BAB 179 “Mm … mm ….” Citra memberontak dengan memukul dada Dokter Ardian berkali-kali. “Sudah nggak pegal lagi ‘kan?” ucap Dokter Ardian dengan tersenyum dan menatap Citra yang terlihat kesal. “Yuk turun! Udah siang ini,” ajak Dokter Arian seraya bercermin pada kaca spion yang ada di hadapannya. Kemudian ia turun dari mobil meninggalkan Citra yang semakin kesal dibuatnya. Dokter Ardian berjalan menuju sebuah loket untuk membeli tiket. Tidak lama kemudian terlihat Citra turun dari mobil dengan wajah ditekuk. “Cemberut mulu nih,” goda Dokter Ardian setelah Citra berjalan menghampirinya. “Habisnya Mas mesum banget. Padahal dari kemarin sudah dikasih jatah. Masih aja nyosor mulu,” gerutu Citra dengan bibir mengerucut. Dokter Ardian mengelus puncak kepala Citra dengan tersenyum. Kemudian ia menggandeng tangan Citra dan berjalan bersama masuk ke pintu kawasan wisata. Citra menatap tangannya yang sedari tadi digandeng Dokter Ardian. Ia merasa seperti sedang berpacaran saat ini. “Kena
BAB 180Dua puluh menit kemudian Dokter Ardian kembali dengan membawa pesanan Citra. Ia datang dengan muka ditekuk sampai kusut.“Cit!” panggil Dokter Ardian seraya mengetuk pintu toilet Citra.Citra pun segera membuka pintu toilet itu ketika mendengar suara Dokter Ardian memanggilnya.“Terima kasih, Mas,” ucap Citra dengan tersenyum seraya menerima kantong keresek hitam dari Dokter Ardian.Sepuluh menit kemudian, Citra keluar dari dalam toilet.“Mas, kamu pinter banget sih kalau milih celana dalam. Pas banget tau,” ucap Citra senang.“Kan aku udah sering melepas celana dalam kamu. Jadi, aku tahu dong ukuran punya kamu seberapa,” balas Dokter Ardian dengan mengangkat sebelah sudut bibirnya.Senyum di bibir Citra pun tiba-tiba sirna. Ia jadi kesal kalau ingat Dokter Ardian sering memaksanya untuk bercinta.Sesampainya di air terjun, Citra merasa terkejut. Di sana banyak muda mudi yang tengah berpacaran. Mereka duduk berdampingan di atas batu dan saling berpegangan tangan menyaksikan ai
BAB 181Sesampainya di rumah, Citra segera turun dari mobil dan berjalan menuju kamarnya dengan Nizam di gendongannya. Sebelum pulang ke rumah, Citra dan Dokter Ardian mampir ke rumah Pak Aryo terlebih dahulu untuk menjemput Nizam.“Cit!” panggil Dokter Ardian yang mengekor di belakangnya.“Iya, Mas?” sahut Citra dengan lesu setelah menoleh pada Dokter Ardian.“Kamu kenapa?” tanya Dokter Ardian karena Citra terlihat tidak ceria seperti sebelumnya.“Nggak apa-apa, Mas. Cuma capek. Aku mau istirahat. Selamat malam,” balas Citra lalu masuk ke dalam kamarnya.Dokter Ardian mencebikkan bibirnya lalu ikut masuk ke dalam kamar Citra untuk menaruh barang-barang milik Nizam yang dibawanya tadi.Setelah menidurkan Nizam di tempat tidurnya, Citra masuk ke dalam kamar mandi usai mengambil piama di dalam almari. Tidak berselang lama kemudian ia keluar dan naik ke atas tempat tidur.“Udah ngantuk banget ya?” tanya Dokter Ardian yang sedari tadi duduk di tepi tempat tidur menunggu Citra keluar dari
