BAB 185Hari Minggu pun tiba. Usai mandi, Dokter Ardian keluar dari dalam kamar mandi hanya menggunakan handuk yang dililitkan di pinggangnya. Tetesan air masih menetes dari ujung rambutnya yang belum kering sempurna usai keramas. Ia melangkahkan kaki menuju almari di mana tempat ia menyimpan semua pakaiannya. Kemudian ia membuka almari itu untuk memilih pakaian yang akan ia pakai hari ini.Beberapa pakaian sudah ia keluarkan dan ia taruh di atas tempat tidur. Ia bingung harus memakai pakaian yang mana. kebanyakan pakaiannya adalah kemeja untuk bekerja di rumah sakit.Sesaat kemudian, pintu terbuka dari luar. Dokter Ardian menoleh dan tampaklah Citra di sana.“Duuuuhhh senangnya yang mau reuni,” celetuk Citra dengan lirikan tajam yang dibuat-buat.Dokter Ardian menatap Citra dengan tersenyum lembut.Citra melangkahkan kakinya masuk ke dalam kamar Dokter Ardian setelah menutup pintu karena Dokter Ardian belum berganti pakaian. Ia pun duduk di tepi tempat tidur Dokter Ardian dengan bibi
BAB 186 “Ck. Apa yang akan membuat kamu ngambek lagi sih, Cit. belajar dewasa dikit napa?” balas Dokter Ardian sedikit kesal. Setelah itu ia bangkit lalu mengecup kening Citra sebelum pergi. “Aku pergi dulu, ya. Mana Nizam?” ucap Dokter Ardian lagi karena belum melihat anaknya. “Sama Bik Yati, Mas,” jawab Citra singkat. Dokter Ardian pun bergegas mencari di mana Bik Yati berada. Setelah menemukan Bik Yati di halaman rumah dan berpamitan pada anaknya, Dokter Ardian masuk ke dalam mobilnya. Di dalam mobil, Dokter Ardian tidak segera melajukan mobilnya. Ia mengeluarkan ponsel dari saku kemejanya. Kemudian ia membuka pesan yang sempat ia abaikan tadi. [Yan, sudah berangkat belum?] Begitulah pesan itu berbunyi. Itu pesan dari Miranda, tapi Dokter Ardian belum menyimpan nomor ponselnya. Setelah membaca pesan itu, Dokter Ardian kembali menyimpan ponselnya ke dalam saku tanpa membalasnya terlebih dahulu. Setelah itu ia melajukan mobilnya meninggalkan rumah menuju SMAN 1 Mawar. * Semen
BAB 187“Yan! Woi!” seru seseorang dari taman sambil melambaikan tangannya pada Dokter Ardian. Dokter Ardian pun menoleh ke arah sumber suara lalu tersenyum dan melangkahkan kakinya mendekat.“Hei, Vin. Apa kabar?” sapa Dokter Ardian seraya tersenyum ceria lalu berjabat tangan dan memeluk Kevin.“Aku baik, Yan. Dengar-dengar kamu sudah jadi dokter nih?” balas Kevin setelah melepas pelukannya dengan Dokter Ardian.“Yoi, Bro,” sahut Dokter Ardian dengan bangga.“Ini siapa, Yan? Istrimu?” tanya Kevin dengan menatap dan menunjuk Miranda yang sedari tadi mengekor di belakang Dokter Ardian.“Bukan lah …. Dia Miranda teman kita dulu,” elak Dokter Ardian. Ia merasa beruntung Citra nggak ada di sini. Bisa-bisa Citra mengambek lagi dan tak dapat jatah dirinya kalau Citra merajuk lagi setelah mendengar tebakan Kevin.“Miranda … Miranda … siapa ya? Aku kok lupa, Yan?” ucap Kevin mencoba mengingat-ingat teman satu kelasnya yang bernama Miranda. Miranda memang tidak terlalu akrab dengan banyak tema
