Bab 117"Kerja saya kan berpindah-pindah, Bu, dari satu hotel ke hotel lainnya. Di sini saja saya hanya menangani selama 6 bulan dan setelah itu mungkin dipindahkan ke hotel lain oleh manajemen pusat." Akmal memberi alasan yang cukup masuk akal. "Beliau sudah tua dan bagi beliau akan sangat merepotkan jika harus tinggal berpindah-pindah, makanya beliau lebih senang ditinggal di rumah. Tapi alhamdulillah para tetangga sangat perhatian dengan ibu saya.""Tapi setiap kali cuti, Pak Zay pasti pulang, kan?""Tentu saja. Di samping menjumpai ibunda saya, juga menemui istri dan anak saya....""Pak Zay sudah punya istri dan anak? Saya pikir tadi masih single." Kartika terlihat terkejut. Namun tampaknya dia berusaha untuk bersikap biasa saja. Dia langsung menyendok nasi dan mulai menyuap ke mulutnya."Betul, Bu. Saya sudah punya istri dan anak, bahkan istri saya tengah hamil anak kedua kami," jelas Akmal ramah. Dia sama sekali tidak merasa diinterogasi karena Kartika memang sangat ramah kepad
Bab 118"Mas mandul?" tebak Risty tanpa tedeng aling-aling. Tanpa membuka map itu pun Risty sudah bisa menebak. Tidak mungkin Rio memberikan map itu jika organ reproduksinya tidak bermasalah, bukan?Perempuan itu menatap horor Rio yang hanya bisa menunduk, terlihat jelas pria itu seperti menyembunyikan kepedihannya."Aku pernah mengalami kecelakaan. Ya, meskipun sekarang aku bisa berjalan dengan normal, bahkan untuk urusan ranjang pun aku masih mampu, tetapi itu tidak berlaku pada kemampuanku untuk menghasilkan keturunan. Ada organ di dalam sistem reproduksiku yang rusak, tidak bisa diperbaiki lagi walaupun dengan jalan operasi." Dia kembali duduk di pinggir ranjang dan menutupi tubuhnya dengan selimut."Terkadang aku merasa jika pernikahan kita ini sebagai jalan dari Tuhan agar aku bisa mengecap manisnya hidup berumah tangga. Siapalah yang mau dengan lelaki mandul sepertiku." Rio menelan ludahnya. Pandangannya menerawang. "Aku merasa pernikahan kita ini bukan sekedar untuk menyembuhk
Bab 119 "Dari caramu berpakaian," jawab Reza tanpa melepas tatapannya pada Dira. Begitu intensnya ia menatap gadis itu, membuat wajahnya terlihat memerah. Mungkin Dira merasa risih atau malu. "Kamu masih mengenakan pakaian yang sopan, berbeda dengan para wanita yang biasa di klub itu. Mereka berpakaian, tapi sebenarnya tidak, bahkan terkadang mereka hanya menutup organ vital tubuhnya, yang mungkin sebentar lagi akan terbuka semuanya jika ada pria yang menginginkan," lanjut Reza, masih dengan tatapan intensnya. Meski terasa amat dalam, tapi terasa begitu meneduhkan. "Penampilan itu bisa menipu. Bahkan orang bisa saja menggunakan hijab dan cadar sekalipun, tetapi hatinya busuk," sarkas gadis itu acuh. "Iya, boleh jadi begitu. Tapi dari gerak-gerikmu tak bisa berbohong. Kelihatan banget jika kamu masih pemula dalam urusan minuman keras. Minum sedikit saja sudah bikin kamu mabuk." "Sok tahu kamu!" Gadis itu mencoba untuk duduk walaupun masih pusing. "Terserah apa anggapan kam
