“Kenapa diam?” Rahang Elara terlihat mengeras.
“Aku tidak ada kaitannya dengan itu.” Arion menjawab Elara. Nadanya masih terdengar santai --meski tubuhnya juga masih menegang.
“Katakan dengan terus terang. Apa kau menipuku?”
Arion tidak langsung menjawab. Ia berjalan melalui Elara dan duduk di sofa.
“Jawab aku! Apa kau menipuku?!”
Arion mengabaikan Elara. Tubuhnya yang bergerak karena beberapa langkah yang ia ambil, menjadikan pria tampan itu sedikit melepas ketegangan.
“Kita bicara sambil duduk,” ujar Arion lalu menepuk bantalan sofa di sampingnya.
Dengan enggan Elara mendekat, namun ia tidak duduk di samping Arion, melainkan mengambil tempat di sofa tunggal di sebelah sofa yang ditempati pria tampan tersebut.
“Jarakmu terlalu jauh,” Arion sempat menggoda.
Namun Elara tidak mengendurkan tatapan tajamnya pada sang pria. “Jawab saja pertanyaanku
Wajah Jeanne terlihat terkejut saat membuka pintu dan melihat sosok Elara di sana –dengan ransel di punggungnya lagi.“Apa yang terjadi?” Ia sungguh bingung melihat wajah kusut Elara. Tepatnya, terlihat memerah karena marah.“Apa koperku masih di sini?”“Ya tentu, aku simpan di kamar. Ada apa?” Jeanne membuntuti Elara menuju kamar dirinya. “Itu, di bawah ranjangku,” tunjuk Jeanne saat mereka tiba di dalam kamar.“Aku hanya butuh beberapa barang milikku di sana.” Elara meletakkan ransel di punggungnya ke atas karpet lantai, lalu membungkuk dan menarik koper miliknya yang ia titipkan di rumah Jeanne tempo hari.Ia memang belum mengambil koper itu, karena tidak berpikir akan tinggal lama bersama Arion.Terbukti saat ini, ia memang harus keluar dari apartemen itu.“Penipu!” desis Elara geram. Tangannya dengan kasar membolak balik lipatan pakaian di dalam koper.“Hah? Apa? Siapa yang penipu?” Tentu saja Jeanne kebingungan.Ia terus menatap sahabatnya dengan sorot mata meminta penjelasan. “A
“Sepertinya keadaan terlalu tenang. Apakah tidak terjadi apa-apa pada Elara?” Dianne mengetuk-ketukkan jari di atas meja rias di kamarnya.“Bukankah seharusnya sesuatu terjadi padanya?”“Apa yang terjadi dan pada siapa?” Sebuah suara di bibir pintu kamar, mengagetkan Dianne.“Kau mengagetkanku!” gerutu Dianne saat melihat Alex di sana.Kakak Dianne itu hanya menyeringai melihat kekesalan adiknya.“Ada apa kau ke kamarku?” Kening Dianne berkerut ketika menanyakan itu.Bagaimana tidak, Alex Palmer selalu sibuk dengan dunianya sendiri. Ia tidak pernah ingin terlibat dengan urusan ibu mereka --Tina dan juga dirinya.Alex juga tidak terlalu peduli, saat Dianne beberapa kali mendapat masalah di kampusnya dan hanya membiarkan Tina menyelesaikan itu untuk sang adik. Sementara sang ayah? Terlalu sibuk dengan pekerjaannya yang seorang pegawai pemerintahan.Dan lagi Tina dan Dianne lebih sering berada di kediaman Tony White dari pada di rumahnya sendiri.“Ah mengganggu saja! Jika tidak ada keperl
“Lepaskan aku, Kurang Ajar!!” Elara memekik tertahan --meski kaget, ia tidak ingin menarik perhatian banyak orang.Namun apa yang dilakukan Arion --memanggul Elara di pundaknya, itu benar-benar akan menarik perhatian.Wajah Elara telah berubah bak kepiting rebus, bukan karena kepalanya yang terbalik berada di bawah, tapi karena benar-benar malu.“Kita pulang,” desis Arion.“Aku tidak mau pulang bersamamu, Penipu!” Elara membalas dengan bentakan tertahan.“Kupikir membiarkanmu seharian tanpa diganggu, sudah cukup untuk mendinginkan kepalamu, huh?”Pria itu mulai berjalan menjauh dengan Elara dalam panggulannya.“Lepaskan aku!” pekik Elara lagi. Tangannya mulai memukul-pukul punggung Arion, dengan kaki yang mengayun --memberontak.Namun itu sama sekali tidak mengganggu pria bertubuh atletis tersebut.Dari kejauhan, Jeanne dan teman-temannya menatap tanpa berkedip
