“NINA!! Kamu apain Luna?” tiba-tiba Ivan berseru.
Nina terkejut melihat ke arah Ivan yang berjalan menghampirinya. Selama ini Ivan belum tahu kalau hubungan Fabian dan Nina hanya sandiwara saja. Pantas saja dia terlihat kesal saat melihat Nina kali ini.
“Aku gak ngapa-ngapain. Luna tiba-tiba pingsan. Ayo, bantu aku, Van!!”
Ivan berdecak kemudian berjalan mendekat dan membantu Nina membopong Luna. Mereka langsung membawa Luna ke ruang IGD. Ada beberapa suster yang sudah membantu Luna dan kini terlihat seorang dokter sedang memeriksanya.
“Awas saja kalau sampai kenapa-napa. Aku akan nuntut kamu duluan!!” ancam Ivan.
Nina melotot melihat ke arah Ivan.
“Jangan ngaco kamu, Van. Aku gak bersalah dalam hal ini. Bisa jadi Luna memang sudah sakit sejak tadi hanya tidak mengatakannya. Lagipula saat bertemu di ruang prakteknya dia sudah terlihat pucat.”
Ivan terdiam, sibuk mengolah udara sambil mel
“Iya, Mbak. Aku hamil,” jawab Luna.Widuri langsung tersenyum sambil menarik Luna masuk dalam pelukannya. Dua wanita cantik itu saling berpelukan membagi kebahagiaan.“Apa Fabian tahu tentang hal ini?” Widuri mengurai pelukan dan bertanya ke Luna.Luna tersenyum sambil menggelengkan kepala.“Belum. Dia belum tahu. Fabian … “ Kemudian Luna menceritakan apa yang Fabian katakan tadi pagi saat melihat keadaannya.Widuri hanya menganggukkan kepala berulang sambil mengulum senyum. Dia senang mendengar kabar bahagia ini. Entah mengapa setiap mendengar kabar kehamilan, ingatan Widuri selalu kembali saat dia sedang hamil anak pertama dulu. Lalu tanpa diminta semua kenangan yang menorehkan luka kembali terlintas.Widuri menghela napas panjang sambil menghalau kenangan sedih saat awal menikah dengan Emran dulu. Kini dia sudah bahagia dan berharap Luna juga mendapatkan kebahagiaan sama seperti dirinya.&
“Fabian, ada apa?” tanya Luna.Luna terkejut saat melihat Fabian masuk ke dalam kamar dengan tergesa dan menatap Luna penuh amarah. Fabian hanya diam melajukan kursi rodanya mendekat ke arah Luna, kemudian terdiam lama.Luna yang sedang duduk di tepi kasur hanya diam melihat ulah Fabian. Banyak hal yang membuat Fabian bersikap aneh seperti kali ini dan Luna tidak mau memikirkan satu pun alasannya.“Harusnya aku yang bertanya seperti itu padamu, Luna.” Fabian bersuara dan terdengar sangat lembut berbanding terbalik dengan mata kecilnya yang melebar seakan sedang marah.Luna tampak bingung dan menatap Fabian penuh tanya. Fabian menarik napas berulang sambil mengulurkan tangan menyentuh tangan Luna.“Ivan baru bilang kalau kamu pingsan saat di rumah sakit tadi. Ada apa? Kamu sakit?”Luna menghela napas lega saat mendengar pertanyaan Fabian. Ia pikir suaminya akan marah, tapi nyatanya tidak. Luna tersenyum sam
“Sayang … orang ini yang menuduhku menabrak. Padahal jelas-jelas dia yang memotong jalan di depanku,” urai Nina.Ia berkata seperti itu ke Ivan dengan nada lembut mendayu. Ivan hanya diam menatap Nina dengan bingung. Nina mengabaikan reaksi bingung Ivan dan kembali bersuara.“Kita panggil polisi saja jika dia tidak mau tanggung jawab. Bukankah Papa masih berdinas di Polda sampai sekarang.”Lagi-lagi Ivan terlihat bingung dengan ucapan Nina. Berulang kali Nina memberi isyarat ke Ivan lewat matanya. Sepertinya Nina tidak mau sandiwaranya ketahuan oleh pria yang beradu mulut dengannya tadi. Ivan melihat isyarat Nina dan menganggukkan kepala dengan cepat.“Iya, iya, benar. Papa masih tugas di sana. Sekarang terserah Anda mau bertanggung jawab atau saya membawanya ke pihak berwajib.”Kini Ivan malah ikut-ikutan bersandiwara dengan Nina. Nina mengulum senyum sambil menyikut siku Ivan. Ivan hanya diam dan pura-pu
