BAB 15 Citra pun terpaksa menyetujuinya untuk menghormati para tamu yang sudah datang. Dua jam berlalu. Para tamu sudah pulang ke rumah masing-masing. Kini tinggallah keluarga Dokter Ardian dan Bu Ratna, tapi Bu Ratna tidak bisa tinggal lebih lama lagi karena ia datang dengan mobil sewaan beserta sopirnya. “Yan, bisa jelaskan tentang semua ini?” tanya Pak Aryo. Sedari tadi ia juga ingin mendengarkan penjelasan dari Dokter Ardian, tapi ia tahan dan bersabar menunggu para tamu undangan pulang. “Ardian lelah, Pa. Ardian janji akan menjelaskan semuanya, tapi tidak sekarang,” balas Dokter Ardian lalu naik ke atas di mana kamarnya berada. Sedangkan Citra sudah naik ke atas terlebih dahulu untuk menidurkan Nizam yang rewel karena mengantuk. Pak Aryo pun mendesah pelan. Setelah itu ia pun memutuskan pulang ke rumahnya untuk beristirahat. Setelah Nizam tertidur, Citra mencubit pipi dan punggung tangannya sendiri. Ia mengira ini semua hanyalah mimpi. Namun, setelah ia mencubit pipi dan pu
BAB 17 Saat akan berganti pakaian di dalam kamar, ia pun teringat akan kamera CCTV yang ada di dalam kamarnya. Ia melirik kamera itu lalu mengambil pakaian dari dalam almari. Setelah itu ia masuk ke dalam kamar mandi lagi untuk berganti pakaian. Ia tidak mau Dokter Ardian melihat tubuhnya yang telanjang melalui kamera CCTV yang ada di dalam kamarnya. Setelah berganti pakaian, Citra keluar dari dalam kamarnya dan turun menuju meja makan. Sedangkan Nizam, sudah ia titipkan pada Bik Yati sebelum mandi. Di meja makan, Dokter Ardian sudah menunggu Citra untuk sarapan bersama seperti biasanya. Namun, kali ini ada rasa canggung di antara mereka karena sudah berstatus suami istri. Citra bingung harus bersikap bagaimana. Mau menyiapkan makanan, tapi sudah disiapkan Bik Yati semua. Begitu juga dengan Dokter Ardian, ia tidak tahu apa yang akan ia lakukan pada Citra yang kini sudah menjadi istrinya. “Mm ….” Dokter Ardian dan Citra hendak membuka pembicaraan hampir bersamaan setelah menghabis
BAB 19 Seusai kepergian Dokter Ardian, Nizam mulai mengantuk dan merengek. Ia menarik-narik kancing bagian atas baju Citra. Citra pun membuka kancing bajunya dan memberikan buah dadanya pada Nizam seperti biasanya. Sejak bayi, Nizam sudah terbiasa mengempeng buah dada Citra. Citra pun sudah terbiasa melakukannya. Hingga akhirnya mereka berdua tertidur bersama dengan pintu yang masih terbuka lebar. *** Siang hari, Dokter Ardian kembali pulang ke rumah. Ia naik ke lantai dua menuju kamarnya. Saat melewati pintu kamar Citra yang terbuka, ia pun masuk karena melihat Citra berbaring miring membelakangi pintu seperti tadi. Ia mengira Citra sedang menggoda Nizam yang berbaring di sampingnya. “Nizam … Papa datang, Sayang …,” ucap Dokter Ardian seraya berjalan mengendap-endap menghampiri Nizam karena ingin membuatnya terkejut. Namun, saat Dokter Ardian sudah sampai di tepi ranjang Citra, betapa terkejutnya ia saat melihat buah dada Citra yang terbuka dan sudah terlepas dari mulut Nizam.
