Hari ini, Karta dan Anjarwati sudah pergi untuk menilik empang-empang milik mereka."Ndis, Mbak mau pergi ke rumah orang tua Mbak dulu, ya," ucap Indah sembari membenahi penampilannya."Oh iya Mbak, hati-hati di jalan ya, Mbak," jawab Gendis yang tengah mengepel lantai rumah."Iya Ndis, oh iya nanti kalau ada apa-apa kamu jangan sungkan untuk telepon aku, ya," ucap Indah lagi.Dengan wajah tertunduk, Gendis pun menjawab. "T-tapi saya nggak punya telepon, Mbak," ucap Gendis."Ya Tuhan, aku lupa. Ya sudah kalau begitu nanti kamu bisa ambil uangmu dari Ayu untuk membeli ponsel. Jaman sekarang ponsel itu sangat penting, Ndis," ujar Indah menyarankan.Sembari mengembangkan senyumnya saat mengingat bahwa ia telah mendapat jatah bulanan dari Karta, Gendis pun menjadi lebih tenang."Iya baik, Mbak. Nanti saya akan ambil uang itu dari mbak Ayu untuk membeli ponsel," jawab Gendis sembari tersenyum."Ya sudah kalau begitu aku pergi dulu ya soalnya aku banyak kerjaan di tempat orang tuaku," ucap
Hari ini, Karta dan Anjarwati pulang terlambat. Keduanya bahkan belum sampai di rumah meski azan isya sudah berkumandang.Tampak Ayu yang duduk di sofa menunggu kedatangan Karta dan Anjarwati."Yu, kamu tumben duduk di sini? Lagi nunggu mas Karta, ya?" tanya Indah menghampiri Ayu.Namun, bukannya menjawab pertanyaan dari indah, Ayu malah melengos begitu saja membuang wajahnya."Nggak usah sok peduli, deh," jawab Ayu ketus.Indah mencoba duduk di samping Ayu dengan wajah mejoleh ke kanan dan ke kiri."Yu, kamu kenapa sih kok jadi begini sama aku? Apa aku ada salah sama kamu?" tanya Indah lagi.Lagi-lagi Ayu tak menjawab. Ia lebih memilih mengalihkan fokusnya pada ponsel di tangannya.Indah tak diam saja mendapatkan respon cuek dari Ayu. Ia meraih tangan Ayu hingga membuatnya menoleh."Tolong katakan padaku, Yu! Apa salahku sampai kamu bersikap begini padaku. Dulu kita nggak begini, Yu! Aku ingin kita seperti dulu lagi," ucap Indah.Dengan kasar Ayu menarik tangannya yang dipegang oleh
Gendis menangis sesenggukan dengan posisi duduk di atas ranjang membelakangi Karta yang masih memejamkan kedua matanya.Tampak cahaya dari luar kamar yang sedikit menembus celah jendela dan mengenai dinding kamar meski jendela belum dibuka."Bapak, aku rindu sama bapak," batin Gendis yang air matanya semakin deras mengalir saat ia mengingat Hartono.Gendis tak menyangka jika ia akan merasakan sakit pada batun dan juga tubuhnya.Begitu tega Karta mentiksa jiwa dan raganya. Setelah Karta puas mencabiknya dengan ikat pinggang yang terbuat dari kulit. Namun, malamnya ia masih sempat menggaul*nya."Emmm kenapa sih berisik sekali," ucap Karta dengan suara parau sembari membuka kedua matanya.Spontan Gendis menutup mulutnya dengan sebelah telapak tangannya agar suaranya tak terdengar oleh Karta. Namun sayangnya, Karta memilih untuk bangun dan menghampiri Gendis yang pundaknya masih berguncang menahan kesedihan."Ada apa kamu menangis?" tanya Karta sembari melingkarkan tangannya pada pinggang
