Hallo, terima kasih yang sudah mengikuti sejauh ini. Tolong support Author dengan like dan berikan komentar yang positif ya.
Rohan terpaksa menghentikan semburan apinya, lehernya terkunci rapat hingga sulit bernapas. Jari-jari pria di depannya mencengkeram leher Rohan dengan erat, yang sekilas terlihat sangat lemah. Rohan meraih tangan pria itu, mencoba melepaskan cengkeramannya, tetapi dia tidak memiliki kekuatan untuk melakukannya. Kemudian mencoba untuk melemparkan beberapa tinju, tetapi kembali hanya terasa seperti pukulan lemah. Penglihatan Rohan perlahan menjadi gelap, kematian terlihat jelas di hadapannya. "Ha ha ha! Seperti ini saja?” Tubuh pria di hadapan Rohan itu kini tampak perlahan pulih dan kembali ke bentuk semula, meski masih ada luka bakar di sekujur tubuhnya yang membuatnya tampak seperti mayat hidup tanpa kulit dengan lapisan
Artin tidak menahan sedikitpun setiap pukulan yang dia lakukan, mengarah membabi buta pada tubuh pria yang terjatuh di depannya. Kaki, perut, dada, wajah, berulang kali hingga setelahnya tampak hanya segumpal daging yang hancur dengan bercak darah yang menciprat ke segala arah, memenuhi wajah dan tubuh Artin dengan tumbah darah dari target kemarahannya. Setelahnya, segumpal daging hancur yang ada di depan Artin rontok dan jatuh ke tanah dalam bentuk abu yang setelahnya lenyap tertiup angin. Selesai sudah, pertarungan yang dia lakukan selesai sudah. Menyisakan kemarahan di hati Artin yang masih menggebu dan memberontak hendak keluar dari tubuhnya. Artin jatuh ke tanah, menahan dengan lututnya dan Palu Keadilan yang berdiri disampingnya. Napasnya berhembus berulang
Mata Artin terbuka kembali. Kondisi tubuhnya kini telah membaik. Memang dari sisi fisik, dia tidak mendapatkan luka sedikitpun, tapi dari sisi mental, Artin merasa sangat lelah bahkan status di Sistem tidak bisa menggambarkannya. Andai saja ada Status bernama Kewarasan. Beberapa waktu lalu, nilai kewarasan Artin pasti sudah berada di titik nol. Beberapa guratan cahaya masuk melalui tirai di sudut ruangan, cukup hangat untuk jatuh membentuk garis di wajah Artin, memalingkan wajahnya sejenak untuk menghindari silaunya matahari. “Pagi, atau sore?” Menyadari bahwa hari sudah siang, Artin buru-buru bangun dari tidurnya. Karena kelelahan, Artin membuatnya lupa waktu dan tertidur cukup lama. Laila, Laila, Artin harus memastikan kondisi Laila, lalu bergegas keluar kamar,
Artin memeriksa status terbarunya. Levelnya telah naik sedikit sejak Artin terakhir kali memeriksanya. Artin telah mendapatkan peningkatkan kekuatan pada kakinya, memungkinkan dia untuk berlari, melompat dan menendang lebih keras dengan kekuatan yang dia dapatkan dari Bima. Setelah itu, Artin juga mendapatkan kekuatan yang tidak masuk akal dari pria yang datang untuk menyerang studio Elora sebelumnya. Tambahan 50% dalam Kekuatan yang membuat serangan dan kemampuannya untuk mengangkat beban berat meningkat dengan peningkatan yang cukup besar. Artin juga mendapat efek lain dari kemampuan itu, yaitu peningkatan 100% pada HP yang dimilikinya. Peningkatan sebesar ini hanya dengan membunuh dua orang. Seberapa kuat seorang Pemain jika dia fokus membunuh pemain lain daripada monster? Sampai saat ini, Artin merasa tidak heran
Mereka tidak punya cukup waktu untuk bersantai, tetapi itu tidak menghentikan Artin untuk mengunjungi Verona. Keduanya kemudian mengunjungi rumah sakit tempat Verona dirawat, kembali mengenakan topi dan kacamata hitam agar tidak terlalu mencolok dan menyembunyikan identitas mereka. Orang-orang yang melihat mereka terus memandangi dengan curiga dan kemudian menggantinya dengan tatapan kagum. Mungkin tidak ada yang tidak peduli dengan penampilan Artin, tapi tidak mudah bagi Laila untuk menyembunyikan identitasnya. Penganutnya dapat dengan mudah mengenali Laila hanya dari posturnya, yang juga dapat menyimpulkan pria yang berjalan bersamanya. Artin masih bisa mendengar pujian dan hinaan, meskipun lirih, membuatnya sedikit kesal, dan berharap bisa sedikit menguji Keahlian barunya pada orang-orang itu.