BAB 182“Sudah, jangan menangis lagi. Aku akan periksa kamu setelah masa menstruasi kamu selesai. Aku akan obati kamu sampai siklus menstruasi kamu normal kembali,” ucap Dokter Ardian seraya menghapus air mata Citra dengan ibu jarinya.Citra menganggukkan kepalanya lalu menyembunyikan kepalanya di dada bidang Dokter Ardian. Ia merasa nyaman dan tenang saat berpelukan dengan Dokter Ardian.Dokter Ardian pun membelai kepala Citra dengan lembut hingga keduanya pun tertidur lelap.*Keesokan harinyaDokter Ardian berangkat bekerja seperti biasanya. Sebelum masuk ke dalam ruang poli, tiba-tiba ada sebuah suara yang memanggil namanya.“Yan!” seru wanita itu yang tidak lain adalah Miranda.Beberapa orang menoleh pada Miranda karena hanya dia yang berani memanggil Dokter Ardian seperti itu.Dokter Ardian pun menoleh ke arah sumber suara dan melihat Miranda tengah berjalan ke arahnya.“Ada apa?” tanya Dokter Ardian saat Miranda sudah berdiri di hadapannya.“Nih, ada undangan reuni angkatan kit
BAB 183Dokter Ardian keluar dari kamar Citra tanpa membawa tasnya karena terburu-buru. Citra yang melihat tas Dokter Ardian tergeletak di ujung tempat tidurnya pun segera bangkit dari berbaringnya. Ia menatap ke arah pintu untuk memastikan Dokter Ardian tidak masuk ke dalam kamarnya dalam waktu yang dekat lalu menarik tas Dokter Ardian ke pangkuannya. Ia penasaran apa saja isi tas Dokter Ardian. Sepertinya banyak obat di dalamnya karena setiap ia sakit, Dokter Ardian selalu mengeluarkan obat dari dalam tasnya.Citra membuka tas Dokter Ardian pelan-pelan. Ketika membuka ritsleting depan, ia menemukan sebuah undangan yang masih terbungkus plastik. Ia pun mengambil undangan itu untuk mengetahui undangan pernikahan siapa. Namun, ketika membaca undangan itu, ia mendesah pelan.“Mau reuni kayaknya,” gumam Citra dalam hati.Tidak berselang lama kemudian, Citra mendengar pintu kamar sebelah dibuka. Dengan segera ia memasukkan kembali undangan itu ke dalam tas lalu menaruh tas itu kembali ke
BAB 184“Ya … datang aja, Mas. Memangnya kenapa?” balas Citra tidak keberatan.“Aku takut, nanti kamu cemburu dan marah. Namanya reuni kan ketemu teman lama cewek cowok, Cit. Sebenarnya aku juga agak malas datang, tapi aku pengen ketemu teman-teman lamaku dulu karena udah pada hilang kontaknya,” papar Dokter Ardian menjelaskan.“Ya udah, Mas datang aja. Aku nggak apa-apa kok,” balas Citra dengan tersenyum.“Kamu mau ikut nggak?” tawar Dokter Ardian.“Memangnya boleh kalau aku ikut?” tanya Citra dengan menyelidik.“Ya boleh aja sih, Cit …, tapi aku takut nanti kamu digodain gimana?” balas Dokter Ardian ragu-ragu. Ia sadar dan tahu kalau Citra memang cantik. Bahkan, lebih cantik dari Nadia.“Hmm …. Ya udah deh, Mas, aku mau ke kamar. Kita bahas lagi besok atau lusa,” pungkas Citra lalu meninggalkan Dokter Ardian yang cemberut.Sesampainya Citra di kamar, dengan segera ia membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur. Tiba-tiba ponselnya berbunyi pertanda ada sebuah pesan masuk pada aplikas
BAB 185Hari Minggu pun tiba. Usai mandi, Dokter Ardian keluar dari dalam kamar mandi hanya menggunakan handuk yang dililitkan di pinggangnya. Tetesan air masih menetes dari ujung rambutnya yang belum kering sempurna usai keramas. Ia melangkahkan kaki menuju almari di mana tempat ia menyimpan semua pakaiannya. Kemudian ia membuka almari itu untuk memilih pakaian yang akan ia pakai hari ini.Beberapa pakaian sudah ia keluarkan dan ia taruh di atas tempat tidur. Ia bingung harus memakai pakaian yang mana. kebanyakan pakaiannya adalah kemeja untuk bekerja di rumah sakit.Sesaat kemudian, pintu terbuka dari luar. Dokter Ardian menoleh dan tampaklah Citra di sana.“Duuuuhhh senangnya yang mau reuni,” celetuk Citra dengan lirikan tajam yang dibuat-buat.Dokter Ardian menatap Citra dengan tersenyum lembut.Citra melangkahkan kakinya masuk ke dalam kamar Dokter Ardian setelah menutup pintu karena Dokter Ardian belum berganti pakaian. Ia pun duduk di tepi tempat tidur Dokter Ardian dengan bibi
