“Apa yang kau dapatkan?”Langkah Arion begitu lebar dan cepat --ini hal baru yang ditemui oleh Max pada diri Arion yang selalu bersikap tenang, datar dan tak terbaca, membuat siapapun akan kesulitan untuk menebak isi pikirannya atau bahkan tindakan yang akan diambilnya.Itulah yang membedakan seorang Arion Ellworth dengan lawan-lawannya, yang membuat Arion bergerak tanpa terbaca dan lebih dulu mengetahui pergerakan lawan.“Sebaiknya ini benar-benar bagus, Max.”Max mengangguk lalu membukakan pintu satu ruangan untuk Arion masuk.Ruangan itu luas dan berisi beberapa orang yang tampak sibuk di belakang monitor. Mereka semua serempak menghentikan kegiatan mereka dan berdiri memberi hormat pada Arion.Dengan satu lambaian tangan yang singkat, mereka kembali dengan kegiatannya masing-masing di sana.Arion mengambil kursi berlapis kulit mahal dan duduk dengan cepat di sana. Posisinya berada satu level lebih tinggi di
Ian Palmer memberi kode pada Dianne untuk menemani Tina, sementara ia kemudian membawa kedua petugas polisi itu berbincang sedikit menjauh dari sana.Dianne langsung duduk di samping Tina dan memegangi tangan ibunya itu. “Apa yang diambil perampok Bu?” tanyanya cemas.Mereka sudah tidak memiliki apa-apa, lalu mengapa perampok sampai datang ke rumah mereka?Apa lagi yang bisa diambil dari rumah ini?“Se-semua… perhiasanku… tidak ada… mereka me-mengambilnya…”“Perhiasan apa?“ Dianne terkejut. “Ibu sudah tidak punya perhiasan, kita sudah menjualnya semua untuk bayar hutang kartu kredit Ibu, kan?”“Perhiasanku! Yang aku sembunyikan di brankas kecil di lemari!” pekik Tina histeris. “Aku masih memiliki beberapa!”“Kenapa bisa--” Dianne tersentak. “Jangan bilang kalau saat itu Ibu membohongi Paman Tony soal investasi??”
“Silakan Nona kembali ke dalam. Jika Nona perlu sesuatu dari luar, kami akan membawakannya untuk Nona.”‘Sial!’ Elara mengumpat dalam hati.Gadis itu baru saja ingin keluar. Siapa sangka, begitu ia membuka pintu, satu sosok bertubuh tinggi besar langsung menghadang tepat di depan pintu dan melarangnya keluar.Tanpa banyak kata, Elara menutup pintu dengan setengah membantingnya dan berjalan gusar ke pantri.Ia menuangkan segelas air putih, untuk menenangkan diri dan duduk setelah mengempas kasar bokongnya di salah satu kursi terdekat.Sejak ia bangun tadi, ia tidak mendapati Arion di manapun. Semula ia mengira Arion sudah kembali. Ternyata pria itu belum kembali.Ini sudah jam 10 pagi.“Hah! Biar saja jika dia tidak mau pulang!” gerutu Elara lalu meneguk air dalam gelas hingga tandas dan meletakkannya kasar ke atas meja, hingga terdengar berdentang cukup kencang.Jari jemarinya yang lentik mengetuk meja. Sesaat berikutnya ia kembali mengisi gelas dengan air putih lalu melangkah menuju p
“Hey apa nih?!” Kedua mata Jeanne melebar saat melihat dua lelaki yang berdiri di depan pintu apartemen yang akan ia tuju.Sungguh, ia terkejut. Begitu tiba di apartemen dan di depan unit yang disebutkan Arion melalui pesan teks, ia mendapati kedua orang sangar ini ada di depan pintu.“Apa aku salah tempat yah?” Jeanne bergumam lalu membuka lagi pesan dari Arion. “Ini unit 1016. Benar.”Gadis itu melirik pada dua lelaki bertubuh besar tegap itu. “Apa ini… unit 1016?” Kalimat retoris Jeanne hanya untuk membuka percakapan dirinya dengan para lelaki tampak sangar tersebut.“Kau siapa? Ada perlu apa?” Salah satu dari kedua orang itu bertanya datar dengan suara yang cukup membuat Jeanne urung maju, karena takut.“Aku.. teman Elara. Arion memintaku datang untuk menemani--”“Oh Nona! Maafkan kami, silakan masuk!”Belum sempat Jeanne menuntaskan kalimat penjelasannya, kedua orang itu tampak terkesiap begitu mendengar nama Arion keluar dari mu