Artin duduk di tempat tertinggi di rumah Laila malam itu. Di tempat kecil seperti menara pengawas, Artin bisa dengan mudah melihat dan mengawasi sekeliling rumah yang luas Dan megah itu. Artin setengah bersandar di kursi kayu kecil. Beberapa kali ia meminum secangkir kopi yang telah disiapkannya. Waktu menunjukkan tepat tengah malam. Artin meletakkan cangkir kopinya di atas meja kecil ketika dia merasakan sinyal yang dikirim oleh Fang. Artin berdiri dari tempatnya duduk, menyipitkan mata ke lokasi di mana Fang berjaga. Meski dari kejauhan, dan kondisi malam hari hanya diterangi cahaya bulan, Artin bisa melihat sosok beberapa orang berjalan, mendekat, dan beberapa di antaranya terlihat membawa senjata. ‘Fang, kemari!’ Fang
Suasana malam yang awalnya sunyi tiba-tiba menjadi riuh, burung-burung yang hinggap di dahan pohon hutan beterbangan liar diiringi suara jeritan Lexi yang memecahkan gendang telinga Artin. Dan, pemuda dengan rambut yang menutupi sebagian wajahnya mengangkat tangannya. Setelah itu, Rerumputan di sekitarnya bergerak liar, tampak hidup, memanjang dan merambat ke seluruh tubuh Artin dengan sangat cepat. Sepersekian detik, tubuh Artin tertutup sepenuhnya oleh akar rerumputan, sangat kuat menguncinya. Artin merasa sulit untuk bergerak dan mengenali kondisi di sekelilingnya, namun tidak cukup lengah untuk tidak merasakan tebasan kapak raksasa yang hendak mengenai lehernya. Dengan susah payah Artin menarik dirinya dan berbalik ke samping ketika kapak besar itu berada tepat di depannya. Waktu seakan berhenti, Artin membuka mulutnya dan mencoba menangkap m
Menyadari bahwa semua orang yang tadinya berniat menyerang kini telah menghilang, Artin teringat kembali pada Laila. Artin bergegas berlari, melompat melewati pagar rumah Laila, membuka pintu, dan berjalan perlahan ke ruang utama rumah itu. Artin berjalan mendekat ke tempat Laila yang sedang tertidur, yang kemudian kekhawatirannya mereda ketika melihat Laila masih tertidur lelap di sana. Artin menyeka keringat di dahinya, lalu berjalan mendekat dan duduk bersandar pada sofa memunggungi Laila. Artin menundukkan kepalanya, lemas. Semua energi telah terkuras habis. Bukan karena pertarungan yang dia lakukan, tapi semua kegelisahan yang bercampur di hati dan pikirannya. ‘Aku telah melakukan yang terbaik. Sekuat tenagaku.’