Bab 120Hanina benar-benar tidak habis pikir, kenapa Dira sampai senekat itu. Bermabuk-mabukan bukanlah solusi, karena jalan keluar yang sesungguhnya adalah berdamai dengan takdir.Ditinggal menikah oleh orang yang dicintai masih belum apa-apa jika dibandingkan dengan dirinya yang dinikahi dan dijadikan sebagai istri kedua tanpa sepengetahuan dirinya. Tidak sedikit orang yang menganggapnya sebagai pelakor tanpa pernah menelaah fakta yang sesungguhnya terjadi."Dira, Dira, kamu ada-ada saja," keluh Hanina, lalu ia meletakkan ponsel saat melihat putrinya menggeliat. Aqila sudah bangun dan langsung memeluknya."Mom," lirih bocah kecil itu."Princess Mommy sudah bangun, hmm...? Kita mandi sekarang ya?" ajak Hanina yang tanpa menunggu persetujuan Aqila langsung membawa tubuh mungil itu menuju kamar mandi.Hari ini dia harus berangkat lebih pagi dengan membawa Aqila juga, jadi mereka harus bersiap lebih cepat. Tas perlengkapan Aqila selalu siap. Hanina tidak perlu repot-repot menyiapkannya,
Bab 121Ternyata setiap orang memiliki ceritanya masing-masing. Hanina merasa bersyukur bisa bertemu dengan Deswita, meskipun dulu mereka tidak terlalu akrab, karena Deswita lebih senang berkumpul dengan gengnya yang sesama anak orang kaya. Hanina tidak menyangka demikian malang nasib Deswita sekarang, berbanding jauh dengan keadaannya dulu.Mereka menghabiskan waktu selama dua jam untuk bertukar cerita, kemudian Hanina memesankan taksi agar perempuan itu bisa pulang. Tidak mungkin dia mengantar Deswita, karena Hanina harus bekerja. Pagi ini pekerjaannya sangat banyak, karena sekalian harus menggantikan tugas Dira.Hanina sudah menelpon gadis itu dan Dira berjanji akan datang siang ini. Semoga saja benar, karena Hanina sudah sangat kewalahan. Belum lagi tingkah pola Aqila yang membuatnya pusing."Aku mau resign, Kak." Adira menyerahkan sebuah amplop berwarna coklat pada Hanina. Saat itu perempuan muda itu tengah makan siang di ruang kerjanya sambil menyuapi Aqila."Resign?!" Hanina se
Bab 122Hanina langsung mengiyakan. Rere mengambil alih stroller Aqila, kemudian mendorongnya, melanjutkan perjalanan menuju parkiran mobil."Maaf ya, udah merepotkan kamu." Perempuan itu berbasa-basi setelah mereka berada di mobil. Hanina mulai mengarahkan mobilnya sehingga kini kendaraan roda empat itu berhasil keluar dari area parkir mall besar ini."Nggak apa-apa, Rere. Kan kebetulan apartemen kamu searah dengan rumah kami," sahut Hanina tanpa menoleh. Dia fokus menjalankan kendaraannya, karena lalu lintas memang cukup ramai berhubung ini adalah jam pulang kerja."Iya, Nin. Sudah dua hari mobilku masuk bengkel. Biasa, mobil tua suka ngadat." Tawa Rere terdengar."Kenapa tidak naik taksi saja?" telisik Hanina."Karena aku ingin nebeng sama kamu," jawab terus terang wanita muda itu. "Itu bukan alasan, Re." Hanina mulai memperlambat laju kendaraannya karena Rere tampaknya memang sedang ingin mengobrol dengannya."Iya, Na." Wanita itu menghembuskan nafas. "Akhir-akhir ini kamu jaran
Bab 123"Panjang sekali ceritanya, Pak. Tapi saya akan menceritakan pelan-pelan." Ibu kandung Akmal itu menarik nafas. Dia terlihat ragu dan sedikit takut. Namun kentara jika apa yang ingin disampaikannya kali ini sungguh penting. Ibu mertuanya Hanina ini bisa dihitung dengan jari berkunjung ke rumah ini. Hubungan antar besan yang tidak terlalu baik seolah penjaga jarak yang amat berpengaruh."Tidak apa-apa, Ma. Jika memang memungkinkan diceritakan saja," sahut Hanina.Masih dengan memangku Aqila, bibir perempuan itu bergerak-gerak, namun tak sepatah kata pun terdengar. Akhirnya ia memutuskan untuk mengambil beberapa map dari dalam tas yang di bawanya, lalu ia letakkan di atas meja yang berada tepat di depan tempat duduknya ini."Dulu, sebelum kami menikah, ayahnya Akmal memiliki seorang kekasih. Mereka sebenarnya hampir saja menikah, tapi sayang, ketika acara pernikahan tinggal menghitung hari, tiba-tiba saja kekasih ayahnya Akmal itu kabur." "Mereka tidak jadi menikah, Ma?" sela Ha
