Elara dan Jeanne masih berada di dalam ruangan.Bagaimanapun, kedua gadis itu tidak berani beranjak setelah semua hal yang mereka dengar.“Nona Elara,” Frederick memanggil.Elara yang masih tertegun di tempat, menjawab sedikit kaget. “Y-yes Sir?” Ia berjalan mendekat ke arah meja kerja, sedangkan Jeanne tidak berani mengikuti.Frederick menatap Elara yang kini berada tepat di seberang mejanya. “Apa yang kau ingin lakukan dengan Henry Wycliff ini?” tanyanya dengan sorot terlihat serius.Alih-alih menjawab dengan benar, Elara mengernyit. Ia sungguh tidak mengira akan menerima pertanyaan ini.Bagaimana tidak?Keadaan sebelumnya, dirinya benar-benar terpojok, dan itu memang sudah ada dalam dugaannya.Membuat Henry marah, konsekuensinya dikeluarkan dari kampus ini.Namun sekarang yang terjadi bahkan Direktur sendiri sampai datang dan membelanya --sesuatu yang bahkan tidak akan pernah berani ia bayangkan.Elara sadar, i
“Apa kau yakin, Elara tidak mengenal siapapun yang berasal dari kalangan berpengaruh di Hillsborough?”Thomson Wycliff telah melakukan panggilan telepon ke beberapa pihak, untuk memberikan tekanan pada Bridgeston University melalui direkturnya --Frederick Callaway.Namun tidak ada yang mau menerima telepon dari Thomson Wycliff. Ada dua orang yang menerima, namun belum sempat Thomson mengatakan apapun, pihak lawan langsung menolak Thomson dan menyebut tidak bisa menolong dalam hal apapun.Ini benar-benar membuat Thomson Wycliff dilanda kebingungan dan rasa heran yang berkepanjangan.Masalah kecil seperti ini, membuat dirinya kewalahan dan bahkan mencurigai ada sesuatu dengan latar belakang yang dimiliki Elara.“Ayah dengar sendiri, Elara bahkan hanya anak tiri keluarga White. Bagaimana bisa dia memiliki kenalan orang berpengaruh?” gerutu Henry.Ia pun frustrasi karena niatnya membuat Elara menunduk dan berlutut, benar-
Elara menepuk pipinya yang masih terasa menghangat.Mengingat ucapan sembrono Arion semalam, membuat dirinya tidak kuasa menahan rona di wajah yang lebih memerah dari biasanya.Pembicaraan soal tidur bersama, selalu menyengat hati Elara.Akan tetapi…Langkah Elara terhenti.Sengatan yang terjadi pada dirinya, saat ini sedikit berbeda.Jika sebelumnya ia begitu marah --bahkan murka, saat dengan seenaknya Arion mengatakan menginginkan keperawanannya. Tapi sekarang, sengatan itu terasa lebih ‘ramah’.Elara tidak merasakan amarah yang sama, melainkan rasa tergelitik yang aneh.Ponsel di dalam saku Elara bergetar, menarik gadis itu dari lamunannya. Ia segera mengeluarkan ponselnya dan melihat deretan nomor asing di layar ponsel.“Ya?”‘El…’Kedua alis Elara melekuk. “Edric?!” Ia setengah memekik.‘Hai El, apa kabar?’“Oh astaga Ed! Mengapa baru mengabari sekarang?” Elara segera melancarkan serbuan
‘Aku tidak tahu apa yang sanggup menahan mu begitu lama di Hillsborough, Bro! Apakah proyek mu di sana ada gangguan?’“Hm.. katakanlah demikian.” Arion menjawab malas sambil bersandar di kursi kebesarannya.Ia melemparkan asal ponsel miliknya, begitu selesai memasang bluetooth headset di telinga kanan.‘Apa? Benar-benar ada kendala? Sungguh aneh!’ Suara di seberang sana terdengar berdecak.“Apa yang aneh?”‘Kau selalu sangat efektif menyelesaikan semua permasalahan, Bro. Belum pernah kudengar kau memiliki masalah yang bisa berlarut-larut.’“Ini sedikit berbeda,” jawab Arion --masih dengan nada malas.Ia sudah ingin meninggalkan kantor setelah selesai meeting beberapa saat lalu, namun salah satu teman yang cukup dekat dengannya, menghubungi.‘Apa yang berbeda?’“Jadi ada apa kau menghubungiku, Lucas?” Arion enggan membahas lebih jauh dan langsung menghentikan Lucas --seseorang yang meneleponnya itu.‘Sebenarnya--’“Selain urusan yang satu itu,” sela Arion tepat. Karena setelah ia mengat
