"Mas Rey, kalau cincin yang berliannya kecil-kecil 3 diagonal ini bagus nggak?" tanya Hesti bernada manja kepada Reynold yang duduk di sampingnya sedang memilih cincin pertunangan.Sedangkan, Reynold masih bengong memikirkan hubungannya dengan Laura yang kacau hari ini. Dia begitu dilema menghadapi hubungan antara dirinya, James, dan Laura. Bila diberi kesempatan setahun untuk berpikir kembali akan meneruskan poliandri itu atau tidak, dia justru berharap sedang berada di posisi James tentunya. Dia sangat mencintai Laura melebihi apa pun dan siapa pun."Mas—kok melamun?" tegur Hesti setelah pertanyaannya tadi tak kunjung dijawab oleh calon tunangannya itu."Ohh ... sori, Hes. Aku lagi banyak pikiran. Pilih saja yang kamu suka, aku akan bayar pasti," jawab Reynold sembari tersenyum tipis kepada Hesti.Sekalipun Hesti merasa sedikit kecewa, tetapi dia sudah paham posisinya dan tidak akan menyerah hingga Reynold melupakan Prof. Laura. Dia lalu berkata, "Yang ini saja kalau begitu ya, Mas?
Reynold membingkai wajah Laura dengan kedua telapak tangannya lalu mencium bibir wanita yang ia cintai itu. Dan hati Laura serasa teremas merasakan ciuman yang basah oleh air mata itu. Situasinya telah berubah, waktulah yang mengubah segalanya dan rasa benci yang ia rasakan dulu telah menjadi sayang kepada Reynold. Mungkin James memang cinta sejatinya, bila ia harus memilih tentu ia akan bersama James."Jangan tinggalkan aku, Laura!" ucap Reynold menatap sepasang mata biru itu dengan matanya yang tergenangi air mata."Ohh ... Rey, kita hanya akan berjalan di tempat dengan hubungan yang rumit ini. Bila aku merasa kasihan kepadamu ... kau tak akan bisa menjadi dewasa dan terjebak dalam cinta yang salah!" nasihat Laura. Ia merasa sudah saatnya Reynold menjalani kisah barunya bersama Hesti. Setelah James mendengar keputusan Laura, dia pun berani untuk bicara kali ini. Dia menepuk bahu pemuda itu dengan tegar James berkata, "Rey, seperti saran Laura. Cobalah jalani kisah cintamu sendiri
Setelah sampai di ruang perawatan Rumah Sakit Panti Rapih dengan diantar oleh paramedis menggunakan brankar, Laura pun berbaring di ranjang pasien ditemani oleh James."Maafkan aku karena membuatmu panik dan repot malam-malam, Hubby," ucap Laura sembari merebahkan kepalanya di bahu James. Lengan kokoh James merangkul bahu istrinya. "Itu sudah jadi tugasku untuk selalu menjagamu dan juga Keira, Honey," jawab James diam-diam menghela napasnya.Dari dulu Reynold memang lebih sering menimbulkan kepanikan dibanding bertindak dengan bijaksana, pikir James. Namun, pemuda itu juga memiliki sisi baik seperti menyayangi si kembar dengan tulus layaknya seorang ayah."Temani aku tidur di sini saja, James, jangan di sofa," pinta Laura lalu ia pun bergeser memberi tempat untuk James di sampingnya.Kemudian James pun membuka selimut di kaki ranjang untuk menyelimuti dirinya bersama Laura. Aroma tubuh Laura yang masih selalu sama greentea chamomille itu perlahan membius kesadaran James hingga ia ja
"Selamat pagi, Pak James, Bu Laura. Gimana kondisi rahimnya sejak semalam apa masih kontraksi?" sapa Dokter Jonathan Prawira yang melakukan visit pasien pagi itu.James pun bangun lalu berdiri di samping bed pasien untuk memberi kesempatan dokter itu memeriksa kondisi istrinya. "Pagi, Dok. Silakan kalau mau cek kondisi Laura," jawab James.Dengan sigap Dokter Jonathan memeriksa dengan stetoskopnya bagian perut Laura untuk memeriksa kontraksi dinding rahim pasiennya. Dia mengangguk-angguk puas. "Sudah aman sepertinya, gerakan kontraksi rahim sudah minimal. Bu Laura tolong hindari stres hingga HPL bayinya tiba." Kemudian dia menghadap ke arah James. "Kalau mau pulang ke rumah sudah boleh, silakan diurus saja administrasinya, Pak James!""Baik, Dok. Terima kasih atas bantuannya." James berjabat tangan dengan Dokter Jonathan sebelum dokter itu melanjutkan visitnya ke ruangan pasien selanjutnya.James pun memeluk Laura dan berkata, "Honey, aku akan urus administrasinya sebentar ya. Kamu tu
