“Lun, kamu jangan salah sangka. Aku ... aku sudah mencoba membangunkanmu tadi,” ujar Ivan.
Luna tidak peduli, ia mendorong tubuh Ivan menjauh dan membuat pria bertubuh sedikit kurus itu terjatuh ke lantai. Ivan hanya diam sambil menatap Luna. Sama halnya dengan Ivan, Luna kini membisu duduk di atas kasur sambil menghindari tatapannya.
“Lebih baik kamu keluar, Van!!” pinta Luna.
Ivan tidak bersuara. Ia mengangguk, bangkit dari lantai dan berjalan keluar kamar. Sementara itu Luna kini tampak terdiam sambil berulang menghela napas panjang.
“Gak ... situasi seperti ini gak boleh terjadi lagi. Aku gak mau terjebak di dalam cinta segitiga lagi,” lirih Luna dalam hati.
Ia bergegas bangkit dari kasur, berjalan menuju pintu dan menguncinya. Selanjutnya Luna membisu di balik pintu sambil mengurut dadanya. Ia memejamkan mata seakan sedang menenangkan diri. Situasi inilah yang tidak mau dia alami. Itu juga sebabnya dia menol
“Memangnya harus selingkuh dulu hanya untuk memuaskan hasratku? Aku bisa menyewa orang, kan? Tanpa selingkuh,” jawab Luna dengan santainya.Fabian malah tercengang dengan jawaban istrinya. Dia tidak menyangka Luna akan berkata seperti itu.“Kamu sungguh-sungguh dengan ucapanmu, Lun?”Luna terdiam sesaat, menatap Fabian dengan sendu sambil menghela napas berulang. Setelah cukup lama, Luna menggeleng.“Enggak. Aku gak akan pernah melakukan itu, Fabian. Masa kamu gak tahu aku?”Fabian menarik napas panjang menunjukkan kelegaannya kemudian melihat Luna dengan sudut matanya.“Terus kok ngomong kayak gitu tadi. Kamu membuat aku cemas, Lun.”Luna tersenyum penuh kemenangan sambil menjentik hidung Fabian.“Aku gemas saja sama kamu. Kamu terus-terusan mempermainkan perasaanku dan apa salahnya tadi aku sedikit menggodamu.” Fabian hanya diam sambil menatap lembut ke arah Luna.
“Kenapa, Lun?” tanya Ivan.Luna tidak menjawab, ia mematikan kompor dan berjalan tergesa masuk ke dalam kamar. Sementara Ivan hanya diam sambil mengamati kepergian Luna dengan sudut matanya. Ivan tidak tahu kalau semua yang ia lakukan tadi dilihat oleh Fabian.Ivan menarik napas panjang, mempercepat memotong sayur dan menyudahi semuanya. Lagi-lagi dia harus terjebak dengan perasaan bersalah.Luna masuk ke dalam kamar dan melihat Fabian sedang duduk di kursi roda di depan balkon. Luna berjalan menghampiri kemudian duduk bersimpuh di sebelah Fabian.“Apa kamu yang tidak sengaja memecahkan vas tadi?” tebak Luna.Fabian tidak menjawab hanya lirikan mata sipitnya yang terlihat kali ini. Luna menghela napas panjang sambil mengelus lengan Fabian. Fabian membisu dan hendak menarik tangannya, tapi keburu dicegah Luna.“Please ... Fabian. Jangan begini, aku gak ada apa-apa dengan Ivan. Ia hanya membantuku tadi.”