Bab 124Satu hal yang tidak Hanina tahu jika sebenarnya perempuan paruh baya itu menanggung sakitnya seorang diri. Bukan hanya Hanina, tetapi juga putra semata wayangnya, Akmal. Akmal hanya tahu jika belakangan ini ibunya seringkali sakit-sakitan. Namun dia tidak mengetahui secara detail penyakit yang diderita oleh ibunya, karena Sari selalu menyimpan rapat kenyataan jika dia menderita sakit yang cukup parah.Sempat terbersit kekhawatiran jika seandainya ia tiada, maka ia meninggalkan Akmal dalam kondisi yang masih belum bisa menyatukan rumah tangganya, dan semua ini karena idenya yang ingin sekali merasakan kesejahteraan hidup selayaknya keluarga pengusaha, satu hal yang tidak bisa disanggupi oleh ayahnya Akmal semasa hidupnya. Sari benar-benar menyesal. Seandainya waktu itu dia tidak menekan menantunya untuk memberikan uang bulanan yang sangat besar, tentu kejadiannya tidak begini, dan seharusnya pula dia berkewajiban untuk memaksa Akmal menceraikan istri pertamanya sebelum menikahi
Bab 147Dia dan Akmal memang sudah punya cerita masing-masing dan tidak saling mencampuri urusan satu sama lain. Sungguh, Risty hanya sekedar menanyakan. Entah bagaimana penampakan pria itu sekarang. Tentunya lebih keren dibandingkan saat bersamanya dulu. Bersama dengan Hanina, Akmal memperoleh banyak pencapaian dalam hidup dan finansial. Perempuan itu memejamkan mata, lalu segera membuka matanya kembali saat merasakan tepukan lembut di bahunya."Ini bukan saat yang tepat untuk bernostalgia. Kita ke sini datang sebagai tamu, bukan sebagai mantan." Rio mengucapkan dengan cara berbisik, lantaran tak ingin Aqila mendengar ucapannya.Risty mengangguk. Akhirnya dia memilih untuk menggendong Aqila dan membawa balita cantik itu ke halaman rumah.Di halaman ada bangku dan ayunan. Risty membawa Aqila duduk di ayunan yang berbahan besi kuat itu."Aqila mau adik apa? Cowok atau cewek?" tanya Risty sembari menggerakkan batang besi penyangga ayunan, sehingga tempat duduknya sekarang bergerak-ger
Bab 146Rio berusaha mengabaikan pertanyaan sang istri dan memilih untuk berdiri. Dia mengajak Risty menuju ruang makan, meski sebenarnya dia tidak sedang mood. Ternyata semua makanan sudah terhidang rapi di meja makan. Pria itu tersenyum tipis, lalu menarik kursi dan duduk."Mari kita makan, Ris. Terima kasih sudah memasak.""Bukan aku, tapi si Bibik," balas Risty seraya mengambil piring dan mengisinya dengan nasi dan lauk pauk, lalu menyerahkannya kepada Rio."Tapi kamu hebat, bisa belajar dalam waktu singkat. Aku senang melihat perubahan kamu. Kamu terlihat bersungguh-sungguh untuk membuat diri kamu menjadi lebih baik," pujinya tulus."Tapi tetap saja aku sudah punya cacat. Masa laluku bersama dengan mas Akmal sungguh buruk. Aku bahkan pernah menjadi wanita panggilan untuk menyambung hidup." Risty mengulas senyuman, meski sebenarnya ia masih menyimpan berbagai tanya di benaknya soal sikap Rio semenjak mereka pulang dari acara pernikahannya Dira dan Reza."Setiap manusia punya cac
