Kilauan lampu kristal memantul lembut di dinding marmer ballroom, menciptakan semburat keemasan yang berpendar seperti bintang-bintang kecil. Udara dipenuhi dengan denting gelas sampanye, gumaman percakapan yang diselingi tawa ringan, dan alunan musik klasik yang mengalir dari sudut ruangan.
Wangi parfum mewah bercampur dengan aroma sampanye dan lilin aroma, menciptakan atmosfer yang begitu khas—hangat, eksklusif, dan penuh rahasia.
Di tengah ruangan yang dipenuhi tamu-tamu berselera tinggi, Amara berdiri dalam balutan gaun satin berwarna gading. Kainnya membelai kulitnya dengan lembut, mengikuti lekuk tubuhnya dengan presisi nyaris sempurna.
Gaun itu bukan pilihannya. Laksha yang menyuruh asistennya memilihkan. Namun, saat ia melihat pantulan dirinya di cermin sebelum keluar dari suite hotel tadi, ia tidak bisa mengabaikan satu hal—gaun itu terasa seperti dibuat untuknya.
Seolah-olah Laksha tahu persis apa yang akan terlihat indah di tubuhnya
Dentuman lembut musik klasik mengalun di antara percakapan-percakapan tertahan, menciptakan simfoni elegan di dalam ballroom yang masih dipenuhi tamu-tamu berkelas.Kilauan lampu kristal di langit-langit memantulkan sinar keemasan ke permukaan meja-meja marmer dan lantai dansa yang berkilap, seakan menegaskan kemewahan malam itu.Gelas-gelas kristal berdenting pelan setiap kali tamu-tamu saling menyapa, senyum mereka tersusun rapi di balik topeng tata krama yang nyaris sempurna.Di sudut ruangan, Amara menggenggam gelas sampanye yang sejak tadi nyaris tak tersentuh. Cairan keemasan di dalamnya bergetar tipis, seolah menangkap kegelisahan yang ia coba redam. Jemarinya mengerat di batang gelas, sejenak mempertahankan genggaman sebelum akhirnya mengendur lagi.Matanya terpaku pada satu titik di seberang ruangan—pada sosok Laksha dan Lidya.Lidya berdiri terlalu dekat. Jemari lentiknya meluncur ringan di lengan jas Laksha, gerakannya penuh keluwe
Apakah Amara… cemburu? Seharusnya itu tidak berarti apa-apa. Seharusnya itu bukan sesuatu yang perlu ia pikirkan. Tapi anehnya, ia menyukainya. Ia menyukai cara sorot mata Amara berkilat sesaat sebelum buru-buru ia sembunyikan di balik ekspresi datarnya. Ia menyukai bagaimana jemari perempuan itu sedikit lebih erat menggenggam gelasnya, seakan mencari pegangan yang lebih kokoh dari sekadar kaca dingin di tangannya.Dan yang paling penting, ia menyukai fakta bahwa untuk pertama kalinya, Amara menunjukkan sesuatu yang lebih dari sekadar topeng tanpa cela. "Maaf, Lidya," ucap Laksha tiba-tiba, menegakkan tubuhnya dari sandaran kursi. Lidya mengerutkan kening. "Apa?" Alih-alih menjawab, Laksha hanya mengangkat bahu, senyum tipisnya menggantung di bibir tanpa menjelaskan apa pun. "Aku harus menemui istriku." Sejenak, Lidya tampak terkejut, tapi sebelum ia sempat berkata apa-apa
Suara rintik hujan mengetuk pelan jendela kaca apartemen Laksha, menciptakan irama samar yang berpadu dengan desahan napas Amara. Aroma tanah basah menyeruak dari sela-sela ventilasi, bercampur dengan sisa wangi teh yang mendingin di meja.Jam di dinding sudah melewati tengah malam, namun matanya masih enggan terpejam.Di sisi lain ruangan, Laksha duduk di sofa, kemeja lengan panjangnya tergulung asal hingga ke siku. Satu tangan menopang dahinya, sementara jemarinya yang lain menggulir layar ponselnya tanpa benar-benar memperhatikan isinya.Cahaya dari layar itu memantul di wajahnya yang tampak lelah, kontras dengan bayangan yang jatuh di sekitar matanya.Hening.Udara di antara mereka terasa tegang, tapi bukan karena pertengkaran. Ada sesuatu yang menggantung di antara mereka—sesuatu yang lebih berat dari sekadar kata-kata yang tak terucap."Apa kita harus terus seperti ini?"Suara Amara pecah dalam kesunyian, lirih namun cukup
