Kening Arion sedikit berkerut saat melihat wanita muda yang berdiri tak jauh di depannya.“Isabelle?”“Arion… Aku pulang,” ujar wanita muda itu.Suaranya sangat lembut, sungguh membuai. Ia memiliki garis wajah yang sedikit tegas dengan tulang pipi tinggi. Namun kelopak matanya sedikit menurun, memberikan kesan sayu dan rapuh.“Mengapa kau ke sini?”Wanita muda dan cantik bernama Isabelle itu merunduk sedih. “Apa kau tidak senang melihatku?”“Lucas bilang--” Arion terhenti, seakan baru tersadar sesuatu.“Lupakan.” Usai mengatakan kata itu, Arion menggeleng kecil lalu berbalik dan meneruskan langkahnya ke dalam satu ruangan.Di depan pintu itu terpampang tiga huruf besar dengan cetakan berlapis emas; CEO.Garvin menyisi, memberikan jalan bagi Isabelle untuk masuk ke dalam ruangan setelah Arion. Tanpa kata, Garvin berdiri di dekat pintu, menunggu.“Garvin, bisakah aku meminta secangkir teh chamomile?” pinta Isabelle dengan ramah ke arah Garvin.Garvin melirik Arion yang terlihat tak acuh
Waktu telah menunjukkan pukul sepuluh malam, ketika Arion kembali ke apartemen tempat ia tinggal bersama Elara.Pria itu masuk dan menggantungkan mantelnya sebelum melangkah lebih ke dalam. Wajahnya sedikit tertunduk dengan raut muram.Kakinya lalu terhenti, ketika ia mengangkat pandangan dan melihat Elara yang tertidur di sofa ruang tengah.Hanya berselang sepersekian detik, ia mendekati Elara --dengan langkah yang lebih berhati-hati.Tubuh tinggi dan proporsional-nya terhenti tepat di sisi Elara, lalu membungkuk untuk menepuk lembut pipi gadis itu.Tangannya berhenti di udara. Ia mengurungkan niatnya dan hanya menatap wajah tidur Elara sekian detik lebih lama.Tatapan dalam Arion akhirnya terputus saat ia memutuskan mengangkat tubuh Elara dan membawanya ke kamar.Dengan perlahan, Arion menurunkan dan meletakkan Elara dengan nyaman di atas ranjangnya. Ia pun menarik selimut hingga menutupi dada gadis itu.Tidurnya terlihat begitu tenang. Wajah cantik dan damai Elara memancing Arion te
Elara melihat makanan yang memang ia siapkan semalam untuk Arion, sudah habis.Gadis itu melipat bibir ke dalam untuk menahan senyuman, lalu buru-buru memasang wajah biasa kembali. Menyadari itu hal yang aneh baginya, merasa senang bahwa Arion benar-benar memakannya.Bukankah itu hal lumrah? Seseorang memberimu makan, kau memakannya sebagai tindakan sopan santun.Mengapa ia merasa terlalu senang karena hal itu?Elara berdeham --membersihkan tenggorokannya lalu melirik ke arah pintu kamar Arion.“Apakah ia sudah berangkat?” gumamnya lalu beranjak menuju pintu kamar pria itu. Merasa ragu sesaat, ia lalu mengetuk pelan. “Mr. Arion?”Tidak ada jawaban.“Apakah pekerjaannya sebagai supir pribadi saat ini, bertahan lebih lama?” Elara menggaruk pelipisnya lalu kembali ke kamar.“Itu bagus. Jika dia bekerja dan punya uang, aku tidak perlu menggunakan uang simpanan-ku untuk belanja.” Elara mengangguk puas.Memang seharusnya seperti itu. Ia hanya berharap, Arion tidak bertindak impulsif dan memu