Pandangan Elara tiba-tiba menjadi gelap.Tidak, ia bukan pingsan, tapi sesuatu yang hangat menutupi kepalanya.Itu jaket milik Arion.Elara dapat mencium aroma yang sempat membuatnya gugup kemarin. Aroma yang kini tiba-tiba pula menghantarkan rasa hangat dan rasa tenang seketika.“Kau seperti anak kucing yang tersesat,” Suara dalam milik pria bermanik kelabu itu pun tertangkap indera pendengaran Elara.Nada pada kalimat Arion memang terdengar tak acuh, namun saat lengan kokohnya melingkari pundak Elara, itu terasa begitu lembut dan hangat.Pria itu menuntun Elara yang tertutupi jaket, hingga mencapai ke mobil yang diparkir tak jauh dari Elara berdiri sebelumnya.Arion memastikan Elara duduk dengan nyaman, bahkan memasangkan sabuk pengaman untuk gadis itu, sebelum ia lalu menutup pintu dan berjalan memutar ke pintu kemudi.“Apa yang terjadi?” tanya Arion setelah beberapa waktu mobil yang ia kendarai menja
“Tidak, bukan itu maksudku!” Elara menggelengkan kepalanya kuat-kuat.Ia tidak bermaksud membuat Arion salah paham dengan pertanyaan itu. “Sesuatu.. Maksudku, aku hanya berandai-andai. Kalau itu terjadi padaku. Tidak ada maksud lain.”“Tidak ada sesuatu yang terjadi padamu?” Arion menyipitkan matanya.“Tidak. Aku bertanya itu karena benar-benar ingin bertanya.” Mata Elara mengerjap. Ia seakan baru saja mendapat gagasan. “Waktu kau meminta kesucian-ku, tidak kah terpikir bahwa aku bisa saja sudah tidak lagi perawan?”Arion terbatuk kecil. “Itu--” Ia memindahkan kembali mobil dalam mode drive --ia butuh waktu untuk mencari kata yang tepat untuk menjawab gadis di sampingnya.Sampai detik ini pun gadis bermanik zamrud itu masih lekat menatap ke arahnya --menunggu jawaban.Mobil kembali berjalan mulus, Arion berdeham. “Dari penampilanmu. Kau terlihat polos dan terlalu cocok untuk image perawan.”“Hah?” Elara merasa telinganya salah mendengar. Jadi saat itu, Arion hanya menebak bahwa dirinya
“Kau!!” teriak Henry marah.“Kau preman sewaan Elara, kan?!” tudingnya lagi. Kali ini kedua mata Henry memerah, menahan amarah.Harga dirinya serasa terluka, melihat orang rendahan telah menculik dan mengikat dirinya seperti ini.Sosok tinggi itu berjalan santai. Kedua tangannya berada di saku celana jeans biru dongker yang ia kenakan. Tubuhnya terbalut kaos lengan panjang tanpa kerah, begitu pas melekat di tubuhnya.Aura dalam ruang pengap itu seketika terasa berat dan menekan.Usai memaki, Henry pun terdiam gugup --merasakan aura penuh tekanan tersebut.Pria itu berhenti tepat di depan Henry yang duduk dan terikat kuat.“Henry Wycliff…” Suaranya yang dalam dan rendah terdengar misterius dan begitu menekan, kala ia bahkan hanya menyebut sebuah nama.“Ma-mau apa kau?” Henry tergagap saat bertanya. Sungguh, ia tidak bermaksud seperti itu.Ia ingin mengeluarkan suara garangnya dalam memaki --ia sungguh berpengalaman untuk itu. Namun saat ini --bisa mengeluarkan kata-kata pun, ia merasa m