Hujan telah reda, menyisakan aroma tanah basah yang menguar pelan dari balkon. Udara malam membawa kesejukan yang lembap, bercampur samar dengan sisa-sisa hujan yang masih menetes dari atap gedung-gedung tinggi.Kota Jakarta, seperti biasa, tak benar-benar tidur—lampu-lampu dari kejauhan masih berkedip, suara kendaraan sesekali terdengar di bawah sana. Namun di dalam apartemen itu, ruang terasa lebih sunyi dari yang seharusnya.Lebih kecil, lebih pengap, seolah menahan dua orang di dalamnya untuk menghadapi sesuatu yang tak terucapkan.Amara duduk di tepi ranjang, jari-jarinya mencengkeram ujung selimut tanpa sadar. Kata-kata Laksha masih menggantung di udara, berputar-putar dalam benaknya seperti pusaran air yang tak kunjung reda."Takut kalau aku mulai terbiasa denganmu."Ia mengangkat wajah, menoleh ke arah Laksha yang kini duduk di sofa, separuh tubuhnya terselubung bayangan. Cahaya dari luar hanya menyinari sebagian profilnya&md
Hujan masih turun, membasuh kota dengan gemerlap butirannya yang jatuh di atas jalanan basah. Cahaya lampu jalan memantul di genangan air, menciptakan kilauan samar yang bergoyang bersama riak kecil setiap kali tetesan baru jatuh.Angin sesekali berdesir, merayap masuk melalui celah jendela yang sedikit terbuka, membuat tirai tipis di apartemen bergoyang perlahan. Bayang-bayangnya menari di dinding, seolah mengikuti irama hujan yang tak kunjung reda.Di atas ranjang, Amara meringkuk di balik selimut tebal. Tubuhnya terasa berat, seolah terjebak dalam gravitasi yang lebih kuat dari biasanya. Keringat dingin merembes di pelipisnya, sementara panas di dalam tubuhnya terus membakar.Kepalanya berdenyut hebat, denyutan yang berirama dengan detak jantung yang terasa lambat dan melelahkan. Tenggorokannya kering, seperti padang pasir yang sudah lama tak tersentuh hujan. Setiap tarikan napas seperti menyedot udara yang terlalu pekat, penuh dengan beban yang tak kasatmata
Matahari merayap masuk melalui celah tirai, menghamparkan semburat keemasan di dinding kamar. Cahaya pagi menari di atas tetesan air yang masih melekat di kaca jendela, sisa-sisa hujan semalam yang kini membiaskan dunia luar dalam nuansa samar.Aroma tanah basah yang menguar dari halaman bercampur dengan kehangatan selimut yang membungkus tubuh Amara, membuatnya enggan beranjak. Di atas ranjang, ia menggeliat pelan. Tubuhnya terasa lebih ringan dibanding semalam, meski sisa demam masih bersembunyi di balik kulitnya, meninggalkan sensasi hangat yang membaur dengan hawa pagi.Matanya masih berat, namun saat akhirnya ia membuka kelopaknya sepenuhnya, pandangannya langsung jatuh pada sosok Laksha. Laki-laki itu duduk di sofa di sudut ruangan, satu kaki disilangkan di atas lutut, tangan kiri menopang dagu, sementara tangan lainnya menggenggam ponsel yang tampaknya hanya sekadar dipegang, tanpa benar-benar diperhatikan.Matanya fokus pada l
