BAB 49 “Ada, tapi beliau sedang beristirahat sebentar. Sabar ya, Bu. Nanti kalau sudah gilirannya, Ibu akan kami panggil,” ucap Dewi dengan sopan. Miranda mendengkus pelan. ‘Pantesan ditungguin nggak datang-datang,’ gumam Miranda dalam hati. Dokter Ardian yang mendengar percakapan mereka pun segera terbangun dari tidurnya. “Maaf, saya ketiduran,” ucap Dokter Ardian pada Dewi setelah Dewi menutup pintu ruang poli. “Iya, nggak apa-apa, Dok. Ini nasi ayam bakar-nya,” ucap Dewi seraya menyerahkan nasi kotak yang ia beli tadi. *** Sore hari Ketika mobil Dokter Ardian sampai di pintu gerbang rumah Pak Aryo, Bu Indah sudah menunggu-nya di teras rumah dengan memangku Nizam. Sedari tadi pagi Bu Indah sudah tidak sabar untuk memarahi Dokter Ardian. “Ardian!” seru Bu Indah seraya bangkit dari duduknya ketika Dokter Ardian baru saja membuka pintu mobilnya. “Ada apa, Ma?” tanya Dokter Ardian bingung dengan sikap Bu Indah yang tiba-tiba marah padanya. “Dasar anak nakal!” ujar Bu Indah den
BAB 51 “Kamu berani tidur sendiri?” tanya Dokter Ardian tiba-tiba. “Mm ….” Citra belum sempat melanjutkan kalimatnya. “Kalau nggak berani, saya tunggu di kamar, ya,” sahut Dokter Ardian dengan tersenyum lalu meninggalkan Citra yang masih mencuci piring. Citra menghela napas panjang. “Bik Yati …, cepat sembuh dong. Biar aku nggak tidur di kamar Dokter Ardian terus,” gumam Citra dengan memajukan bibir-nya. Sudah pukul sebelas malam, tetapi Citra masih belum juga datang ke kamar Dokter Ardian. Sedari tadi Dokter Ardian menoleh ke arah pintu beberapa kali berharap Citra segera masuk ke dalam kamarnya. “Kok lama? Apa dia pingsan di dapur?” gumam Dokter Ardian. Ia pun mulai khawatir lalu bangkit dan keluar dari dalam kamarnya. Dokter Ardian menuruni tangga dengan sedikit tergesa-gesa supaya segera sampai di dapur. Sesampainya di dapur, ia tidak melihat Citra di sana. “Kok nggak ada. Ke mana dia?” gumam Dokter Ardian sedikit merasa kecewa karena tidak menemukan Citra di dapur. Ia pun
BAB 53 Citra membelalakkan matanya dan menatap wajah Dokter Ardian yang ada di hadapannya. Ia terkejut hingga napasnya memburu. “Kamu nggak kasihan sama saya? Sudah delapan bulan lebih saya menjadi duda,” bisik Dokter Ardian di depan Citra. “Salah sendiri nggak segera menikah lagi. Toh ada Mbak Widia yang –" Ucapan Citra terputus karena Dokter Ardian tiba-tiba melumat bibirnya. Plak! Tiba-tiba telapak tangan Citra mendarat di pipi Dokter Ardian. Dokter Ardian pun melepas pagutan bibirnya. Ia menyentuh pipinya yang ditampar Citra dan menatap Citra dengan lekat. Citra sendiri terkejut dengan tindakannya yang reflek menampar pipi Dokter Ardian. Ia benar-benar tidak sengaja. Ia menatap tangannya sendiri yang sudah kurang ajar menampar suaminya. Dokter Ardian pun segera bangkit dari atas tubuh Citra lalu menyingkap selimut dan turun dari tempat tidur. Setelah itu ia keluar dari kamar Citra tanpa berkata satu patah kata pun yang terucap. Citra menatap kepergian Dokter Ardian dengan p
