Jam sudah menunjuk ke angka dua belas saat dua insan beda gender itu sudah berada di mobil untuk segera pulang. Keduanya sempat berhenti untuk makan di warung kaki lima. Namun, kali itu Lara enggan untuk mengulang hal yang sama.
"Kenapa?" tanya Ari yang penasaran. Ia masih melajukan mobil, mencari rumah makan yang masih buka di tengah malam.
"Gue kapok!"
Ari mengernyit heran, lantas terus melemar tanya yang tak kunjung dijawab oleh Lara. Beruntung, saat mobil mewah itu berada tak jauh dari perbatasan, ia menepi ke sebuah restoran fastfood ternama.
"Untung ada yang buka 24 jam," gerutu Ari yang hampir tak terdengar.
Lekas mereka turun dan mulai memesan. Lara yang hapal betul dengan menu makanan mereka pun langsung menunjuk gambar dan berlalu dari meja kasir. Meninggalkan Ari yang masih bergeming.
"Kagak ngomong, nggak apa. Kek patung, aja!" celetuk Ari sepenin
"Ya udah, sih, minum aja. Tapi harusnya nggak usah dicampur, biar tetep higienis.""Kamu dengan segala tetek bengeknya bikin aku capek, ngerti? Jadi mending, kalo masih mau sama aku, banyakin diemnya, ok? Apalagi kalo nyangkut soal makanan."Setelah berselisih paham beberapa menit, keduanya pun dipasung kebisuan. Sampai pada akhirnya kentang goreng milik Ari sudah habis, ia lekas beranjak.Lara turut mengekor di belakang Ari, kemudian masuk ke mobil hendak kembali ke Jakarta. Setidaknya butuh waktu sejam tanpa kepadatan jalanan untuk sampai id rumah indekost Ari."Kamu besok ada jam kuliah jam berapa?"Ari mencoba memecah keheningan. Buakn tanpa sebab, perutnya yang kenyang karena tak ingin mendengar peringatan Lara kini mulai bereaksi. Matanya kian berat terlebih saat tak ada yang mengajaknya bicara."Jam tujuh."Ari meliri
Ketukan pintu kamar yang tergesa membuat Ari dan Lara sontak terbangun sembaru mengusap kedua mata. Mereka baru terlelap saat jam menunjuk ke angka tiga.Tidur hanya tiga jam bukanlah kebiasaan Lara. Ia kembali tidur dengan membelakangi Ari.Ari beranjak, lalu membuka pintu setelah menutupkan selimut pada tubuh Lara. Setidaknya, Rendi tak melihat dengan mata kepala telanjang tentang Lara yang terbaring di ranjangnya.Demi melihat siapa yang menggedor pintu, Ari membelalakkan mata. Ia bahkan tak pernah menyangka bahwa Tarissa akan berkunjung pada pagi hari.Cepat dilihatnya jam yang masih menunjuk ke angka enam, lalu Ari sigap keluar dan menutup pintu kamarnya."Ada apa, Tar?" tanyanya panik. Lekas ditariknya tangan Tarissa hingga menjauh dari pintu kamar."Kenapa? Nggak boleh gue ke sini?" Tarissa kembali hendak mendekati kamar Ari, tetapi berhasil dicegah.
