuh bergetar dan menangis di
BAB 13Sesampainya di lantai dua, Dokter Ardian masuk ke dalam kamar Citra untuk menidurkan Nizam. Di sana, Citra sedang merapikan kamarnya dan mainan Nizam. Dokter Ardian pun bisa melihat bahwa Citra lebih tulus dari pada Widia.***Empat bulan kemudianKarena selalu didesak, akhirnya Dokter Ardian pun setuju untuk menikah lagi. Ia melakukan semua itu untuk Nizam.Kini Nizam sudah berusia enam bulan. Dokter Ardian pun mengajaknya berziarah ke makam istrinya, dengan mengajak Citra tentunya.Setelah mengaji dan berdoa, Dokter Ardian pun membelai batu nisan almarhumah Nadia.“Apa kabarmu, Sayang?” tanya Dokter Ardian.“Apa kamu baik-baik saja di sana? Aku harap demikian. Setiap malam aku selalu berdoa semoga kamu bahagia di sana,” imbuh Dokter Ardian. “Hari ini aku mengajak anak kita. Dia sudah besar sekarang,” tutur Dokter Ardian seraya menatap Nizam di gendongan Citra.“Oh iya, Papa menyuruhku menikah lagi. Apa kamu setuju kalau aku menikah dengan dia?” tanya Dokter Ardian meskipun ia
BAB 15 Citra pun terpaksa menyetujuinya untuk menghormati para tamu yang sudah datang. Dua jam berlalu. Para tamu sudah pulang ke rumah masing-masing. Kini tinggallah keluarga Dokter Ardian dan Bu Ratna, tapi Bu Ratna tidak bisa tinggal lebih lama lagi karena ia datang dengan mobil sewaan beserta sopirnya. “Yan, bisa jelaskan tentang semua ini?” tanya Pak Aryo. Sedari tadi ia juga ingin mendengarkan penjelasan dari Dokter Ardian, tapi ia tahan dan bersabar menunggu para tamu undangan pulang. “Ardian lelah, Pa. Ardian janji akan menjelaskan semuanya, tapi tidak sekarang,” balas Dokter Ardian lalu naik ke atas di mana kamarnya berada. Sedangkan Citra sudah naik ke atas terlebih dahulu untuk menidurkan Nizam yang rewel karena mengantuk. Pak Aryo pun mendesah pelan. Setelah itu ia pun memutuskan pulang ke rumahnya untuk beristirahat. Setelah Nizam tertidur, Citra mencubit pipi dan punggung tangannya sendiri. Ia mengira ini semua hanyalah mimpi. Namun, setelah ia mencubit pipi dan pu
BAB 17 Saat akan berganti pakaian di dalam kamar, ia pun teringat akan kamera CCTV yang ada di dalam kamarnya. Ia melirik kamera itu lalu mengambil pakaian dari dalam almari. Setelah itu ia masuk ke dalam kamar mandi lagi untuk berganti pakaian. Ia tidak mau Dokter Ardian melihat tubuhnya yang telanjang melalui kamera CCTV yang ada di dalam kamarnya. Setelah berganti pakaian, Citra keluar dari dalam kamarnya dan turun menuju meja makan. Sedangkan Nizam, sudah ia titipkan pada Bik Yati sebelum mandi. Di meja makan, Dokter Ardian sudah menunggu Citra untuk sarapan bersama seperti biasanya. Namun, kali ini ada rasa canggung di antara mereka karena sudah berstatus suami istri. Citra bingung harus bersikap bagaimana. Mau menyiapkan makanan, tapi sudah disiapkan Bik Yati semua. Begitu juga dengan Dokter Ardian, ia tidak tahu apa yang akan ia lakukan pada Citra yang kini sudah menjadi istrinya. “Mm ….” Dokter Ardian dan Citra hendak membuka pembicaraan hampir bersamaan setelah menghabis
BAB 220Beberapa bulan kemudianSudah satu minggu ini Citra mengambil cuti karena kandungannya sudah memasuki usia 37 minggu. Ia ingin beristirahat di rumah sambil mempersiapkan persalinan anak keduanya.Dokter Ardian sudah bekerja di Rumah Sakit Husada kembali. Namun, ia bekerja pada sore hari karena pagi hari sudah diisi dokter lain semenjak kepergiannya dulu.Pagi ini Dokter Ardian menemani Citra jalan-jalan pagi di komplek perumahannya. Arman dan Nizam masih tidur di rumah karena hari ini hari Minggu, sehingga mereka akan tidur sampai puas.Ketika sedang beristirahat di bangku yang ada pada sebuah taman, Citra merasakan janinnya menendang. Ia pun memegangi perutnya dengan tersenyum.“Kenapa?” tanya Dokter Ardian.“Dia menendang, Mas,” jawab Citra dengan mendesis. Setelah tendangan itu ia merasakan perutnya kencang dan sangat sakit.“Aaaahhh, Mas! Sakit!” ucap Citra mendesis menahan sakit pada perutnya.“Apa akan melahirkan? Kamu tunggu di sini, ya! Aku pulang dulu ambil mobil dan