“Enggak. Kami sedang membicarakan Alif. Bener kan, Mbak?” jawab Luna.Widuri yang duduk di sebelah Luna langsung mengangguk, mengiyakan pernyataan Luna. Widuri juga menoleh ke arah Ivan untuk menyakinkan pria tersebut.“Iya, bener, Van. Alif mau ulang tahun minggu depan dan kebetulan kedatanganku ke sini sekalian mengundang kalian. Itu pun kalau kalian tidak sibuk.”“Aku gak sibuk. Aku usahakan datang kali ini.” Ivan malah antusias menjawab ucapan Widuri.Widuri tampak serba salah dan melihat Luna dengan sudut matanya. Luna menangkap kegelisahan Widuri dan dia memakluminya lewat isyarat mata.“Eng … ngomong-ngomong Alif paling suka dikado apa, nih. Aku pengen memastikan supaya gak salah memberi hadiah nantinya.” Ivan malah ikut duduk tak jauh dari mereka. Tentu saja kehadiran Ivan malah membuat Widuri dan Luna kikuk.“Dia suka semua hadiah yang diberi siapa saja, kok. Kamu tidak pe
“Hamil?” kata Luna balik bertanya.Fabian tersenyum sambil menganggukkan kepala. Fabian sangat berharap apa yang baru saja diucapkannya menjadi kenyataan. Sementara Luna hanya tersenyum meringis. Ia tidak mau membuat harapan suaminya meredup.“Iya, nanti coba aku pakai test pack. Siapa tahu ucapanmu tadi benar.”Fabian manggut-manggut. Pria tampan bermata sipit itu mencondongkan tubuhnya ke arah Luna seakan hendak memeluk istrinya. Luna tahu dan malah mengubah posisi tubuhnya mendekat ke arah Fabian.“Kamu menginginkan sesuatu? Mungkin mengulang yang tadi malam lagi?” goda Luna.Fabian terkekeh sambil menjentik gemas hidung Luna.“Katanya kamu pusing, kenapa malah menawariku begitu?”Luna tersenyum mendekatkan wajahnya ke arah Fabian sambil mengalungkan tangannya ke bahu Fabian.“Pusingku langsung hilang kalau melihat kamu,” desis Luna sambil mulai mengecup bibir Fabian.Fabian mengulum senyum membalas perlakuan istrinya dengan senang hati. Dia pikir sikap Luna akan berubah usai melih
“NINA!! Kamu apain Luna?” tiba-tiba Ivan berseru.Nina terkejut melihat ke arah Ivan yang berjalan menghampirinya. Selama ini Ivan belum tahu kalau hubungan Fabian dan Nina hanya sandiwara saja. Pantas saja dia terlihat kesal saat melihat Nina kali ini.“Aku gak ngapa-ngapain. Luna tiba-tiba pingsan. Ayo, bantu aku, Van!!”Ivan berdecak kemudian berjalan mendekat dan membantu Nina membopong Luna. Mereka langsung membawa Luna ke ruang IGD. Ada beberapa suster yang sudah membantu Luna dan kini terlihat seorang dokter sedang memeriksanya.“Awas saja kalau sampai kenapa-napa. Aku akan nuntut kamu duluan!!” ancam Ivan.Nina melotot melihat ke arah Ivan.“Jangan ngaco kamu, Van. Aku gak bersalah dalam hal ini. Bisa jadi Luna memang sudah sakit sejak tadi hanya tidak mengatakannya. Lagipula saat bertemu di ruang prakteknya dia sudah terlihat pucat.”Ivan terdiam, sibuk mengolah udara sambil mel
“Iya, Mbak. Aku hamil,” jawab Luna.Widuri langsung tersenyum sambil menarik Luna masuk dalam pelukannya. Dua wanita cantik itu saling berpelukan membagi kebahagiaan.“Apa Fabian tahu tentang hal ini?” Widuri mengurai pelukan dan bertanya ke Luna.Luna tersenyum sambil menggelengkan kepala.“Belum. Dia belum tahu. Fabian … “ Kemudian Luna menceritakan apa yang Fabian katakan tadi pagi saat melihat keadaannya.Widuri hanya menganggukkan kepala berulang sambil mengulum senyum. Dia senang mendengar kabar bahagia ini. Entah mengapa setiap mendengar kabar kehamilan, ingatan Widuri selalu kembali saat dia sedang hamil anak pertama dulu. Lalu tanpa diminta semua kenangan yang menorehkan luka kembali terlintas.Widuri menghela napas panjang sambil menghalau kenangan sedih saat awal menikah dengan Emran dulu. Kini dia sudah bahagia dan berharap Luna juga mendapatkan kebahagiaan sama seperti dirinya.&