BAB 186 “Ck. Apa yang akan membuat kamu ngambek lagi sih, Cit. belajar dewasa dikit napa?” balas Dokter Ardian sedikit kesal. Setelah itu ia bangkit lalu mengecup kening Citra sebelum pergi. “Aku pergi dulu, ya. Mana Nizam?” ucap Dokter Ardian lagi karena belum melihat anaknya. “Sama Bik Yati, Mas,” jawab Citra singkat. Dokter Ardian pun bergegas mencari di mana Bik Yati berada. Setelah menemukan Bik Yati di halaman rumah dan berpamitan pada anaknya, Dokter Ardian masuk ke dalam mobilnya. Di dalam mobil, Dokter Ardian tidak segera melajukan mobilnya. Ia mengeluarkan ponsel dari saku kemejanya. Kemudian ia membuka pesan yang sempat ia abaikan tadi. [Yan, sudah berangkat belum?] Begitulah pesan itu berbunyi. Itu pesan dari Miranda, tapi Dokter Ardian belum menyimpan nomor ponselnya. Setelah membaca pesan itu, Dokter Ardian kembali menyimpan ponselnya ke dalam saku tanpa membalasnya terlebih dahulu. Setelah itu ia melajukan mobilnya meninggalkan rumah menuju SMAN 1 Mawar. * Semen
BAB 220Beberapa bulan kemudianSudah satu minggu ini Citra mengambil cuti karena kandungannya sudah memasuki usia 37 minggu. Ia ingin beristirahat di rumah sambil mempersiapkan persalinan anak keduanya.Dokter Ardian sudah bekerja di Rumah Sakit Husada kembali. Namun, ia bekerja pada sore hari karena pagi hari sudah diisi dokter lain semenjak kepergiannya dulu.Pagi ini Dokter Ardian menemani Citra jalan-jalan pagi di komplek perumahannya. Arman dan Nizam masih tidur di rumah karena hari ini hari Minggu, sehingga mereka akan tidur sampai puas.Ketika sedang beristirahat di bangku yang ada pada sebuah taman, Citra merasakan janinnya menendang. Ia pun memegangi perutnya dengan tersenyum.“Kenapa?” tanya Dokter Ardian.“Dia menendang, Mas,” jawab Citra dengan mendesis. Setelah tendangan itu ia merasakan perutnya kencang dan sangat sakit.“Aaaahhh, Mas! Sakit!” ucap Citra mendesis menahan sakit pada perutnya.“Apa akan melahirkan? Kamu tunggu di sini, ya! Aku pulang dulu ambil mobil dan
BAB 219Malam hari Citra dan Dokter Ardian berbaring di atas tempat tidur berdua. Mereka sama-sama menatap langit-langit kamar mereka. Ada rasa canggung di antara mereka berdua karena sudah sepuluh tahun tidak bertemu.“Kenapa kamu tidak menikah lagi?” celetuk Dokter Ardian tiba-tiba seraya menoleh ke arah Citra yang berbaring di sampingnya.“Kenapa kamu bertanya seperti itu, Mas?” tanya Citra balik. Ia pun menatap Dokter Ardian juga.“Aku sudah pergi bertahun-tahun. Aku yakin kalau kalian semua sudah menganggapku mati,” jawab Dokter Ardian.“Bagaimana aku bisa menikah lagi, sedangkan hatiku kamu bawa pergi. Aku cinta hanya sama kamu, Mas,” ucap Citra dengan tersenyum.Hati Dokter Ardian tersentuh. Ia merasa terharu dengan pernyataan Citra. Ia pun segera memeluk tubuh Citra dan mencium bibirnya dengan buas. Untungnya ia sudah mencukur kumis berewoknya sebelum tidur tadi, sehingga Citra tidak menolaknya lagi.Ciuman mereka pun semakin panas hingga akhirnya percintaan di antara mereka p