Elara terbangun oleh suara dering nyaring di ponsel miliknya.Tubuhnya tersentak kaget hingga berposisi duduk. Secara refleks ia mencari-cari ponsel dan mendapatkannya ada di dalam saku celana. Ia merogoh saku dan mengeluarkan ponsel tersebut.Dering di ponsel telah berhenti, kedua manik mata Elara bergerak melihat angka yang tertera pada ponselnya. Angka itu menunjukkan jam enam sore. Ia melakukan telepon balik.“J,” sapa Elara cepat.‘El, kau baik-baik saja kan?’ Suara di ujung sana tidak terdengar panik, meskipun pertanyaan yang terlontar seharusnya bernada khawatir.“Aku--”‘Kau tidak mengabariku. Apa yang terjadi? Kalian menghabiskan waktu yang panas di sana? Tempatmu atau tempat pria itu? Bagaimana rasanya? Ah aku penasaran! Katakan El!’“Sialan kau, J! Tidak terjadi hal seperti itu,” Elara memaki pelan.‘Ah aku lupa. Kau seorang gadis yang taat. Kau hanya melakukan seks setelah menikah, kan? Tidak perlu ceramahi aku. Kalau begitu, kau nikah saja dengannya. Selesai perkara.’Ela
“Bisakah kau lebih serius, Mister Arion?” Sudah, Elara merasa habis sisa kesabaran yang ia miliki.“Aku serius. Jika pun aku bukan Rh-Null, lalu kenapa?”“Kau--”“Ingat, yang kau butuhkan adalah darah Rh-Null, bukan siapa pendonor-nya, right?”“Itu--”“Lihat, kau tidak bisa berkata-kata.” Arion mengatakannya dengan tepat.Ia melanjutkan, “Karena aku memang benar. Saat kau bilang membutuhkan darah, aku mengatakan akan mendonorkan darah Rh-Null untukmu, dengan tubuhmu sebagai ganti.”Arion mengatakannya dengan benar. Elara hanya tidak tahu, bahwa mudah saja bagi Arion untuk mendapatkan jenis darah itu dengan jangkauan kekayaan dan kekuasaan yang dimilikinya.“Kau tidak mengatakan itu harus aku, kan? Jadi, tidak ada yang tidak sesuai kesepakatan, Nona Elara-- maksudku, Mrs. Ellworth,” tambahnya lagi.“Siapa yang kau panggil dengan Mrs. Ellworth! Aku tidak sudi menyandang nama itu!”Arion menaikkan alisnya. Ia ingin menyembur tawa cemooh.Entah berapa banyak gadis dan wanita terpandang yan
Arion menapaki anak tangga di dalam sebuah restoran bergaya klasik. Restoran itu merupakan restoran kelas atas di Hillsborough.Meski menarik sekian pasang mata tertuju pada dirinya sejak ia masuk, Arion mengabaikan mereka semua dan hanya berjalan mengikuti seorang pegawai restoran berseragam di depannya.Meski tidak mengenakan pakaian formal --Arion hanya mengenakan jas hitam di luar, melapisi sweater turtle neck yang ia kenakan sejak dari apartemennya, namun pria itu terlihat begitu berkelas.Pembawaannya yang dingin, berkharisma dan tak tersentuh, membuat greeter dan petugas di meja depan pun tidak berani menghentikannya.Terutama setelah Arion menunjukkan satu kartu khusus pada petugas tersebut. Mereka terlihat terkesiap namun secara profesional segera menundukkan kepala dengan penuh hormat.Salah satu dari pegawai langsung berjalan di depan menunjuk jalan pada Arion, begitu pria tersebut menyebutkan satu ruang privat.Arion masuk, setelah pegawai itu membukakan pintu untuknya.“K