“Fabian, ada apa?” tanya Luna.Luna terkejut saat melihat Fabian masuk ke dalam kamar dengan tergesa dan menatap Luna penuh amarah. Fabian hanya diam melajukan kursi rodanya mendekat ke arah Luna, kemudian terdiam lama.Luna yang sedang duduk di tepi kasur hanya diam melihat ulah Fabian. Banyak hal yang membuat Fabian bersikap aneh seperti kali ini dan Luna tidak mau memikirkan satu pun alasannya.“Harusnya aku yang bertanya seperti itu padamu, Luna.” Fabian bersuara dan terdengar sangat lembut berbanding terbalik dengan mata kecilnya yang melebar seakan sedang marah.Luna tampak bingung dan menatap Fabian penuh tanya. Fabian menarik napas berulang sambil mengulurkan tangan menyentuh tangan Luna.“Ivan baru bilang kalau kamu pingsan saat di rumah sakit tadi. Ada apa? Kamu sakit?”Luna menghela napas lega saat mendengar pertanyaan Fabian. Ia pikir suaminya akan marah, tapi nyatanya tidak. Luna tersenyum sam
“Sayang … orang ini yang menuduhku menabrak. Padahal jelas-jelas dia yang memotong jalan di depanku,” urai Nina.Ia berkata seperti itu ke Ivan dengan nada lembut mendayu. Ivan hanya diam menatap Nina dengan bingung. Nina mengabaikan reaksi bingung Ivan dan kembali bersuara.“Kita panggil polisi saja jika dia tidak mau tanggung jawab. Bukankah Papa masih berdinas di Polda sampai sekarang.”Lagi-lagi Ivan terlihat bingung dengan ucapan Nina. Berulang kali Nina memberi isyarat ke Ivan lewat matanya. Sepertinya Nina tidak mau sandiwaranya ketahuan oleh pria yang beradu mulut dengannya tadi. Ivan melihat isyarat Nina dan menganggukkan kepala dengan cepat.“Iya, iya, benar. Papa masih tugas di sana. Sekarang terserah Anda mau bertanggung jawab atau saya membawanya ke pihak berwajib.”Kini Ivan malah ikut-ikutan bersandiwara dengan Nina. Nina mengulum senyum sambil menyikut siku Ivan. Ivan hanya diam dan pura-pu
“IBU!! Kok di sini?” tanya Dokter Bayu. Untung saja mereka menjeda interaksi mesra, kalau tidak pasti Nayla akan sangat malu. Nayla urung membuka jilbab dan kembali duduk dengan tenang. Sementara Dokter Bayu bangkit menghampiri Bu Narmi. “Perut ibu sakit, jadi bolak balik ke kamar mandi. Ibu pikir Rayhan sudah tidur, ternyata kamu dan Nayla malah di sini.” Dokter Bayu menghela napas panjang sambil mengacak rambutnya. “Ya … gimana gak ke sini. Rayhan tidur di kamarku, tuh.” Dokter Bayu mengatakannya dengan kesal dan wajah cemberut. Bu Narmi hanya mengulum senyum sambil melirik putra serta menantunya. “Ya udah, biar Ibu bangunin Rayhan.” Bu Narmi bersiap pergi, tapi Dokter Bayu mencegahnya. “Gak usah, Bu. Aku tidur di sini saja. Ibu dan Bapak temani Rayhan di kamar sebelah.” Bu Narmi menghela napas panjang sambil mengangguk. “Ya udah kalau gitu. Nanti biar Ibu kasih tahu bapakmu nanti takutnya main nyelonong masuk saja.” Dokter Bayu hanya tersenyum sementara Nayla sudah menunduk
