Laila mencengkeram lengan Artin dengan erat, menariknya lebih tinggi menembus langit malam. Tubuh mereka diterangi oleh cahaya bulan dan api. Bara api raksasa yang menari, dan menelan habis bangunan perkotaan di permukaan tanah. “Kakak sudah bulat dengan keputusan ini?” "Kita harus memusnahkan naga itu segera sebelum memakan lebih banyak korban." Laila, kali ini merasakan energi yang berbeda dari Artin. Energi positif yang belum pernah dia temui sebelumnya. Laila merasa beberapa ujian yang menderanya beberapa hari terakhir ini cukup membuat karakter Artin terlihat lebih kokoh dan tangguh. “Huum.” Laila mengangguk. Tubuh Laila goyah, tekanan angin sedikit mengurangi kecepatan terbangnya. Laila menarik Artin ke
[[ ‘Sepatu Tanpa Beban Dari Pemburu Senyap (Tingkat Ungu)’ telah hancur ]] [[ ‘Celana Tanpa Beban Dari Pemburu Senyap (Tingkat Ungu)’ telah hancur ]] [[ ‘Helm Tanpa Beban Dari Pemburu Senyap (Tingkat Nila)’ telah hancur ]] [[ Data Tahan ‘Baju Zirah Ketahanan (Tingkat Biru)’ menurun secara drastis ]] Pakaian perang Artin hancur satu demi satu, begitu pula pakaian yang diberikan Laila sebelumnya. Kobaran api naga itu menyelimuti dan menyapu tubuhnya dengan kekuatan besar. Namun, Artin masih bergerak mendekat dengan Palu Keadilan yang dia pegang erat dengan kedua tangannya. “ARGHHHHHH!!!!” Artin berteriak, perasaannya bercampur antara rasa sakit yang membungkus tu
Iris melepaskan pelukannya, lalu mengangkat tangannya, yang sekarang dengan sebuah botol ramuan di genggaman tangannya. Dia membuka tutupnya dan membelai beberapa bagian wajah Artin dengan jarinya yang basah oleh cairan dari botol ramuan itu. Jari-jari kecil Iris membelai wajah Artin, lalu lehernya, lengannya, memberikan perasaan segar. Luka di tubuh Artin perlahan meninggalkannya. Laila masih berdiri dengan tangan bersilang di samping Artin. "Berapa lama adegan ini akan berlangsung, hum?" Iris menghentikan gerakan jarinya, lalu menyerahkan botol ramuan itu kepada Artin, menoleh ke arah Laila, dan menundukkan kepalanya. "Aku akan mengganti ramuan ini.”
Luka yang didapat Artin dan Laila malam itu tidak terlalu parah. Mereka sembuh dengan cepat dengan ramuan penyembuhan yang dibeli dari Sistem. Mereka kembali ke kamar masing-masing, membersihkan badan, berganti pakaian, dan setelah itu, kembali berkumpul di ruang utama rumah Laila. Merasa lelah bercampur lega, Artin merebahkan diri di sofa. Ketegangan berangsur-angsur meninggalkan tubuhnya, dan sekarang yang tersisa hanyalah perasaan tenang. Mata Artin terpejam saat tubuhnya terhisap pada permukaan sofa yang lembut. [[ Anda telah mendapatkan hasil yang bagus pada serangan ketiga ]] [[ .. ]] [[ Menghitung Hadiah ]]
Artin terbagun, membuka mata, dan disambut oleh Laila yang duduk di meja kaca di depannya. Menyilangkan kaki, kali ini sudah berganti pakaian, tersenyum dan melambaikan tangan. "Hei, ayo kita kencan." "Hah?" Tidak ada satupun lampu yang menyala. Cahaya yang menerangi ruangan hanya berasal dari jendela-jendela kecil yang terbuka di berbagai sudut ruangan. Hal seperti ini biasanya terjadi ketika Laila secara sengaja mematikan beberapa lampu di malam hari sebelum tidur. Selain itu, rumah Laila selalu dipenuhi dengan berbagai macam lampu yang menyala secara otomatis setiap kali seseorang memasuki sebuah ruangan. “Pemerintah memutuskan untuk mematikan listrik di siang hari, kecuali tempat-tempat khusus seperti rumah sakit, pusa
Artin sengaja meminta Fang untuk berjaga-jaga di luar. Tidak ada gunanya bagi mereka untuk menyembunyikan identitas lagi. Pemuja Laila bisa dengan mudah mengenalinya, begitu juga dengan para pembenci Artin, yang juga bisa mengendus kehadirannya dari kejauhan. Dua kelompok orang yang berlawanan itu selalu berusaha mengikuti mereka, mencari tahu apa yang mereka lakukan dan berkomentar sesuka hati.Artin dan Laila sedang makan siang ketika seorang pelayan mendekat, menundukkan kepalanya dan mengucapkan beberapa patah kata."Permisi pak. Eeeeh serigala besar yang berdiri di luar kafe ini, menghalangi pengunjung lain yang ingin masuk."Artin terus memakan makanannya, mengetahui bahwa Laila akan lebih cepat menjawab perkataan pria itu."Aku akan membayar semua kerugian yang diterima kafe ini." Laila melambaikan tangannya,