“Mohon maaf, kartu Anda telah diblokir dan rekening Anda dibekukan, Nona.”Ucapan petugas bank membuat Elara membeliakkan mata.“Bagaimana bisa, tapi itu uangku. Aku--” Elara terdiam.Ia memejamkan mata sesaat dan langsung merutuki kebodohannya. Akun yang ia miliki menginduk pada akun Tony White --mantan ayah tirinya.Dulu ia hanya menerima begitu saja semua pengaturan Tony dan tidak terpikir untuk membuka akun terpisah atas namanya sendiri. Tony yang telah membuatnya dan menyerahkan kartu serta buku rekening padanya.Elara berdiri dengan geram.Lima ratus ribu dolar yang ada dalam rekeningnya itu, telah dibekukan. Elara tidak bisa menggunakannya sama sekali.Buat apa ia memiliki uang sebesar itu, jika tidak bisa ia apa-apakan?Elara baru pergi ke bank hari ini untuk memindahkan dana miliknya, namun harus menghadapi kenyataan pahit bahwa Tony telah menutup akses Elara terhadap rekening itu.Sejak neneknya meninggal, ia memang belum menggunakan lagi uang dalam rekening tersebut. Arion m
Elara mengepalkan kedua tangannya di samping tubuh. “Kau yang membuat masalah, Mr. White.”Seketika Tony memasang wajah marah dan menunjuk Elara. “Anak tak tahu sopan santun! Kau--”“Mengapa kau blokir rekeningku?!”“Rekening apa-- Oh.” Tony langsung teringat.Ia lalu mendengkus sinis dan duduk santai di kursi kulitnya. “Apa masalahnya aku menutup rekeningku sendiri?”Jawaban Tony tentu membuat Elara berang. “Itu bukan rekeningmu, Mr. White! Itu rekeningku! Dan ada uangku di dalamnya!”“Biar aku ingatkan. Aku yang membuka rekening utama dan semua rekening di bawahnya itu milikku.”“Tapi uangku ada di dalam rekening itu!”“Itu masalahmu. Mengapa tidak segera kau pindahkan uangmu ke rekening mu sendiri?” Tony menjawab tak acuh.“Sudah berapa kali kukatakan, mulailah bertindak dan berpikir secara dewasa. Dan tangani masalahmu sendiri, Elara.”“Masalah rekening saja, kau malas mengurusnya. Jangan salahkan aku menutup rekening induk yang memang atas namaku,” imbuh Tony lagi.“Mr. White--”
Aveline menjerit keras, suaranya memenuhi lorong sempit yang hanya diterangi lampu jalanan buram.Tubuhnya gemetar saat sebuah tangan kuat tiba-tiba meraih pinggangnya."Apa maksudnya ini?!" Aveline berteriak lagi, mencoba melawan, tapi tak ada yang mendengarnya.Udara malam yang dingin membuatnya semakin waspada, namun pria di depannya begitu cepat.Sebelum ia bisa bereaksi lebih jauh, bibirnya langsung tertutup oleh sesuatu yang hangat dan mendesak—bibir pria yang kini mencengkeramnya erat.Aveline meronta-ronta, hatinya dipenuhi kepanikan.Tubuhnya kaku saat pria itu memeluknya dengan kuat, membuka jaket kulit hitamnya seolah bersiap melakukan sesuatu yang lebih buruk.Mata Aveline melebar ketakutan.‘Tidak mungkin,’ pikirnya, ‘Apakah dia akan memperkosaku?’Ia semakin panik, berusaha membebaskan diri dari genggaman pria itu.Namun, pria itu begitu kuat.Semua tenaga Aveline seolah menguap, terjebak dalam dekapannya yang erat.Lalu, suara langkah kaki terdengar dari kejauhan.Sekelo
Langit sore yang kemerahan menyelimuti San Francisco Bay, tempat di mana sebagian besar kehidupan cinta sepasang insan berkisah.Suara ombak yang berdeburan pelan di pantai menciptakan melodi yang damai, selaras dengan angin sepoi-sepoi yang menyapu lembut permukaan laut.Elara berdiri di ujung dermaga kayu, menatap cakrawala yang tampak tanpa batas, tempat di mana langit bertemu lautan.Matanya menerawang, namun wajahnya kini memancarkan ketenangan yang baru.Dalam dekapan hangatnya, bayi kecil mereka terlelap, wajahnya damai seperti ibunya.Sudah lama sejak pertarungan hidup dan mati di acara peresmian Imera Sky Tower, dan sejak saat itu, kehidupan Elara dan Arion berubah drastis.Banyak hal yang telah dilalui—pengkhianatan, luka, cinta yang terlupakan dan kemudian dipulihkan.Namun hari ini, di bawah cahaya senja yang lembut, semuanya terasa sempurna.Tiba-tiba, langkah kaki yang berat namun mantap terdengar dari belakangnya.Elara tidak perlu menoleh untuk tahu siapa yang datang.A