“Saya … saya tidak mau bohong, Dok,” lirih Nayla.Tentu saja mendengar jawaban Nayla membuat Dokter Bayu kebingungan. Kedua alisnya terangkat dengan mata penuh tanya. Perlahan Dokter Bayu menggelengkan kepala.“Aku gak tahu maksud kalimatmu. Kamu gak mau bohong soal apa?”Nayla membisu, tidak mau menjawab malah menundukkan kepala semakin dalam. Dokter Bayu makin bingung melihat sikap Nayla. Kemudian perlahan dan sangat lirih terdengar kalimat dari bibir Nayla.“Saya … juga suka Dokter.”Seketika Dokter Bayu terkesima mendengar jawaban Nayla. Matanya tampak berkaca-kaca dengan sebuah senyum yang terukir indah di wajahnya. Ia terdiam menatap gadis manis berhijab di depannya ini. Ingin rasanya ia mendekat dan menarik Nayla dalam pelukannya, tapi tentu saja itu tidak mungkin.“TANTE!!!” tiba-tiba Rayhan datang dan berhambur memeluk Nayla.Nayla tersenyum dan balas memeluknya. D
“Kejutan? Kejutan apaan?” gumam Dokter Bayu.Ia baru saja usai membaca pesan yang dikirimkan Rayhan padanya. Dokter Bayu tidak mau banyak berpikir. Ia menyimpan ponselnya dan kembali sibuk memeriksa pasien. Hari ini kebetulan pasiennya sangat banyak sehingga membuat Rayhan menunggu sedikit lama.Pukul sembilan malam saat Dokter Bayu keluar dari ruang praktek. Ia melihat Rayhan sedang duduk di ruang tunggu sambil memainkan ponselnya.“Kamu tidak membuat ulah, kan?” tanya Dokter Bayu.Rayhan mendongak, menghentikan bermain. Matanya membola menatap Dokter Bayu yang berdiri di depannya.“Aku dari tadi duduk diam di sini, Pa. Memangnya mau bikin ulah apa?”Dokter Bayu mengendikkan bahu sambil menggelengkan kepala.“Gak tahu. Kan biasanya kamu yang suka bertingkah aneh.”Rayhan tersenyum cengengesan sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.“Aku kan udah gede, Pa. Lagian
“Aku serius, Nay,” ucap Dokter Bayu.Nayla hanya diam membisu dengan mata tak berkedip menatap dokter tampan di depannya ini. Sudah kedua kali ini, Dokter Bayu mengutarakan perasaannya secara terang-terangan ke Nayla. Tentu saja semua yang pria ganteng itu lakukan membuat Nayla kebingungan.Perlahan Nayla memalingkan wajah dan menunduk. Lagi-lagi dia dihadapkan pada situasi yang sulit. Bahunya naik turun mengikuti ritme aliran udara di dadanya. Entah apa yang ada di benaknya, yang pasti semua ucapan yang baru saja keluar dari bibir pria di depannya ini benar-benar membuat Nayla kelimpungan sendiri.“Nay … kamu gak mau menjawab pertanyaanku?” Kembali Dokter Bayu bersuara.Nayla menghela napas pelan kemudian mendongak membuat mata mereka saling bertemu untuk beberapa saat.“Saya … saya harus menjawab apa, Dok?” lirih Nayla bersuara.Dokter Bayu tersenyum, matanya sayu menatap gadis manis di depannya ini.“Inginku kamu jawab ‘iya’, tapi tentu saja aku tidak bisa memaksamu. Semua tergantun
“Tunangan? Jadi kamu sudah bisa move on, Nay?” seru Fery.Nayla langsung tersenyum dan mengangguk dengan mantap. Ia bahkan kini menoleh ke Dokter Bayu yang berdiri di sebelahnya. Menatap pria tampan itu dengan lembut kemudian membalas senyumannya.“Iya. Bukannya masa lalu memang harus dilupakan. Benar kan, Sayang?” Nayla langsung bersuara dengan menambahkan panggilan ‘Sayang’ untuk Dokter Bayu.Dokter Bayu hanya mengulum senyum mendengar Nayla memanggilnya ‘Sayang’. Ia langsung mengangguk, menjawab pernyataan Nayla. Sementara Fery hanya diam. Wajahnya merah padam dengan rahang yang menegang.“Mbak, ini pesanannya sudah selesai.” Suara abang penjual roti bakar menginterupsi interaksi mereka.Nayla langsung menerimanya sementara Dokter Bayu menyelesaikan transaksinya.“Aku duluan, ya!!” pamit Nayla ke Fery.Ia berjalan beiringan dengan Dokter Bayu dan langsung masuk