Menyadari kemungkinan akan terjadi keributan di tempat itu, beberapa orang yang awalnya di dalam kafe berlari keluar. Begitu juga dengan para pelayan yang berkumpul di satu titik, terlihat panik sambil tetap memperhatikan apa yang akan dilakukan Artin dan Laila. “Laila, jika memang perkelahian tidak bisa dihindari. Akan lebih baik jika kita memancing mereka ke tempat yang lebih sedikit penduduknya.” Laila menoleh ke arah Artin, menganggukkan kepalanya. “Aku setuju. Lebih baik kita pergi dari sini. Aku yakin mereka masih akan mengikuti kita." Artin berjalan menuju pintu kayu yang terbuka lebar setelah semua pengunjung kafe benar-benar meninggalkan tempat itu. Artin mendekati Fang yang sedang berdiri menghadap beberapa orang
Sayap transparan yang mengepak di sekitar kepala Laila membuat tubuhnya terbang cepat menembus angin. Bahkan cahaya bulan pun tidak bisa menangkap bayangannya. Kedua telapak tangannya mengepal dan meremas dengan kukunya yang membuat luka di telapak tangannya. Bekas luka yang biasanya ditimbulkan oleh pisau yang dia gunakan dalam pertempuran telah benar-benar membuat Laila mati rasa dengan sensasi perih yang dia rasakan."Mereka benar-benar membuatku kesal."Laila telah berusaha sekeras mungkin menahan diri, bahkan ketika mereka dengan sengaja mengeroyok Artin malam sebelumnya. Laila telah menyimpan perasaan gelisah di hatinya, yang kali ini tidak lagi sanggup dia tahan.'Aku akan memastikan mereka merasakan sakit yang tidak akan bisa terlupakan hingga jiwa mereka meninggalkan tubuhnya.’Laila masih ingat denga
Setelah mengetahui bahwa orang yang mencari Artin adalah Teddy, Laila memutuskan untuk menunggu di luar sementara Artin mengikuti kemana pria militer itu membawanya. Di lantai tertinggi, sebuah ruangan dengan dua pintu kayu terbuka ketika Artin berada tepat di depannya. Pria militer yang menemaninya mempersilahkan Artin untuk masuk. Sebuah ruangan dengan sofa dan meja kaca di tengah, juga beberapa meja dengan kursi serta seperangkat komputer di sisi lain. “Halo, Artin. Mari, silakan duduk.” Artin berjalan mendekat dan duduk berseberangan dengan Teddy. Dalam kondisi selarut ini, dia masih menggunakan seragam militer yang biasa dia kenakan. Apakah semua orang dari militer bekerja 24 jam? Atau hanya karena keadaan darurat yan
“Aku bisa mengontrol kecepatan tumbuh tanaman rambat.” Dan coba jelaskan jenis kekuatan yang dia miliki.Artin menganggukkan kepalanya pada jawaban dari anak laki-laki itu. Seperti yang dia duga, Dan adalah orang yang sama yang datang untuk menyerangnya saat itu.'Jika memang orang yang sama, apakah dia hanya berpura-pura tidak ingat apa yang terjadi?'Artin berusaha menyembunyikan rasa penasarannya. Dia akan mencoba mencari cara lain untuk mengorek informasi dari bocah itu. Salah satu dari lima, seorang gadis berambut perak seusia Dan, tampaknya memiliki kemampuan telepati dan cukup tahu tentang apa yang terjadi. Mungkin Artin bisa mengetahui siapa lawannya jika berhasil menemukan gadis itu.“Kekuatan yang cukup menarik, Dan. Bisakah kamu menggunakan kekuatanmu untuk mengunci pergerakan lawan?"
Tempat yang sedang Artin datangi adalah sebuah kubah besar dengan beberapa lantai, kamar dan ruangan besar di tengahnya. Tempat itu menjadi salah satu pusat penampungan bagi korban serangan monster. Ada beberapa Player dari militer yang juga menjaga area tersebut. Salah satu dari mereka berjalan memberi salam saat Artin dan Laila mendekati gerbang masuk. Seorang pria dengan pakaian militer mengangkat dan melambaikan tangannya. "Hai, Artin. Aku bersamamu dalam serangan terakhir beberapa hari yang lalu." Artin menundukkan kepalanya. "Aku mendapat izin dari Teddy untuk masuk ke dalam." Pria di hadapan mereka menoleh ke Laila yang berdiri di samping Artin, menggandeng tangannya.
