Di ruangan sebesar itu, dengan banyak meja bundar dan hampir semuanya terisi, puluhan wartawan dan orang-orang yang datang berulang kali mengambil foto dan mencoba mencari kesempatan untuk meliput beberapa berita. Makan malam ini awalnya adalah acara pribadi yang diadakan oleh Elora dan timnya sebagai persiapan untuk Talk Show besok, tetapi itu tidak menghentikan banyak orang untuk ingin tahu lebih banyak tentang semua jenis pertanyaan yang belum terjawab, tentang serangan, tentang monster, kekuatan para Pemain dan banyak hal lainnya. “Hal ini tidak dimaksudkan sebelumnya, tetapi kami tidak kuasa menghalangi banyaknya orang yang penasaran tentang profil kalian, jika kalian tidak keberatan.” Setelah Artin dan semua orang di meja mulai bersantai dan menyelesaikan makan malam mereka, Elora bertanya apakah tamunya tidak
Makan malam berjalan cukup lancar, Artin kembali bersama Verona tidak lama setelah itu. Dan setelahnya Artin dan Laila pun berpamitan, juga meyakinkan kehadiran mereka di Talk Show yang telah disiapkan untuk mereka keesokan harinya. Artin tidak banyak bicara selama perjalanan, sampai mereka tiba di rumah Laila, berganti pakaian dan berkumpul lagi di ruang utama rumah megah itu. Duduk di sofa yang sama, Artin dan Laila yang telah berganti piyama dan beberapa bantal dan selimut yang mereka bawa setelah memutuskan untuk tetap bersama sementara waktu, mempertimbangkan kemungkinan serangan berikutnya datang pada malam hari. Laila berbaring di sofa besar dan empuk di ruangan itu, sementara Artin duduk di karpet dan menyandarkan punggungnya di sofa tempat Laila berbaring di belakangnya.
Verona yang melihat Artin datang saat itu langsung berlari dan meraih tangan kanan Artin, dengan Laila memegang tangan kirinya, kali ini Artin benar-benar terlihat seperti playboy pemain perasaan perempuan bagi sebagian orang yang melihatnya waktu itu. Mereka kemudian duduk di sofa dengan kamera mengelilingi mereka dan puluhan penonton yang juga telah hadir di tempat tersebut. Elora yang duduk dengan kemeja putih, rok pendek abu-abu, kacamata bulat yang ia kenakan lagi kali ini memiliki penampilan yang sangat sempurna dengan sorot mata tajam yang seolah ingin menerkam siapa pun yang diajak bicara. Bulu kuduk Artin berdiri sesaat, membayangkan diskusi yang akan mereka lakukan dengan ribuan pasang mata tertuju pada mereka. Rania, istri Bima kali ini tampak tak lagi bisa menyembunyikan k
Seseorang dengan tinggi dua meter dan tubuh besar yang dipenuhi otot-otot di sekujur tubuh tiba-tiba masuk dengan menghancurkan dinding yang menyebabkan semua orang di tempat itu berlari dengan panik. Artin mencoba memunculkan Palu Keadilan karena dia merasa sesuatu yang buruk akan terjadi, tetapi dia tidak punya waktu untuk melakukannya ketika orang tadi mengangkat sebagian besar dinding dan melemparkannya ke arah mereka. Artin buru-buru mengangkat tubuh Verona dan langsung melompat dari tempat duduknya. Laila seketika juga menghilang dari sisi Artin yang kemudian sekali lagi muncul di sisi lain sambil menarik Elora dari benda besar yang dilempar ke arah mereka. “Mamaaaaa!” Rohan berdiri menahan benda yang d