BAB 21 “Bagaimana ini? Masa Dokter Ardian beneran mau tidur di sini?” gumam Citra dengan khawatir. Ia pun kembali menutup pintu kamar mandi dan menunggu Dokter Ardian pergi dari kamarnya. Tiga puluh menit berlalu Citra tak kunjung keluar dari dalam kamar mandi, Dokter Ardian pun turun dari tempat tidur dan mengetuk pintu kamar mandi. “Kamu gosok gigi apa tidur? Lama sekali di dalam kamar mandi?” tanya Dokter Ardian di depan pintu kamar mandi. Citra pun terperanjat kaget ketika mendengar suara Dokter Ardian. Ia bingung harus bagaimana. Akhirnya ia diam dan berpikir untuk mencari alasan. Karena tidak ada sahutan dari Citra, Dokter Ardian pun membuka pintu kamar mandi yang memang tidak dikunci oleh Citra. Ia mengira Citra pingsan di dalam kamar mandi. “Dokter!” seru Citra saat melihat pintu kamar mandi terbuka. “Kamu sedang apa di dalam kamar mandi? Lama sekali,” tanya Dokter Ardian saat melihat Citra berdiri di depan wastafel. Citra pun keluar dan melewati Dokter Ardian yang ber
BAB 23 Pagi hari Citra turun ke lantai bawah untuk sarapan bersama Dokter Ardian seperti biasanya. Namun, kali ini berbeda. Biasanya Dokter Ardian sudah duduk di meja makan sambil membaca koran, tapi pagi ini meja makan masih kosong. “Dokter Ardian mana, Bik?” tanya Citra pada Bik Yati. “Belum turun, Mbak,” jawab Bik Yati lalu mengambil alih Nizam dari gendongan Citra seperti biasa. “Tumben,” gumam Citra seraya mengerutkan keningnya. Citra pun kembali naik ke lantai dua untuk melihat Dokter Ardian. Hari ini Dokter Ardian harus bekerja. Citra tidak ingin Dokter Ardian terlambat. Di rumah sakit pasti sudah banyak pasien yang menunggunya. Sesampainya di depan pintu kamar Dokter Ardian, Citra mengetuk pintunya. “Dok …,” panggil Citra. “Eh salah, Mas …,” ralat Citra dengan jantung berdebar. Memanggil Dokter Ardian dengan panggilan “Mas” membuat Citra merasa kikuk. Sudah beberapa kali Citra mengetuk dan memanggil Dokter Ardian, tapi tidak ada sahutan dari dalam kamar. Karena merasa
BAB 25 “AKU LELAH!” Tulis Citra pada status di sebuah aplikasi berwarna hijau. Sudah lama ia tidak membuat status pada aplikasi tersebut karena terlalu sibuk mengurus Nizam. Siang hari Dokter Ardian sedang beristirahat di ruang poli kandungan. Ia menyantap makan siangnya sambil mengecek ponselnya yang sedari tadi tidak ia pegang selama memeriksa pasien. Saat membuka aplikasi hijau, ia pun mengerutkan keningnya saat melihat status Citra. Ini pertama kalinya Dokter Ardian melihat status Citra di aplikasi hijau tersebut. Dokter Ardian pun paham apa yang dirasakan Citra. Selama ini memang Citra belum pernah meminta izin libur atau pun jalan-jalan. Citra tidak pernah mengeluh meskipun terkadang Nizam rewel. Ia merasa tidak salah memilih Citra menjadi pengasuh Nizam. Namun, sekarang ia menjadi merasa tidak enak karena tidak pernah memberikan Citra waktu libur. Sore hari Citra menunggu Dokter Ardian pulang di teras rumah. Ia sudah tidak sabar untuk meminta cerai pada Dokter Ardian. Namun