Sinar hangat mentari menembus melalui jendela. Elara menggerakkan tangan, untuk meregangkan keduanya. Matanya membuka perlahan, mengerjap malas.Entah kapan ia membuka tirai penutup jendela --ia merasa tidak melakukannya. Tubuhnya berputar ke sisi, hanya untuk mendapati seluruh tubuhnya langsung menegang.“Nga-ngapain kau di sini?!” pekik Elara panik. Ia menarik selimut lebih ke atas hingga hampir menutupi lehernya.Di tepian ranjang, Arion duduk santai sambil menumpang kaki.Garis rahang kokoh melingkari raut wajah datarnya. Alis yang tebal dan rapi itu tidak bergerak, namun kelopaknya terlihat menurun setengah, seolah telah menikmati pemandangan yang menenangkan. Sosok proporsional itu hanya mengenakan piyama motif garis vertikal dengan mantel tipis yang mengikat tubuh gagahnya. Ia tidak bergerak dan hanya terus menatap Elara dengan manik kelabu yang dalam.“Bagaimana kau bisa masuk ke sini?” Elara mengomel. “Aku menutup pintu dan menguncinya! Jangan katakan, kau menerobos begitu
Aveline menjerit keras, suaranya memenuhi lorong sempit yang hanya diterangi lampu jalanan buram.Tubuhnya gemetar saat sebuah tangan kuat tiba-tiba meraih pinggangnya."Apa maksudnya ini?!" Aveline berteriak lagi, mencoba melawan, tapi tak ada yang mendengarnya.Udara malam yang dingin membuatnya semakin waspada, namun pria di depannya begitu cepat.Sebelum ia bisa bereaksi lebih jauh, bibirnya langsung tertutup oleh sesuatu yang hangat dan mendesak—bibir pria yang kini mencengkeramnya erat.Aveline meronta-ronta, hatinya dipenuhi kepanikan.Tubuhnya kaku saat pria itu memeluknya dengan kuat, membuka jaket kulit hitamnya seolah bersiap melakukan sesuatu yang lebih buruk.Mata Aveline melebar ketakutan.‘Tidak mungkin,’ pikirnya, ‘Apakah dia akan memperkosaku?’Ia semakin panik, berusaha membebaskan diri dari genggaman pria itu.Namun, pria itu begitu kuat.Semua tenaga Aveline seolah menguap, terjebak dalam dekapannya yang erat.Lalu, suara langkah kaki terdengar dari kejauhan.Sekelo
Langit sore yang kemerahan menyelimuti San Francisco Bay, tempat di mana sebagian besar kehidupan cinta sepasang insan berkisah.Suara ombak yang berdeburan pelan di pantai menciptakan melodi yang damai, selaras dengan angin sepoi-sepoi yang menyapu lembut permukaan laut.Elara berdiri di ujung dermaga kayu, menatap cakrawala yang tampak tanpa batas, tempat di mana langit bertemu lautan.Matanya menerawang, namun wajahnya kini memancarkan ketenangan yang baru.Dalam dekapan hangatnya, bayi kecil mereka terlelap, wajahnya damai seperti ibunya.Sudah lama sejak pertarungan hidup dan mati di acara peresmian Imera Sky Tower, dan sejak saat itu, kehidupan Elara dan Arion berubah drastis.Banyak hal yang telah dilalui—pengkhianatan, luka, cinta yang terlupakan dan kemudian dipulihkan.Namun hari ini, di bawah cahaya senja yang lembut, semuanya terasa sempurna.Tiba-tiba, langkah kaki yang berat namun mantap terdengar dari belakangnya.Elara tidak perlu menoleh untuk tahu siapa yang datang.A