Arion duduk di ujung ranjang, pandangannya terpaku pada sosok mungil yang ada dalam dekapannya.Bayi perempuan itu terlelap dengan tenang, tubuhnya begitu kecil dan lembut seperti boneka porselen.Pipinya yang kemerahan tampak menggemaskan, kulitnya sehalus sutra dengan bulu-bulu halus yang masih tersisa di atas kepalanya.Mata bayi itu masih tertutup, namun ketika sempat terbuka sesaat, Arion melihat dengan jelas iris matanya yang kelabu, warna yang sama seperti miliknya—sebuah tanda tak terbantahkan bahwa bayi itu adalah darah dagingnya.Bibir kecilnya bergerak perlahan, seakan sedang menghisap udara, dan tangannya yang mungil mengepal erat, menggenggam sepotong kain selimut.Arion tersenyum kecil, hatinya penuh dengan rasa takjub yang tak pernah ia sanggup perkirakan sebelumnya.Di dalam ruangan itu, hanya suara napas lembut bayi perempuannya yang terdengar, membuatnya seperti terhanyut dalam keajaiban kecil yang ia pegang.Sudah lebih dari setengah jam, namun Arion tak bisa melepa
Arion mengangguk pelan, melanjutkan penjelasannya. “Selama aku menjalankan peranku sebagai The Draven, orang itu mengambil peran menjadi diriku, Arion Ellworth. Sehingga tidak ada yang curiga. Kecelakaan di Sunol itu terjadi pada doppelganger-ku.”Elara terdiam sejenak, mencoba mencerna informasi yang baru saja diterimanya. “Jadi... orang itu? Apakah dia tewas dalam kecelakaan itu? Bagaimana aku bisa membedakan kalian? Bagaimana jika suatu saat aku salah mengenali orang itu sebagai dirimu?”Arion tersenyum melihat kepanikan sang istri. “Jangan khawatir, Honey. Orang itu berhasil selamat oleh orang-orangku. Wajahnya tidak sepenuhnya mirip denganku. Hanya postur tubuh dan perilakunya yang serupa. Aku membuatnya menjalani operasi plastik untuk mengubah beberapa bagian, seperti rahang dan hidung saja. Namun, saat dia menjalankan peran sebagai aku, dia menggunakan prosthetic mask yang dibuat menyerupai wajahku.”Elara memandang Arion, dengan sorot kompleks. “Astaga… sampai seperti itu kau m
Elara dan Arion berdiri di tengah keheningan, menghadap sebuah makam dengan batu nisan marmer yang megah. Di atasnya terukir dengan indah: Imelda Ellworth. Satu buket mawar putih mewah yang segar ditempatkan rapi di atas pusara, memberikan sentuhan penuh penghormatan. Pemakaman ini, yang terletak di Cypress Lawn Memorial Park, San Francisco—tempat peristirahatan terakhir para keluarga kaya dan terpandang—dikelilingi oleh pohon-pohon ek yang menjulang tinggi. Jalanan berkerikil putih menghubungkan setiap makam, dan di kejauhan terlihat pemandangan laut yang tenang, menambah suasana damai nan elegan. Udara pagi terasa sejuk, disertai suara angin yang membelai lembut pepohonan. Elara memandang ke sekeliling area pemakaman yang tampak megah, penuh dengan nisan-nisan yang terbuat dari batu marmer putih dan hitam. Di antara semua itu, nisan Imelda berdiri sebagai salah satu yang paling indah, seperti sebuah karya seni yang mencerminkan kehidupan seseorang yang telah meninggalkan jejak