“Kamu sedang meminta orang sekarat yang mau mati menjadi pacarmu? Kamu gak salah?” ucap Ivan.Nina tersenyum menggelengkan kepala sambil menatap Ivan dengan tajam.“Setidaknya ada yang menemani di saat-saat terakhirmu, kan.”Ivan terdiam, menyipitkan mata melihat ke arah Nina. Dulu saat Tante Ana mengenalkannya dengan Nina, Ivan tidak tertarik sama sekali. Ia pikir Nina orang yang membosankan dan sedikit kaku. Dia tidak menduga kalau Nina seasyik ini. Bahkan sifatnya berbeda dengan Luna.“Malah bengong? Udah, terima saja tawaranku. Jarang ada orang yang mau pacaran dengan orang sekarat kayak kamu.”Ivan tersenyum sekilas sambil menggelengkan kepala. Kemudian Ivan teringat dengan ulah Nina dengan Fabian. Ivan masih beranggapan jika ada sesuatu antara Nina dan Fabian. Dia tidak ingin gara-gara Nina, Luna jadi sedih.“Oke, baik. Janji kamu akan menjauhi Fabian dan tidak mengusik pernikahan mereka?”Nina tersenyum mengulurkan jari kelingkingnya kemudian menautkan ke jari Ivan. Ivan hanya
“Usia kandungannya memang sudah jalan 10 minggu dan berkembang dengan semestinya,” ucap Dokter Risna.Dia adalah dokter kandungan yang memeriksa Luna kali ini. Fabian langsung tersenyum sambil menggenggam tangan Luna. Sesekali mereka melihat ke arah monitor, memperhatikan gerakan si Jabang Bayi yang masih sebesar biji kacang.“Saya akan memberi vitamin dan obat penguat kandungan serta pereda mual pusingnya.”Dokter Risna meneruskan kalimatnya sambil berjalan menuju kursi kerja. Luna tersenyum sambil menoleh ke arah Fabian. Ada seorang suster yang membantu Luna bersiap kali ini. Selang beberapa saat mereka sudah keluar dari ruang periksa.Ivan yang menunggu dengan gelisah langsung berhambur menyambut mereka.“Gimana? Apa si Kecil baik-baik saja? Gak ada masalah?” Ivan bertanya dengan khawatir.Luna yang mendorong kursi roda Fabian hanya tersenyum sambil menganggukkan kepala.“Iya, semua baik-ba
“Tante Karin,” cicit Luna lirih.Wanita paruh baya yang tak lain Tante Karin memang sengaja datang menghadiri ulang tahun Alif kali ini. Luna tidak menduga akan bertemu dengan Tante Karin di sini. Ia selalu serba salah jika bertemu wanita paruh baya tersebut.“Baguslah kalau kamu masih ingat siapa aku. Itu artinya kamu masih ingat dosa yang dilakukan ibumu padaku!!!” Kembali Tante Karin bersuara dan terdengar lebih sinis dari tadi.Luna hanya diam, mengatupkan rapat bibirnya sambil menundukkan kepala. Luna tahu, jika masih ada benci yang tumbuh di dada Tante Karin. Ibunya memang bersalah saat itu. Ibunya yang menjadi orang ketiga di rumah tangga Tante Karin dan Pak Wongso. Hingga akhirnya Pak Wongso lebih memilih ibunya dari pada Tante Karin.Mereka bercerai saat Mawar masih SD kalau tidak salah. Sejak saat itu, Tante Karin membatasi hubungan dua putrinya dengan ayah kandungnya. Bahkan Mawar selalu sembunyi-sembunyi jika menemui ayahnya saat itu.P