Hari itu berjalan lambat, seolah waktu dengan sengaja memperpanjang setiap detiknya. Amara masih merasakan sisa-sisa kelelahan di tubuhnya, tapi setidaknya kini ia bisa duduk tanpa merasa kepalanya berputar.Cahaya sore yang keemasan menyelinap masuk melalui celah tirai, menggambar bayangan lembut di dinding kamar. Udara di sekitarnya terasa tenang, mengandung sisa hangat matahari yang mulai meredup, berpadu dengan semilir angin yang masuk dari balkon. Laksha berdiri di luar, membiarkan angin senja menggulung rambutnya dengan lembut. Dari tempatnya bersandar, Amara memperhatikannya—punggung tegapnya, cara kedua tangannya disimpan dalam saku celana, serta bahunya yang sedikit mengendur, jauh lebih rileks daripada biasanya.Tapi tetap saja, ada sesuatu dalam sorot matanya yang mengarah ke cakrawala kota—sesuatu yang terasa diam, jauh, dan sulit dijangkau. Amara tidak tahu pasti apa yang membuatnya begitu terpaku. Mungkin karena ini
Udara sore terasa segar setelah hujan yang mengguyur sejak siang akhirnya reda, menyisakan aroma tanah basah yang samar tercium di antara embusan angin.Langit masih berwarna kelabu, tapi sinar matahari mulai menyelinap dari balik awan, menciptakan semburat keemasan yang membias di kaca-kaca gedung pencakar langit Jakarta. Dari balkon rumah, Amara memandangi jalanan yang masih basah.Kilauan air di aspal memantulkan cahaya lampu kendaraan yang mulai menyala, menciptakan refleksi berpendar yang tampak hidup dalam gerimis tipis yang tersisa. Ia menarik napas dalam, tapi udara yang masuk ke paru-parunya terasa lebih berat dari seharusnya. Ada sesuatu di dadanya yang terus menekan, seperti simpul yang tak kunjung terurai. Lalu, suara itu datang. "Amara." Lembut, akrab, dan begitu familiar hingga jantungnya seolah berhenti sejenak sebelum berdebar lebih kencang. Amara menoleh, dan di sana, berdiri seorang
Hujan semalam masih meninggalkan jejaknya di pagi yang lembab. Butiran air menggantung di ujung daun-daun kecil yang tumbuh di tepi balkon, sesekali jatuh dan pecah di atas lantai semen yang mulai menghangat di bawah sinar matahari.Udara membawa campuran aroma tanah basah dan wangi kopi yang mengepul dari cangkir di tangan Amara—hangat, pahit, akrab. Ia berdiri bersandar di pagar besi, pandangannya terpaku pada langit yang perlahan berubah warna. Jakarta yang sibuk masih terkantuk-kantuk dalam kantung embun pagi, tapi pikirannya sudah terbang jauh, melintasi batas-batas yang selama ini menahannya. Lalu, suara langkah kaki terdengar, tak tergesa tapi cukup kuat untuk menariknya kembali ke dunia nyata. “Pagi-pagi udah melamun?” Suara itu berat, sedikit serak, masih membawa sisa kantuk. Amara menoleh. Laksha berdiri di ambang pintu balkon, bersandar dengan santai pada kusen kayu. Kaus putih
Udara pagi masih membawa kesejukan yang jarang bertahan lama di Jakarta. Dari balik jendela apartemennya, Laksha menatap cakrawala kota yang mulai tersiram cahaya keemasan.Gedung-gedung pencakar langit berdiri tegak dalam siluet yang sedikit berkabut, sementara jalanan di bawah sana mulai ramai dengan kehidupan. Dalam genggamannya, secangkir kopi masih mengepul, tetapi ia bahkan belum menyesapnya.Pikirannya terlalu penuh.Keputusan ini bukan hal yang mudah. Meninggalkan perusahaan keluarga, merintis sesuatu dari nol, melepaskan diri dari nama besar yang selama ini menjadi tameng sekaligus beban—itu langkah yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.Tetapi sekarang, di sinilah ia berdiri, di persimpangan antara kenyamanan dan kebebasan.Tiba-tiba, sepasang lengan melingkar di pinggangnya dari belakang, tubuh hangat seseorang bersandar padanya. Laksha tersenyum kecil bahkan sebelum mendengar suaranya.“Kau terlihat seperti seseoran