BAB 27 “Kenapa kamu menutup mata?” tanya Dokter Ardian seraya menyalakan mesin mobil setelah memasang sabuk pengaman pada tubuhnya. Citra pun membuka matanya dan mendengkus dengan kasar. “Nggak kenapa-kenapa,” jawab Citra dengan jantung berdegup kencang. Setelah itu Dokter Ardian pun melajukan mobilnya keluar rumah. *** Tiga puluh menit kemudian Kini sampailah mobil Dokter Ardian di parkiran Mal Galaxy. Mal itu sangat besar dan megah. Ini pertama kalinya Citra datang ke mal tersebut. Biasanya ia hanya lewat saja dan berbelanja di mal atau toko lain karena barang di mal ini terkenal sangat mahal. “Ayo turun!” ujar Dokter Ardian tiba-tiba seraya melepaskan pengait sabuk pengaman miliknya lalu melepaskan yang dipakai Citra. “Kenapa kita ke sini, Mas?” tanya Citra setelah mengetahui mobil itu berhenti di Mal Galaxy. Meskipun agak aneh, tapi ia akan mulai membiasakan diri memanggil Dokter Ardian dengan sebutan “Mas”. “Nanti kamu juga akan tahu,” balas Dokter Ardian seraya membuka
BAB 29 “Mm … tolong jangan salah paham dulu, Kak. Aku akan jelaskan semuanya,” ucap Citra dengan memelas dan menggapai tangan Zidan. Zidan pun melihat cincin kawin yang tersemat di jari Citra. Ia tersenyum masam. “Nggak perlu! Semuanya sudah jelas. Terima kasih atas PHP-nya selama ini,” tolak Zidan lalu mengibaskan tangan Citra dengan kasar. Setelah itu ia pergi meninggalkan meja Dokter Ardian dan Citra dengan marah. Citra melihat kepergian Zidan dengan menggigit bagian dalam bibir bawahnya. Ia merasa sangat bersalah pada Zidan. Ia hendak mengejar Zidan, tapi tiba-tiba tangan Dokter Ardian meraih tangan Citra untuk menahannya. “Mau ke mana?” tanya Dokter Ardian. Citra menatap Dokter Ardian lalu menatap punggung Zidan yang pergi semakin menjauh. “Saya harus menjelaskan pada Kak Zidan kalau … kalau ….” Citra tidak mau melanjutkan kalimatnya. “Kalau apa?” tanya Dokter Ardian lagi, menuntut jawaban dari Citra. “Pernikahan kita tidak seperti yang dia bayangkan!” jawab Citra dengan
BAB 220Beberapa bulan kemudianSudah satu minggu ini Citra mengambil cuti karena kandungannya sudah memasuki usia 37 minggu. Ia ingin beristirahat di rumah sambil mempersiapkan persalinan anak keduanya.Dokter Ardian sudah bekerja di Rumah Sakit Husada kembali. Namun, ia bekerja pada sore hari karena pagi hari sudah diisi dokter lain semenjak kepergiannya dulu.Pagi ini Dokter Ardian menemani Citra jalan-jalan pagi di komplek perumahannya. Arman dan Nizam masih tidur di rumah karena hari ini hari Minggu, sehingga mereka akan tidur sampai puas.Ketika sedang beristirahat di bangku yang ada pada sebuah taman, Citra merasakan janinnya menendang. Ia pun memegangi perutnya dengan tersenyum.“Kenapa?” tanya Dokter Ardian.“Dia menendang, Mas,” jawab Citra dengan mendesis. Setelah tendangan itu ia merasakan perutnya kencang dan sangat sakit.“Aaaahhh, Mas! Sakit!” ucap Citra mendesis menahan sakit pada perutnya.“Apa akan melahirkan? Kamu tunggu di sini, ya! Aku pulang dulu ambil mobil dan
BAB 219Malam hari Citra dan Dokter Ardian berbaring di atas tempat tidur berdua. Mereka sama-sama menatap langit-langit kamar mereka. Ada rasa canggung di antara mereka berdua karena sudah sepuluh tahun tidak bertemu.“Kenapa kamu tidak menikah lagi?” celetuk Dokter Ardian tiba-tiba seraya menoleh ke arah Citra yang berbaring di sampingnya.“Kenapa kamu bertanya seperti itu, Mas?” tanya Citra balik. Ia pun menatap Dokter Ardian juga.“Aku sudah pergi bertahun-tahun. Aku yakin kalau kalian semua sudah menganggapku mati,” jawab Dokter Ardian.“Bagaimana aku bisa menikah lagi, sedangkan hatiku kamu bawa pergi. Aku cinta hanya sama kamu, Mas,” ucap Citra dengan tersenyum.Hati Dokter Ardian tersentuh. Ia merasa terharu dengan pernyataan Citra. Ia pun segera memeluk tubuh Citra dan mencium bibirnya dengan buas. Untungnya ia sudah mencukur kumis berewoknya sebelum tidur tadi, sehingga Citra tidak menolaknya lagi.Ciuman mereka pun semakin panas hingga akhirnya percintaan di antara mereka p