BAB 188Citra baru saja menidurkan Nizam di tempat tidurnya usai puas bermain. Tiba-tiba ia mendengar ponselnya yang ada di atas nakas bergetar. Ia pun menoleh sambil terus menepuk-nepuk pantat Nizam agar tidak terbangun lagi.Setelah Nizam tertidur dengan pulas dan memastikan tidak akan bangun lagi, Citra pun menghampiri ponselnya yang tadi bergetar. Ia melihat layar ponselnya dan melihat ada sebuah pesan. Dengan segera ia meraih ponsel itu sambil duduk di tepi tempat tidur.[Cit … Dokter Ardian punya gebetan baru. Nih, aku kirimin fotonya.]Begitulah pesan yang dikirimkan Dewi beserta foto Dokter Ardian yang tengah berjalan beriringan dengan Miranda. Tiba-tiba dada Citra terasa meradang dan mulai memanas.[Kamu datang ke sekolah, Wik?], balas Citra berbasa basi. Walaupun begitu, ia tetap bersyukur dan berterima kasih pada Dewi yang selalu memberinya informasi tentang Dokter Ardian tanpa disuruh.[Iya dong, Cit. Habis penasaran sih. Mumpung lagi libur juga. Hehe.], balas Dewi.Citra
BAB 189Citra diam saja dan tetap melanjutkan aktivitasnya membuat susu untuk Nizam.“Kok nggak jawab salamku sih, Cit?” gerutu Dokter Ardian di samping telinga Citra seraya mengeratkan pelukannya.“Wa’alaikum salam,” balas Citra singkat.“Kamu marah ya karena aku pulang telat?” tanya Dokter Ardian sembari merapikan anak rambut Citra dan menyisipkannya di belakang telinga.Citra tidak menjawabnya. Ia mengurai tangan Dokter Ardian yang memeluk tubuhnya lalu melangkahkan kakinya menuju tempat tidur Nizam dan memberikan susu buatannya pada Nizam.Dokter Ardian mengikutinya. “Cit ... aku kerja. Aku baru saja menyelesaikan tiga SC,” papar Dokter Ardian menjelaskan.“Iya, Mas,” balas Citra tetap jutek.Dokter Ardian mendesah pelan. Ia tahu Citra marah. Ia juga sadar kalau salah karena tidak menghubungi Citra seharian ini. Ia pun menghampiri almari Citra untuk mengecek dan berharap semua pakaian Citra sudah berpindah ke kamarnya.“Kok belum dipindah sih, Cit?” tanya Dokter Ardian seraya mena
BAB 190‘Kok malah lari ke massage sih, Mas,’ geram Citra dalam hati sambil menangis di dalam pelukan Dokter Ardian.“Wanita itu siapa, Mas? Kamu nggak ngijinin aku ikut karena mau berangkat bareng sama wanita lain, kan, Mas?” ucap Citra tiba-tiba.Dokter Ardian melepas pelukannya lalu menatap wajah Citra yang masih menangis tersedu-sedu. Begitu juga dengan Citra, ia menatap Dokter Ardian untuk mencari jawaban.“Wanita yang mana lagi sih, Cit? Kamu selalu saja begitu. Menuduhku yang tidak-tidak,” balas Dokter Ardian terheran-heran.Citra pun menatap nanar pada Dokter Ardian. Kemudian ia buru-buru melangkahkan kakinya menuju nakas. Ia mengambil ponselnya di sana lalu membuka galeri foto.“Ini. Ini siapa, Mas?” seru Citra. Ia memperlihatkan foto yang dikirimkan Dewi yang ada di layar ponselnya pada Dokter Ardian.Dokter Ardian memberengut melihat fotonya bersama Miranda pada layar ponsel Citra.“Ck. Kamu dapat foto itu dari mana?” tanya Dokter Ardian seraya mengambil ponsel Citra. Kemud
BAB 191POV Dokter ArdianPagi ini aku berangkat ke rumah sakit lebih awal dari biasanya. Bukan bermaksud untuk menghindari percakapan dengan Citra, tapi aku sedang ingin bertemu dan bicara dengan Dewi. Aku ingin memastikan, Dewi yang main chat dengan Citra di w*atsapp kemarin apakah benar Dewi yang biasanya menjadi asistenku di ruang poli kandungan.Sesampainya di rumah sakit, aku melangkahkan kakiku dengan cepat menuju ruang poli kandungan. Dari kejauhan kulihat Dokter Herlina sudah menungguku di dekat meja informasi seperti biasanya.‘Duh … malas banget kalau harus ngobrol sama dia,’ gumamku dalam hati.Aku pun mengeluarkan ponsel dari saku kemejaku lalu berpura-pura sedang bertelepon dengan orang lain di hadapannya. Dengan begitu ia tidak akan berani menggangguku, kan?Aku menempelkan ponsel di telingaku sambil seolah-olah berbicara dengan mama. Kulirik Dokter Herlina sedang memperhatikanku. Terlihat sekali kalau ia hendak menghampiriku. Namun, ia urungkan karena aku terlihat sibu
