Bab 121Ternyata setiap orang memiliki ceritanya masing-masing. Hanina merasa bersyukur bisa bertemu dengan Deswita, meskipun dulu mereka tidak terlalu akrab, karena Deswita lebih senang berkumpul dengan gengnya yang sesama anak orang kaya. Hanina tidak menyangka demikian malang nasib Deswita sekarang, berbanding jauh dengan keadaannya dulu.Mereka menghabiskan waktu selama dua jam untuk bertukar cerita, kemudian Hanina memesankan taksi agar perempuan itu bisa pulang. Tidak mungkin dia mengantar Deswita, karena Hanina harus bekerja. Pagi ini pekerjaannya sangat banyak, karena sekalian harus menggantikan tugas Dira.Hanina sudah menelpon gadis itu dan Dira berjanji akan datang siang ini. Semoga saja benar, karena Hanina sudah sangat kewalahan. Belum lagi tingkah pola Aqila yang membuatnya pusing."Aku mau resign, Kak." Adira menyerahkan sebuah amplop berwarna coklat pada Hanina. Saat itu perempuan muda itu tengah makan siang di ruang kerjanya sambil menyuapi Aqila."Resign?!" Hanina se
Bab 122Hanina langsung mengiyakan. Rere mengambil alih stroller Aqila, kemudian mendorongnya, melanjutkan perjalanan menuju parkiran mobil."Maaf ya, udah merepotkan kamu." Perempuan itu berbasa-basi setelah mereka berada di mobil. Hanina mulai mengarahkan mobilnya sehingga kini kendaraan roda empat itu berhasil keluar dari area parkir mall besar ini."Nggak apa-apa, Rere. Kan kebetulan apartemen kamu searah dengan rumah kami," sahut Hanina tanpa menoleh. Dia fokus menjalankan kendaraannya, karena lalu lintas memang cukup ramai berhubung ini adalah jam pulang kerja."Iya, Nin. Sudah dua hari mobilku masuk bengkel. Biasa, mobil tua suka ngadat." Tawa Rere terdengar."Kenapa tidak naik taksi saja?" telisik Hanina."Karena aku ingin nebeng sama kamu," jawab terus terang wanita muda itu. "Itu bukan alasan, Re." Hanina mulai memperlambat laju kendaraannya karena Rere tampaknya memang sedang ingin mengobrol dengannya."Iya, Na." Wanita itu menghembuskan nafas. "Akhir-akhir ini kamu jaran
Bab 123"Panjang sekali ceritanya, Pak. Tapi saya akan menceritakan pelan-pelan." Ibu kandung Akmal itu menarik nafas. Dia terlihat ragu dan sedikit takut. Namun kentara jika apa yang ingin disampaikannya kali ini sungguh penting. Ibu mertuanya Hanina ini bisa dihitung dengan jari berkunjung ke rumah ini. Hubungan antar besan yang tidak terlalu baik seolah penjaga jarak yang amat berpengaruh."Tidak apa-apa, Ma. Jika memang memungkinkan diceritakan saja," sahut Hanina.Masih dengan memangku Aqila, bibir perempuan itu bergerak-gerak, namun tak sepatah kata pun terdengar. Akhirnya ia memutuskan untuk mengambil beberapa map dari dalam tas yang di bawanya, lalu ia letakkan di atas meja yang berada tepat di depan tempat duduknya ini."Dulu, sebelum kami menikah, ayahnya Akmal memiliki seorang kekasih. Mereka sebenarnya hampir saja menikah, tapi sayang, ketika acara pernikahan tinggal menghitung hari, tiba-tiba saja kekasih ayahnya Akmal itu kabur." "Mereka tidak jadi menikah, Ma?" sela Ha
Bab 124Satu hal yang tidak Hanina tahu jika sebenarnya perempuan paruh baya itu menanggung sakitnya seorang diri. Bukan hanya Hanina, tetapi juga putra semata wayangnya, Akmal. Akmal hanya tahu jika belakangan ini ibunya seringkali sakit-sakitan. Namun dia tidak mengetahui secara detail penyakit yang diderita oleh ibunya, karena Sari selalu menyimpan rapat kenyataan jika dia menderita sakit yang cukup parah.Sempat terbersit kekhawatiran jika seandainya ia tiada, maka ia meninggalkan Akmal dalam kondisi yang masih belum bisa menyatukan rumah tangganya, dan semua ini karena idenya yang ingin sekali merasakan kesejahteraan hidup selayaknya keluarga pengusaha, satu hal yang tidak bisa disanggupi oleh ayahnya Akmal semasa hidupnya. Sari benar-benar menyesal. Seandainya waktu itu dia tidak menekan menantunya untuk memberikan uang bulanan yang sangat besar, tentu kejadiannya tidak begini, dan seharusnya pula dia berkewajiban untuk memaksa Akmal menceraikan istri pertamanya sebelum menikahi