“Jadi Arion bilang, itu baru calon? Belum benar-benar menjadi tunangan?”Elara mengangguk pelan, menjawab cecaran pertanyaan Jeanne sedari tadi.“Jadi apa masalahnya? Itu baru calon, Sayang! Calon. Baru. Mau. Akan. Itu pun kalau jadi dan kalau Arion nya mau. Kau bilang tadi, Arion mengatakan tidak mau?”“Ya. Dia bilang karena kami sudah menikah. Karena dia telah menikah denganku.”“Ya memang seharusnya begitu. Lalu?” Jeanne mengernyit.“Jika kami belum atau tidak menikah, apakah itu berarti dia akan bertunangan dengan perempuan itu?” keluh Elara.Jeanne yang mendengarnya, memiringkan kepala. “Memang kau berharap apa?”“Apa?” Kepala Elara terangkat lalu menggeleng lemah. “Tidak, aku tidak berharap apa-apa.”“Masa?”“Ah, aku tahu!” cetus Jeanne lagi dengan suara keras. “Kau berharap mendengar ‘aku tidak menerima pertunangan itu, karena aku mencintaimu’! Iya kan?”“Kau gila.”“Aku gila, tapi aku benar,” dengkus Jeanne sambil mencibir.Elara menggigit bibirnya --menampik perkataan ngawur J
"Keperawananmu untukku, atau.. kau menyerah atas nyawa nenekmu." Pria bermata kelabu itu menatap tanpa sorot emosi dan segera setelahnya udara dingin menyeruak dalam ruangan di mana ia dan seorang gadis berkacamata bulat berada."A-apa?""Kau tidur denganku, atau kau biarkan wanita tua itu mati. Pilihanmu.""Kau! Kau memang pria brengsek! Manusia kejam!!" Gadis itu memekik marah.Tangannya yang memegang berkas dari Rumah Sakit tempat neneknya dirawat, gemetar hebat.Saat ini neneknya membutuhkan transfusi darah Rh-Null dengan segera, atau ia akan tidak tertolong.Dan pria di hadapannya ini, satu-satunya orang yang ia ketahui saat ini --detik ini, memiliki darah dengan golongan yang sama.Sekitar satu jam setengah yang lalu, Elara menerima kabar dari pihak rumah sakit, bahwa neneknya mengalami kecelakaan.Elara yang saat itu tengah berada di kampus, bergegas datang ke rumah sakit tempat neneknya dilarikan.“Bagaimana nenek saya, Dok?” tanya Elara panik ketika tiba di ruang IGD dan bert
Elara berdiri di depan rumah besar berlantai dua di hadapannya. Tidak ada pilihan lain bagi Elara saat ini, selain meminta bantuan dari ayah tirinya, Tony White. Ia masuk dan tepat di depan sana, di ruang keluarga, ia bisa melihat Tony dan Tina --adiknya, duduk bersantai. “Kamu baru pulang heh?!” Suara lengkingan memekakkan telinga, langsung menggema seantero ruangan. Elara menghentikan langkah dan menoleh pada wanita yang mengeluarkan suara melengking, Tina Palmer --bibi tiri Elara. Wanita paruh baya itu memang tidak pernah menyukai kehadiran Elara dalam keluarga White. Elara hanya menatap datar sang bibi, ia tidak bisa menghabiskan waktu berdebat dengan Tina, sementara neneknya memerlukan penanganan segera. Ia pun memutar langkah, mendekati ayah tirinya. “Ayah…” Elara berhenti di samping Tony duduk. “Aku butuh bantuan ayah.” “Hah! Benar-benar anak tak tahu diri!” umpat Tina. “Dari kecil sudah merepotkan, sekarang pun masih ingin merepotkan!” “Bantuan apa?” Suara dalam Tony
04:55 sore. Rasa sesak itu benar-benar terasa menghimpit di dada Elara. Ia baru saja menemukan dirinya memang berada di jalan buntu. Setelah penandatanganan satu berkas, Elara mendapatkan sejumlah uang --cukup banyak, dari ayah tirinya. Namun saat ia mengutarakan maksudnya pada pihak Rumah Sakit, ia tidak mendapatkan jawaban sesuai harapannya. Meskipun tadi Elara mengatakan bersedia membayar mahal pada pihak Rumah Sakit untuk darah neneknya, pihak Rumah Sakit menolak mentah-mentah. Mereka mengatakan tidak mampu mencari atau mendapatkan darah Rh-Null dalam waktu sesingkat itu. Itu darah yang langka. Bahkan jika pun ditemukan, pihak lain telah lebih dulu membelinya dengan harga sangat tinggi. Elara membuang napas beratnya. Ia kini berdiri di depan pintu ruangan yang sama. Kamar dengan angka 707 di atasnya. Itu bangsal di Rumah Sakit tempat nenek-nya dirawat. Tapi bukan bangsal milik sang nenek. Melainkan milik pria yang memiliki golongan darah langka, yang sama seperti nenek nya.