BAB 192POV AuthorSore hari Dokter Ardian pulang ke rumah dengan membawa martabak yang dibelinya di pinggir jalan tadi. Ia berharap Citra tidak marah lagi padanya. Nggak enak juga tidak bertegur sama sejak tadi malam.Sesampainya di depan pintu kamar Citra, Dokter Ardian segera membuka pintu kamar itu tanpa mengetuknya terlebih dahulu. Ia mengerutkan kening ketika kamar itu terlihat sepi. Citra dan Nizam pun tak ada di sana.“Ke mana mereka?” gumam Dokter Ardian lalu keluar dari kamar Citra dan menutup pintunya kembali. Ia pun masuk ke dalam kamarnya untuk menaruh tas kerjanya dan berganti pakaian sebentar.Usai berganti pakaian, Dokter Ardian membawa martabaknya ke lantai bawah menuju meja makan. Ia menaruh martabak itu di sana. Kemudian ia pergi ke taman belakang. Ia berharap bisa menemukan Citra dan Nizam di sana. Namun, hasilnya tetap sama.Dokter Ardian pun mengetuk pintu kamar Bik Yati. Tidak lama kemudian, Bik Yati membuka pintu kamarnya.“Citra dan Nizam mana, Bik?” tanya Dok
BAB 220Beberapa bulan kemudianSudah satu minggu ini Citra mengambil cuti karena kandungannya sudah memasuki usia 37 minggu. Ia ingin beristirahat di rumah sambil mempersiapkan persalinan anak keduanya.Dokter Ardian sudah bekerja di Rumah Sakit Husada kembali. Namun, ia bekerja pada sore hari karena pagi hari sudah diisi dokter lain semenjak kepergiannya dulu.Pagi ini Dokter Ardian menemani Citra jalan-jalan pagi di komplek perumahannya. Arman dan Nizam masih tidur di rumah karena hari ini hari Minggu, sehingga mereka akan tidur sampai puas.Ketika sedang beristirahat di bangku yang ada pada sebuah taman, Citra merasakan janinnya menendang. Ia pun memegangi perutnya dengan tersenyum.“Kenapa?” tanya Dokter Ardian.“Dia menendang, Mas,” jawab Citra dengan mendesis. Setelah tendangan itu ia merasakan perutnya kencang dan sangat sakit.“Aaaahhh, Mas! Sakit!” ucap Citra mendesis menahan sakit pada perutnya.“Apa akan melahirkan? Kamu tunggu di sini, ya! Aku pulang dulu ambil mobil dan
BAB 219Malam hari Citra dan Dokter Ardian berbaring di atas tempat tidur berdua. Mereka sama-sama menatap langit-langit kamar mereka. Ada rasa canggung di antara mereka berdua karena sudah sepuluh tahun tidak bertemu.“Kenapa kamu tidak menikah lagi?” celetuk Dokter Ardian tiba-tiba seraya menoleh ke arah Citra yang berbaring di sampingnya.“Kenapa kamu bertanya seperti itu, Mas?” tanya Citra balik. Ia pun menatap Dokter Ardian juga.“Aku sudah pergi bertahun-tahun. Aku yakin kalau kalian semua sudah menganggapku mati,” jawab Dokter Ardian.“Bagaimana aku bisa menikah lagi, sedangkan hatiku kamu bawa pergi. Aku cinta hanya sama kamu, Mas,” ucap Citra dengan tersenyum.Hati Dokter Ardian tersentuh. Ia merasa terharu dengan pernyataan Citra. Ia pun segera memeluk tubuh Citra dan mencium bibirnya dengan buas. Untungnya ia sudah mencukur kumis berewoknya sebelum tidur tadi, sehingga Citra tidak menolaknya lagi.Ciuman mereka pun semakin panas hingga akhirnya percintaan di antara mereka p