"Pindah, Ri," saran Lara yang kini tengah memangku dagu di kabin depan. Prosesi mandi dipercepat Lara setelah adanya insiden tadi. Pun waktu sarapannya yang hilang akibat mencari setelan pakaian yang cocok di lemari Ari."Kagak, Ra. Usaha belum jalan, kerja juga kagak, mau pindah macem mana? Untunglah itu biaya dua kamar udah kulunasin sampek enam bulan ke depan."Ari yang masih terkejut dengan segala tingkah Tarissa hanya menyayangkan sikap si gadis yang terlihat lemah lembut awalnya."Makanya jan ngenilai orang dari penampilannya, aja! Kapok, 'kan, sekarang?" sindir Lara.Sementara itu, di kabin belakang Rendi hanya bisa bergeming seolahi menjadi patung yang tak berarti. Bahkan, sejak ia duduk hingga sampai di UKLAKA tak ada seorang pun yang mengajaknya bicara."Betapa ... malang nasibkuuu," kelakar Rendi saat membuka pintu.Sekonyong-konyong, banyak yang menatap penuh t
"Sejak kapan, Ren?"Sejak Rendi turun dari mobil hingga senja hampir datang, kedua kawannya tak pernah berhenti menanyakan hal-hal mengenai Lara. Belum lagi tentang kedekatan keduanya di kantin saat jam makan siang datang."Apaan, sih, Dim? Nggak bosen apa nanyain itu mulu? Gue yang ngedengerin aja, nih, cuma modal kuping nggak pake gerak itu capek pake banget. Kok elu yang itu mulut kagak berenti tanya. Apa nggak capek?"Kali ini Rendi mulai kesal. Jika sebelumnya ia mencoba untuk lebih sabar, sekarang sudah tiba saatnya untuk bertindak."Ren, bukan masalah capek enggaknya. Ini masalah jiwa dan raga!" Saka bermonolog. Ia mengepal dan mengangkat tangannya hingga setinggi kepala."Kalo kita nggak bisa dapetin Lara, paling nggak kita bisa ngedeketin kawan se-ganknya, Ren! Dia empat serangkai. Itu artinya masih ada tiga cewek cantik dan tajir kek Lara! Masing-masing satu buat kita!"
"Ra, aku Dimas. Ini Saka. Kita temennya Rendi, loh. Temen sejak kecil."Lara tak tertarik untuk sekadar berbasa-basi. Ia punya prioritas sendiri jika bukan karena masalah hati. Ia sudah masuk ke mobil saat Dimas dan Saka hendak membuka percakapan lagi."Yaelah, Ra. Sombong bener. Elu tau nggak, Rendi itu kacung kita. Kalo elu kakak iparnya Rendi, itu berarti elu juga bagian dari kacung kita!"Mendengar celetukan Saka, Dimas pun menyikut lengan sang kawan. Diliriknya pula Rendi yang menatap nyalang. "Ngomong apaan elu, Sak!"Lara yang juga menangkap pengakuan Saka pun akhirnya membuka jendela mobil hingga tak bersisa. Ia sedikit mengangkat badan, lalu mencondongkan diri dan memanggil Saka mendekat. "Itu artinya kita emang beda kelas. Gue kacung kaya raya, sedangkan elu majikan tanpa harta. Jelas?"Sontak saja, Rendi langsung masuk ke belakang kemudi sembari menahan tawa. Cep
"Elu dari mana, Ri?"Pertanyaan Lara yang baru turun dari lantai dua membuat Ari terkesiap. Bak pencuri ayam yang ketahuan belangnya."Cari kerja. Aku juga masih butuh makan, Ra."Lara kian meniti anak tangga sembari melipat tangan di dada. Ia mengernyit heran saat mendengar pernyataan Ari barusan. "Elu yakin? Bukannya kartu kredit masih ada di elu?"Ari mengunci bahasa. Diliriknya tangga dan sela yang menuju ke lantai dua. Ia takut, sosok Rendi mencoba menguping pembicaraan mereka. Ia masih diam sampai pintu kamar terbuka. Dibawanya masuk gadis yang beberapa hari ini membuatnya sedikit gila.Di dalam, ia langsung mengeluarkan kartu kredit yang tertera Lara. Kartu kredit berwarna hitam tanpa batas transaksi yang diimpikan banyak kalangan."Tak kembaliin. Semua sudah kamu turutin. Modal usaha, sama njamin masa depan Rendi itu udah cukup buatku."