BAB 218“Kamu kerja?” tanya Dokter Ardian.Citra menganggukkan kepalanya. “Iya, Mas,” jawab Citra.“Kalau aku nggak kerja, bagaimana aku dan anak-anak bisa makan?” imbuh Citra lagi.“Maaf, ya. Aku sudah membuat kamu susah dan menderita,” ucap Dokter Ardian merasa bersalah. Kemudian ia mendekatkan wajahnya ke arah Citra dan menempelkan bibirnya pada bibir Citra lalu melumat bibir itu seperti dulu.Citra tidak membalas ciuman Dokter Ardian. Ia mengernyitkan keningnya merasa tidak nyaman karena Dokter Ardian berewokan. Ia pun memundurkan kepalanya menjauh.“Kenapa?” tanya Dokter Ardian heran karena Citra menolak ciumannya.“Cukur dulu berewoknya, Mas,” gerutu Citra. Sudah lama ia tidak berciuman. Apalagi dengan wajah Dokter Ardian yang berewokan membuatnya risih dan sakit.Dokter Ardian mendesah pelan. Ia pun akhirnya pasrah karena memang tidak sempat mencukur bulu-bulu yang ada di wajahnya.Tidak lama kemudian Pak Aryo dan Bu Indah datang. Mereka segera masuk ke dalam rumah untuk meliha
BAB 217“Kata Mama, Papa sudah di surga,” sahut Nizam. Ia masih ingat kalau Citra mengatakan seperti itu ketika Arman dan Nizam menanyakan papanya.“Mungkin maksud Mama calon Papa, Kak,” sahut Arman menebak.Dokter Ardian mendesah pelan. Dengan segera ia menarik pelan tangan kedua anaknya agar masuk ke dalam rumah. Citra pun segera menutup pintu lalu mengekor di belakang mereka.Dokter Ardian menunjuk foto pernikahannya dengan Citra yang tergantung di ruang tengah.“Tuh lihat! Masa nggak kenal sama Papa sendiri,” gerutu Dokter Ardian pada kedua anaknya.Nizam dan Arman menatap foto pernikahan Citra dan Dokter Ardian dengan sangat lekat. Sesekali mereka juga melihat Dokter Ardian untuk mencocokkan garis wajah papanya.“Nggak sama. Yang di foto ganteng. Yang ini tua!” ujar Nizam sambil menunjuk Dokter Ardian.Dokter Ardian menghela napas panjang lalu mengembuskannya dengan kasar. Bagaimana tidak tua? Saat ini usia Dokter Ardian sudah empat puluh dua tahun. Ditambah lagi ia tidak bisa me
BAB 216Citra seperti melihat bayangan Dokter Ardian yang tersenyum padanya sambil duduk di kursi itu.‘Selamat pagi, Mas,’ ucap Citra dalam hati. Ia pun tersenyum lalu menutup pintu itu kembali. Kemudian ia bergegas menuju UGD untuk menjadi dokter jaga di sana.*Sore hari Citra pulang ke rumah seperti biasanya. Tubuhnya terasa lelah karena hari ini pasien di UGD sangat banyak. Ia masuk ke dalam rumah dengan langkah gontai. Tiba-tiba Nizam dan Arman berlari ke arahnya lalu memeluk tubuhnya.“Mama!” seru mereka senang karena melihat Citra sudah pulang.Citra tersenyum lalu berjongkok untuk membalas pelukan mereka.“Bagaimana sekolahnya hari ini? Seru?” tanya Citra seraya menatap Nizam dan Arman bergantian.“Seru… sekali, Ma!” balas Nizam dengan antusias.Citra pun membelai kepala Nizam dengan tersenyum. Meskipun Nizam bukan anak kandungannya, ia akan tetap menyayangi Nizam seperti anaknya sendiri.“Kalau Arman?” tanya Citra seraya menatap Arman.Arman cemberut lalu berkata, “Sebel ah,
BAB 215Dua tahun kemudianCitra masih berharap Dokter Ardian pulang. Ia masih berharap semua ini hanyalah mimpi panjangnya. Ia sangat ingin segera bangun dari tidur panjangnya ini.Setiap hari, sampai saat ini Citra selalu menunggu suaminya pulang di balkon kamarnya. pagi, siang, malam, ia sangat berharap Dokter Ardian memberikan kejutan padanya. Penantian panjang tak pernah membuatnya letih. Karena semua kenangan indah bersama dibawa Dokter Ardian pergi. Ia ingin kenangan itu datang kembali bersama suaminya tercinta.Setiap salat, Citra selalu berdoa agar Allah menuntun Dokter Ardian menemukan jalan pulang. Ia masih tetap di sini menunggu Dokter Ardian pulang kembali. Meskipun itu mustahil, tapi ia berharap ada keajaiban di dunia ini untuknya.Saat ini anak Citra sudah berusia dua tahun. Anak itu diberi nama Arman Raditya. Nama Arman mempunyai arti harapan dan doa. Harapan dan doa Citra adalah kepulangan Dokter Ardian, ayah dari anak-anaknya. Ia masih belum siap menjadi janda di usi