Bab 145"Nggak usah didengerin ucapan Mama. Kalau memang kamu nggak siap melakukan hubungan suami istri, aku bisa menunggu kok. Santai aja," ujar Reza menenangkan Dira yang terlihat amat gelisah saat mereka dalam perjalanan pulang dari bandara untuk mengantar rombongan ibunya."Bukan soal itu. Aku hanya kepikiran soal kita kedepannya. Aku nggak menyangka kita bisa melangkah sejauh ini," keluh gadis itu."Tidak apa-apa. Memang sudah jalannya begitu, yang penting kamu bisa menjalaninya dengan baik.""Aku nggak yakin." Tatapan Dira nampak kosong, meski di sepanjang perjalanan, nampak gedung-gedung pencakar langit berdiri dengan angkuh, mengalahkan rumah-rumah petak di sekitarnya."Aku akan berusaha dengan sungguh-sungguh untuk meyakinkan kamu. Yang penting kamu nggak menentang jalan yang sudah kita ambil. Ini hanya soal waktu, jadi kita kembalikan saja kepada waktu.""Kamu begitu yakin, Reza?""Tidak ada hal yang membuatku tidak yakin, karena kurasa yang ada dalam dirimu itu bukan cinta,
Bab 144Luka itu kembali terbuka. Dia tidak menyangka Rio dan Risty muncul, padahal gadis itu merasa tidak pernah mengundang kedua orang itu. Lalu siapa yang mengundangnya? Apakah Hanina?!"Kamu harus hadapi semuanya, Dira. Jangan menghindar terus, karena terapi yang paling baik buat kesembuhan hati kamu adalah bertemu dengan orang yang membuat hatimu sakit, walaupun mungkin di awal perih. Tapi percayalah, lukamu akan segera sembuh." Hanina berbisik, lalu dia segera undur dua langkah dan memberikan kesempatan kepada para undangan yang lain untuk bersalaman dengan Dira dan Reza.Lagi-lagi gadis itu mengangguk dan anggukan itu pula yang ia tunjukkan saat harus bersalaman dengan Rio dan Risty. Pria di samping Dira itu hanya tersenyum kecut manakala akhirnya bisa bertemu langsung dengan pria yang sangat dicintai oleh Dira.Tanpa sadar dia membandingkan antara ia dengan Rio. Dilihat dari postur tubuh, dia tidak kalah dengan Rio, sama-sama gagah dan tampan, meski tentu struktur wajah mereka
Bab 143Aroma bunga yang semerbak tercium dengan jelas dari bunga-bunga yang disebarkan ke seluruh penjuru ruangan ini. Ruangan tamu di rumahnya yang tidak terlalu luas kini disulap menjadi ruangan tempat akad nikah. Pagi ini Reza akan melafalkan akad nikah atas nama dirinya. Dira menghela nafas. Akhirnya dia menyerah. Dia bersedia menikah dengan Reza, meski tak ada sedikitpun rasa cintanya pada pria itu. Sebelumnya dia selalu berkhayal jika ia akan menikah satu kali seumur hidup dengan orang yang ia cintai, tapi kenapa semuanya menjadi begini? Seolah takdir memaksanya untuk menerima pria itu. Dia hanya menganggap Reza sebagai teman, malaikat penolongnya. Seandainya tidak ada Reza waktu itu, maka barangkali dia sudah rusak oleh kecerobohan yang dibuatnya sendiri.Klub malam bukanlah tempat yang baik untuk gadis perawan seperti dirinya."Sebentar lagi mempelai pria akan datang, Nak. Jangan cemberut terus," tegur ibunya yang saat itu sudah masuk ke dalam ruangan dan kini duduk di sis
Bab 142Hanina celingak-celinguk, sembari mengerjapkan matanya berulang kali. Bayangan yang sempat dilihatnya barusan kini telah lenyap, padahal dia merasa belum lima menit ia memalingkan wajah ke arah lain, tapi sosok yang ia kenali sebagai Reza dan Dira itu sudah lenyap dari pandangannya."Kenapa, Sayang?" Akmal yang tengah menggendong Aqila itu pun memasang tampang keheranan menyaksikan tingkah istrinya. Dia memang lebih fokus pada putrinya dan mengabaikan sekelilingnya."Aku seperti melihat Dira di sini, tapi ke mana ya? Barusan dia ada di situ," tunjuk Hanina pada sebuah bangku dan meja yang memang barusan digunakan oleh Dira dan Reza untuk duduk bersantai sembari menikmati udara dan pemandangan laut."Nggak ada tuh." Akmal menatap arah yang ditunjuk oleh istrinya. Hanya ada sepasang kursi dan meja yang di atasnya dua batok kelapa dan bungkus cemilan."Tapi aku seperti melihat mereka. Aku masih mengenali Dira dan...." Perempuan itu menyanggah."Kok bilang mereka? Memangnya kamu l