Verona berlari ke arah pria itu. Artin berusaha mengejar tapi kemudian berhenti saat melihat cengkeraman pria itu mengencang di leher Rania. Artin masih berusaha untuk mengejar ketika Rania kemudian mulai bergerak lebih liar karena rasa sakit yang dia rasakan di lehernya. Artin tidak punya banyak pilihan, dia tidak bisa sembarangan menyerang, nyawa Rania dipertaruhkan. Dan sekarang keadaan semakin buruk dengan Verona yang mencoba lari dan mendekati pria itu. Verona berlari ketika pria itu menendang perut Verona yang kemudian membuat Verona terjatuh dan kaki kanan pria itu menekan tubuh kecil Verona ke lantai, membuat gadis kecil itu kesulitan untuk bergerak. Satu atau kedua nyawa Rania dan Verona kini dipertaruhkan, tindakan salah sekecil apa pun, nyawa mereka tidak akan terselamatkan. Artin mengertakkan gigi dan men
Rania jatuh ke lantai, tampak lemah. Setelah itu pria yang melakukan ini berbalik dan berlari cukup kencang menuju sebuah lubang besar di salah satu bagian ruangan besar itu. Artin tidak akan membiarkannya pergi seperti itu. Artin dengan cepat melompat mencoba mengejar, hanya untuk dihentikan ketika Rohan memanggilnya dengan cukup keras. "Biarkan aku mengejarnya, tolong selamatkan Rania!" Hanya dalam waktu sesingkat itu, wajah Rohan yang dipenuhi amarah langsung melesat melewati Artin. Kemudian melompat beberapa kali untuk memperpendek jarak dengan pria itu. Sepersekian detik kemudian, 2 orang itu tidak lagi terlihat di depan mata Artin. Artin berlari ke arah Rania yang jatuh ke lantai. Elora sudah duduk berlutut di sampin
Rohan terpaksa menghentikan semburan apinya, lehernya terkunci rapat hingga sulit bernapas. Jari-jari pria di depannya mencengkeram leher Rohan dengan erat, yang sekilas terlihat sangat lemah. Rohan meraih tangan pria itu, mencoba melepaskan cengkeramannya, tetapi dia tidak memiliki kekuatan untuk melakukannya. Kemudian mencoba untuk melemparkan beberapa tinju, tetapi kembali hanya terasa seperti pukulan lemah. Penglihatan Rohan perlahan menjadi gelap, kematian terlihat jelas di hadapannya. "Ha ha ha! Seperti ini saja?” Tubuh pria di hadapan Rohan itu kini tampak perlahan pulih dan kembali ke bentuk semula, meski masih ada luka bakar di sekujur tubuhnya yang membuatnya tampak seperti mayat hidup tanpa kulit dengan lapisan
Artin tidak menahan sedikitpun setiap pukulan yang dia lakukan, mengarah membabi buta pada tubuh pria yang terjatuh di depannya. Kaki, perut, dada, wajah, berulang kali hingga setelahnya tampak hanya segumpal daging yang hancur dengan bercak darah yang menciprat ke segala arah, memenuhi wajah dan tubuh Artin dengan tumbah darah dari target kemarahannya. Setelahnya, segumpal daging hancur yang ada di depan Artin rontok dan jatuh ke tanah dalam bentuk abu yang setelahnya lenyap tertiup angin. Selesai sudah, pertarungan yang dia lakukan selesai sudah. Menyisakan kemarahan di hati Artin yang masih menggebu dan memberontak hendak keluar dari tubuhnya. Artin jatuh ke tanah, menahan dengan lututnya dan Palu Keadilan yang berdiri disampingnya. Napasnya berhembus berulang
Setelah mengetahui bahwa orang yang mencari Artin adalah Teddy, Laila memutuskan untuk menunggu di luar sementara Artin mengikuti kemana pria militer itu membawanya. Di lantai tertinggi, sebuah ruangan dengan dua pintu kayu terbuka ketika Artin berada tepat di depannya. Pria militer yang menemaninya mempersilahkan Artin untuk masuk. Sebuah ruangan dengan sofa dan meja kaca di tengah, juga beberapa meja dengan kursi serta seperangkat komputer di sisi lain. “Halo, Artin. Mari, silakan duduk.” Artin berjalan mendekat dan duduk berseberangan dengan Teddy. Dalam kondisi selarut ini, dia masih menggunakan seragam militer yang biasa dia kenakan. Apakah semua orang dari militer bekerja 24 jam? Atau hanya karena keadaan darurat yan