BAB 55 “Ya sudah, hati-hati ya pulangnya, Sayang. Jangan lupa sama Tante Herlina,” ucap Dokter Herlina pada Nizam. Setelah itu Citra membawa Nizam pulang menggunakan taksi kembali tanpa bertemu dengan Dokter Ardian. Sore hari Dokter Ardian pulang dengan membawa belanjaan di tangannya. Ia tahu kalau stok makanan di kulkas sudah habis. Karena itu kemarin malam ia memesan makanan di aplikasi pesan makanan online. Setelah memasukkan stok makanan ke dalam kulkas dan menaruh bubur instan untuk Nizam di atas meja makan, Dokter Ardian naik ke lantai atas menuju kamarnya. Tidak lama kemudian Dokter Ardian keluar dari dalam kamarnya dengan membawa kantong kresek di tangannya. Kantong kresek itu berisi pakaian kotor yang akan ia antar ke tempat laundry. Kebetulan Citra juga keluar dari dalam kamarnya dan melihat kantong kresek di tangan Dokter Ardian. “Mau ke mana, Mas?” tanya Citra. “Laundry,” jawab Dokter Ardian singkat seraya menutup pintu kamarnya tanpa menoleh ke arah Citra. “Biar say
BAB 57 “Anget kayak-nya nih anak. Apa kesurupan, ya?” gumam Dokter Ardian seraya menyentuh dahi Citra. Ia merasa heran karena Citra tiba-tiba marah dan mengambek padanya. Citra pun segera menepis tangan Dokter Ardian supaya menyingkir dari dahinya. Dokter Ardian mendengus pelan. “Dengarkan saya dulu!” ujar Dokter Ardian. “Nggak mau!” tolak Citra seraya menutup kedua telinganya dengan kedua telapak tangannya. Dokter Ardian memegang kedua bahu Citra. “Sekarang saya tanya, kenapa tadi malam kamu menampar saya?” tanya Dokter Ardian seraya menatap Citra yang menutup telinga dan matanya. “Ayo jawab!” tuntut Dokter Ardian sambil menggoyang bahu Citra. Citra membuka sedikit kelopak matanya seraya melirik Dokter Ardian. “Ada nyamuk!” jawab Citra singkat. “Jadi karena ada nyamuk kamu menampar pipi saya?” tanya Dokter Ardian untuk memastikan. Citra menganggukkan kepalanya dengan bibir mengerucut. “Hahaha. Kenapa kamu nggak bilang?” tanya Dokter Ardian dengan tertawa dan melepaskan bah
BAB 59 Pagi hari Dokter Ardian menyantap sarapan paginya dengan bibir cemberut. Citra sedang menjaga Nizam yang sedang menonton televisi di ruang tengah. Sedari tadi Citra memerhatikan Dokter Ardian yang cemberut. Ia mengira Dokter Ardian tidak suka dengan menu masakannya hari ini. “Masakannya nggak enak ya, Mas?” tanya Citra dari ruang tengah dengan menatap Dokter Ardian. “Enak,” jawab Dokter Ardian singkat. “Mau dibawakan bekal buat makan siang nanti?” tanya Citra. “Boleh,” balas Dokter Ardian singkat lagi. Citra pun bangkit dari duduknya lalu mengambil kotak bekal makanan. Kemudian ia mengisi kotak makan itu dengan makanan yang ada di atas meja makan. “Kenapa sih, Mas, dari tadi manyun terus?” tanya Citra sambil mengisi kotak bekal. “Nggak apa-apa,” balas Dokter Ardian lalu meminum segelas air putih yang ada di depannya untuk menutup aktivitas sarapan paginya. “Kamu nggak makan?” tanya Dokter Ardian. “Nanti saja nunggu Nizam tidur,” balas Citra dengan tersenyum. “Ya sudah
BAB 61 Dokter Ardian baru saja memarkirkan mobilnya di area parkir Rumah Sakit Husada. Tiba-tiba terdengar suara ponsel-nya berdering. Ia pun segera mengeluarkan ponsel dari saku kemeja-nya untuk mengetahui siapa yang menelepon pagi-pagi seperti ini. Tampaklah nama “OK” pada layar ponsel Dokter Ardian. Itu adalah nomor telepon ruang operasi di Rumah Sakit Husada. Dokter Ardian pun menghela napas panjang lalu mengembuskan-nya dengan kasar. Ia tahu, pasti ada pasien yang harus segera di SC sekarang. Ia pun segera menggeser tombol warna hijau pada layar ponsel-nya untuk menerima telepon itu. “Halo …,” sapa Dokter Ardian setelah menempelkan benda pipih itu pada daun telinganya. “Dok, Dokter di mana? Ada pasien darurat, Dok!” sahut seseorang yang ada di seberang telepon dengan tidak sabar. “Sudah di parkiran rumah sakit,” balas Dokter Ardian seraya membuka pintu mobil dan turun. “Baik, Dok. Kami akan menunggu,” balas orang yang di seberang telepon dengan sopan. “Oke,” sahut Dokter Ar
