Laila: Ngapain senyum2? Mau dipeluk juga? NO! Fang: *Menggeram dari kejauhan
[[ Laila Lvl. 12 (Ketua Kelompok) HP: 1000/1000 ]] [[ Artin Lvl. 17 HP: 1600/1600 ]] Beberapa jam sebelum serangan. Laila turun dari kamarnya, mengenakan pakaian yang mirip dengan sebelumnya, tetapi sekarang terlihat lebih anggun dengan lipatan dan beberapa dekorasi, membuatnya terlihat seperti hendak pergi ke pesta, bukan pertempuran. Laila membiarkan rambutnya terurai hanya dengan menggunakan jepit rambut sebagai hiasan. Kali ini mereka tidak lagi memakai topeng seperti sebelumnya. Itu tidak berguna setelah semua orang mengenali identitas mereka. Laila masih mengenakan high heels hitam dan stocking panjang yang menutupi seluruh kakinya hingga ke dalam, ditutu
Seseorang yang tampak berusia 40-an berdiri di depan Artin. Sekilas, senyum sinis muncul di wajahnya. Dari penampilannya mengenakan mantel bulu, terlihat dia datang berkelompok dengan anggota lainnya. Mereka berdiri tidak jauh dari posisi Artin. “Mengapa anak kecil datang ke tempat ini? Hmmm?” Pria itu menyipitkan matanya, menatap Artin, yang lebih pendek darinya. “Artin. Aku datang atas undangan Komandan Teddy.” Artin mengulurkan tangannya, memperkenalkan dirinya. “Cih!” Artin segera menarik tangannya ketika pria di depannya meludah. "H
Puluhan orang yang mengenakan jaket berhias bulu tipis di beberapa bagian mengepung Artin, mengelilinginya. Beberapa dari mereka berada di depan yang lain, Andreas dan dua lainnya yang sebelumnya mencoba menyerang. Andreas, tengah berjalan, memutar-mutar tangan kanannya, sesekali meludah sambil menatap Artin. [Kakak! Jika Kakak hanya berniat untuk tetap diam diperlakukan seperti itu, biarkan aku yang memberi mereka pelajaran!] “Tidak, tidak. Ini hal kecil buatku” [Hal kecil? Bagaimana aku bisa tenang mendengar mereka memperlakukan Kakak seperti itu?] Laila berulang kali bersikeras untuk mengambil alih apa yang sedang dihadapi Artin. Tentu saja Artin tidak akan membiarkan hal itu terjadi begitu saja. Terlepas
Wanita yang melompat dan mendarat dengan lutunya di samping Artin kemudian berdiri. Seperangkat sepatu perang hak tinggi yang dia gunakan, menggunakan campuran logam dan kulit, membuat tingginya melebihi Artin. Pedang panjang ungu cerah ada di tangan wanita itu, dan sedang dia arahkan ke Andreas. Artin melirik pada wanita itu. Tatapan wajahnya tampak kosong, mukanya datar dan lembut. Serta tatapannya yang sayu, memantulkan dengan sempurna sinar bulan pada bola matanya yang berwarna kuning keemasan. “Iris! Sword and Shield! Kupikir kalian tidak ingin ikut campur dalam urusan kami?” Andreas segera merespon, masih berada dalam posisi siaga. Iris, wanita berwajah tanpa emosi itu masih mengarahkan pedangnya ke Andreas. Dia bahkan tidak peduli untuk menjawab pertanyaan pria itu.
Dua menit sebelum serangan. [[ Artin Lvl 17 ]] [[ HP: 1600/1600 ]] [[ MP: 10/10 ]] [[ Energi: 240/240 ]] [[ Tekad: 1600/1600 ]] [[ Kapasitas Berat: 2080/3360 ]] Artin memeriksa sekali lagi status keseluruhan yang dimilikinya. Dengan status barunya, Artin bisa bertahan lebih lama dalam pertarungan. Total Tekad yang Artin miliki memungkinkannya untuk bertarung lebih lama. Meskipun Energi yang dia miliki masih cukup terbatas, tidak akan menjadi masalah jika dia bisa menghemat sebanyak mungkin menggunakan Keahlian yang dia miliki. Artin berdiri tidak
Artin berlari untuk menghindar saat api raksasa itu bergerak sangat cepat, menyapu tanah ke tempat dia berdiri. Beberapa orang yang tidak berhasil melarikan diri, tenggelam dan mati seketika dalam kobaran api besar yang menyapu tanah itu. ROARWWWWWWWWWWWWWWW Naga itu terbang dengan sayap yang terbentang lebar di langit, mengepak dan meniupkan gelombang angin ke tanah, membuat nyala api semakin berkobar liar. Naga itu terbang kembali ke langit, mengepak dan bergerak di atas ratusan orang yang berlarian dengan panik. Ribuan kadal raksasa bermunculan di tanah, berlari dan menyerang siapa pun di dekat mereka.