BAB 214 Mobil ambulans baru saja sampai di halaman rumah Dokter Ardian. Citra pun masuk ke dalam mobil ambulans dengan bantuan dua orang perawat. Ia masih bisa berjalan dan tidak mau naik brankar. Bu Ratna juga mengekor di belakang mereka sambil membawa tas yang berisi pakaian Citra dan calon bayinya. Sesampainya di Rumah Sakit Bunda, Citra dianjurkan segera masuk ke ruang bersalin karena Dokter Amanda sudah mengatur semuanya. Sambil berjalan, Citra menangis berlinang air mata. Bukan karena kesakitan, tapi karena rindu dan teringat Dokter Ardian. ‘Mana janjimu, Mas? Kamu bilang akan menemaniku saat melahirkan anak kita? Tapi, kenapa kamu malah pergi meninggalkan aku dan anak kita?’ raung Citra dalam hati. “Cit,” panggil Dokter Amanda saat melihat Citra di ambang pintu ruang bersalin. Ia pun tersenyum paksa meskipun hatinya menangis. Hatinya sangat sakit melihat Citra yang berlinang air mata di hadapannya. Ia tahu dan mengerti bagaimana rasanya jadi Citra saat ini. Citra pun melan
BAB 213Satu minggu kemudianCitra berdiri di balkon kamarnya. Ia menatap ke halaman rumah dan berharap melihat Dokter Ardian pulang. Setiap hari, pagi, siang, dan malam, ia menunggu Dokter Ardian pulang. Ia berharap semua ini hanya mimpi dan prank dari suaminya.“Mas …, aku rindu,” lirih Citra dengan bibir bergetar dan mata berkaca-kaca. Setiap hari ia menangis merindukan Dokter Ardian.“Andai waktu bisa diulang, aku akan bilang ‘I love you’ setiap hari padamu, Mas. Aku belum pernah mengucapkan cintaku padamu. Andai waktu bisa terulang kembali, aku ingin bilang ‘Aku cinta kamu’ sejuta kali sehari pun aku akan melakukannya, Mas,” ucap Citra menyesali semuanya. Ia menyesal karena tidak pernah mengatakan cinta pada Dokter Ardian selama ini. Padahal waktu kebersamaan mereka sangat singkat.Mobil Dokter Ardian memang sudah diangkat dari jurang. Namun, di dalam mobil itu tidak ditemukan tubuh ataupun jenazah Dokter Ardian. Kemungkinan besar, tubuh Dokter Ardian terlempar keluar saat mobil
BAB 212Citra tengah terbaring di salah satu kamar VIP Rumah Sakit Bunda. Sebuah selang infus terpasang pada tangan kirinya.Bu Ratna sedang menggosok telapak tangan dan telapak kaki Citra secara bergantian dengan lembut. Beberapa kali ia menatap wajah Citra dan berharap Citra segera membuka matanya. Ia baru saja sampai di Rumah Sakit Bunda sepuluh menit yang lalu dan langsung mencari di mana Citra dirawat.Tidak lama kemudian Citra mengernyitkan keningnya. Ia memegangi kepalanya yang terasa pening.“Cit,” ujar Bu Ratna senang akhirnya Citra sadar juga.Citra pun membuka matanya dan melihat ibunya di samping tempat tidurnya. Kemudian ia melihat ke sekeliling ruangan itu dan ia pun sadar kalau sedang berada di rumah sakit.“Ibuk,” balas Citra lirih.“Mau minum?” Bu Ratna menawarkan seraya mengambil air minum dalam kemasan botol yang ada di atas meja. Namun, Citra menggelengkan kepalanya. Bu Ratna pun menaruh kembali botol itu.Citra menatap langit-langit ruangan itu dengan tatapan koso