BAB 63 Citra menolehkan kepala ke arah kiri tubuhnya untuk melihat jam yang digantung di dinding kamarnya. Ia ingin mengetahui jam berapa sekarang karena Dokter Ardian masih belum pulang juga. Ia benar-benar merinding dan merasa sangat takut. Dengan jantung berdebar dan tangan gemetaran, Citra meraih ponsel-nya yang ada di atas nakas untuk melihat apakah Dokter Ardian mengirim pesan atau menelepon-nya. Namun, tidak ada pesan atau panggilan telepon satu pun dari Dokter Ardian di layar ponsel-nya. “Kamu ke mana sih, Mas? Kenapa masih belum pulang? Nggak telepon atau kirim pesan juga,” gumam Citra. Seketika matanya terasa hangat dan merasa ingin menangis karena ketakutan. “Apa terjadi sesuatu padanya?” Tiba-tiba Citra merasa khawatir. Dengan mata berkaca-kaca, Citra mencoba untuk menelepon Dokter Ardian. Namun, yang terdengar hanyalah suara operator yang mengatakan kalau nomor yang dituju sedang tidak aktif. Ia pun mendesah pelan dengan raut wajah penuh kekecewaan. Tiba-tiba ruangan
BAB 220Beberapa bulan kemudianSudah satu minggu ini Citra mengambil cuti karena kandungannya sudah memasuki usia 37 minggu. Ia ingin beristirahat di rumah sambil mempersiapkan persalinan anak keduanya.Dokter Ardian sudah bekerja di Rumah Sakit Husada kembali. Namun, ia bekerja pada sore hari karena pagi hari sudah diisi dokter lain semenjak kepergiannya dulu.Pagi ini Dokter Ardian menemani Citra jalan-jalan pagi di komplek perumahannya. Arman dan Nizam masih tidur di rumah karena hari ini hari Minggu, sehingga mereka akan tidur sampai puas.Ketika sedang beristirahat di bangku yang ada pada sebuah taman, Citra merasakan janinnya menendang. Ia pun memegangi perutnya dengan tersenyum.“Kenapa?” tanya Dokter Ardian.“Dia menendang, Mas,” jawab Citra dengan mendesis. Setelah tendangan itu ia merasakan perutnya kencang dan sangat sakit.“Aaaahhh, Mas! Sakit!” ucap Citra mendesis menahan sakit pada perutnya.“Apa akan melahirkan? Kamu tunggu di sini, ya! Aku pulang dulu ambil mobil dan
BAB 219Malam hari Citra dan Dokter Ardian berbaring di atas tempat tidur berdua. Mereka sama-sama menatap langit-langit kamar mereka. Ada rasa canggung di antara mereka berdua karena sudah sepuluh tahun tidak bertemu.“Kenapa kamu tidak menikah lagi?” celetuk Dokter Ardian tiba-tiba seraya menoleh ke arah Citra yang berbaring di sampingnya.“Kenapa kamu bertanya seperti itu, Mas?” tanya Citra balik. Ia pun menatap Dokter Ardian juga.“Aku sudah pergi bertahun-tahun. Aku yakin kalau kalian semua sudah menganggapku mati,” jawab Dokter Ardian.“Bagaimana aku bisa menikah lagi, sedangkan hatiku kamu bawa pergi. Aku cinta hanya sama kamu, Mas,” ucap Citra dengan tersenyum.Hati Dokter Ardian tersentuh. Ia merasa terharu dengan pernyataan Citra. Ia pun segera memeluk tubuh Citra dan mencium bibirnya dengan buas. Untungnya ia sudah mencukur kumis berewoknya sebelum tidur tadi, sehingga Citra tidak menolaknya lagi.Ciuman mereka pun semakin panas hingga akhirnya percintaan di antara mereka p