“APA!!! Kamu pelaku poliandri?” seru Tante Karin.Jelas saja Tante Karin terkejut saat mendengar jawaban dari Fabian dan Ivan yang berbarengan tadi. Luna hanya diam sambil meringis melihat ulah Ivan dan Fabian. Dia bingung ingin berterima kasih atau mau marah.Sementara Emran hanya menghela napas panjang sambil berulang menepuk jidatnya. Widuri yang berdiri di sampingnya hanya menggelengkan kepala melihat ulah konyol tiga pria di depannya ini.“Jadi ibumu pelakor dan kamu poliandri?” Tante Karin kembali bersuara.“HAH!!! Poliandri itu apaan?” Ivan tanpa sadar spontan menyahut.Emran mendelik ke arahnya. Ia sedang kesal dan bertambah jengkel dengan sikap Ivan yang konyol. Fabian yang duduk di kursi roda tampak berulang berdecak sambil menyenggol tangan Ivan. Ivan melihat reaksi Fabian.“Ada apa? Aku bener-bener gak tahu poliandri itu apa. Yang aku tahu itu poligami.”Emran kini berdecak melirik dengan kesal ke arah Ivan.“Udah, Van. Kamu diem aja. Jangan ngomong dulu!!”Ivan malah kesal
“Panjang umurnya, panjang umurnya kami ucapkan.”Sayup-sayup suara lagu khas perayaan ulang tahun terdengar dari arah taman samping. Semua yang berada di ruang tengah menoleh ke arah sana. Kemudian tampak Dandy berjalan masuk ke ruang tengah.“Loh, kalian di sini semua? Buruan keluar!! Alif mau tiup lilin, tuh!!” seru Dandy.Emran dan Widuri tersenyum kemudian berjalan keluar lebih dulu. Ivan mendorong kursi roda Fabian berjalan mengikuti Dandy sementara Luna dan Tante Karin yang paling belakang.Selang beberapa saat mereka sudah berkumpul di taman samping menghabiskan waktu bersama. Banyak tawa dan wajah penuh ceria yang tampak hadir di sana. Luna duduk bersebelahan dengan Tante Karin. Sudah tidak terlihat ketegangan di antara mereka lagi. Bahkan sesekali Tante Karin mengelus lembut perut Luna.“Berapa usia kandunganmu, Luna?” tanya Tante Karin.“Jalan tiga bulan, Tante.”Tante Karin ma
“IBU!! Kok di sini?” tanya Dokter Bayu. Untung saja mereka menjeda interaksi mesra, kalau tidak pasti Nayla akan sangat malu. Nayla urung membuka jilbab dan kembali duduk dengan tenang. Sementara Dokter Bayu bangkit menghampiri Bu Narmi. “Perut ibu sakit, jadi bolak balik ke kamar mandi. Ibu pikir Rayhan sudah tidur, ternyata kamu dan Nayla malah di sini.” Dokter Bayu menghela napas panjang sambil mengacak rambutnya. “Ya … gimana gak ke sini. Rayhan tidur di kamarku, tuh.” Dokter Bayu mengatakannya dengan kesal dan wajah cemberut. Bu Narmi hanya mengulum senyum sambil melirik putra serta menantunya. “Ya udah, biar Ibu bangunin Rayhan.” Bu Narmi bersiap pergi, tapi Dokter Bayu mencegahnya. “Gak usah, Bu. Aku tidur di sini saja. Ibu dan Bapak temani Rayhan di kamar sebelah.” Bu Narmi menghela napas panjang sambil mengangguk. “Ya udah kalau gitu. Nanti biar Ibu kasih tahu bapakmu nanti takutnya main nyelonong masuk saja.” Dokter Bayu hanya tersenyum sementara Nayla sudah menunduk
“Saya … saya tidak mau bohong, Dok,” lirih Nayla.Tentu saja mendengar jawaban Nayla membuat Dokter Bayu kebingungan. Kedua alisnya terangkat dengan mata penuh tanya. Perlahan Dokter Bayu menggelengkan kepala.“Aku gak tahu maksud kalimatmu. Kamu gak mau bohong soal apa?”Nayla membisu, tidak mau menjawab malah menundukkan kepala semakin dalam. Dokter Bayu makin bingung melihat sikap Nayla. Kemudian perlahan dan sangat lirih terdengar kalimat dari bibir Nayla.“Saya … juga suka Dokter.”Seketika Dokter Bayu terkesima mendengar jawaban Nayla. Matanya tampak berkaca-kaca dengan sebuah senyum yang terukir indah di wajahnya. Ia terdiam menatap gadis manis berhijab di depannya ini. Ingin rasanya ia mendekat dan menarik Nayla dalam pelukannya, tapi tentu saja itu tidak mungkin.“TANTE!!!” tiba-tiba Rayhan datang dan berhambur memeluk Nayla.Nayla tersenyum dan balas memeluknya. D