BAB 218“Kamu kerja?” tanya Dokter Ardian.Citra menganggukkan kepalanya. “Iya, Mas,” jawab Citra.“Kalau aku nggak kerja, bagaimana aku dan anak-anak bisa makan?” imbuh Citra lagi.“Maaf, ya. Aku sudah membuat kamu susah dan menderita,” ucap Dokter Ardian merasa bersalah. Kemudian ia mendekatkan wajahnya ke arah Citra dan menempelkan bibirnya pada bibir Citra lalu melumat bibir itu seperti dulu.Citra tidak membalas ciuman Dokter Ardian. Ia mengernyitkan keningnya merasa tidak nyaman karena Dokter Ardian berewokan. Ia pun memundurkan kepalanya menjauh.“Kenapa?” tanya Dokter Ardian heran karena Citra menolak ciumannya.“Cukur dulu berewoknya, Mas,” gerutu Citra. Sudah lama ia tidak berciuman. Apalagi dengan wajah Dokter Ardian yang berewokan membuatnya risih dan sakit.Dokter Ardian mendesah pelan. Ia pun akhirnya pasrah karena memang tidak sempat mencukur bulu-bulu yang ada di wajahnya.Tidak lama kemudian Pak Aryo dan Bu Indah datang. Mereka segera masuk ke dalam rumah untuk meliha
BAB 217“Kata Mama, Papa sudah di surga,” sahut Nizam. Ia masih ingat kalau Citra mengatakan seperti itu ketika Arman dan Nizam menanyakan papanya.“Mungkin maksud Mama calon Papa, Kak,” sahut Arman menebak.Dokter Ardian mendesah pelan. Dengan segera ia menarik pelan tangan kedua anaknya agar masuk ke dalam rumah. Citra pun segera menutup pintu lalu mengekor di belakang mereka.Dokter Ardian menunjuk foto pernikahannya dengan Citra yang tergantung di ruang tengah.“Tuh lihat! Masa nggak kenal sama Papa sendiri,” gerutu Dokter Ardian pada kedua anaknya.Nizam dan Arman menatap foto pernikahan Citra dan Dokter Ardian dengan sangat lekat. Sesekali mereka juga melihat Dokter Ardian untuk mencocokkan garis wajah papanya.“Nggak sama. Yang di foto ganteng. Yang ini tua!” ujar Nizam sambil menunjuk Dokter Ardian.Dokter Ardian menghela napas panjang lalu mengembuskannya dengan kasar. Bagaimana tidak tua? Saat ini usia Dokter Ardian sudah empat puluh dua tahun. Ditambah lagi ia tidak bisa me
BAB 216Citra seperti melihat bayangan Dokter Ardian yang tersenyum padanya sambil duduk di kursi itu.‘Selamat pagi, Mas,’ ucap Citra dalam hati. Ia pun tersenyum lalu menutup pintu itu kembali. Kemudian ia bergegas menuju UGD untuk menjadi dokter jaga di sana.*Sore hari Citra pulang ke rumah seperti biasanya. Tubuhnya terasa lelah karena hari ini pasien di UGD sangat banyak. Ia masuk ke dalam rumah dengan langkah gontai. Tiba-tiba Nizam dan Arman berlari ke arahnya lalu memeluk tubuhnya.“Mama!” seru mereka senang karena melihat Citra sudah pulang.Citra tersenyum lalu berjongkok untuk membalas pelukan mereka.“Bagaimana sekolahnya hari ini? Seru?” tanya Citra seraya menatap Nizam dan Arman bergantian.“Seru… sekali, Ma!” balas Nizam dengan antusias.Citra pun membelai kepala Nizam dengan tersenyum. Meskipun Nizam bukan anak kandungannya, ia akan tetap menyayangi Nizam seperti anaknya sendiri.“Kalau Arman?” tanya Citra seraya menatap Arman.Arman cemberut lalu berkata, “Sebel ah,
BAB 215Dua tahun kemudianCitra masih berharap Dokter Ardian pulang. Ia masih berharap semua ini hanyalah mimpi panjangnya. Ia sangat ingin segera bangun dari tidur panjangnya ini.Setiap hari, sampai saat ini Citra selalu menunggu suaminya pulang di balkon kamarnya. pagi, siang, malam, ia sangat berharap Dokter Ardian memberikan kejutan padanya. Penantian panjang tak pernah membuatnya letih. Karena semua kenangan indah bersama dibawa Dokter Ardian pergi. Ia ingin kenangan itu datang kembali bersama suaminya tercinta.Setiap salat, Citra selalu berdoa agar Allah menuntun Dokter Ardian menemukan jalan pulang. Ia masih tetap di sini menunggu Dokter Ardian pulang kembali. Meskipun itu mustahil, tapi ia berharap ada keajaiban di dunia ini untuknya.Saat ini anak Citra sudah berusia dua tahun. Anak itu diberi nama Arman Raditya. Nama Arman mempunyai arti harapan dan doa. Harapan dan doa Citra adalah kepulangan Dokter Ardian, ayah dari anak-anaknya. Ia masih belum siap menjadi janda di usi