Bab 141Reza tertegun sejenak. Namun sedetik kemudian dia sudah bisa menguasai diri. "Tenanglah, aku nggak sakit kok. Kamu nggak perlu segitunya." Pria itu menarik tubuh Dira hingga akhirnya gadis itu kembali bangkit dan terduduk di ranjang.Keduanya kini duduk berhadapan dan lagi-lagi Reza menangkup kedua pipi gadis itu."Aku akan tanggung jawab. Sejak awal aku yang membawamu kemari, meskipun itu atas keinginanmu sendiri. Jika memang kedua orang tua kita mengira kita tinggal bersama atau melakukan hal yang tidak benar, aku akan berusaha meluruskannya. Kamu tenang aja." Reza meyakinkan."Bagaimana aku bisa tenang jika sudah seperti ini? Bagaimana kalau nanti kita dipaksa untuk menikah? Aku nggak mau kita terlibat dengan urusan pribadi. Lagi pula kita nggak ada hubungan apa-apa, masa iya dipaksakan gitu? Aku nggak mau tahu, kamu harus pastikan mereka bisa mengerti bahwa kita nggak ada hubungan apa-apa. Aku ke sini cuma untuk kerja," oceh Dira panjang lebar."Ya, tinggal nikah saja." P
Bab 140Dengan berat hati, Adira memberikan alamatnya di Jakarta. Kali ini ia tidak punya pilihan, meski perasaannya semakin resah, tak bisa membayangkan bagaimana tanggapan orang tuanya nanti seandainya ibunya Reza benar-benar datang ke rumahnya.Dia tidak kuasa membayangkan kemarahan bapak dan ibunya.Namun menilik dari sikap yang ditunjukkan oleh perempuan tua itu, sepertinya Kartika memang serius. Ibunda dari Reza itu kini sedang menelpon seseorang dan terlibat pembicaraan serius. Bahkan Dira mendengar namanya dan Reza disebut-sebut dalam pembicaraan mereka.Apa yang sedang direncanakan oleh perempuan tua itu?"Baiklah. Sekarang Mama pamit dulu. Dan ingat Reza, jangan macam-macam dengan anak gadis orang selama kamu belum bisa menghalalkannya," pesan Kartika yang iringi anggukan oleh Reza."Iya Ma. Jangan khawatir. Aku bukan pria rendahan yang suka mengumbar hawa nafsuku pada sembarang wanita," sahut Reza menimpali."Kecuali pada gadis ini, kan?" balas Kartika seraya mendengus. Seb
Bab 139Perempuan bernama Kartika itu menatap Adira dari atas ke bawah. "Jadi kamu yang bernama Adira?!""Iya Tante, maaf." Adira seolah kehabisan kata-kata. Dia tidak menyangka jika ternyata ibunda dari Reza ini pagi-pagi sudah sampai di apartemen ini. Apakah Sonya sudah bercerita tentang mereka? Mengapa Sonya bercerita secepat itu? Padahal mereka baru saja bertemu kemarin siang. "Sudah berapa lama kalian tinggal bersama?" Tentu saja perempuan tua itu langsung mengira hal yang tidak-tidak. Saat ini Adira hanya mengenakan celana pendek dengan atasan gaun tanpa lengan, itu pun dari bahan kain yang cenderung menerawang. Adira pun tidak menyadari penampilannya ini karena saat keluar kamar pertama kali usai bangun tidur, dia lupa jika di apartemennya ini ada seorang lelaki dewasa yang berpotensi akan terangsang saat melihat penampilannya yang seksi.Gadis itu meringis saat menyadari penampilannya. Pantas saja tatapan Reza saat ia memasak tadi begitu berbeda. "Ya Tuhan, aku terlihat beg