Ari mengernyit, memandang Rendi dengan tajam. Dilipatnya tangan di dada sembari menimbang-nimbang."Bener cuma itu alasan koe tanya temen-temennya Lara?"Pertanyaan yang sama sudah dilemar Ari entah untuk yang ke berapa kalinya. Rendi yang sudah menjawab jujur pun enggan menguntai penjabaran."Kalo elu kagak percaya, mending nggak usah tanya!"Rendi kembali merebahkan badan, lantas memeluk bantal guling sembari tak luput tatapannya pada sang kakak. Ari yang bergeming pun membalas pandangan Rendi. Keduanya saling bersitatap, meneguhkan opini masing-masing."Udahlah, Ri! Elu gila, apa? Gue nggak kenal sama mereka. Dimas dan Saka yang tau tentang Eiffor ato apalah itu. Gue nggak peduli. Lagian, gue cuma mau bantuin mereka biar seneng. Itu doang."Kali ini Ari mencebik, lantas mulai melunak dengan mendudukkan diri pada beanbag berukuran besar. "Aku ora gendeng. A
Ari sudah berada di rumah Lara sebelum jam menunjuk ke angka delapan pagi. Tepat seperti instruksi majikannya semalam.Demi mendapat uang dengan cara aman, Ari mau tak mau harus bekerja sebagai asisten rumah tangga yang merangkap banyak jabatan. Begitu menurut penjelasan singkat Lara setelah ia sampai."Aku baru sadar, kalo koe emang mesti sendirian," seloroh Ari tanpa mau menahan jengah."Gue emang selalu sendiri sejak mama pergi."Ari terdiam. Ia baru tahu bahwa gadis yang mulai bertahta dalam hatinya ini begitu kesepian. "Sejak umur?""Delapan," jawab Lara singkat. "Udah, yuk, kita beli seragam kerja elu!"Ari mengernyit heran, lantas mengekori tuannya masuk mobil. "Aku yang nyetir, Ra."Mendengar tawaran Ari, Lara merasa begitu heran. "Ri, jan lupa, elu asisten gue di jam kerja!"Sontak Ari menggaruk kepalanya yan
Lara baru saja tiba setelah mengadakan pertemuan terkait dengan usaha baru yang akan dirintis olehnya, saat ponselnya berdering keras. Dilihatnya nama pada layar ponsel, Montir Bastard.Ia tergelak sebentar. Memang inginnya nama Ari tak dirubah. Ia berharap itu akan menjadi kenangan berharga.Lekas diangkatnya perminaan vidio call dari sang kekasih. Lantas, sembari membuka blazer diharapkannya ponsel dengan bantuan bantal sebagai sanggahan."Kenapa?" tanya Lara, menuntut."Lah! Ditelepon tanya kenapa. Salam dulu, kek. Sayang-sayangan dulu gitu," jawab Ari di seberang. "Keknya lagi sibuk bener, ya? Empat hari enggak ketemu jadi miss you mss you."Mendengar pelafalan bahasa Inggris Ari yang fasih tetapi direka cadel, tentu membuat Lara terbahak. Apalagi keduanya memang belum sempat bertemu sejak pertemuan terakhir mereka."Iya, ya? Tapi enggak apa, gue sibuk bu
Pelan, Ari berjalan masuk ke gedung salah satu pencakar langit di Jakarta. Beberapa kali, matanya mengawasi sekitar. Lantas, ia berhenti tepat di meja penerima tamu."Ada yang bisa kami bantu?"Ari tergemap. Lantas, ia mengutarakan maksudnya datang ke sana. "Saya mau bertemu dengan Pak Bachtiar, Mbak."Sang resepsionis pun mengernyit, lantas menatap tajam pada Ari. "Anda sudah buat janji temu?"Ari menggeleng. "Harus, ya?""Bapak Bachtiar tidak menerima tamu sembarang, Pak. Usahakan punya janji temu dulu, ya."Sudah tiga hari ini, Ari selalu mendatangi salah satu kantor pusat permainan ternama. Bukan untuk mendapat pekerjaan, tetapi ia ingin bertemu langsung dengan ayahnya Lara.Sudah berulang kali ia mencoba menelepon, meminta janji temu untuk sang calon mertua. Akan tetapi, ia ditolak mentah-mentah saat ditanya maksud tujuannya.