“Aku bisa mengontrol kecepatan tumbuh tanaman rambat.” Dan coba jelaskan jenis kekuatan yang dia miliki.Artin menganggukkan kepalanya pada jawaban dari anak laki-laki itu. Seperti yang dia duga, Dan adalah orang yang sama yang datang untuk menyerangnya saat itu.'Jika memang orang yang sama, apakah dia hanya berpura-pura tidak ingat apa yang terjadi?'Artin berusaha menyembunyikan rasa penasarannya. Dia akan mencoba mencari cara lain untuk mengorek informasi dari bocah itu. Salah satu dari lima, seorang gadis berambut perak seusia Dan, tampaknya memiliki kemampuan telepati dan cukup tahu tentang apa yang terjadi. Mungkin Artin bisa mengetahui siapa lawannya jika berhasil menemukan gadis itu.“Kekuatan yang cukup menarik, Dan. Bisakah kamu menggunakan kekuatanmu untuk mengunci pergerakan lawan?"
Tempat yang sedang Artin datangi adalah sebuah kubah besar dengan beberapa lantai, kamar dan ruangan besar di tengahnya. Tempat itu menjadi salah satu pusat penampungan bagi korban serangan monster. Ada beberapa Player dari militer yang juga menjaga area tersebut. Salah satu dari mereka berjalan memberi salam saat Artin dan Laila mendekati gerbang masuk. Seorang pria dengan pakaian militer mengangkat dan melambaikan tangannya. "Hai, Artin. Aku bersamamu dalam serangan terakhir beberapa hari yang lalu." Artin menundukkan kepalanya. "Aku mendapat izin dari Teddy untuk masuk ke dalam." Pria di hadapan mereka menoleh ke Laila yang berdiri di samping Artin, menggandeng tangannya.
Beberapa hari setelah pertarungan dengan Beastmaster berlalu dengan cukup damai. Tidak ada serangan apapun yang datang pada malam hari atau siang hari. Meski begitu, Artin dan Laila tetap rutin bersiaga, terutama di malam hari. Tentu saja, tugas mereka kali ini menjadi lebih mudah karena dukungan Fang, yang juga tanpa lelah berkeliling di sekitar rumah Laila. Sebuah portal berbentuk lingkaran kembali muncul mengambang di langit. Namun bedanya, kali ini tidak hanya ada satu, melainkan puluhan. Itu sebabnya militer dan beberapa Guild besar juga telah membagi kekuatan mereka secara merata untuk menangkal kemungkinan yang akan terjadi. Artin menyandarkan tubuhnya ke sofa besar di ruang utama rumah Laila. Malam itu, dia kembali bersiap untuk melakukan jadwal jaga seperti malam-malam sebelumnya. Awalnya, sulit untuk mengubah jam tidur dari malam ke siang, namun perlahan akhirn
Artin membaringkan tubuhnya di atas batu besar, yang setengahnya terendam di tepian danau. Suara serangga terdengar saling bersahutan. Dan angin yang bertiup dari permukaan danau berulang kali menghembuskan aroma kesegaran, membuat ketenangan yang coba Artin cari dengan segera terwujud di dalam dirinya.Suara percikan air, terdengar. Setelah beberapa saat Laila membenamkan dirinya, di badan besar danau yang memantulkan cahaya bulan dengan sempurna malam itu.Artin masih memastikan mereka aman dengan meminta Fang untuk terus berkeliling dan menyisir area di sekitar mereka.“Kakak…”Beberapa percikan air mengenai wajah Artin. Tetesan air yang segera berlomba antara membeku atau mengering diterpa angin. Artin terbangun dari lamunannya, menyadari bahwa akhirnya, Laila mencoba berinteraksi kembali deng