Setelah mengetahui bahwa orang yang mencari Artin adalah Teddy, Laila memutuskan untuk menunggu di luar sementara Artin mengikuti kemana pria militer itu membawanya. Di lantai tertinggi, sebuah ruangan dengan dua pintu kayu terbuka ketika Artin berada tepat di depannya. Pria militer yang menemaninya mempersilahkan Artin untuk masuk. Sebuah ruangan dengan sofa dan meja kaca di tengah, juga beberapa meja dengan kursi serta seperangkat komputer di sisi lain. “Halo, Artin. Mari, silakan duduk.” Artin berjalan mendekat dan duduk berseberangan dengan Teddy. Dalam kondisi selarut ini, dia masih menggunakan seragam militer yang biasa dia kenakan. Apakah semua orang dari militer bekerja 24 jam? Atau hanya karena keadaan darurat yan
“Aku bisa mengontrol kecepatan tumbuh tanaman rambat.” Dan coba jelaskan jenis kekuatan yang dia miliki.Artin menganggukkan kepalanya pada jawaban dari anak laki-laki itu. Seperti yang dia duga, Dan adalah orang yang sama yang datang untuk menyerangnya saat itu.'Jika memang orang yang sama, apakah dia hanya berpura-pura tidak ingat apa yang terjadi?'Artin berusaha menyembunyikan rasa penasarannya. Dia akan mencoba mencari cara lain untuk mengorek informasi dari bocah itu. Salah satu dari lima, seorang gadis berambut perak seusia Dan, tampaknya memiliki kemampuan telepati dan cukup tahu tentang apa yang terjadi. Mungkin Artin bisa mengetahui siapa lawannya jika berhasil menemukan gadis itu.“Kekuatan yang cukup menarik, Dan. Bisakah kamu menggunakan kekuatanmu untuk mengunci pergerakan lawan?"
Tempat yang sedang Artin datangi adalah sebuah kubah besar dengan beberapa lantai, kamar dan ruangan besar di tengahnya. Tempat itu menjadi salah satu pusat penampungan bagi korban serangan monster. Ada beberapa Player dari militer yang juga menjaga area tersebut. Salah satu dari mereka berjalan memberi salam saat Artin dan Laila mendekati gerbang masuk. Seorang pria dengan pakaian militer mengangkat dan melambaikan tangannya. "Hai, Artin. Aku bersamamu dalam serangan terakhir beberapa hari yang lalu." Artin menundukkan kepalanya. "Aku mendapat izin dari Teddy untuk masuk ke dalam." Pria di hadapan mereka menoleh ke Laila yang berdiri di samping Artin, menggandeng tangannya.
Beberapa hari setelah pertarungan dengan Beastmaster berlalu dengan cukup damai. Tidak ada serangan apapun yang datang pada malam hari atau siang hari. Meski begitu, Artin dan Laila tetap rutin bersiaga, terutama di malam hari. Tentu saja, tugas mereka kali ini menjadi lebih mudah karena dukungan Fang, yang juga tanpa lelah berkeliling di sekitar rumah Laila. Sebuah portal berbentuk lingkaran kembali muncul mengambang di langit. Namun bedanya, kali ini tidak hanya ada satu, melainkan puluhan. Itu sebabnya militer dan beberapa Guild besar juga telah membagi kekuatan mereka secara merata untuk menangkal kemungkinan yang akan terjadi. Artin menyandarkan tubuhnya ke sofa besar di ruang utama rumah Laila. Malam itu, dia kembali bersiap untuk melakukan jadwal jaga seperti malam-malam sebelumnya. Awalnya, sulit untuk mengubah jam tidur dari malam ke siang, namun perlahan akhirn
Artin membaringkan tubuhnya di atas batu besar, yang setengahnya terendam di tepian danau. Suara serangga terdengar saling bersahutan. Dan angin yang bertiup dari permukaan danau berulang kali menghembuskan aroma kesegaran, membuat ketenangan yang coba Artin cari dengan segera terwujud di dalam dirinya.Suara percikan air, terdengar. Setelah beberapa saat Laila membenamkan dirinya, di badan besar danau yang memantulkan cahaya bulan dengan sempurna malam itu.Artin masih memastikan mereka aman dengan meminta Fang untuk terus berkeliling dan menyisir area di sekitar mereka.“Kakak…”Beberapa percikan air mengenai wajah Artin. Tetesan air yang segera berlomba antara membeku atau mengering diterpa angin. Artin terbangun dari lamunannya, menyadari bahwa akhirnya, Laila mencoba berinteraksi kembali deng