Arion duduk di ujung ranjang, pandangannya terpaku pada sosok mungil yang ada dalam dekapannya.Bayi perempuan itu terlelap dengan tenang, tubuhnya begitu kecil dan lembut seperti boneka porselen.Pipinya yang kemerahan tampak menggemaskan, kulitnya sehalus sutra dengan bulu-bulu halus yang masih tersisa di atas kepalanya.Mata bayi itu masih tertutup, namun ketika sempat terbuka sesaat, Arion melihat dengan jelas iris matanya yang kelabu, warna yang sama seperti miliknya—sebuah tanda tak terbantahkan bahwa bayi itu adalah darah dagingnya.Bibir kecilnya bergerak perlahan, seakan sedang menghisap udara, dan tangannya yang mungil mengepal erat, menggenggam sepotong kain selimut.Arion tersenyum kecil, hatinya penuh dengan rasa takjub yang tak pernah ia sanggup perkirakan sebelumnya.Di dalam ruangan itu, hanya suara napas lembut bayi perempuannya yang terdengar, membuatnya seperti terhanyut dalam keajaiban kecil yang ia pegang.Sudah lebih dari setengah jam, namun Arion tak bisa melepa
Arion mengangguk pelan, melanjutkan penjelasannya. “Selama aku menjalankan peranku sebagai The Draven, orang itu mengambil peran menjadi diriku, Arion Ellworth. Sehingga tidak ada yang curiga. Kecelakaan di Sunol itu terjadi pada doppelganger-ku.”Elara terdiam sejenak, mencoba mencerna informasi yang baru saja diterimanya. “Jadi... orang itu? Apakah dia tewas dalam kecelakaan itu? Bagaimana aku bisa membedakan kalian? Bagaimana jika suatu saat aku salah mengenali orang itu sebagai dirimu?”Arion tersenyum melihat kepanikan sang istri. “Jangan khawatir, Honey. Orang itu berhasil selamat oleh orang-orangku. Wajahnya tidak sepenuhnya mirip denganku. Hanya postur tubuh dan perilakunya yang serupa. Aku membuatnya menjalani operasi plastik untuk mengubah beberapa bagian, seperti rahang dan hidung saja. Namun, saat dia menjalankan peran sebagai aku, dia menggunakan prosthetic mask yang dibuat menyerupai wajahku.”Elara memandang Arion, dengan sorot kompleks. “Astaga… sampai seperti itu kau m
Elara dan Arion berdiri di tengah keheningan, menghadap sebuah makam dengan batu nisan marmer yang megah. Di atasnya terukir dengan indah: Imelda Ellworth. Satu buket mawar putih mewah yang segar ditempatkan rapi di atas pusara, memberikan sentuhan penuh penghormatan. Pemakaman ini, yang terletak di Cypress Lawn Memorial Park, San Francisco—tempat peristirahatan terakhir para keluarga kaya dan terpandang—dikelilingi oleh pohon-pohon ek yang menjulang tinggi. Jalanan berkerikil putih menghubungkan setiap makam, dan di kejauhan terlihat pemandangan laut yang tenang, menambah suasana damai nan elegan. Udara pagi terasa sejuk, disertai suara angin yang membelai lembut pepohonan. Elara memandang ke sekeliling area pemakaman yang tampak megah, penuh dengan nisan-nisan yang terbuat dari batu marmer putih dan hitam. Di antara semua itu, nisan Imelda berdiri sebagai salah satu yang paling indah, seperti sebuah karya seni yang mencerminkan kehidupan seseorang yang telah meninggalkan jejak
Arthur Ellworth, atau Clay Mallory, kini duduk di sudut sel gelap penjara federal, matanya kosong menatap dinding dingin yang tak lagi bergema dengan wibawa yang pernah ia miliki.Hanya bayangan suram yang tersisa, menggantung di antara kesadaran dan kehancuran. Di penjara ini, waktu seolah-olah melambat, setiap detik menjadi siksaan yang tidak berujung.Hari ini, seorang penjaga penjara menghampiri pintu selnya.Wajah penjaga itu datar, tidak ada belas kasihan, tidak ada penghormatan.Hanya secarik kertas yang dilempar ke lantai di depan Arthur, yang langsung mengenal lambang Ellworth di atasnya.Tangannya yang dulu perkasa sekarang gemetar ketika meraih kertas itu.Di dalamnya, satu pesan singkat yang menghantamnya dengan kejam: "Semua aset, kekayaan, dan perusahaan yang pernah kau curi telah dikembalikan kepada pemiliknya yang sah—Aiden Ellworth."Arthur meremas kertas itu dengan tangannya yang gemetar, rasa panas menjalar da