“May, apa kau mengundang orang seperti dia ke sini?” Dianne menoleh pada May lalu melempar tatapan cemooh pada Elara.“Aku.. Dia teman Jeanne,” sahut May sedikit canggung.Jeanne yang sejak tadi diam, menyenggol tangan Elara dan bertanya. “Siapa gadis menor itu?” Ia sengaja tidak mengecilkan suaranya, hingga itu terdengar oleh Dianne.“Siapa yang kau sebut menor, heh?” Dianne memelototi Jeanne.“Ehm.. sebaiknya kalian ke dalam dan ambillah makanan dan minuman yang kalian sukai,” Untuk melerai suasana tidak enak tersebut, May berkata pada Jeanne untuk masuk ke dalam.Jeanne melempar senyum pada May dan tatapan tajam pada Dianne, sebelum ia menarik tangan Elara dan membawa sahabatnya itu masuk ke dalam.“Mengapa kau biarkan gadis seperti itu berada di pestamu, May?” Dianne mengeluh.May dan Dianne saling mengenal sejak mereka di sekolah menengah. Dianne memperlakuka
“Tuan Muda Ellworth, silakan.” Seorang pria paruh baya memakai setelan jas mahal menunjuk sofa kosong di kanan.Arion menatap sesaat pria paruh baya itu, lalu beralih ke sebelahnya, di mana seorang pria lain --yang lebih muda, dengan rambut tersisir klimis ke belakang mengangguk hormat juga pada dirinya. Di belakang mereka, berdiri lima lelaki bertubuh kekar dengan tangan terlipat bersilang di depan tubuh.Arion lalu duduk, sementara Max dan dua lelaki berpakaian hitam-hitam berdiri di belakang Arion.Di seberang Arion, pria paruh baya dan pria muda berambut klimis ikut duduk setelah melihat Arion mengambil tempatnya. Sementara lima orang berbadan kekar di belakang keduanya, tetap berdiri –berjaga.Keheningan menyelimuti ruangan eksklusif dan tertutup di sebuah klub malam terbesar di San Francisco –pertemuan yang sengaja mengambil tempat tidak jauh dari Hillsborough.“Penjelasanmu, Mr. Gonzaga?” Setelah beberapa saat, Arion lebih dulu membuka suara dan berkata singkat dengan suara tena
Dentingan gelas terdengar. Orang-orang bersulang untuk nona kaya itu.Elara hanya memandang dari kejauhan dan mulai merasa ia lebih baik menyingkir dari keramaian itu dan mencari tempat nyaman untuk melakukan hal lainnya.Gadis berambut surai madu itu menuju halaman belakang kediaman May. Terdapat satu kolam renang di area tersebut dan masih ada sekumpulan kawan-kawan May di sana. Tapi setidaknya itu tidak terlalu ramai seperti di dalam sana.Hampir semua yang datang ke pesta May Shalya berebut mendekati Isabelle Goldwin --untuk menarik perhatian dan mencoba dekat dengan nona kaya itu.Tentu saja, itu semua demi relasi penting yang mungkin bisa mereka miliki dari seorang anggota keluarga Goldwin dari Sacramento yang kaya raya dan berkuasa.Elara tiba di satu meja, tidak jauh dari tepian kolam renang. Tangan kirinya yang membawa beberapa potong cheesecake turun --meletakkan piring kecil itu di atas meja. Sementara tangan kanannya tetap menggenggam gelas berisi anggur merah.Napasnya ter
Seruan lain pun terjadi begitu mendengar teriakan panik Jeanne. Namun tidak ada yang beranjak dari tempat mereka berdiri.Itu malam hari yang dingin.Masuk ke dalam air dengan udara seperti ini, sama saja mencari mati. Mereka semua tidak punya nyali sebesar itu untuk masuk ke dalam air yang bisa membekukan mereka.Di dalam kolam, Elara dengan panik menggerakkan tubuhnya sekuat tenaga. Berusaha untuk mencapai ke permukaan.Namun tak peduli berapa kali ia mencoba, berapa kuat ia mengeluarkan tenaganya, tubuhnya tidak kunjung bergerak ke atas. Yang terjadi justru sebaliknya, permukaan kolam renang terlihat semakin jauh dari gapaian tangannya.Entah berapa banyak air tertelan. Kerongkongannya sakit, tenggorokannya perih, mata terasa amat pedih untuk terbuka. Setiap sendi dalam tubuhnya mulai terserang rasa nyeri dari temperatur rendah dan dingin yang menggigit.Elara mulai putus asa.Gerakan tangannya kian lemah dan tepat ketika ia nyaris kehilangan kesadarannya, ia melihat seseorang menye