Bab 125Ponselnya berdering, tanda ada notifikasi pesan yang masuk. Namun Akmal tidak menanggapi. Dia yang masih sibuk sarapan lebih memilih fokus dengan sarapannya, apalagi dia sarapan di area restoran hotel ini. Ini jelas bukan sarapan biasa, tetapi sekaligus menjalankan tugasnya untuk memantau keadaan di tempat ini. Belum terlalu banyak pengunjung yang ada di restoran ini, padahal sudah hampir sebulan dia bertugas di hotel ini.Pria itu menghela nafas. Banjarmasin memang berbeda dengan Bali. Tidak bisa menafikan jika bisnis perhotelan memang lebih ramai di Bali ketimbang daerah ini. Namun Akmal harus tetap optimis.Dia yakin suatu saat hotel ini akan ramai pengunjung. Nama besar Aston merupakan jaminan kualitas pelayanan yang diberikan untuk semua pengunjung.Hari-harinya disibukkan dengan banyak pertemuan. Dia menjalin kerjasama dengan beberapa platform, biro perjalanan wisata baik wisata biasa maupun wisata religi. Di samping itu, tim marketing gencar mengadakan promosi besar-bes
Bab 126"Jadi begini, Pak Akmal. Saya bersama rombongan sepakat untuk booking penuh semua ruangan yang ada di Kartika Hotel, kecuali untuk ruangan tipe presiden suite dan suite junior. Tentunya pengecualian ini atas dasar pertimbangan biaya, karena seperti yang kita tahu dua tipe ruangan itu merupakan yang termahal." Pria itu terlihat mengangkat wajah sembari menyunggingkan senyuman. "Mohon dimaklumi ya, Pak.""Tidak masalah, Ustadz." Akmal balas tersenyum. "Tapi kapan jadwal kedatangan Ustadz Zubair bersama rombongan?" Akmal melirik Dahlia yang nampak serius di hadapan laptop, siap mencatat poin-poin penting yang akan disampaikan oleh klien mereka."Menurut jadwal, saya bersama rombongan akan datang tanggal 21 bulan depan dan kembali ke Riau tanggal 24. Jadi kami akan check in pada di tanggal 21, 22, 23, dan check out pagi hari di tanggal 24 bulan depan," jelas ustadz Zubair."Berarti 4 hari ya, Ustadz?" Akmal memastikan."Betul, Pak.""Baik, Ustadz. Akan segera kami siapkan segala
Bab 1Istri Kedua "Duh, airnya habis," keluh Hanina saat menemukan kardus berisi air mineral yang ternyata telah kosong. Dia lupa menyuruh suaminya membawakan kardus berisi air mineral yang baru ke kamar ini. Sebagai ibu menyusui, tentu Hanina begitu mudah haus, apalagi sekarang ia baru saja selesai menyusui Aqila, bayinya yang baru berusia sebulan."Ya sudah, sebaiknya aku ambil minum di dapur saja, sekalian menemui Mas Akmal. Pasti dia sedang berada di ruang tengah. Dia harus tahu jika air minum di kamar sudah habis." Hanina memutuskan. Dia merasa sangat yakin, pasalnya Akmal memang seringkali bekerja di tengah malam, menghabiskan waktu sampai subuh di belakang meja kerjanya di ruang tengah.Wanita muda itu menguap beberapa kali, lalu berjalan perlahan menuju pintu. Sebelum menutup pintu kamar, Hanina menoleh ke arah box bayi dan terlihat bayi kecilnya aman di tempat tidurnya. Aqila kembali terlelap setelah kenyang minum ASI dari ibunya.Perlahan kaki Hanina menapaki anak-anak ta