BAB 214 Mobil ambulans baru saja sampai di halaman rumah Dokter Ardian. Citra pun masuk ke dalam mobil ambulans dengan bantuan dua orang perawat. Ia masih bisa berjalan dan tidak mau naik brankar. Bu Ratna juga mengekor di belakang mereka sambil membawa tas yang berisi pakaian Citra dan calon bayinya. Sesampainya di Rumah Sakit Bunda, Citra dianjurkan segera masuk ke ruang bersalin karena Dokter Amanda sudah mengatur semuanya. Sambil berjalan, Citra menangis berlinang air mata. Bukan karena kesakitan, tapi karena rindu dan teringat Dokter Ardian. ‘Mana janjimu, Mas? Kamu bilang akan menemaniku saat melahirkan anak kita? Tapi, kenapa kamu malah pergi meninggalkan aku dan anak kita?’ raung Citra dalam hati. “Cit,” panggil Dokter Amanda saat melihat Citra di ambang pintu ruang bersalin. Ia pun tersenyum paksa meskipun hatinya menangis. Hatinya sangat sakit melihat Citra yang berlinang air mata di hadapannya. Ia tahu dan mengerti bagaimana rasanya jadi Citra saat ini. Citra pun melan
BAB 213Satu minggu kemudianCitra berdiri di balkon kamarnya. Ia menatap ke halaman rumah dan berharap melihat Dokter Ardian pulang. Setiap hari, pagi, siang, dan malam, ia menunggu Dokter Ardian pulang. Ia berharap semua ini hanya mimpi dan prank dari suaminya.“Mas …, aku rindu,” lirih Citra dengan bibir bergetar dan mata berkaca-kaca. Setiap hari ia menangis merindukan Dokter Ardian.“Andai waktu bisa diulang, aku akan bilang ‘I love you’ setiap hari padamu, Mas. Aku belum pernah mengucapkan cintaku padamu. Andai waktu bisa terulang kembali, aku ingin bilang ‘Aku cinta kamu’ sejuta kali sehari pun aku akan melakukannya, Mas,” ucap Citra menyesali semuanya. Ia menyesal karena tidak pernah mengatakan cinta pada Dokter Ardian selama ini. Padahal waktu kebersamaan mereka sangat singkat.Mobil Dokter Ardian memang sudah diangkat dari jurang. Namun, di dalam mobil itu tidak ditemukan tubuh ataupun jenazah Dokter Ardian. Kemungkinan besar, tubuh Dokter Ardian terlempar keluar saat mobil
BAB 212Citra tengah terbaring di salah satu kamar VIP Rumah Sakit Bunda. Sebuah selang infus terpasang pada tangan kirinya.Bu Ratna sedang menggosok telapak tangan dan telapak kaki Citra secara bergantian dengan lembut. Beberapa kali ia menatap wajah Citra dan berharap Citra segera membuka matanya. Ia baru saja sampai di Rumah Sakit Bunda sepuluh menit yang lalu dan langsung mencari di mana Citra dirawat.Tidak lama kemudian Citra mengernyitkan keningnya. Ia memegangi kepalanya yang terasa pening.“Cit,” ujar Bu Ratna senang akhirnya Citra sadar juga.Citra pun membuka matanya dan melihat ibunya di samping tempat tidurnya. Kemudian ia melihat ke sekeliling ruangan itu dan ia pun sadar kalau sedang berada di rumah sakit.“Ibuk,” balas Citra lirih.“Mau minum?” Bu Ratna menawarkan seraya mengambil air minum dalam kemasan botol yang ada di atas meja. Namun, Citra menggelengkan kepalanya. Bu Ratna pun menaruh kembali botol itu.Citra menatap langit-langit ruangan itu dengan tatapan koso