Kedua mata Jeanne melebar dan tak berkedip, dengan mulut membuka.“Bukankah itu… orangnya…” gumam Jeanne takjub.Sosok tinggi dengan tubuh proporsional masuk ke dalam ruang perawatan. Ia hanya melirik sekilas pada Jeanne dan langsung menghampiri brankar tempat Elara terbaring.“Bagaimana keadaanmu?”“Ah…” Jeanne lagi-lagi mengesah tanpa sadar.Suara pria itu begitu dalam dengan tekanan berat namun memberikan sensualitas tinggi. Padahal itu hanya dua kata simpel.“Arion..” Elara memandang bingung pada pria yang baru datang itu.Jeanne mengerjap lalu beralih cepat pada sahabatnya. “Kalian saling mengenal? Kau mengenal orang yang menyelamatkanmu ini?” Ia benar-benar terkejut.Semalam, saat Elara diangkat keluar dari kolam dan dibopong pria itu, Jeanne dengan panik mengikuti dan terus bertanya dengan berisik.Pria itu lalu mengatakan akan membawa Elara ke rumah sakit terdekat, untuk menghentikan Jeanne lebih panik.Jeanne tidak bisa melihat dengan jelas rupa pria itu, karena saat itu wajah
Aveline menjerit keras, suaranya memenuhi lorong sempit yang hanya diterangi lampu jalanan buram.Tubuhnya gemetar saat sebuah tangan kuat tiba-tiba meraih pinggangnya."Apa maksudnya ini?!" Aveline berteriak lagi, mencoba melawan, tapi tak ada yang mendengarnya.Udara malam yang dingin membuatnya semakin waspada, namun pria di depannya begitu cepat.Sebelum ia bisa bereaksi lebih jauh, bibirnya langsung tertutup oleh sesuatu yang hangat dan mendesak—bibir pria yang kini mencengkeramnya erat.Aveline meronta-ronta, hatinya dipenuhi kepanikan.Tubuhnya kaku saat pria itu memeluknya dengan kuat, membuka jaket kulit hitamnya seolah bersiap melakukan sesuatu yang lebih buruk.Mata Aveline melebar ketakutan.‘Tidak mungkin,’ pikirnya, ‘Apakah dia akan memperkosaku?’Ia semakin panik, berusaha membebaskan diri dari genggaman pria itu.Namun, pria itu begitu kuat.Semua tenaga Aveline seolah menguap, terjebak dalam dekapannya yang erat.Lalu, suara langkah kaki terdengar dari kejauhan.Sekelo
Langit sore yang kemerahan menyelimuti San Francisco Bay, tempat di mana sebagian besar kehidupan cinta sepasang insan berkisah.Suara ombak yang berdeburan pelan di pantai menciptakan melodi yang damai, selaras dengan angin sepoi-sepoi yang menyapu lembut permukaan laut.Elara berdiri di ujung dermaga kayu, menatap cakrawala yang tampak tanpa batas, tempat di mana langit bertemu lautan.Matanya menerawang, namun wajahnya kini memancarkan ketenangan yang baru.Dalam dekapan hangatnya, bayi kecil mereka terlelap, wajahnya damai seperti ibunya.Sudah lama sejak pertarungan hidup dan mati di acara peresmian Imera Sky Tower, dan sejak saat itu, kehidupan Elara dan Arion berubah drastis.Banyak hal yang telah dilalui—pengkhianatan, luka, cinta yang terlupakan dan kemudian dipulihkan.Namun hari ini, di bawah cahaya senja yang lembut, semuanya terasa sempurna.Tiba-tiba, langkah kaki yang berat namun mantap terdengar dari belakangnya.Elara tidak perlu menoleh untuk tahu siapa yang datang.A