Ruang keluarga kediaman Wijanarko bermandikan cahaya keemasan dari lampu gantung kristal yang tergantung di langit-langit tinggi. Pancaran hangatnya membias di permukaan meja kaca, memantulkan siluet samar dari cangkir-cangkir teh yang tersusun rapi.Aroma melati yang baru diseduh melayang di udara, bercampur dengan sesuatu yang lebih tajam dan sulit dijabarkan—tegangan halus yang merayap di antara orang-orang yang duduk di dalamnya. Indira Wijanarko duduk di salah satu sofa kulit berwarna krem, punggungnya lurus sempurna, tangan bersedekap di pangkuan. Wajahnya tetap tenang, nyaris tak terbaca, seperti lukisan yang disusun dengan palet warna-warna lembut.Tapi di matanya, ada sesuatu yang berbeda—ketegasan yang selama ini jarang muncul, sesuatu yang bahkan membuat ruangan terasa lebih sempit. Di seberangnya, Laksha duduk dengan satu kaki disilangkan, gerakannya terlihat santai, tapi ketegangan menjalar dari garis-garis rahangnya
Pagi itu, udara masih terasa sejuk, menyisakan embun tipis di dedaunan yang berkilau diterpa cahaya matahari yang mulai naik.Di sebuah ruangan luas dengan dinding kaca yang memperlihatkan pemandangan kota yang mulai sibuk, Laksha duduk di kursi kerja dengan punggung tegak, jari-jarinya mengetuk-ngetuk permukaan meja. Di seberangnya, Amara berdiri dengan tangan terlipat di dada, wajahnya menampakkan ekspresi berpikir.Mereka harus mulai mengambil langkah.Pertama, media.Kabar tentang pernikahan mereka sudah menyebar seperti api yang tersulut angin. Tak semua berita menyajikan kisah romantis dua insan yang memilih bersama.Sebagian justru mengupasnya dengan nada sinis—menyebut Amara sebagai ‘wanita tanpa latar belakang’ yang ‘menjebak’ pewaris keluarga Wijanarko. Ada pula spekulasi yang menganggap ini tak lebih dari pernikahan bisnis, sebuah sandiwara demi kepentingan korporasi.Laksha tak tinggal diam. Dengan r
Udara pagi masih terasa sejuk ketika Amara membuka matanya. Cahaya matahari mengintip dari celah gorden, menyinari ruangan dengan semburat keemasan yang lembut, menari di atas seprai kusut dan menyapu permukaan kayu di lantai kamar.Aroma kopi yang baru diseduh menyelinap masuk, berpadu dengan wangi maskulin yang sudah begitu lekat di inderanya—aroma yang selama ini selalu memberinya rasa nyaman tanpa ia sadari. Ia menoleh ke samping. Laksha masih tertidur, napasnya teratur, dengan satu lengan terentang ke arah tempatnya berbaring, seolah mencari keberadaannya bahkan dalam lelap.Wajah pria itu tampak lebih damai dibanding biasanya, tanpa ekspresi arogan atau sorot mata dingin yang sering ia tunjukkan di hadapan dunia. Garis-garis tegas di wajahnya melunak, membuatnya terlihat jauh lebih muda—lebih manusiawi. Amara tersenyum kecil sebelum pelan-pelan turun dari tempat tidur, membiarkan telapak kakinya menyentuh permukaan kayu yan
Malam sudah larut ketika suara ketukan sepatu hak tinggi menggema di lantai marmer restoran eksklusif di jantung Jakarta. Setiap langkah yang diayunkan memancarkan ketegasan, penuh percaya diri, seolah dunia masih berputar sesuai kehendaknya.Lidya Pramesti bukan tipe wanita yang mudah menyerah—dan malam ini, ia datang bukan sekadar untuk berbasa-basi.Restoran itu diterangi cahaya temaram dari lampu gantung kristal yang menggantung anggun di langit-langit tinggi, memancarkan kilauan keemasan yang lembut. Aroma wine mahal dan hidangan mewah bercampur dalam udara, berpadu dengan alunan musik jazz pelan yang mengalir dari sudut ruangan.Meja-meja berlapis kain putih tertata rapi, dihiasi lilin-lilin kecil yang berkelap-kelip, menambah kesan intim di antara bisikan para tamu yang tengah menikmati malam mereka.Namun, kehadiran Lidya tak bisa diabaikan begitu saja. Beberapa pasang mata melirik ke arahnya, tertarik oleh aura dingin yang dibawanya.