"Indah, apa hari ini kamu masih pergi ke rumah orang tuamu?" tanya Karta."Masih Mas. Aku masih harus ke sana karena masih harus membantu menyusun barang di toko," jawab Indah.Dengan keberanian yang telah dikumpulkan, Gendis melangkahkan kakinya menghampiri Karta yang tengah duduk di meja makan."Mas, ini bajunya sudah selesai aku setrika," ucap Gendis lembut."Ya ampun, kamu itu jadi istri kok nggak berguna banget sih, Ndis! Bisa-bisanya baju mau dipakai baru disetrika," sindir Ayu."Iya, Ndis! Lain kali kamu harus lebih paham bagaimana mengurus Karta! Belajar dari mereka yang tidak lelet seperti kamu," ujar Anjarwati yang ikut mencela Gendis."Iya maaf, Bu. Gendis janji tidak akan mengulangi hal seperti ini lagi," jawab Gendis yang lebih memilih mengalah.Meski hatinya merasa sangat lelah tapi Gendis tak mau mengambil resiko dengan menjawab ucapan mertuanya yang nantinya malah akan membuatnya jadi semakin salah.Entah bagaimana cara pikir orang-orang di rumah itu yang selalu menunt
Keesokan harinya, Gendis mengerjakan pekerjaan rumah seperti biasanya. Sementara Ayu hanya sibuk memainkan ponselnya tanpa mau membantu Gendis.Tanpa terasa peluh mulai jatuh membasahi wajah Gendis hingga membuatnya tamoak mengkilap.Tiba-tiba terdengar suara bel yang membuat Gendis menghentikan kegiatannya sejenak."Siapa ya, yang datang. Apa mas Karta sudah pulang," batin Gendis sembari menatao ke arah pintu yang masih belum dibuka pintunya.Tanpa berlama-lama Gendis langsung berjalan ke arah pintu dan membukanya perlahan. Tampaklah Indri yang berdiri tegak di muka pintu."I-indri." Kalimat Gendis terhenti begitu saja saat melihat Indri yang tengah berdiri di hadapannya. Seolah tak percaya bahwa Indri datang menemuinya."Mbak Gendis, tolong, Mbak," ucap Indri dengan nada suara setengah tersengal. "B-bapak, Mbak," lanjut Indri dengan terbata-bata.Mendengar ucapan Indri membuat Gendis seketika ikut panik dan penasaran."Ada apa, Ndri? Bapak kenapa?" tanya Gendis yang mulai ikut panik
"Gendis ... Gendis!" Karta berteriak memanggil Gendis sembari menerobos masuk ke dalam rumah Hartono."I-itu seperti suara mas Karta," ucap Gendis lirih sembari mejoleh ke arah Indri yang ada di sebelahnya.Untuk sejenak Gendis pun menghentikan kegiatannya yang terbagi menyuapi makan Hartono."Gendis, itu seperti suara juragan Karta! Cepat kamu temui dia! Sepertinya dia sedang marah," ucap Hartono menatao Gendis yang saat itu masih tercengang di posisinya.Setelah tersadar dari lamunannya, Gendis pun segera meletakkan mangkok yang berisi bubur.Namun, baru saja Gendis menurunkan sebelah kakinya ke pantai, tiba-tiba saja Karta muncul di depan pintu dengan wajah penuh amarah dan menatap tajam ke arah Gendis."Beraninya kamu pergi ke sini," dengus Karta sembari mengepalkan kedua tangannya. Deretan giginya mengerat dengan cukup kuat menahan amarah yang siap pecah."J-juragan." Hartono yang melihat Karta pun mencoba menyapanya tapi Karta tak menghiraukannya meskipun Hartono telah susah pa
Setelah penyiksaan yang Karta lakukan pada Gendis di kamar mandi bahkan Karta pun menyetu*uhi Gendis di kamar mandi.Lagi-lagi, Karta menikmati tubuh Gendis disaat dirinya tengah tak berdaya dan merasakan perihnya penyiksaan Karta saat itu tapi pria tua yang kini menjadi suaminya itu malah begitu menikmatinya bahkan setiap tetes air mata Gendis semakin membuatnya berhas*at.Gendis hanya bisa menangis tersedu-sedu di kamarnya sembari membalut tubuhnya dengan handuk.Rambutnya basah, tangannya keriput karena diguyur air cukup lama oleh Karta. Sementara sekarang Karta malah berbahagia di luar kamar bersama dengan istri dan juga ibu mertuanya."Ya Tuhan, haruskah aku merasakan semuanya ini," ucap Gendis lirih. Handuk yang dililitkan ditubuhnya, diremaa cukup kuat.Suara gelak tawa Karta dari luar kamar begitu terdengar jelas hingga membuat Gendis semakin merasa sedih.Bisa-bisanya pria yang sudah menyiksanya jiwa raganya dengan begitu brutal, kini malah tertawa terbahak-bahak di luar sana