Arion duduk di ujung ranjang, pandangannya terpaku pada sosok mungil yang ada dalam dekapannya.Bayi perempuan itu terlelap dengan tenang, tubuhnya begitu kecil dan lembut seperti boneka porselen.Pipinya yang kemerahan tampak menggemaskan, kulitnya sehalus sutra dengan bulu-bulu halus yang masih tersisa di atas kepalanya.Mata bayi itu masih tertutup, namun ketika sempat terbuka sesaat, Arion melihat dengan jelas iris matanya yang kelabu, warna yang sama seperti miliknya—sebuah tanda tak terbantahkan bahwa bayi itu adalah darah dagingnya.Bibir kecilnya bergerak perlahan, seakan sedang menghisap udara, dan tangannya yang mungil mengepal erat, menggenggam sepotong kain selimut.Arion tersenyum kecil, hatinya penuh dengan rasa takjub yang tak pernah ia sanggup perkirakan sebelumnya.Di dalam ruangan itu, hanya suara napas lembut bayi perempuannya yang terdengar, membuatnya seperti terhanyut dalam keajaiban kecil yang ia pegang.Sudah lebih dari setengah jam, namun Arion tak bisa melepa
Arion mengangguk pelan, melanjutkan penjelasannya. “Selama aku menjalankan peranku sebagai The Draven, orang itu mengambil peran menjadi diriku, Arion Ellworth. Sehingga tidak ada yang curiga. Kecelakaan di Sunol itu terjadi pada doppelganger-ku.”Elara terdiam sejenak, mencoba mencerna informasi yang baru saja diterimanya. “Jadi... orang itu? Apakah dia tewas dalam kecelakaan itu? Bagaimana aku bisa membedakan kalian? Bagaimana jika suatu saat aku salah mengenali orang itu sebagai dirimu?”Arion tersenyum melihat kepanikan sang istri. “Jangan khawatir, Honey. Orang itu berhasil selamat oleh orang-orangku. Wajahnya tidak sepenuhnya mirip denganku. Hanya postur tubuh dan perilakunya yang serupa. Aku membuatnya menjalani operasi plastik untuk mengubah beberapa bagian, seperti rahang dan hidung saja. Namun, saat dia menjalankan peran sebagai aku, dia menggunakan prosthetic mask yang dibuat menyerupai wajahku.”Elara memandang Arion, dengan sorot kompleks. “Astaga… sampai seperti itu kau m
Elara dan Arion berdiri di tengah keheningan, menghadap sebuah makam dengan batu nisan marmer yang megah. Di atasnya terukir dengan indah: Imelda Ellworth. Satu buket mawar putih mewah yang segar ditempatkan rapi di atas pusara, memberikan sentuhan penuh penghormatan. Pemakaman ini, yang terletak di Cypress Lawn Memorial Park, San Francisco—tempat peristirahatan terakhir para keluarga kaya dan terpandang—dikelilingi oleh pohon-pohon ek yang menjulang tinggi. Jalanan berkerikil putih menghubungkan setiap makam, dan di kejauhan terlihat pemandangan laut yang tenang, menambah suasana damai nan elegan. Udara pagi terasa sejuk, disertai suara angin yang membelai lembut pepohonan. Elara memandang ke sekeliling area pemakaman yang tampak megah, penuh dengan nisan-nisan yang terbuat dari batu marmer putih dan hitam. Di antara semua itu, nisan Imelda berdiri sebagai salah satu yang paling indah, seperti sebuah karya seni yang mencerminkan kehidupan seseorang yang telah meninggalkan jejak