BAB 218“Kamu kerja?” tanya Dokter Ardian.Citra menganggukkan kepalanya. “Iya, Mas,” jawab Citra.“Kalau aku nggak kerja, bagaimana aku dan anak-anak bisa makan?” imbuh Citra lagi.“Maaf, ya. Aku sudah membuat kamu susah dan menderita,” ucap Dokter Ardian merasa bersalah. Kemudian ia mendekatkan wajahnya ke arah Citra dan menempelkan bibirnya pada bibir Citra lalu melumat bibir itu seperti dulu.Citra tidak membalas ciuman Dokter Ardian. Ia mengernyitkan keningnya merasa tidak nyaman karena Dokter Ardian berewokan. Ia pun memundurkan kepalanya menjauh.“Kenapa?” tanya Dokter Ardian heran karena Citra menolak ciumannya.“Cukur dulu berewoknya, Mas,” gerutu Citra. Sudah lama ia tidak berciuman. Apalagi dengan wajah Dokter Ardian yang berewokan membuatnya risih dan sakit.Dokter Ardian mendesah pelan. Ia pun akhirnya pasrah karena memang tidak sempat mencukur bulu-bulu yang ada di wajahnya.Tidak lama kemudian Pak Aryo dan Bu Indah datang. Mereka segera masuk ke dalam rumah untuk meliha
BAB 217“Kata Mama, Papa sudah di surga,” sahut Nizam. Ia masih ingat kalau Citra mengatakan seperti itu ketika Arman dan Nizam menanyakan papanya.“Mungkin maksud Mama calon Papa, Kak,” sahut Arman menebak.Dokter Ardian mendesah pelan. Dengan segera ia menarik pelan tangan kedua anaknya agar masuk ke dalam rumah. Citra pun segera menutup pintu lalu mengekor di belakang mereka.Dokter Ardian menunjuk foto pernikahannya dengan Citra yang tergantung di ruang tengah.“Tuh lihat! Masa nggak kenal sama Papa sendiri,” gerutu Dokter Ardian pada kedua anaknya.Nizam dan Arman menatap foto pernikahan Citra dan Dokter Ardian dengan sangat lekat. Sesekali mereka juga melihat Dokter Ardian untuk mencocokkan garis wajah papanya.“Nggak sama. Yang di foto ganteng. Yang ini tua!” ujar Nizam sambil menunjuk Dokter Ardian.Dokter Ardian menghela napas panjang lalu mengembuskannya dengan kasar. Bagaimana tidak tua? Saat ini usia Dokter Ardian sudah empat puluh dua tahun. Ditambah lagi ia tidak bisa me
BAB 216Citra seperti melihat bayangan Dokter Ardian yang tersenyum padanya sambil duduk di kursi itu.‘Selamat pagi, Mas,’ ucap Citra dalam hati. Ia pun tersenyum lalu menutup pintu itu kembali. Kemudian ia bergegas menuju UGD untuk menjadi dokter jaga di sana.*Sore hari Citra pulang ke rumah seperti biasanya. Tubuhnya terasa lelah karena hari ini pasien di UGD sangat banyak. Ia masuk ke dalam rumah dengan langkah gontai. Tiba-tiba Nizam dan Arman berlari ke arahnya lalu memeluk tubuhnya.“Mama!” seru mereka senang karena melihat Citra sudah pulang.Citra tersenyum lalu berjongkok untuk membalas pelukan mereka.“Bagaimana sekolahnya hari ini? Seru?” tanya Citra seraya menatap Nizam dan Arman bergantian.“Seru… sekali, Ma!” balas Nizam dengan antusias.Citra pun membelai kepala Nizam dengan tersenyum. Meskipun Nizam bukan anak kandungannya, ia akan tetap menyayangi Nizam seperti anaknya sendiri.“Kalau Arman?” tanya Citra seraya menatap Arman.Arman cemberut lalu berkata, “Sebel ah,
BAB 215Dua tahun kemudianCitra masih berharap Dokter Ardian pulang. Ia masih berharap semua ini hanyalah mimpi panjangnya. Ia sangat ingin segera bangun dari tidur panjangnya ini.Setiap hari, sampai saat ini Citra selalu menunggu suaminya pulang di balkon kamarnya. pagi, siang, malam, ia sangat berharap Dokter Ardian memberikan kejutan padanya. Penantian panjang tak pernah membuatnya letih. Karena semua kenangan indah bersama dibawa Dokter Ardian pergi. Ia ingin kenangan itu datang kembali bersama suaminya tercinta.Setiap salat, Citra selalu berdoa agar Allah menuntun Dokter Ardian menemukan jalan pulang. Ia masih tetap di sini menunggu Dokter Ardian pulang kembali. Meskipun itu mustahil, tapi ia berharap ada keajaiban di dunia ini untuknya.Saat ini anak Citra sudah berusia dua tahun. Anak itu diberi nama Arman Raditya. Nama Arman mempunyai arti harapan dan doa. Harapan dan doa Citra adalah kepulangan Dokter Ardian, ayah dari anak-anaknya. Ia masih belum siap menjadi janda di usi