"Loh kok kamu keluar dari kamarnya Ayu? Memangnya kamu nggak tidur sama Gendis?" tanya Anjarwati mengerutkan keningnya.Rasa penasaran di dalam hatinya tiba-tiba saja muncul saat melihat pengantin yang masih tergolong baru dan belum lama, sudah beda kamar."Iya, Bu. Aku semalam memang sengaja tidur di kamar Ayu soalnya aku nggak mood liat perempuan yang suka membangkang tidur bersamaku," sindir Karta pada Gendis.Gendis yang merasakan sindiran dari Karta hanya bisa terdiam sembari menundukkan kepalanya."Tuh, kamu denger sendiri kan, Ndis! Suami kamu sampai nggak selera tidur sama kamu karena kamu itu pembangkang!" umpat Anjarwati pada Gendis.Gendis tak berani menjawab perkataan Anjarwati saat itu. Menurutnya percuma ia membela diri dan mengatakan yang sebenarnya. Toh mereka tidak akan percaya padanya dan lebih percaya pada Ayu yang jelas-jelas sudah memutar balikkan fakta."Lain kali kamu bisa belajar dari Ayu dan Indah, Ndis. Mereka tidak akan pergi keluar rumah jika tidak ada izin
7 tahun kemudian***Setelah 3 tahun lamanya, Karta masih terus membuktikan bahwa ia telah berubah menjadi lebih baik.Hari ini saat hari masih pagi, Karta datang ke rumah Gendis. Penampilannya terlihat sangat rapih dengan kemeja lengan panjang dan celana panjang serta rambut yang tetata rapi.Gendis mempersilahkan Karta duduk di kursi. Gendis pun duduk berhadapan dengan Karta yang saat itu ada di depannya.Gendis sedikit heran melihat Karta yang berpenampilan begitu rapih."Mas Karta mau kemana? Kok rapi sekali?" tanya Gendis penasaran."Emmm aku sengaja berpenampilan rapih begini, Ndis. Aku ingin melamar seseorang," jawab Karta.Gendis pun tercengang mendengar jawaban Karta. Gendis merasa penasaran akan wanita yang akan dilamar oleh Karta."Siapa kira-kira wanita yang akan dilamar oleh mas Karta, ya? Apa jangan-jangan aku," batin Gendis.Keduanya masih saling menatap sesekali. Tak lama Karta pun menyeruput kopi buatan Gendis yang rasanya masih sama, nikmat sesuai dengan seleranya."E
"Sekarang ini bukan lagi rumahmu, tahu! Lebih baik sekarang kalian pergi dari sini atau aku akan telepon polisi untuk menyeret kalian semua dari sini," ancam Anjarwati.Karta yang merasa telah dikhianati oleh Anjarwati pun tak terima. Ia mencoba mencekik Anjarwati hingga wajahnya tampak pucat."Dasar wanita tua jahat! Bisa-bisanya kamu melakukan ini padaku! Kamu pantas mati, wanita tua!" teriak Karta penuh amarah.Tentu saja semua orang pun menjadi panik melihat Karta yang saat itu mencekik Anjarwati.Apalagi Gendis, ia merasa takut jika sampai Karta masuk bui lagi padahal ia sendiri sudah sangat susah payah melapangkan hatinya untuk membebaskan Karta dari penjara agar kelak anaknya tak malu mempunyai ayah mantan narapidana.Dengan cepat Gendis pun bergerak menghentikan Karta agar tak mencekik Anjarwati."Sudah, Mas. Jangan lakukan itu," ucap Anjarwati sembari mencoba menarik tangan Karta yang tengah mencengkram leher Anjarwati."Tidak, Ndis. Wanita jahat ini harus mati! Dia sudah mem