“Kejutan? Kejutan apaan?” gumam Dokter Bayu.Ia baru saja usai membaca pesan yang dikirimkan Rayhan padanya. Dokter Bayu tidak mau banyak berpikir. Ia menyimpan ponselnya dan kembali sibuk memeriksa pasien. Hari ini kebetulan pasiennya sangat banyak sehingga membuat Rayhan menunggu sedikit lama.Pukul sembilan malam saat Dokter Bayu keluar dari ruang praktek. Ia melihat Rayhan sedang duduk di ruang tunggu sambil memainkan ponselnya.“Kamu tidak membuat ulah, kan?” tanya Dokter Bayu.Rayhan mendongak, menghentikan bermain. Matanya membola menatap Dokter Bayu yang berdiri di depannya.“Aku dari tadi duduk diam di sini, Pa. Memangnya mau bikin ulah apa?”Dokter Bayu mengendikkan bahu sambil menggelengkan kepala.“Gak tahu. Kan biasanya kamu yang suka bertingkah aneh.”Rayhan tersenyum cengengesan sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.“Aku kan udah gede, Pa. Lagian
“Aku serius, Nay,” ucap Dokter Bayu.Nayla hanya diam membisu dengan mata tak berkedip menatap dokter tampan di depannya ini. Sudah kedua kali ini, Dokter Bayu mengutarakan perasaannya secara terang-terangan ke Nayla. Tentu saja semua yang pria ganteng itu lakukan membuat Nayla kebingungan.Perlahan Nayla memalingkan wajah dan menunduk. Lagi-lagi dia dihadapkan pada situasi yang sulit. Bahunya naik turun mengikuti ritme aliran udara di dadanya. Entah apa yang ada di benaknya, yang pasti semua ucapan yang baru saja keluar dari bibir pria di depannya ini benar-benar membuat Nayla kelimpungan sendiri.“Nay … kamu gak mau menjawab pertanyaanku?” Kembali Dokter Bayu bersuara.Nayla menghela napas pelan kemudian mendongak membuat mata mereka saling bertemu untuk beberapa saat.“Saya … saya harus menjawab apa, Dok?” lirih Nayla bersuara.Dokter Bayu tersenyum, matanya sayu menatap gadis manis di depannya ini.“Inginku kamu jawab ‘iya’, tapi tentu saja aku tidak bisa memaksamu. Semua tergantun
“Tunangan? Jadi kamu sudah bisa move on, Nay?” seru Fery.Nayla langsung tersenyum dan mengangguk dengan mantap. Ia bahkan kini menoleh ke Dokter Bayu yang berdiri di sebelahnya. Menatap pria tampan itu dengan lembut kemudian membalas senyumannya.“Iya. Bukannya masa lalu memang harus dilupakan. Benar kan, Sayang?” Nayla langsung bersuara dengan menambahkan panggilan ‘Sayang’ untuk Dokter Bayu.Dokter Bayu hanya mengulum senyum mendengar Nayla memanggilnya ‘Sayang’. Ia langsung mengangguk, menjawab pernyataan Nayla. Sementara Fery hanya diam. Wajahnya merah padam dengan rahang yang menegang.“Mbak, ini pesanannya sudah selesai.” Suara abang penjual roti bakar menginterupsi interaksi mereka.Nayla langsung menerimanya sementara Dokter Bayu menyelesaikan transaksinya.“Aku duluan, ya!!” pamit Nayla ke Fery.Ia berjalan beiringan dengan Dokter Bayu dan langsung masuk