Bab 2Bukan Ibu Pengganti "Aku istri kedua?!" Hanina tergagap. Perlu usaha lebih keras untuk membuat tubuhnya tegak. Tubuhnya serasa remuk dan sakit, terutama bagian perutnya. Hanina meringis atas rasa perih di area jahitan bekas luka caesarnya.Tampaknya Akmal melupakan satu hal, jika Hanina melahirkan Aqila melewati operasi caesar. Apa yang membuat pria ini begitu emosi, hingga sampai hati membuat tubuhnya terbanting ke lantai? Apakah benar apa yang dikatakan oleh Akmal jika dia hanyalah istri kedua?Tapi jika benar Akmal hanya berbohong, tidak mungkin ia semarah ini kepadanya.Air mata Hanina kembali menderas."Kamu nggak perlu menangis, Hanina. Kenyataannya kamu itu hanyalah istri kedua. Dan kamu harus bisa menerima kenyataan ini. Aku ini adalah istri pertama Mas Akmal dan aku lebih berhak daripada kamu!" Risty berujar sinis tanpa beranjak dari tempat duduknya semula."Sudah saatnya kamu mengetahui kenyataan ini. Aku sudah bosan menjadi istri pertama yang disembunyikan. Aku juga
Bab 126"Jadi begini, Pak Akmal. Saya bersama rombongan sepakat untuk booking penuh semua ruangan yang ada di Kartika Hotel, kecuali untuk ruangan tipe presiden suite dan suite junior. Tentunya pengecualian ini atas dasar pertimbangan biaya, karena seperti yang kita tahu dua tipe ruangan itu merupakan yang termahal." Pria itu terlihat mengangkat wajah sembari menyunggingkan senyuman. "Mohon dimaklumi ya, Pak.""Tidak masalah, Ustadz." Akmal balas tersenyum. "Tapi kapan jadwal kedatangan Ustadz Zubair bersama rombongan?" Akmal melirik Dahlia yang nampak serius di hadapan laptop, siap mencatat poin-poin penting yang akan disampaikan oleh klien mereka."Menurut jadwal, saya bersama rombongan akan datang tanggal 21 bulan depan dan kembali ke Riau tanggal 24. Jadi kami akan check in pada di tanggal 21, 22, 23, dan check out pagi hari di tanggal 24 bulan depan," jelas ustadz Zubair."Berarti 4 hari ya, Ustadz?" Akmal memastikan."Betul, Pak.""Baik, Ustadz. Akan segera kami siapkan segala
Bab 125Ponselnya berdering, tanda ada notifikasi pesan yang masuk. Namun Akmal tidak menanggapi. Dia yang masih sibuk sarapan lebih memilih fokus dengan sarapannya, apalagi dia sarapan di area restoran hotel ini. Ini jelas bukan sarapan biasa, tetapi sekaligus menjalankan tugasnya untuk memantau keadaan di tempat ini. Belum terlalu banyak pengunjung yang ada di restoran ini, padahal sudah hampir sebulan dia bertugas di hotel ini.Pria itu menghela nafas. Banjarmasin memang berbeda dengan Bali. Tidak bisa menafikan jika bisnis perhotelan memang lebih ramai di Bali ketimbang daerah ini. Namun Akmal harus tetap optimis.Dia yakin suatu saat hotel ini akan ramai pengunjung. Nama besar Aston merupakan jaminan kualitas pelayanan yang diberikan untuk semua pengunjung.Hari-harinya disibukkan dengan banyak pertemuan. Dia menjalin kerjasama dengan beberapa platform, biro perjalanan wisata baik wisata biasa maupun wisata religi. Di samping itu, tim marketing gencar mengadakan promosi besar-bes
Bab 124Satu hal yang tidak Hanina tahu jika sebenarnya perempuan paruh baya itu menanggung sakitnya seorang diri. Bukan hanya Hanina, tetapi juga putra semata wayangnya, Akmal. Akmal hanya tahu jika belakangan ini ibunya seringkali sakit-sakitan. Namun dia tidak mengetahui secara detail penyakit yang diderita oleh ibunya, karena Sari selalu menyimpan rapat kenyataan jika dia menderita sakit yang cukup parah.Sempat terbersit kekhawatiran jika seandainya ia tiada, maka ia meninggalkan Akmal dalam kondisi yang masih belum bisa menyatukan rumah tangganya, dan semua ini karena idenya yang ingin sekali merasakan kesejahteraan hidup selayaknya keluarga pengusaha, satu hal yang tidak bisa disanggupi oleh ayahnya Akmal semasa hidupnya. Sari benar-benar menyesal. Seandainya waktu itu dia tidak menekan menantunya untuk memberikan uang bulanan yang sangat besar, tentu kejadiannya tidak begini, dan seharusnya pula dia berkewajiban untuk memaksa Akmal menceraikan istri pertamanya sebelum menikahi