BAB 218“Kamu kerja?” tanya Dokter Ardian.Citra menganggukkan kepalanya. “Iya, Mas,” jawab Citra.“Kalau aku nggak kerja, bagaimana aku dan anak-anak bisa makan?” imbuh Citra lagi.“Maaf, ya. Aku sudah membuat kamu susah dan menderita,” ucap Dokter Ardian merasa bersalah. Kemudian ia mendekatkan wajahnya ke arah Citra dan menempelkan bibirnya pada bibir Citra lalu melumat bibir itu seperti dulu.Citra tidak membalas ciuman Dokter Ardian. Ia mengernyitkan keningnya merasa tidak nyaman karena Dokter Ardian berewokan. Ia pun memundurkan kepalanya menjauh.“Kenapa?” tanya Dokter Ardian heran karena Citra menolak ciumannya.“Cukur dulu berewoknya, Mas,” gerutu Citra. Sudah lama ia tidak berciuman. Apalagi dengan wajah Dokter Ardian yang berewokan membuatnya risih dan sakit.Dokter Ardian mendesah pelan. Ia pun akhirnya pasrah karena memang tidak sempat mencukur bulu-bulu yang ada di wajahnya.Tidak lama kemudian Pak Aryo dan Bu Indah datang. Mereka segera masuk ke dalam rumah untuk meliha
BAB 217“Kata Mama, Papa sudah di surga,” sahut Nizam. Ia masih ingat kalau Citra mengatakan seperti itu ketika Arman dan Nizam menanyakan papanya.“Mungkin maksud Mama calon Papa, Kak,” sahut Arman menebak.Dokter Ardian mendesah pelan. Dengan segera ia menarik pelan tangan kedua anaknya agar masuk ke dalam rumah. Citra pun segera menutup pintu lalu mengekor di belakang mereka.Dokter Ardian menunjuk foto pernikahannya dengan Citra yang tergantung di ruang tengah.“Tuh lihat! Masa nggak kenal sama Papa sendiri,” gerutu Dokter Ardian pada kedua anaknya.Nizam dan Arman menatap foto pernikahan Citra dan Dokter Ardian dengan sangat lekat. Sesekali mereka juga melihat Dokter Ardian untuk mencocokkan garis wajah papanya.“Nggak sama. Yang di foto ganteng. Yang ini tua!” ujar Nizam sambil menunjuk Dokter Ardian.Dokter Ardian menghela napas panjang lalu mengembuskannya dengan kasar. Bagaimana tidak tua? Saat ini usia Dokter Ardian sudah empat puluh dua tahun. Ditambah lagi ia tidak bisa me
BAB 216Citra seperti melihat bayangan Dokter Ardian yang tersenyum padanya sambil duduk di kursi itu.‘Selamat pagi, Mas,’ ucap Citra dalam hati. Ia pun tersenyum lalu menutup pintu itu kembali. Kemudian ia bergegas menuju UGD untuk menjadi dokter jaga di sana.*Sore hari Citra pulang ke rumah seperti biasanya. Tubuhnya terasa lelah karena hari ini pasien di UGD sangat banyak. Ia masuk ke dalam rumah dengan langkah gontai. Tiba-tiba Nizam dan Arman berlari ke arahnya lalu memeluk tubuhnya.“Mama!” seru mereka senang karena melihat Citra sudah pulang.Citra tersenyum lalu berjongkok untuk membalas pelukan mereka.“Bagaimana sekolahnya hari ini? Seru?” tanya Citra seraya menatap Nizam dan Arman bergantian.“Seru… sekali, Ma!” balas Nizam dengan antusias.Citra pun membelai kepala Nizam dengan tersenyum. Meskipun Nizam bukan anak kandungannya, ia akan tetap menyayangi Nizam seperti anaknya sendiri.“Kalau Arman?” tanya Citra seraya menatap Arman.Arman cemberut lalu berkata, “Sebel ah,
BAB 215Dua tahun kemudianCitra masih berharap Dokter Ardian pulang. Ia masih berharap semua ini hanyalah mimpi panjangnya. Ia sangat ingin segera bangun dari tidur panjangnya ini.Setiap hari, sampai saat ini Citra selalu menunggu suaminya pulang di balkon kamarnya. pagi, siang, malam, ia sangat berharap Dokter Ardian memberikan kejutan padanya. Penantian panjang tak pernah membuatnya letih. Karena semua kenangan indah bersama dibawa Dokter Ardian pergi. Ia ingin kenangan itu datang kembali bersama suaminya tercinta.Setiap salat, Citra selalu berdoa agar Allah menuntun Dokter Ardian menemukan jalan pulang. Ia masih tetap di sini menunggu Dokter Ardian pulang kembali. Meskipun itu mustahil, tapi ia berharap ada keajaiban di dunia ini untuknya.Saat ini anak Citra sudah berusia dua tahun. Anak itu diberi nama Arman Raditya. Nama Arman mempunyai arti harapan dan doa. Harapan dan doa Citra adalah kepulangan Dokter Ardian, ayah dari anak-anaknya. Ia masih belum siap menjadi janda di usi