“Maaf, Dok … ,” lirih Nayla.Dokter Bayu tersenyum, matanya tampak berbinar menatap wajah manis di depannya. Sementara Nayla terlihat gelisah dan tidak tenang. Sesekali Nayla menggigit bibir bawahnya menunjukkan jika dirinya sedang gugup.“Aku tahu, pasti kamu berpikir ini terlalu cepat. Namun, bagiku tidak, Nay.”Nayla belum menjawab dan kini memutuskan menunduk saja. Ia tidak kuasa menatap mata pria di depannya ini yang bersinar penuh cinta. Selain itu kini dia sibuk menata gemuruh di dadanya yang tiada menentu. Kalau saja dia tidak menggantikan tugas Sari pasti Nayla tidak akan bersama Dokter Bayu saat ini.“Aku akan menunggu jawabannya, tidak perlu cepat. Kamu punya banyak waktu, kok.”Nayla masih membisu dengan wajah yang terus menunduk dan tangan yang sibuk meremas ujung hijabnya. Mimpi apa dia semalam hingga tiba-tiba ditembak Dokter Bayu seperti ini.Dokter Bayu menghela napas panjang sambil
“Ray, kamu apa-apaan, sih?” sergah Dokter Bayu.Rayhan tampak marah dan menatap papanya dengan mata meradang. Dokter Bayu mengabaikan tatapannya. Pria tampan itu langsung menarik tangan Rayhan dan mengajaknya berlalu pergi.“Pa … aku gak mau pulang. Aku mau Mama Nayla. Aku mau Mama, Pa!!” ronta Rayhan.Ia bahkan tidak mau menggerakkan kakinya sedikit pun. Dokter Bayu berdecak sambil menatap Rayhan dengan tajam.“Ray, gak semua permintaanmu bisa dipenuhi Papa. Ingat itu!!”Rayhan mendengkus sambil menatap papanya dengan kesal.“Aku gak masalah saat Papa gak jadi ama Tante Widuri. Namun, Papa duluan yang menyimpan foto Tante Nayla di rumah. Itu artinya Papa memang suka Tante Nayla, kan?”Dokter Bayu menghela napas, menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah Rayhan.“Kamu masih kecil dan gak tahu apa yang dirasakan orang dewasa. Jadi, Papa harap jangan bahas ini lagi!!&
“HEH!!!” seru Nayla tertahan.Rayhan hanya mengulum senyum melihat reaksi Nayla yang kebingungan. Gadis berhijab dengan wajah manis itu hanya diam sambil mengerjapkan mata menatap Rayhan dengan heran.“Kayaknya kamu salah, deh. Saya … saya bukan pacar Dokter Bayu.” Akhirnya Nayla bersuara usai terdiam beberapa saat.Rayhan sontak menggeleng dengan cepat.“Enggak. Saya gak salah. Papa punya foto Tante dan nama Tante Nayla, kan?”Nayla dengan refleks menganggukkan kepala. Untung saja suasana ruang tunggu sudah sepi pengunjung sehingga interaksi mereka berdua tidak menarik perhatian orang.“Kapan Tante mau jadi Mama saya? Nanti saya akan bilang ke Papa, ya?”Kedua alis Nayla sontak terangkat dengan mata yang melihat bingung.“Rayhan … pasti salah. Pasti itu bukan Nayla saya, kan? Saya dan Dokter Bayu hanya ---”“Iya, saya tahu. Orang dewasa sela
“Sudah siap untuk melakukan prosedur selanjutnya?” tanya Dokter Bayu.Setelah enam minggu berselang, Nina dan Ivan datang kembali ke tempat Dokter Bayu. Sesuai jadwal, kali ini akan dilakukan pengambilan sel telur dan sel sperma. Nina dan Ivan hanya menghela napas panjang sambil menganggukkan kepala.“Iya, sudah, Dok,” ucap keduanya dengan mantap.“Oke, mari ikut saya!!”Dokter Bayu berdiri bersama seorang suster yang membimbing Nina ke ruang periksa. Sementara Ivan sudah berada di ruangan berbeda. Tidak membutuhkan waktu lama untuk proses tersebut. Bahkan setelahnya Ivan dan Nina bisa kembali melakukan aktivitas seperti biasa.“Apa hanya itu saja, Dok?” tanya Ivan.“Iya. Nanti jika sudah siap, saya akan kembali menghubungi Anda dan melakukan proses selanjutnya. Semoga saja untuk percobaan pertama ini langsung berhasil.”Ivan dan Nina manggut-manggut mendengarnya. Kemudian me