Beberapa hari setelah pertarungan dengan Beastmaster berlalu dengan cukup damai. Tidak ada serangan apapun yang datang pada malam hari atau siang hari. Meski begitu, Artin dan Laila tetap rutin bersiaga, terutama di malam hari. Tentu saja, tugas mereka kali ini menjadi lebih mudah karena dukungan Fang, yang juga tanpa lelah berkeliling di sekitar rumah Laila. Sebuah portal berbentuk lingkaran kembali muncul mengambang di langit. Namun bedanya, kali ini tidak hanya ada satu, melainkan puluhan. Itu sebabnya militer dan beberapa Guild besar juga telah membagi kekuatan mereka secara merata untuk menangkal kemungkinan yang akan terjadi. Artin menyandarkan tubuhnya ke sofa besar di ruang utama rumah Laila. Malam itu, dia kembali bersiap untuk melakukan jadwal jaga seperti malam-malam sebelumnya. Awalnya, sulit untuk mengubah jam tidur dari malam ke siang, namun perlahan akhirn
Artin membaringkan tubuhnya di atas batu besar, yang setengahnya terendam di tepian danau. Suara serangga terdengar saling bersahutan. Dan angin yang bertiup dari permukaan danau berulang kali menghembuskan aroma kesegaran, membuat ketenangan yang coba Artin cari dengan segera terwujud di dalam dirinya.Suara percikan air, terdengar. Setelah beberapa saat Laila membenamkan dirinya, di badan besar danau yang memantulkan cahaya bulan dengan sempurna malam itu.Artin masih memastikan mereka aman dengan meminta Fang untuk terus berkeliling dan menyisir area di sekitar mereka.“Kakak…”Beberapa percikan air mengenai wajah Artin. Tetesan air yang segera berlomba antara membeku atau mengering diterpa angin. Artin terbangun dari lamunannya, menyadari bahwa akhirnya, Laila mencoba berinteraksi kembali deng
Mereka, anggota Beastmaster, tampak bersikeras dengan niat mereka. Mereka tidak akan mundur sedikit pun sampai mencapai apa yang mereka inginkan. Membawa orang sebanyak ini padahal targetnya hanya dua orang. Laila sudah mencapai batasnya. Pertarungan lain yang dia lakukan akan benar-benar membahayakan nyawanya. Sedangkan, Artin yakin bahwa mereka tidak akan mundur sedikit pun setelah mengetahui, dua dari rekan mereka juga telah kehilangan nyawanya di tangan Laila. "Laila, bisakah kamu pergi menyelamatkan diri?” Artin mencoba berbisik pada Laila yang berlutut di belakangnya. Laila telah melakukan pertarungan dengan tiga orang sekaligus. Ia mampu bertahan hingga saat ini saja sudah merupakan prestasi yang cukup membanggakan. Artin bukan tidak memercayai Laila, tapi tentu saja, ada batas
"Sekali lagi, jangan mendekat kecuali aku meminta!"Laila berteriak, lalu meremas alat kecil di tangannya. Perhatiannya kembali pada dua orang yang berada tak jauh darinya. Laila panik dengan apa yang baru saja terjadi, tapi ada hal lain yang perlu dia khawatirkan kali ini, yaitu dua orang yang sedang dia hadapi.'Kenapa aku harus mendapatkan kekuatan ini? Meskipun, pada awalnya, aku pikir kucing itu lucu. Tapi tidak seperti ini!!!'Laila berulang kali membayangkan apa yang akan terjadi padanya jika bulu-bulu di tubuhnya tetap ada bahkan setelah pertempuran usai. Selain itu, dia juga tidak akan percaya diri bertarung di depan siapa pun jika harus melakukannya dengan bentuk barunya.'Apa yang harus aku lakukan. Ini sangat memalukan. Apakah aku masih bisa kembali ke bentuk asliku?’
Sepasang sayap transparan mengepak cepat. Tubuh Laila terlempar ke udara, menukik ke bawah dan jatuh kembali ke tanah dengan berlutut. Laila berhasil menghindari serangan pria dengan tangan reptil itu. Laila berdiri, memasang kuda-kuda, mengepalkan tinjunya. Matanya menatap tajam ke tiga orang yang berdiri tidak jauh darinya. “Kakak, tolong benar-benar beri aku kesempatan kali ini. Biarkan aku menyelesaikan ini sendiri.” Laila berbicara kepada Artin melalui alat komunikasi di telinganya. Sejauh ini, lawan yang dihadapi Laila tampak lebih kuat dari yang dia duga. Namun kali ini, Laila bertekad untuk membuktikan dirinya. Dia tidak bisa bergantung pada Artin selamanya. [Oke, bagaimana dengan Fang? Oke. Aku percaya kamu]
Sayap transparan yang mengepak di sekitar kepala Laila membuat tubuhnya terbang cepat menembus angin. Bahkan cahaya bulan pun tidak bisa menangkap bayangannya. Kedua telapak tangannya mengepal dan meremas dengan kukunya yang membuat luka di telapak tangannya. Bekas luka yang biasanya ditimbulkan oleh pisau yang dia gunakan dalam pertempuran telah benar-benar membuat Laila mati rasa dengan sensasi perih yang dia rasakan."Mereka benar-benar membuatku kesal."Laila telah berusaha sekeras mungkin menahan diri, bahkan ketika mereka dengan sengaja mengeroyok Artin malam sebelumnya. Laila telah menyimpan perasaan gelisah di hatinya, yang kali ini tidak lagi sanggup dia tahan.'Aku akan memastikan mereka merasakan sakit yang tidak akan bisa terlupakan hingga jiwa mereka meninggalkan tubuhnya.’Laila masih ingat denga