Karta mencoba membujuk Gendis dan berjanji untuk berubah. Tapi, sayangnya Gendis tetap teguh pada pendiriannya untuk berpisah dari Karta."Maaf, Mas. Keputusan ku sudah bulat. Aku tetap ingin berpisah darimu. Aku tidak ingin memperbaiki apapun denganmu, tapi kamu tenang saja. Aku tidak akan membiarkanmu berada di sini. Aku ingin kita bisa membesarkan Yasmine bersama-sama meskipun bukan dengan status suami istri," jelas Gendis dengan begitu tegas.Mendengar ucapan Gendis yang begitu yakin dengan keputusannya. Karta hanya bisa menitikkan air matanya.Kini ia telah kehilangan semua istrinya bahkan istri yang sebenarnya sangat menyayanginya dan memikirkan dirinya."Aku hanya ingin kamu berubah menjadi lebih baik, Mas. Untuk kehidupan mu di masa depan," ucap Gendis lagi.Dengan berat hati, Karta menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan."Baiklah kalau memang itu sudah keputusanmu. Aku tahu bahwa kesalahanku kemarin sudah sangat keterlaluan. Sekarang aku akan mengikuti ucapan
Setelah beberapa hari di rumah sakit akhirnya Gendis pun sudah diperbolehkan pulang oleh dokter.Indah, Indri dan Rehan menjemput Gendis yang masih tampak sedikit lemas dengan mata sembab.Sudah beberapa hari Gendis hanya menangisi bayinya yang telah meninggal dunia. Gendis hanya fokus meminum obatnya sehingga badannya terlihat sedikit lebih kurus karena tak banyak makan."Mbak Gendis hati-hati, ya. Sini biar ku bantu," ucap Indri berinisiatif memapah Gendis sementara Indah membawakan tas berisi pakaian milik Gendis."Sudah ya, Mbak. Mbak Gendis jangan nangis terus, aku takut mbak Gendis kenapa-napa kalau terus menerus terpuruk begini," ucap Indri saat berjaoan menuju ke parkiran.Tatapan mata Gendis yang tampak kosong pun membuat Indri semakin khawatir."Bagaimana Mbak nggak sedih, Ndri. Mbak sudah kehilangan bayi yang masih ada di dalam perut Mbak. Mbak merasa bersalah karena tidak bisa menjaga dia dengan baik," ucap Gendis."Tidak, Mbak. Mbak Gendis tidak salah. Ini semua kesalahan
Malam sudah lumayan larut dan Anjarwati baru pulang. Ia sedikit heran melihat rumah yang tampak sedikit berantakan terutama di bagian kamar Gendis.Sementara ia tak menemukan seorangpun di rumah itu. Anjarwati mencoba untuk mencari Karta dan Gendis tapi ia tak menemukannya.Anjarwati masih belum menyerah. Ia mencoba memeriksa ke setiap ruangan sembari memanggil-manggil nama mereka tapi tetap tak ada jawabnya.Namun, bukannya khawatir ataupun panik karena ia tak menemukan Karta dan Gendis. Anjarwati justru duduk di sofa dengan senyum ceria penuh tawa.Perlahan Anjarwati melempar map di tangannya ke atas meja setelah ia duduk di sofa ruang tamu."Wah jadi gini ya rasanya kalau tinggal sendiri. Rasanya begitu tenang dan juga bebas," ucap Anjarwati dengan senyum bahagia."Sekarang rumah ini sudah jadi milikku seutuhnya dan juga semua usaha empang yang Karta miliki. Dia sudah tidak punya apapun sekarang," lanjut Anjarwati.Tak lama Anjarwati bangkit dari duduknya dan beranjak ke dapur. Di
Rehan datang dengan 2 orang polisi. Mereka langsung masuk ke dalam rumah Karta dan melihat sendiri penyiksaan yang tengah Karta lakukan pada Gendis."Angkat tangan anda!" ucap seorang polisi yang langsung menyergap Karta yang saat itu akan menyiksa Gendis lagi.Karta pun hanya bisa memberontak saat kedua tangannya di pegang erat oleh dua orang polisi.Sementara Gendis yang sudah tak berdaya, hanya bisa menangis melihat Karta ditangkap oleh polisi."Lepaskan aku, lepaskan!" Teriak Karta tak karuan."Bawa saja dia ke kantor polisi, Pak," ucap Rehan dengan tegas.Akhirnya kedua polisi itu pun membawa paksa Karta ke kantor polisi, meninggalkan Rehan yang hanya tinggal dengan Gendis."Awas kamu, ya! Berani-beraninya kamu bawa-bawa polisi! Lihat saja nanti kamu! Aku akan balas kamu!" teriak Karta dengan keras pada Rehan sebelum akhirnya ia dibawa oleh dua orang polisi yang menyeret paksa dirinya.Rehan pun segera menghampiri Gendis tanpa memedulikan ancaman Karta saat itu."Mbak, Mbak Gendi