BAB 214 Mobil ambulans baru saja sampai di halaman rumah Dokter Ardian. Citra pun masuk ke dalam mobil ambulans dengan bantuan dua orang perawat. Ia masih bisa berjalan dan tidak mau naik brankar. Bu Ratna juga mengekor di belakang mereka sambil membawa tas yang berisi pakaian Citra dan calon bayinya. Sesampainya di Rumah Sakit Bunda, Citra dianjurkan segera masuk ke ruang bersalin karena Dokter Amanda sudah mengatur semuanya. Sambil berjalan, Citra menangis berlinang air mata. Bukan karena kesakitan, tapi karena rindu dan teringat Dokter Ardian. ‘Mana janjimu, Mas? Kamu bilang akan menemaniku saat melahirkan anak kita? Tapi, kenapa kamu malah pergi meninggalkan aku dan anak kita?’ raung Citra dalam hati. “Cit,” panggil Dokter Amanda saat melihat Citra di ambang pintu ruang bersalin. Ia pun tersenyum paksa meskipun hatinya menangis. Hatinya sangat sakit melihat Citra yang berlinang air mata di hadapannya. Ia tahu dan mengerti bagaimana rasanya jadi Citra saat ini. Citra pun melan
BAB 213Satu minggu kemudianCitra berdiri di balkon kamarnya. Ia menatap ke halaman rumah dan berharap melihat Dokter Ardian pulang. Setiap hari, pagi, siang, dan malam, ia menunggu Dokter Ardian pulang. Ia berharap semua ini hanya mimpi dan prank dari suaminya.“Mas …, aku rindu,” lirih Citra dengan bibir bergetar dan mata berkaca-kaca. Setiap hari ia menangis merindukan Dokter Ardian.“Andai waktu bisa diulang, aku akan bilang ‘I love you’ setiap hari padamu, Mas. Aku belum pernah mengucapkan cintaku padamu. Andai waktu bisa terulang kembali, aku ingin bilang ‘Aku cinta kamu’ sejuta kali sehari pun aku akan melakukannya, Mas,” ucap Citra menyesali semuanya. Ia menyesal karena tidak pernah mengatakan cinta pada Dokter Ardian selama ini. Padahal waktu kebersamaan mereka sangat singkat.Mobil Dokter Ardian memang sudah diangkat dari jurang. Namun, di dalam mobil itu tidak ditemukan tubuh ataupun jenazah Dokter Ardian. Kemungkinan besar, tubuh Dokter Ardian terlempar keluar saat mobil
BAB 212Citra tengah terbaring di salah satu kamar VIP Rumah Sakit Bunda. Sebuah selang infus terpasang pada tangan kirinya.Bu Ratna sedang menggosok telapak tangan dan telapak kaki Citra secara bergantian dengan lembut. Beberapa kali ia menatap wajah Citra dan berharap Citra segera membuka matanya. Ia baru saja sampai di Rumah Sakit Bunda sepuluh menit yang lalu dan langsung mencari di mana Citra dirawat.Tidak lama kemudian Citra mengernyitkan keningnya. Ia memegangi kepalanya yang terasa pening.“Cit,” ujar Bu Ratna senang akhirnya Citra sadar juga.Citra pun membuka matanya dan melihat ibunya di samping tempat tidurnya. Kemudian ia melihat ke sekeliling ruangan itu dan ia pun sadar kalau sedang berada di rumah sakit.“Ibuk,” balas Citra lirih.“Mau minum?” Bu Ratna menawarkan seraya mengambil air minum dalam kemasan botol yang ada di atas meja. Namun, Citra menggelengkan kepalanya. Bu Ratna pun menaruh kembali botol itu.Citra menatap langit-langit ruangan itu dengan tatapan koso