“Maaf, Dok … ,” lirih Nayla.Dokter Bayu tersenyum, matanya tampak berbinar menatap wajah manis di depannya. Sementara Nayla terlihat gelisah dan tidak tenang. Sesekali Nayla menggigit bibir bawahnya menunjukkan jika dirinya sedang gugup.“Aku tahu, pasti kamu berpikir ini terlalu cepat. Namun, bagiku tidak, Nay.”Nayla belum menjawab dan kini memutuskan menunduk saja. Ia tidak kuasa menatap mata pria di depannya ini yang bersinar penuh cinta. Selain itu kini dia sibuk menata gemuruh di dadanya yang tiada menentu. Kalau saja dia tidak menggantikan tugas Sari pasti Nayla tidak akan bersama Dokter Bayu saat ini.“Aku akan menunggu jawabannya, tidak perlu cepat. Kamu punya banyak waktu, kok.”Nayla masih membisu dengan wajah yang terus menunduk dan tangan yang sibuk meremas ujung hijabnya. Mimpi apa dia semalam hingga tiba-tiba ditembak Dokter Bayu seperti ini.Dokter Bayu menghela napas panjang sambil
“Ray, kamu apa-apaan, sih?” sergah Dokter Bayu.Rayhan tampak marah dan menatap papanya dengan mata meradang. Dokter Bayu mengabaikan tatapannya. Pria tampan itu langsung menarik tangan Rayhan dan mengajaknya berlalu pergi.“Pa … aku gak mau pulang. Aku mau Mama Nayla. Aku mau Mama, Pa!!” ronta Rayhan.Ia bahkan tidak mau menggerakkan kakinya sedikit pun. Dokter Bayu berdecak sambil menatap Rayhan dengan tajam.“Ray, gak semua permintaanmu bisa dipenuhi Papa. Ingat itu!!”Rayhan mendengkus sambil menatap papanya dengan kesal.“Aku gak masalah saat Papa gak jadi ama Tante Widuri. Namun, Papa duluan yang menyimpan foto Tante Nayla di rumah. Itu artinya Papa memang suka Tante Nayla, kan?”Dokter Bayu menghela napas, menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah Rayhan.“Kamu masih kecil dan gak tahu apa yang dirasakan orang dewasa. Jadi, Papa harap jangan bahas ini lagi!!&
“HEH!!!” seru Nayla tertahan.Rayhan hanya mengulum senyum melihat reaksi Nayla yang kebingungan. Gadis berhijab dengan wajah manis itu hanya diam sambil mengerjapkan mata menatap Rayhan dengan heran.“Kayaknya kamu salah, deh. Saya … saya bukan pacar Dokter Bayu.” Akhirnya Nayla bersuara usai terdiam beberapa saat.Rayhan sontak menggeleng dengan cepat.“Enggak. Saya gak salah. Papa punya foto Tante dan nama Tante Nayla, kan?”Nayla dengan refleks menganggukkan kepala. Untung saja suasana ruang tunggu sudah sepi pengunjung sehingga interaksi mereka berdua tidak menarik perhatian orang.“Kapan Tante mau jadi Mama saya? Nanti saya akan bilang ke Papa, ya?”Kedua alis Nayla sontak terangkat dengan mata yang melihat bingung.“Rayhan … pasti salah. Pasti itu bukan Nayla saya, kan? Saya dan Dokter Bayu hanya ---”“Iya, saya tahu. Orang dewasa sela
“Sudah siap untuk melakukan prosedur selanjutnya?” tanya Dokter Bayu.Setelah enam minggu berselang, Nina dan Ivan datang kembali ke tempat Dokter Bayu. Sesuai jadwal, kali ini akan dilakukan pengambilan sel telur dan sel sperma. Nina dan Ivan hanya menghela napas panjang sambil menganggukkan kepala.“Iya, sudah, Dok,” ucap keduanya dengan mantap.“Oke, mari ikut saya!!”Dokter Bayu berdiri bersama seorang suster yang membimbing Nina ke ruang periksa. Sementara Ivan sudah berada di ruangan berbeda. Tidak membutuhkan waktu lama untuk proses tersebut. Bahkan setelahnya Ivan dan Nina bisa kembali melakukan aktivitas seperti biasa.“Apa hanya itu saja, Dok?” tanya Ivan.“Iya. Nanti jika sudah siap, saya akan kembali menghubungi Anda dan melakukan proses selanjutnya. Semoga saja untuk percobaan pertama ini langsung berhasil.”Ivan dan Nina manggut-manggut mendengarnya. Kemudian me