Mereka, anggota Beastmaster, tampak bersikeras dengan niat mereka. Mereka tidak akan mundur sedikit pun sampai mencapai apa yang mereka inginkan. Membawa orang sebanyak ini padahal targetnya hanya dua orang. Laila sudah mencapai batasnya. Pertarungan lain yang dia lakukan akan benar-benar membahayakan nyawanya. Sedangkan, Artin yakin bahwa mereka tidak akan mundur sedikit pun setelah mengetahui, dua dari rekan mereka juga telah kehilangan nyawanya di tangan Laila. "Laila, bisakah kamu pergi menyelamatkan diri?” Artin mencoba berbisik pada Laila yang berlutut di belakangnya. Laila telah melakukan pertarungan dengan tiga orang sekaligus. Ia mampu bertahan hingga saat ini saja sudah merupakan prestasi yang cukup membanggakan. Artin bukan tidak memercayai Laila, tapi tentu saja, ada batas
"Sekali lagi, jangan mendekat kecuali aku meminta!"Laila berteriak, lalu meremas alat kecil di tangannya. Perhatiannya kembali pada dua orang yang berada tak jauh darinya. Laila panik dengan apa yang baru saja terjadi, tapi ada hal lain yang perlu dia khawatirkan kali ini, yaitu dua orang yang sedang dia hadapi.'Kenapa aku harus mendapatkan kekuatan ini? Meskipun, pada awalnya, aku pikir kucing itu lucu. Tapi tidak seperti ini!!!'Laila berulang kali membayangkan apa yang akan terjadi padanya jika bulu-bulu di tubuhnya tetap ada bahkan setelah pertempuran usai. Selain itu, dia juga tidak akan percaya diri bertarung di depan siapa pun jika harus melakukannya dengan bentuk barunya.'Apa yang harus aku lakukan. Ini sangat memalukan. Apakah aku masih bisa kembali ke bentuk asliku?’
Sepasang sayap transparan mengepak cepat. Tubuh Laila terlempar ke udara, menukik ke bawah dan jatuh kembali ke tanah dengan berlutut. Laila berhasil menghindari serangan pria dengan tangan reptil itu. Laila berdiri, memasang kuda-kuda, mengepalkan tinjunya. Matanya menatap tajam ke tiga orang yang berdiri tidak jauh darinya. “Kakak, tolong benar-benar beri aku kesempatan kali ini. Biarkan aku menyelesaikan ini sendiri.” Laila berbicara kepada Artin melalui alat komunikasi di telinganya. Sejauh ini, lawan yang dihadapi Laila tampak lebih kuat dari yang dia duga. Namun kali ini, Laila bertekad untuk membuktikan dirinya. Dia tidak bisa bergantung pada Artin selamanya. [Oke, bagaimana dengan Fang? Oke. Aku percaya kamu]
Sayap transparan yang mengepak di sekitar kepala Laila membuat tubuhnya terbang cepat menembus angin. Bahkan cahaya bulan pun tidak bisa menangkap bayangannya. Kedua telapak tangannya mengepal dan meremas dengan kukunya yang membuat luka di telapak tangannya. Bekas luka yang biasanya ditimbulkan oleh pisau yang dia gunakan dalam pertempuran telah benar-benar membuat Laila mati rasa dengan sensasi perih yang dia rasakan."Mereka benar-benar membuatku kesal."Laila telah berusaha sekeras mungkin menahan diri, bahkan ketika mereka dengan sengaja mengeroyok Artin malam sebelumnya. Laila telah menyimpan perasaan gelisah di hatinya, yang kali ini tidak lagi sanggup dia tahan.'Aku akan memastikan mereka merasakan sakit yang tidak akan bisa terlupakan hingga jiwa mereka meninggalkan tubuhnya.’Laila masih ingat denga