BAB 219Malam hari Citra dan Dokter Ardian berbaring di atas tempat tidur berdua. Mereka sama-sama menatap langit-langit kamar mereka. Ada rasa canggung di antara mereka berdua karena sudah sepuluh tahun tidak bertemu.“Kenapa kamu tidak menikah lagi?” celetuk Dokter Ardian tiba-tiba seraya menoleh ke arah Citra yang berbaring di sampingnya.“Kenapa kamu bertanya seperti itu, Mas?” tanya Citra balik. Ia pun menatap Dokter Ardian juga.“Aku sudah pergi bertahun-tahun. Aku yakin kalau kalian semua sudah menganggapku mati,” jawab Dokter Ardian.“Bagaimana aku bisa menikah lagi, sedangkan hatiku kamu bawa pergi. Aku cinta hanya sama kamu, Mas,” ucap Citra dengan tersenyum.Hati Dokter Ardian tersentuh. Ia merasa terharu dengan pernyataan Citra. Ia pun segera memeluk tubuh Citra dan mencium bibirnya dengan buas. Untungnya ia sudah mencukur kumis berewoknya sebelum tidur tadi, sehingga Citra tidak menolaknya lagi.Ciuman mereka pun semakin panas hingga akhirnya percintaan di antara mereka p
BAB 218“Kamu kerja?” tanya Dokter Ardian.Citra menganggukkan kepalanya. “Iya, Mas,” jawab Citra.“Kalau aku nggak kerja, bagaimana aku dan anak-anak bisa makan?” imbuh Citra lagi.“Maaf, ya. Aku sudah membuat kamu susah dan menderita,” ucap Dokter Ardian merasa bersalah. Kemudian ia mendekatkan wajahnya ke arah Citra dan menempelkan bibirnya pada bibir Citra lalu melumat bibir itu seperti dulu.Citra tidak membalas ciuman Dokter Ardian. Ia mengernyitkan keningnya merasa tidak nyaman karena Dokter Ardian berewokan. Ia pun memundurkan kepalanya menjauh.“Kenapa?” tanya Dokter Ardian heran karena Citra menolak ciumannya.“Cukur dulu berewoknya, Mas,” gerutu Citra. Sudah lama ia tidak berciuman. Apalagi dengan wajah Dokter Ardian yang berewokan membuatnya risih dan sakit.Dokter Ardian mendesah pelan. Ia pun akhirnya pasrah karena memang tidak sempat mencukur bulu-bulu yang ada di wajahnya.Tidak lama kemudian Pak Aryo dan Bu Indah datang. Mereka segera masuk ke dalam rumah untuk meliha
BAB 217“Kata Mama, Papa sudah di surga,” sahut Nizam. Ia masih ingat kalau Citra mengatakan seperti itu ketika Arman dan Nizam menanyakan papanya.“Mungkin maksud Mama calon Papa, Kak,” sahut Arman menebak.Dokter Ardian mendesah pelan. Dengan segera ia menarik pelan tangan kedua anaknya agar masuk ke dalam rumah. Citra pun segera menutup pintu lalu mengekor di belakang mereka.Dokter Ardian menunjuk foto pernikahannya dengan Citra yang tergantung di ruang tengah.“Tuh lihat! Masa nggak kenal sama Papa sendiri,” gerutu Dokter Ardian pada kedua anaknya.Nizam dan Arman menatap foto pernikahan Citra dan Dokter Ardian dengan sangat lekat. Sesekali mereka juga melihat Dokter Ardian untuk mencocokkan garis wajah papanya.“Nggak sama. Yang di foto ganteng. Yang ini tua!” ujar Nizam sambil menunjuk Dokter Ardian.Dokter Ardian menghela napas panjang lalu mengembuskannya dengan kasar. Bagaimana tidak tua? Saat ini usia Dokter Ardian sudah empat puluh dua tahun. Ditambah lagi ia tidak bisa me
BAB 216Citra seperti melihat bayangan Dokter Ardian yang tersenyum padanya sambil duduk di kursi itu.‘Selamat pagi, Mas,’ ucap Citra dalam hati. Ia pun tersenyum lalu menutup pintu itu kembali. Kemudian ia bergegas menuju UGD untuk menjadi dokter jaga di sana.*Sore hari Citra pulang ke rumah seperti biasanya. Tubuhnya terasa lelah karena hari ini pasien di UGD sangat banyak. Ia masuk ke dalam rumah dengan langkah gontai. Tiba-tiba Nizam dan Arman berlari ke arahnya lalu memeluk tubuhnya.“Mama!” seru mereka senang karena melihat Citra sudah pulang.Citra tersenyum lalu berjongkok untuk membalas pelukan mereka.“Bagaimana sekolahnya hari ini? Seru?” tanya Citra seraya menatap Nizam dan Arman bergantian.“Seru… sekali, Ma!” balas Nizam dengan antusias.Citra pun membelai kepala Nizam dengan tersenyum. Meskipun Nizam bukan anak kandungannya, ia akan tetap menyayangi Nizam seperti anaknya sendiri.“Kalau Arman?” tanya Citra seraya menatap Arman.Arman cemberut lalu berkata, “Sebel ah,