Arthur Ellworth, atau Clay Mallory, kini duduk di sudut sel gelap penjara federal, matanya kosong menatap dinding dingin yang tak lagi bergema dengan wibawa yang pernah ia miliki.Hanya bayangan suram yang tersisa, menggantung di antara kesadaran dan kehancuran. Di penjara ini, waktu seolah-olah melambat, setiap detik menjadi siksaan yang tidak berujung.Hari ini, seorang penjaga penjara menghampiri pintu selnya.Wajah penjaga itu datar, tidak ada belas kasihan, tidak ada penghormatan.Hanya secarik kertas yang dilempar ke lantai di depan Arthur, yang langsung mengenal lambang Ellworth di atasnya.Tangannya yang dulu perkasa sekarang gemetar ketika meraih kertas itu.Di dalamnya, satu pesan singkat yang menghantamnya dengan kejam: "Semua aset, kekayaan, dan perusahaan yang pernah kau curi telah dikembalikan kepada pemiliknya yang sah—Aiden Ellworth."Arthur meremas kertas itu dengan tangannya yang gemetar, rasa panas menjalar da
Markas utama di San Bernardino tampak penuh ketegangan. Di ruang pertemuan besar, cahaya lampu gantung memantul di atas meja panjang tempat para eksekutif utama The Draven berkumpul. Ketiga Executor—Albert, Isaac, dan Samuel—duduk di posisi masing-masing, menatap sosok Arion Ellworth, pria yang selama ini mereka kenal sebagai The Draven, pemimpin mereka yang tak terbantahkan. Samuel, Executor wilayah San Jose, adalah pria bertubuh tegap dengan garis wajah tegas. Rambutnya mulai memutih, namun sorot matanya masih tajam, mencerminkan kekuatan dan ketenangan yang ia bawa selama bertahun-tahun memimpin wilayahnya. Isaac, Executor wilayah Mount Horeb, Wisconsin, berbeda. Tubuhnya ramping, wajahnya lebih halus, tetapi matanya menyiratkan kejeniusan yang sering kali tersembunyi di balik sikapnya yang tenang. Ia terkenal sebagai ‘otak cadangan’ di balik banyak rencana besar yang berhasil dijalankan The Draven. Albert, Executor wilayah San Bernardino, adalah yang termuda. Dengan rahang pers
Aiden tersenyum tipis, sebuah senyuman yang mengandung ketegasan, bahkan ancaman halus di baliknya.“The Orcus bukan ancaman bagi pemerintah. Kami tidak pernah bergerak melawan kalian, Donovan. Jika ada yang perlu kau pahami, ketahuilah ini: The Orcus hanya berurusan dengan mereka yang mengincar kami atau mereka yang berada dalam wilayah kami. Kami adalah perisai, bukan pedang.”Donovan menatapnya, tak sepenuhnya yakin apakah pernyataan itu adalah bentuk pembelaan atau manipulasi.Aiden melanjutkan, kali ini dengan suara yang lebih dalam dan penuh makna. “The Orcus tidak akan pernah menjadi ancaman bagi pemerintah Amerika Serikat… kecuali, jika pemerintah membuat kami tidak punya pilihan lain.”Kalimat itu menggantung di udara, begitu dingin dan tajam seperti bilah pedang yang tersembunyi di balik kata-kata.Donovan tahu, ini bukan ancaman langsung, tapi sebuah peringatan yang tak bisa diabaikan.Aiden sangat c
Matahari pagi yang hangat menyinari kamar tidur mewah di mana Elara sedang berdiri, merapikan dasi Arion dengan penuh perhatian.Arion Ellworth, dengan tubuh tegapnya dan postur sempurna, tampak gagah dalam setelan formal berwarna gelap yang membingkai fisiknya dengan sempurna.Mata kelabu pria itu berkilauan, menambah kesan misterius sekaligus memikat.Ketampanannya terasa tak terbantahkan, membuat Elara sejenak terpana, seperti kembali mengenang saat pertama kali bertemu dengannya.Arion telah kembali ke wujud lamanya—kuat, berwibawa, dan penuh energi—setelah beberapa bulan melemah akibat Couvade Syndrome.Selama sekitar 4 bulan, pria yang biasanya tegas dan tak tergoyahkan ini harus terkapar karena gejala kehamilan palsu yang dialaminya.Namun, kini di bulan kelima kehamilan Elara, semua gejala itu telah sirna.Tidak ada lagi mual, muntah, atau kelelahan yang membebani Arion. Dia kembali pada dirinya yang dulu, dengan e