Markas utama di San Bernardino tampak penuh ketegangan. Di ruang pertemuan besar, cahaya lampu gantung memantul di atas meja panjang tempat para eksekutif utama The Draven berkumpul. Ketiga Executor—Albert, Isaac, dan Samuel—duduk di posisi masing-masing, menatap sosok Arion Ellworth, pria yang selama ini mereka kenal sebagai The Draven, pemimpin mereka yang tak terbantahkan. Samuel, Executor wilayah San Jose, adalah pria bertubuh tegap dengan garis wajah tegas. Rambutnya mulai memutih, namun sorot matanya masih tajam, mencerminkan kekuatan dan ketenangan yang ia bawa selama bertahun-tahun memimpin wilayahnya. Isaac, Executor wilayah Mount Horeb, Wisconsin, berbeda. Tubuhnya ramping, wajahnya lebih halus, tetapi matanya menyiratkan kejeniusan yang sering kali tersembunyi di balik sikapnya yang tenang. Ia terkenal sebagai ‘otak cadangan’ di balik banyak rencana besar yang berhasil dijalankan The Draven. Albert, Executor wilayah San Bernardino, adalah yang termuda. Dengan rahang pers
Aiden tersenyum tipis, sebuah senyuman yang mengandung ketegasan, bahkan ancaman halus di baliknya.“The Orcus bukan ancaman bagi pemerintah. Kami tidak pernah bergerak melawan kalian, Donovan. Jika ada yang perlu kau pahami, ketahuilah ini: The Orcus hanya berurusan dengan mereka yang mengincar kami atau mereka yang berada dalam wilayah kami. Kami adalah perisai, bukan pedang.”Donovan menatapnya, tak sepenuhnya yakin apakah pernyataan itu adalah bentuk pembelaan atau manipulasi.Aiden melanjutkan, kali ini dengan suara yang lebih dalam dan penuh makna. “The Orcus tidak akan pernah menjadi ancaman bagi pemerintah Amerika Serikat… kecuali, jika pemerintah membuat kami tidak punya pilihan lain.”Kalimat itu menggantung di udara, begitu dingin dan tajam seperti bilah pedang yang tersembunyi di balik kata-kata.Donovan tahu, ini bukan ancaman langsung, tapi sebuah peringatan yang tak bisa diabaikan.Aiden sangat c
Matahari pagi yang hangat menyinari kamar tidur mewah di mana Elara sedang berdiri, merapikan dasi Arion dengan penuh perhatian.Arion Ellworth, dengan tubuh tegapnya dan postur sempurna, tampak gagah dalam setelan formal berwarna gelap yang membingkai fisiknya dengan sempurna.Mata kelabu pria itu berkilauan, menambah kesan misterius sekaligus memikat.Ketampanannya terasa tak terbantahkan, membuat Elara sejenak terpana, seperti kembali mengenang saat pertama kali bertemu dengannya.Arion telah kembali ke wujud lamanya—kuat, berwibawa, dan penuh energi—setelah beberapa bulan melemah akibat Couvade Syndrome.Selama sekitar 4 bulan, pria yang biasanya tegas dan tak tergoyahkan ini harus terkapar karena gejala kehamilan palsu yang dialaminya.Namun, kini di bulan kelima kehamilan Elara, semua gejala itu telah sirna.Tidak ada lagi mual, muntah, atau kelelahan yang membebani Arion. Dia kembali pada dirinya yang dulu, dengan e