BAB 215Dua tahun kemudianCitra masih berharap Dokter Ardian pulang. Ia masih berharap semua ini hanyalah mimpi panjangnya. Ia sangat ingin segera bangun dari tidur panjangnya ini.Setiap hari, sampai saat ini Citra selalu menunggu suaminya pulang di balkon kamarnya. pagi, siang, malam, ia sangat berharap Dokter Ardian memberikan kejutan padanya. Penantian panjang tak pernah membuatnya letih. Karena semua kenangan indah bersama dibawa Dokter Ardian pergi. Ia ingin kenangan itu datang kembali bersama suaminya tercinta.Setiap salat, Citra selalu berdoa agar Allah menuntun Dokter Ardian menemukan jalan pulang. Ia masih tetap di sini menunggu Dokter Ardian pulang kembali. Meskipun itu mustahil, tapi ia berharap ada keajaiban di dunia ini untuknya.Saat ini anak Citra sudah berusia dua tahun. Anak itu diberi nama Arman Raditya. Nama Arman mempunyai arti harapan dan doa. Harapan dan doa Citra adalah kepulangan Dokter Ardian, ayah dari anak-anaknya. Ia masih belum siap menjadi janda di usi
BAB 214 Mobil ambulans baru saja sampai di halaman rumah Dokter Ardian. Citra pun masuk ke dalam mobil ambulans dengan bantuan dua orang perawat. Ia masih bisa berjalan dan tidak mau naik brankar. Bu Ratna juga mengekor di belakang mereka sambil membawa tas yang berisi pakaian Citra dan calon bayinya. Sesampainya di Rumah Sakit Bunda, Citra dianjurkan segera masuk ke ruang bersalin karena Dokter Amanda sudah mengatur semuanya. Sambil berjalan, Citra menangis berlinang air mata. Bukan karena kesakitan, tapi karena rindu dan teringat Dokter Ardian. ‘Mana janjimu, Mas? Kamu bilang akan menemaniku saat melahirkan anak kita? Tapi, kenapa kamu malah pergi meninggalkan aku dan anak kita?’ raung Citra dalam hati. “Cit,” panggil Dokter Amanda saat melihat Citra di ambang pintu ruang bersalin. Ia pun tersenyum paksa meskipun hatinya menangis. Hatinya sangat sakit melihat Citra yang berlinang air mata di hadapannya. Ia tahu dan mengerti bagaimana rasanya jadi Citra saat ini. Citra pun melan
BAB 213Satu minggu kemudianCitra berdiri di balkon kamarnya. Ia menatap ke halaman rumah dan berharap melihat Dokter Ardian pulang. Setiap hari, pagi, siang, dan malam, ia menunggu Dokter Ardian pulang. Ia berharap semua ini hanya mimpi dan prank dari suaminya.“Mas …, aku rindu,” lirih Citra dengan bibir bergetar dan mata berkaca-kaca. Setiap hari ia menangis merindukan Dokter Ardian.“Andai waktu bisa diulang, aku akan bilang ‘I love you’ setiap hari padamu, Mas. Aku belum pernah mengucapkan cintaku padamu. Andai waktu bisa terulang kembali, aku ingin bilang ‘Aku cinta kamu’ sejuta kali sehari pun aku akan melakukannya, Mas,” ucap Citra menyesali semuanya. Ia menyesal karena tidak pernah mengatakan cinta pada Dokter Ardian selama ini. Padahal waktu kebersamaan mereka sangat singkat.Mobil Dokter Ardian memang sudah diangkat dari jurang. Namun, di dalam mobil itu tidak ditemukan tubuh ataupun jenazah Dokter Ardian. Kemungkinan besar, tubuh Dokter Ardian terlempar keluar saat mobil
BAB 212Citra tengah terbaring di salah satu kamar VIP Rumah Sakit Bunda. Sebuah selang infus terpasang pada tangan kirinya.Bu Ratna sedang menggosok telapak tangan dan telapak kaki Citra secara bergantian dengan lembut. Beberapa kali ia menatap wajah Citra dan berharap Citra segera membuka matanya. Ia baru saja sampai di Rumah Sakit Bunda sepuluh menit yang lalu dan langsung mencari di mana Citra dirawat.Tidak lama kemudian Citra mengernyitkan keningnya. Ia memegangi kepalanya yang terasa pening.“Cit,” ujar Bu Ratna senang akhirnya Citra sadar juga.Citra pun membuka matanya dan melihat ibunya di samping tempat tidurnya. Kemudian ia melihat ke sekeliling ruangan itu dan ia pun sadar kalau sedang berada di rumah sakit.“Ibuk,” balas Citra lirih.“Mau minum?” Bu Ratna menawarkan seraya mengambil air minum dalam kemasan botol yang ada di atas meja. Namun, Citra menggelengkan kepalanya. Bu Ratna pun menaruh kembali botol itu.Citra menatap langit-langit ruangan itu dengan tatapan koso