Udara pagi di Jakarta terasa lebih segar dari biasanya, meskipun suara klakson mobil, deru mesin, dan gemuruh kota masih mendominasi. Dari balkon apartemen mereka di lantai dua puluh, Amara bersandar pada pagar besi yang dingin, membiarkan angin pagi membelai wajahnya yang masih sedikit mengantuk.Matanya mengembara ke hamparan gedung-gedung tinggi yang menjulang di bawah langit biru pucat, beberapa di antaranya masih berkedip-kedip dengan lampu-lampu yang belum dipadamkan.Jauh di bawah sana, jalanan mulai sibuk—mobil-mobil berdesakan di persimpangan, pejalan kaki melangkah tergesa, dan pedagang kaki lima mulai menggelar lapaknya di trotoar.Namun, semua itu hanya latar. Di kepalanya, pikiran Amara masih dipenuhi kejadian semalam—pertengkaran Laksha dengan ayahnya, suara tegas pria itu saat berhadapan dengan figur yang selama ini begitu dominan dalam hidupnya.Dan kemudian, Indira. Perempuan itu berdiri di pihak mereka, sesuatu yang tidak per
Udara di ruang kerja Aditya Wijanarko terasa lebih berat dari biasanya, seolah-olah mengandung beban yang tak kasatmata. Lampu gantung kristal di langit-langit memancarkan cahaya keemasan, memantul lembut di permukaan meja kayu mahoni yang kokoh di tengah ruangan.Aroma kayu tua bercampur samar dengan wangi kertas lama dari rak-rak buku yang memenuhi dinding. Deretan jilid tebal dengan punggung berlapis emas berdiri tegak, seakan menjadi saksi bisu ketegangan yang merayap di antara dua pria yang saling berhadapan. Laksha berdiri tegak di hadapan ayahnya, jarinya mencengkeram gagang cangkir kopi yang belum sempat ia teguk. Cairan hitam di dalamnya masih mengepulkan uap tipis, kontras dengan hawa dingin yang perlahan menjalar dari kata-kata yang belum terucap.Rahangnya mengeras, sorot matanya tajam, tetapi ada kilatan lain di sana—sesuatu yang tak mudah diartikan. Kemarahan? Kekecewaan? Atau hanya kesadaran bahwa perdebatan ini tak akan berakhir tanp
Senja menumpahkan cahaya keemasan ke seluruh sudut apartemen, membentuk bayangan lembut yang menari di dinding. Langit di luar bergradasi dari jingga pekat ke ungu tua, seolah alam sendiri sedang melukiskan peralihan hari dengan warna-warna paling indahnya.Angin sore menyelinap masuk melalui celah balkon, menggoyangkan gorden tipis yang melambai perlahan, menciptakan tarian sunyi yang nyaris melankolis.Di dalam ruangan, aroma kopi hitam yang masih mengepul bercampur dengan wangi maskulin khas Laksha—kombinasi yang selama ini terasa asing bagi Amara, tetapi kini menghadirkan kenyamanan yang tak ia duga. Amara berdiri di dekat meja makan, jari-jarinya menggambar lingkaran tak beraturan di tepian gelas. Matanya tak sepenuhnya terfokus, seakan pikirannya melayang di antara kenyataan dan sesuatu yang lebih dalam—sesuatu yang tak ingin ia akui sepenuhnya.Di hadapannya, Laksha duduk dengan sikap santai, satu lengannya terlipat di atas meja