Arthur Ellworth, atau Clay Mallory, kini duduk di sudut sel gelap penjara federal, matanya kosong menatap dinding dingin yang tak lagi bergema dengan wibawa yang pernah ia miliki.Hanya bayangan suram yang tersisa, menggantung di antara kesadaran dan kehancuran. Di penjara ini, waktu seolah-olah melambat, setiap detik menjadi siksaan yang tidak berujung.Hari ini, seorang penjaga penjara menghampiri pintu selnya.Wajah penjaga itu datar, tidak ada belas kasihan, tidak ada penghormatan.Hanya secarik kertas yang dilempar ke lantai di depan Arthur, yang langsung mengenal lambang Ellworth di atasnya.Tangannya yang dulu perkasa sekarang gemetar ketika meraih kertas itu.Di dalamnya, satu pesan singkat yang menghantamnya dengan kejam: "Semua aset, kekayaan, dan perusahaan yang pernah kau curi telah dikembalikan kepada pemiliknya yang sah—Aiden Ellworth."Arthur meremas kertas itu dengan tangannya yang gemetar, rasa panas menjalar da
Markas utama di San Bernardino tampak penuh ketegangan. Di ruang pertemuan besar, cahaya lampu gantung memantul di atas meja panjang tempat para eksekutif utama The Draven berkumpul. Ketiga Executor—Albert, Isaac, dan Samuel—duduk di posisi masing-masing, menatap sosok Arion Ellworth, pria yang selama ini mereka kenal sebagai The Draven, pemimpin mereka yang tak terbantahkan. Samuel, Executor wilayah San Jose, adalah pria bertubuh tegap dengan garis wajah tegas. Rambutnya mulai memutih, namun sorot matanya masih tajam, mencerminkan kekuatan dan ketenangan yang ia bawa selama bertahun-tahun memimpin wilayahnya. Isaac, Executor wilayah Mount Horeb, Wisconsin, berbeda. Tubuhnya ramping, wajahnya lebih halus, tetapi matanya menyiratkan kejeniusan yang sering kali tersembunyi di balik sikapnya yang tenang. Ia terkenal sebagai ‘otak cadangan’ di balik banyak rencana besar yang berhasil dijalankan The Draven. Albert, Executor wilayah San Bernardino, adalah yang termuda. Dengan rahang pers
Aiden tersenyum tipis, sebuah senyuman yang mengandung ketegasan, bahkan ancaman halus di baliknya.“The Orcus bukan ancaman bagi pemerintah. Kami tidak pernah bergerak melawan kalian, Donovan. Jika ada yang perlu kau pahami, ketahuilah ini: The Orcus hanya berurusan dengan mereka yang mengincar kami atau mereka yang berada dalam wilayah kami. Kami adalah perisai, bukan pedang.”Donovan menatapnya, tak sepenuhnya yakin apakah pernyataan itu adalah bentuk pembelaan atau manipulasi.Aiden melanjutkan, kali ini dengan suara yang lebih dalam dan penuh makna. “The Orcus tidak akan pernah menjadi ancaman bagi pemerintah Amerika Serikat… kecuali, jika pemerintah membuat kami tidak punya pilihan lain.”Kalimat itu menggantung di udara, begitu dingin dan tajam seperti bilah pedang yang tersembunyi di balik kata-kata.Donovan tahu, ini bukan ancaman langsung, tapi sebuah peringatan yang tak bisa diabaikan.Aiden sangat c
Matahari pagi yang hangat menyinari kamar tidur mewah di mana Elara sedang berdiri, merapikan dasi Arion dengan penuh perhatian.Arion Ellworth, dengan tubuh tegapnya dan postur sempurna, tampak gagah dalam setelan formal berwarna gelap yang membingkai fisiknya dengan sempurna.Mata kelabu pria itu berkilauan, menambah kesan misterius sekaligus memikat.Ketampanannya terasa tak terbantahkan, membuat Elara sejenak terpana, seperti kembali mengenang saat pertama kali bertemu dengannya.Arion telah kembali ke wujud lamanya—kuat, berwibawa, dan penuh energi—setelah beberapa bulan melemah akibat Couvade Syndrome.Selama sekitar 4 bulan, pria yang biasanya tegas dan tak tergoyahkan ini harus terkapar karena gejala kehamilan palsu yang dialaminya.Namun, kini di bulan kelima kehamilan Elara, semua gejala itu telah sirna.Tidak ada lagi mual, muntah, atau kelelahan yang membebani Arion. Dia kembali pada dirinya yang dulu, dengan e