“Laila! Laila!” Artin memanggil nama Laila berulang kali. [Aku baik-baik saja. Kak!] Laila menjawab dengan suara terbata-bata. Artin merasa naga itu akan membahayakan lebih banyak orang jika pergi dari tempat yang dipenuhi oleh banyak Pemain. Artin menyusul kemana naga itu pergi. Artin berlari dan melewati beberapa orang yang tengah bertarung. Beberapa dari mereka mulai menyerah dan kehilangan nyawanya ketika kadal-kadal raksasa mencabik-cabik tubuh mereka. Artin menggelengkan kepalanya dan terus berlari. Artin harus membantu melawan naga itu sebelum dia terbang ke daerah berpenduduk. Artin sudah berlari dengan kecepatan maksimal yang sanggup dia lakukan,
Artin berlari, mengikuti kemana radar di depannya menunjukkan posisi Laila. Artin terpaksa melewatkan beberapa kadal raksasa yang berkeliaran di sekitarnya dan menyerang beberapa orang ataupun Pemain. Artin masih memantau status HP Laila. Kondisi Laila tidak terlihat baik, meski apa yang dikatakannya tampak sebaliknya. Artin melompat, setelahnya berdiri tidak jauh dari selusin ekor kadal raksasa, mengepung seseorang, dan menyerangnya secara bergantian. “Laila?” Laila berdiri di antara kadal-kadal raksasa itu, sendirian. Dan Fang melompat berulang kali di sekelilingnya, memberikan serangan dan sesekali melompat menjauh. Artin hendak membantu ketika Laila menatap
Setelah mengetahui bahwa orang yang mencari Artin adalah Teddy, Laila memutuskan untuk menunggu di luar sementara Artin mengikuti kemana pria militer itu membawanya. Di lantai tertinggi, sebuah ruangan dengan dua pintu kayu terbuka ketika Artin berada tepat di depannya. Pria militer yang menemaninya mempersilahkan Artin untuk masuk. Sebuah ruangan dengan sofa dan meja kaca di tengah, juga beberapa meja dengan kursi serta seperangkat komputer di sisi lain. “Halo, Artin. Mari, silakan duduk.” Artin berjalan mendekat dan duduk berseberangan dengan Teddy. Dalam kondisi selarut ini, dia masih menggunakan seragam militer yang biasa dia kenakan. Apakah semua orang dari militer bekerja 24 jam? Atau hanya karena keadaan darurat yan
“Aku bisa mengontrol kecepatan tumbuh tanaman rambat.” Dan coba jelaskan jenis kekuatan yang dia miliki.Artin menganggukkan kepalanya pada jawaban dari anak laki-laki itu. Seperti yang dia duga, Dan adalah orang yang sama yang datang untuk menyerangnya saat itu.'Jika memang orang yang sama, apakah dia hanya berpura-pura tidak ingat apa yang terjadi?'Artin berusaha menyembunyikan rasa penasarannya. Dia akan mencoba mencari cara lain untuk mengorek informasi dari bocah itu. Salah satu dari lima, seorang gadis berambut perak seusia Dan, tampaknya memiliki kemampuan telepati dan cukup tahu tentang apa yang terjadi. Mungkin Artin bisa mengetahui siapa lawannya jika berhasil menemukan gadis itu.“Kekuatan yang cukup menarik, Dan. Bisakah kamu menggunakan kekuatanmu untuk mengunci pergerakan lawan?"
Tempat yang sedang Artin datangi adalah sebuah kubah besar dengan beberapa lantai, kamar dan ruangan besar di tengahnya. Tempat itu menjadi salah satu pusat penampungan bagi korban serangan monster. Ada beberapa Player dari militer yang juga menjaga area tersebut. Salah satu dari mereka berjalan memberi salam saat Artin dan Laila mendekati gerbang masuk. Seorang pria dengan pakaian militer mengangkat dan melambaikan tangannya. "Hai, Artin. Aku bersamamu dalam serangan terakhir beberapa hari yang lalu." Artin menundukkan kepalanya. "Aku mendapat izin dari Teddy untuk masuk ke dalam." Pria di hadapan mereka menoleh ke Laila yang berdiri di samping Artin, menggandeng tangannya.