Mereka, anggota Beastmaster, tampak bersikeras dengan niat mereka. Mereka tidak akan mundur sedikit pun sampai mencapai apa yang mereka inginkan. Membawa orang sebanyak ini padahal targetnya hanya dua orang. Laila sudah mencapai batasnya. Pertarungan lain yang dia lakukan akan benar-benar membahayakan nyawanya. Sedangkan, Artin yakin bahwa mereka tidak akan mundur sedikit pun setelah mengetahui, dua dari rekan mereka juga telah kehilangan nyawanya di tangan Laila. "Laila, bisakah kamu pergi menyelamatkan diri?” Artin mencoba berbisik pada Laila yang berlutut di belakangnya. Laila telah melakukan pertarungan dengan tiga orang sekaligus. Ia mampu bertahan hingga saat ini saja sudah merupakan prestasi yang cukup membanggakan. Artin bukan tidak memercayai Laila, tapi tentu saja, ada batas
"Sekali lagi, jangan mendekat kecuali aku meminta!"Laila berteriak, lalu meremas alat kecil di tangannya. Perhatiannya kembali pada dua orang yang berada tak jauh darinya. Laila panik dengan apa yang baru saja terjadi, tapi ada hal lain yang perlu dia khawatirkan kali ini, yaitu dua orang yang sedang dia hadapi.'Kenapa aku harus mendapatkan kekuatan ini? Meskipun, pada awalnya, aku pikir kucing itu lucu. Tapi tidak seperti ini!!!'Laila berulang kali membayangkan apa yang akan terjadi padanya jika bulu-bulu di tubuhnya tetap ada bahkan setelah pertempuran usai. Selain itu, dia juga tidak akan percaya diri bertarung di depan siapa pun jika harus melakukannya dengan bentuk barunya.'Apa yang harus aku lakukan. Ini sangat memalukan. Apakah aku masih bisa kembali ke bentuk asliku?’
Sepasang sayap transparan mengepak cepat. Tubuh Laila terlempar ke udara, menukik ke bawah dan jatuh kembali ke tanah dengan berlutut. Laila berhasil menghindari serangan pria dengan tangan reptil itu. Laila berdiri, memasang kuda-kuda, mengepalkan tinjunya. Matanya menatap tajam ke tiga orang yang berdiri tidak jauh darinya. “Kakak, tolong benar-benar beri aku kesempatan kali ini. Biarkan aku menyelesaikan ini sendiri.” Laila berbicara kepada Artin melalui alat komunikasi di telinganya. Sejauh ini, lawan yang dihadapi Laila tampak lebih kuat dari yang dia duga. Namun kali ini, Laila bertekad untuk membuktikan dirinya. Dia tidak bisa bergantung pada Artin selamanya. [Oke, bagaimana dengan Fang? Oke. Aku percaya kamu]
Sayap transparan yang mengepak di sekitar kepala Laila membuat tubuhnya terbang cepat menembus angin. Bahkan cahaya bulan pun tidak bisa menangkap bayangannya. Kedua telapak tangannya mengepal dan meremas dengan kukunya yang membuat luka di telapak tangannya. Bekas luka yang biasanya ditimbulkan oleh pisau yang dia gunakan dalam pertempuran telah benar-benar membuat Laila mati rasa dengan sensasi perih yang dia rasakan."Mereka benar-benar membuatku kesal."Laila telah berusaha sekeras mungkin menahan diri, bahkan ketika mereka dengan sengaja mengeroyok Artin malam sebelumnya. Laila telah menyimpan perasaan gelisah di hatinya, yang kali ini tidak lagi sanggup dia tahan.'Aku akan memastikan mereka merasakan sakit yang tidak akan bisa terlupakan hingga jiwa mereka meninggalkan tubuhnya.’Laila masih ingat denga