Sesuai janjinya kepada Hesti, petang itu Reynold berkunjung ke rumah gadis itu untuk menemui papa mama Hesti. Ternyata sambutan dari Profesor Yudha Dewantara sangat hangat.Reynold mengulurkan tangan kanannya kepada papa Hesti. "Selamat sore, Om. Permisi, saya Reynold," sapa pemuda itu sembari menyunggingkan senyum ramahnya."Ohh ... iya, selamat sore juga. Ayo silakan masuk ke dalam saja, di luar banyak angin!" sambut Prof. Yudha.Dari dalam rumah, Hesti membawakan nampan berisi 4 cangkir teh manis hangat. Mamanya berjalan di sisinya lalu duduk di samping papa Hesti. Gadis itu menyajikan teh itu di meja sofa lalu duduk di samping Reynold."Hesti sudah sering cerita ke kami mengenai Nak Reynold. Katanya dosennya itu pinter dan ganteng, dia ngefans begitu," ujar Prof. Yudha terkekeh menceritakan seperti apa puterinya menyukai Reynold.Wajah Reynold merona karena malu, ternyata Hesti memang ngefans berat kepadanya sampai orang tuanya tahu. Dia pun menjawab, "Hesti memang sudah lama kena
Hari Perkiraan Lahir puteri James dan Laura sudah dekat, tapi segalanya masih tenang tanpa tanda-tanda kontraksi pagi itu. Karena James sudah berpengalaman menjadi suami seorang wanita hamil bertahun-tahun yang lalu, maka ia pun ingat bahwa sesudah melahirkan, istrinya butuh 40 hari masa nifas untuk pemulihan sebelum bisa melayani kebutuhan biologisnya lagi.Pagi itu sebelum matahari muncul dan berbagai aktivitas di muka bumi ini dimulai dengan segala hiruk pikuknya. James membangunkan Laura dengan kecupan-kecupan nakalnya di tubuh istrinya itu. Bagi Laura itu terasa geli dan dia pun terkikik bangun pada akhirnya. "Hubby ... why you are so naughty in the morning?!" protes Laura sembari membuka sepasang mata birunya yang indah lalu mencubit hidung mancung James di hadapannya."Hello, Pretty Mommy! Good morning, Honey-ku ... apa boleh minta jatah pagi ini? Aku merasa Keira mungkin saja lahir hari ini. Tentu aku akan merasa kangen bercinta denganmu nanti," sapa James sambil membujuk mes
"Suster Dera, tolong kirim pasien ke ruang bersalin di Klinik Anna, Gedung Borromeus!" titah Dokter Jonathan Prawira yang menjadi dokter jaga shift siang itu."Baik, segera, Dok!" sahut Suster Dera lalu memberikan instruksi ke paramedis untuk membawa Laura dengan brankar dengan mendorongnya di atas ranjang beroda menuju ke sisi barat dari IGD.James pun mendampingi di samping Laura, memegangi tangan kanannya sembari berjalan seiring dengan 2 paramedis itu. Dia bertanya, "Apa rasanya semakin kuat kontraksi rahimmu, Honey?" "Iya, sepertinya tidak perlu menunggu hingga malam tiba untuk Keira lahir. Terima kasih sudah ada di sini untuk kami," balas Laura tersenyum dengan mengerutkan alisnya menahan rasa tak nyaman kontraksi rahimnya."Itu kewajibanku, Laura!" jawab James sembari masuk ke lift untuk naik bersama mereka ke lantai 3 Gedung Borromeus. Seperti biasa dokter kandungan langganan Laura masih berpraktik di klinik obsgyn Rumah Sakit Panti Rapih di siang hari. Namun, kabar bahwa La
Setelah semua pemeriksaan kesehatan mommy dan bayi perempuan cantiknya itu selesai. Dokter Stella pun mengizinkan Laura dan puterinya, Keira untuk pulang dari rumah sakit. Sepertinya justru para perawat di klinik ibu dan anak yang tidak rela Keira dibawa pulang karena bayi itu sangat cantik. Keira selalu menjadi pusat perhatian para perawat yang bertugas di ruang bayi. "Bu Laura, bayi Anda sungguh menggemaskan. Rasanya tidak sanggup berpisah dari Keira," ujar Suster Prita yang sedang menggendong Keira untuk terakhir kalinya sebelum dibawa pulang oleh keluarganya.Suster Amy yang berdiri di samping Suster Prita juga berkata, "Keira sangat manis dan jarang rewel di ruang bayi, benar-benar dambaan para ibu!"James yang mendengar compliment dari perawat mengenai bayinya pun menaikkan sebelah alisnya. 'Wah, masih berumur beberapa hari saja sudah bisa merebut hati banyak orang si Keira! Kalau nanti sudah remaja bakalan repot aku sepertinya,' batin ayah si bayi yang memesona itu."Terima ka