Setelah kepergian Ayu dari rumah Karta. Gendis pun masuk ke dalam kamarnya dengan sangat hati-hati. Gendis masih merasakan nyeri pada perutnya. Gendis pun kemudian duduk di pinggiran ranjangnya. Sesekali tangannya mengelus perutnya yang terkadang terasa nyeri. Tiba-tiba Gendis teringat akan ucapan Ayu. Dengan cepat Gendis pun mengambil ponselnya. Dengan cepat Gendis menekan beberapa tombol di ponselnya. Tak lama terdengar suara seorang pria dari dalam teleponnya. "Halo, Mbak Gendis? Ada apa Mbak? Mbak Gendis baik-baik saja, kan?" tanya Rehan. "Aku baik-baik saja, Mas. Aku hanya ingin tanya sesuatu pada mas Rehan," ucap Gendis menghentikan kalimatnya. "Tanya apa Mbak? Silahkan saja," jawab Rehan. "Apa mas Rehan yang sudah memberi tahu semuanya pada mas Karta tentang perselingkuhan Mbak Ayu?" tanya Gendis. Untuk sesaat Rehan hanya terdiam hingga membuat suasan sunyi meski telepon masih tersambung. "Oh itu, emmm iya Mbak," jawab Rehan yang kembali terdiam. "Kenapa mas Rehan meng
Setelah diizinkan pulang oleh dokter, Gendis pun akhirnya pulang ke rumah sembari diantar oleh Indah.Indah memapah Gendis masuk ke dalam rumah. Namun, sebuah pemandangan yang sangat menegangkan disaksikan oleh Gendis dan Indah saat itu.Keduanya menghentikan langkah kakinya saat melihat Ayu yang tengah menangis terisak sembatu bersujud di kaki Karta.Sementara pakaian dan tas pun tampak berhamburan di lantai. Sesekali Gendis dan Indah saling melempar tatap merasa penasaran tentang apa yang sebenarnya terjadi."Pergi kamu dari sini! Dasar tukang selingkuh!" umpat Karta dengan nada cukup keras.Gendis pun tercengang mendengar apa yang dikatakan oleh Karta. Gendis tak tahu darimana Karta bisa tahu tentang perselingkuhan Ayu. Sementara ia tidak mengatakan apapun pada Karta."Mas, aku mohon maafkan aku, Mas. Aku mengaku salah tapi aku mohon jangan usir aku dari sini," rintih Ayu memohon-mohon pada Karta."Jangan kamu maafkan dia, Karta! Kalau kamu maafkan wanita seperti ini maka dia pasti
Dengan langkah kaki terburu-buru Rehan menyusuri lorong demi lorong rumah sakit hingga akhirnya sampailah ia di sebuah ruangan.Terlihat seorang wanita tengah terbaring di atas ranjang dan seorang lagi berdiri di sebelahnya."Mbak, apa yang terjadi? Kenapa mbak Gendis bisa sampai seperti ini?" tanya Rehan dengan raut wajah khawatir."Aku juga nggak tau. Tadi pas aku sampai di sana, dia sudah tergeletak tak sadarkan diri," jawab Indah."Lalu mbak Indah tahu darimana mbak Gendis begini?" tanya Rehan lagi."Tadi Raya yang menelepon ku dan meminta aku ke sana," jawab Indah."Raya ...." Rehan yang tak mengenal nama yang disebutkan oleh Indah pun mencoba menebaknya."Raya adalah anaknya Ayu. Jadi tadi tidak ada satupun orang di rumah makanya Raya menelepon ku untuk meminta pertolongan," ucap Indah lagi."Emmm kalau boleh tahu, dimana mbak Indah menemukan mbak Gendis yang tergeletak?" tanya Rehan lagi."Aku menemukannya di kamarnya," jawab Indah.Tanpa berlama-lama Rehan pun langsung mengamb