Beberapa hari setelah pertarungan dengan Beastmaster berlalu dengan cukup damai. Tidak ada serangan apapun yang datang pada malam hari atau siang hari. Meski begitu, Artin dan Laila tetap rutin bersiaga, terutama di malam hari. Tentu saja, tugas mereka kali ini menjadi lebih mudah karena dukungan Fang, yang juga tanpa lelah berkeliling di sekitar rumah Laila. Sebuah portal berbentuk lingkaran kembali muncul mengambang di langit. Namun bedanya, kali ini tidak hanya ada satu, melainkan puluhan. Itu sebabnya militer dan beberapa Guild besar juga telah membagi kekuatan mereka secara merata untuk menangkal kemungkinan yang akan terjadi. Artin menyandarkan tubuhnya ke sofa besar di ruang utama rumah Laila. Malam itu, dia kembali bersiap untuk melakukan jadwal jaga seperti malam-malam sebelumnya. Awalnya, sulit untuk mengubah jam tidur dari malam ke siang, namun perlahan akhirn
Artin membaringkan tubuhnya di atas batu besar, yang setengahnya terendam di tepian danau. Suara serangga terdengar saling bersahutan. Dan angin yang bertiup dari permukaan danau berulang kali menghembuskan aroma kesegaran, membuat ketenangan yang coba Artin cari dengan segera terwujud di dalam dirinya.Suara percikan air, terdengar. Setelah beberapa saat Laila membenamkan dirinya, di badan besar danau yang memantulkan cahaya bulan dengan sempurna malam itu.Artin masih memastikan mereka aman dengan meminta Fang untuk terus berkeliling dan menyisir area di sekitar mereka.“Kakak…”Beberapa percikan air mengenai wajah Artin. Tetesan air yang segera berlomba antara membeku atau mengering diterpa angin. Artin terbangun dari lamunannya, menyadari bahwa akhirnya, Laila mencoba berinteraksi kembali deng
Mereka, anggota Beastmaster, tampak bersikeras dengan niat mereka. Mereka tidak akan mundur sedikit pun sampai mencapai apa yang mereka inginkan. Membawa orang sebanyak ini padahal targetnya hanya dua orang. Laila sudah mencapai batasnya. Pertarungan lain yang dia lakukan akan benar-benar membahayakan nyawanya. Sedangkan, Artin yakin bahwa mereka tidak akan mundur sedikit pun setelah mengetahui, dua dari rekan mereka juga telah kehilangan nyawanya di tangan Laila. "Laila, bisakah kamu pergi menyelamatkan diri?” Artin mencoba berbisik pada Laila yang berlutut di belakangnya. Laila telah melakukan pertarungan dengan tiga orang sekaligus. Ia mampu bertahan hingga saat ini saja sudah merupakan prestasi yang cukup membanggakan. Artin bukan tidak memercayai Laila, tapi tentu saja, ada batas
"Sekali lagi, jangan mendekat kecuali aku meminta!"Laila berteriak, lalu meremas alat kecil di tangannya. Perhatiannya kembali pada dua orang yang berada tak jauh darinya. Laila panik dengan apa yang baru saja terjadi, tapi ada hal lain yang perlu dia khawatirkan kali ini, yaitu dua orang yang sedang dia hadapi.'Kenapa aku harus mendapatkan kekuatan ini? Meskipun, pada awalnya, aku pikir kucing itu lucu. Tapi tidak seperti ini!!!'Laila berulang kali membayangkan apa yang akan terjadi padanya jika bulu-bulu di tubuhnya tetap ada bahkan setelah pertempuran usai. Selain itu, dia juga tidak akan percaya diri bertarung di depan siapa pun jika harus melakukannya dengan bentuk barunya.'Apa yang harus aku lakukan. Ini sangat memalukan. Apakah aku masih bisa kembali ke bentuk asliku?’
Sepasang sayap transparan mengepak cepat. Tubuh Laila terlempar ke udara, menukik ke bawah dan jatuh kembali ke tanah dengan berlutut. Laila berhasil menghindari serangan pria dengan tangan reptil itu. Laila berdiri, memasang kuda-kuda, mengepalkan tinjunya. Matanya menatap tajam ke tiga orang yang berdiri tidak jauh darinya. “Kakak, tolong benar-benar beri aku kesempatan kali ini. Biarkan aku menyelesaikan ini sendiri.” Laila berbicara kepada Artin melalui alat komunikasi di telinganya. Sejauh ini, lawan yang dihadapi Laila tampak lebih kuat dari yang dia duga. Namun kali ini, Laila bertekad untuk membuktikan dirinya. Dia tidak bisa bergantung pada Artin selamanya. [Oke, bagaimana dengan Fang? Oke. Aku percaya kamu]
Sayap transparan yang mengepak di sekitar kepala Laila membuat tubuhnya terbang cepat menembus angin. Bahkan cahaya bulan pun tidak bisa menangkap bayangannya. Kedua telapak tangannya mengepal dan meremas dengan kukunya yang membuat luka di telapak tangannya. Bekas luka yang biasanya ditimbulkan oleh pisau yang dia gunakan dalam pertempuran telah benar-benar membuat Laila mati rasa dengan sensasi perih yang dia rasakan."Mereka benar-benar membuatku kesal."Laila telah berusaha sekeras mungkin menahan diri, bahkan ketika mereka dengan sengaja mengeroyok Artin malam sebelumnya. Laila telah menyimpan perasaan gelisah di hatinya, yang kali ini tidak lagi sanggup dia tahan.'Aku akan memastikan mereka merasakan sakit yang tidak akan bisa terlupakan hingga jiwa mereka meninggalkan tubuhnya.’Laila masih ingat denga