BAB 214 Mobil ambulans baru saja sampai di halaman rumah Dokter Ardian. Citra pun masuk ke dalam mobil ambulans dengan bantuan dua orang perawat. Ia masih bisa berjalan dan tidak mau naik brankar. Bu Ratna juga mengekor di belakang mereka sambil membawa tas yang berisi pakaian Citra dan calon bayinya. Sesampainya di Rumah Sakit Bunda, Citra dianjurkan segera masuk ke ruang bersalin karena Dokter Amanda sudah mengatur semuanya. Sambil berjalan, Citra menangis berlinang air mata. Bukan karena kesakitan, tapi karena rindu dan teringat Dokter Ardian. ‘Mana janjimu, Mas? Kamu bilang akan menemaniku saat melahirkan anak kita? Tapi, kenapa kamu malah pergi meninggalkan aku dan anak kita?’ raung Citra dalam hati. “Cit,” panggil Dokter Amanda saat melihat Citra di ambang pintu ruang bersalin. Ia pun tersenyum paksa meskipun hatinya menangis. Hatinya sangat sakit melihat Citra yang berlinang air mata di hadapannya. Ia tahu dan mengerti bagaimana rasanya jadi Citra saat ini. Citra pun melan
BAB 213Satu minggu kemudianCitra berdiri di balkon kamarnya. Ia menatap ke halaman rumah dan berharap melihat Dokter Ardian pulang. Setiap hari, pagi, siang, dan malam, ia menunggu Dokter Ardian pulang. Ia berharap semua ini hanya mimpi dan prank dari suaminya.“Mas …, aku rindu,” lirih Citra dengan bibir bergetar dan mata berkaca-kaca. Setiap hari ia menangis merindukan Dokter Ardian.“Andai waktu bisa diulang, aku akan bilang ‘I love you’ setiap hari padamu, Mas. Aku belum pernah mengucapkan cintaku padamu. Andai waktu bisa terulang kembali, aku ingin bilang ‘Aku cinta kamu’ sejuta kali sehari pun aku akan melakukannya, Mas,” ucap Citra menyesali semuanya. Ia menyesal karena tidak pernah mengatakan cinta pada Dokter Ardian selama ini. Padahal waktu kebersamaan mereka sangat singkat.Mobil Dokter Ardian memang sudah diangkat dari jurang. Namun, di dalam mobil itu tidak ditemukan tubuh ataupun jenazah Dokter Ardian. Kemungkinan besar, tubuh Dokter Ardian terlempar keluar saat mobil
BAB 212Citra tengah terbaring di salah satu kamar VIP Rumah Sakit Bunda. Sebuah selang infus terpasang pada tangan kirinya.Bu Ratna sedang menggosok telapak tangan dan telapak kaki Citra secara bergantian dengan lembut. Beberapa kali ia menatap wajah Citra dan berharap Citra segera membuka matanya. Ia baru saja sampai di Rumah Sakit Bunda sepuluh menit yang lalu dan langsung mencari di mana Citra dirawat.Tidak lama kemudian Citra mengernyitkan keningnya. Ia memegangi kepalanya yang terasa pening.“Cit,” ujar Bu Ratna senang akhirnya Citra sadar juga.Citra pun membuka matanya dan melihat ibunya di samping tempat tidurnya. Kemudian ia melihat ke sekeliling ruangan itu dan ia pun sadar kalau sedang berada di rumah sakit.“Ibuk,” balas Citra lirih.“Mau minum?” Bu Ratna menawarkan seraya mengambil air minum dalam kemasan botol yang ada di atas meja. Namun, Citra menggelengkan kepalanya. Bu Ratna pun menaruh kembali botol itu.Citra menatap langit-langit ruangan itu dengan tatapan koso