"Ren, bisa ngomong sebentar?"Pintu diketuk Ari pelan, lantas tak lama suara anak kunci diputar pun terdengar. Rendi yang merasa aneh dengan tingkah sang kakak langsung menyadari ada hal yang ingin dibicarakan."Ada apa, sih? Kalo elu sopan gini, gue jadi takut."Ari terkekeh sebentar, lantas ia mengambil duduk pada bean bag terdekat. Diambilnya pula berkas-berkas yang sudah dilipat dalam saku hoodienya."Beberapa hal yang enggak bisa kita kuasai kadang bikin kita marah sama keadaan. Marah sama kenyataan. Aku ... sama."Rendi mengernyit, lantas mencondongkan tubuhnya ke arah sang kakak. "Enggak usah berbelit-belit, Ri. Ngomong aja. Kek sama siapa, aja! Elu mau nikahin Lara? Atau mau jadiin gue bridesman?"Rendi mengulum senyumnya. Ia tahu betul, jika suasana melow dari Ari membawa kabar buruk. Maka dari itu, ia berusaha untuk mencairkan suasana.
"Maksud elu gimana?"Demi melihat Lara yang menanap, Ari pun beranjak. Ia juga tengah terkejut dengan fakta yang ada. Belum lagi mengenai ucapan Supri yang kian membuat Ari bingung bukan kepalang."Aku juga enggak ngerti, Ra."Ari mengambil beberapa berkas dari tas selempangnya. Lantas, diberikannya pada Lara tanpa ragu.Perlahan, Lara membuka berkas yang ada. Untuk sejenak, ia memejam. Lantas, menarik Ari untuk duduk di sampingnya. "Ini bukan salah elu ataupun Rendi. Ini adalah takdir. Sekuat apa pun elu nolak, tetap saja ini adalah akhirnya."Ari menggeleng, lalu meraih gambar yang pernah dilihatnya di ponsel Tarissa. "Ini Tarissa. Orang yang sebelumnya nganggep aku kebahagiaannya. Terus, tiba-tiba aku hadir dan ngomong, aku kakakmu. Gila!"Lara mencengkeram lengan Ari lantas menatapnya lekat-lekat. "Katakan saja pada Rendi. Bagaimanapun juga, Rendi harus t
Di dalam kamar, Rendi, Ari dan Lara tengah sarapan bersama. Beberapa kali candaan dilempar kala tahu Rendi tengah melakukan aksi mukbang secara live pada penonton setianya: Lalita.Rendi yang tahan malu pun tak mengindahkan cibiran sang kakak dan Lara. Meski begitu, Lalita yang juga melakukan hal yang sama ingin segera mengakhiri panggilan."Jangan gitu, Ta, biarin aja wis kalian saling mukbang. Dan gue di sini sama Ari saling nyindirin kalian! Ha ha ha!"Lalita telah memerah wajahnya di depan kamera, sedangkan Rendi tak ingin acara saban paginya rusak gara-gara Lara."Mending elu pergi dah dari sini, Ra! Gangguin aja!"Mendengar dirinya diusir, Lara pun berkacak pinggang. "Hello! Ini kamar cowok gue! Harusnya elu yang minggat!""Lah, cuma cowok, 'kan? Belum jadi suami, kan? Gue yang lebih berhak!" jawab Rendi sekenanya."Lah, elu siapany
Lara sedang mengadakan pertemuan penting di salah satu anak perusahaan yang dikelolanya bersama Eiffor. Dari sana, ia akan mendapat banyak relasi demi menciptakan usaha Ari yang baru. Beberapa pengusaha setuju bekerja sama. Mulai dari kontraktor hingga bagian periklanan. Beberapa kali, Lara melirik ponselnya yang terus bergetar. Meksi begitu, bagaimanapun juga ia harus mengabaikan. Pertemuan itu lebih penting dari segalanya. Terlebih, untuk membangun masa depannya bersama Ari di kemudian hari. Usai meeting, Lara langsung menelepon balik sang kekasih. Kali ini, bukan hanya penggilannya yang tak dijawab. Ponsel Ari pun tak lagi dapat dihubungi. Lara cemas, dengan cepat ia berlari menuruni anak tangga menuju ke parkiran. Dilajukannya mobil berwarna hijau metalik dengan tergesa. Ada perasaan tak nyaman yang kini berkelindan. Apalagi, sebelumnya Ari ta
Ari baru saja tiba di rumah lamanya. Esok adalah hari di mana ia akan kembali ke sana. Ke tempat di mana ia dibesarkan bersama Rendi dengan belas kasih banyak tetangga.Sesekali, ia mengenang kilas kejadian yang memilukan. Tentang kematian orang-orang terkasih, bahkan ibunya yang pergi setelah meninggalkannya di rumah Bunda Diana.Pelan, diambilnya beberapa paket sembako yang sedari tadi ada di sekitar kakinya. Ia mengayun langkah tegas, pada rumah-rumah yang dulu pernah menjadi tempat singgah lapar mendera.Usai mengucap salam, wanita paruh baya membual pintu sembari mengulas senyum yang terkembang. "Ari? Ada apa, Nak? Sini, masuk!"Ari menggeleng sembari mengulas senyum. Lekas, diberikannya kontener kecil berisi banyak kebutuhan dapur. "Buat njenengan, Bu. Maaf kalo cuma bisa ngasih ini. In Syaa Allah, akan lebih sering ngasih."Melihat kontener besar yang dibawa Ari, wanita it
Sudah sehari setelah kedatangannya kembali ke Jakarta, saat Ari duduk bersisian di warung kopi tak jauh dari Fiterus Asikin. Bersama kawannya, ia terus berbincang tanpa kenal waktu lagi."Kukira, wakmu sudah lupa aku, Su! Udahlah enggak pernah main, eh nomormu enggak bisa dihubungi. Kenapa?"Ari tergelak sebentar, lantas menuang kopi pada lepek. Bersama, Supri, Ari mampu menjadi sosok yang selama ini selau dipendam jati dirinya."Gimana? Wis dapet laba?"Mendengar pertanyaan Supri, sontak Ari terbahak. "Bati opo? Emang jual beli pake tanya laba segala?"Ari terbahak, begitu pula Supri. Lantas, bersamaan keduanya menyesap kopi dari lepek."Enak koe, Su! Pantes dulu sering bayarin aku. Saiki gimana?" tanya Supri. Ia mencomot satu gorengan yang ada di tengah meja."Enggak gimana-gimana. Lagi mau bikin usaha aku. Biar selevel sama Lara. Palin
Lara baru saja tiba di rumahnya, saat ponselnya berdering nyaring. Ia mengedar pandang pada sosok yang ada di balik punggungnya."Masuk, sana!" titah Ari. Ia mengantar kepulangan Lara menggunakan taksi dalam jaringan.Lara mengangguk, lantas melambaikan tangannya. Tepat sebelum ia masuk ke rumah, Lara mengangkat panggilan dari orang-orang yang dipercayai mengurus segala sesuatu tentang usaha yang Ari impikan.Hanya dengan menajamkan pendengaran, Lara tahu betul mobil yang ditumpangi Ari telah pergi. Cepat, ia membuka pagar dan masuk rumah."Ada apa, Pak?" tanya Lara, antusias."Begini, Nona. Tentang perizinan dan sebagainya sudah keluar. Semua sudah beres. Jadi, kita bisa segera memulai pembangunan."Mendengar ucapan sang tangan kanan, tentu saja Lara semringah. Tanpa sadar ia melompat girang. Lantas, segera masuk ke kamar.Ia terla