Bab 123"Panjang sekali ceritanya, Pak. Tapi saya akan menceritakan pelan-pelan." Ibu kandung Akmal itu menarik nafas. Dia terlihat ragu dan sedikit takut. Namun kentara jika apa yang ingin disampaikannya kali ini sungguh penting. Ibu mertuanya Hanina ini bisa dihitung dengan jari berkunjung ke rumah ini. Hubungan antar besan yang tidak terlalu baik seolah penjaga jarak yang amat berpengaruh."Tidak apa-apa, Ma. Jika memang memungkinkan diceritakan saja," sahut Hanina.Masih dengan memangku Aqila, bibir perempuan itu bergerak-gerak, namun tak sepatah kata pun terdengar. Akhirnya ia memutuskan untuk mengambil beberapa map dari dalam tas yang di bawanya, lalu ia letakkan di atas meja yang berada tepat di depan tempat duduknya ini."Dulu, sebelum kami menikah, ayahnya Akmal memiliki seorang kekasih. Mereka sebenarnya hampir saja menikah, tapi sayang, ketika acara pernikahan tinggal menghitung hari, tiba-tiba saja kekasih ayahnya Akmal itu kabur." "Mereka tidak jadi menikah, Ma?" sela Ha
Bab 122Hanina langsung mengiyakan. Rere mengambil alih stroller Aqila, kemudian mendorongnya, melanjutkan perjalanan menuju parkiran mobil."Maaf ya, udah merepotkan kamu." Perempuan itu berbasa-basi setelah mereka berada di mobil. Hanina mulai mengarahkan mobilnya sehingga kini kendaraan roda empat itu berhasil keluar dari area parkir mall besar ini."Nggak apa-apa, Rere. Kan kebetulan apartemen kamu searah dengan rumah kami," sahut Hanina tanpa menoleh. Dia fokus menjalankan kendaraannya, karena lalu lintas memang cukup ramai berhubung ini adalah jam pulang kerja."Iya, Nin. Sudah dua hari mobilku masuk bengkel. Biasa, mobil tua suka ngadat." Tawa Rere terdengar."Kenapa tidak naik taksi saja?" telisik Hanina."Karena aku ingin nebeng sama kamu," jawab terus terang wanita muda itu. "Itu bukan alasan, Re." Hanina mulai memperlambat laju kendaraannya karena Rere tampaknya memang sedang ingin mengobrol dengannya."Iya, Na." Wanita itu menghembuskan nafas. "Akhir-akhir ini kamu jaran
Bab 121Ternyata setiap orang memiliki ceritanya masing-masing. Hanina merasa bersyukur bisa bertemu dengan Deswita, meskipun dulu mereka tidak terlalu akrab, karena Deswita lebih senang berkumpul dengan gengnya yang sesama anak orang kaya. Hanina tidak menyangka demikian malang nasib Deswita sekarang, berbanding jauh dengan keadaannya dulu.Mereka menghabiskan waktu selama dua jam untuk bertukar cerita, kemudian Hanina memesankan taksi agar perempuan itu bisa pulang. Tidak mungkin dia mengantar Deswita, karena Hanina harus bekerja. Pagi ini pekerjaannya sangat banyak, karena sekalian harus menggantikan tugas Dira.Hanina sudah menelpon gadis itu dan Dira berjanji akan datang siang ini. Semoga saja benar, karena Hanina sudah sangat kewalahan. Belum lagi tingkah pola Aqila yang membuatnya pusing."Aku mau resign, Kak." Adira menyerahkan sebuah amplop berwarna coklat pada Hanina. Saat itu perempuan muda itu tengah makan siang di ruang kerjanya sambil menyuapi Aqila."Resign?!" Hanina se
Bab 120Hanina benar-benar tidak habis pikir, kenapa Dira sampai senekat itu. Bermabuk-mabukan bukanlah solusi, karena jalan keluar yang sesungguhnya adalah berdamai dengan takdir.Ditinggal menikah oleh orang yang dicintai masih belum apa-apa jika dibandingkan dengan dirinya yang dinikahi dan dijadikan sebagai istri kedua tanpa sepengetahuan dirinya. Tidak sedikit orang yang menganggapnya sebagai pelakor tanpa pernah menelaah fakta yang sesungguhnya terjadi."Dira, Dira, kamu ada-ada saja," keluh Hanina, lalu ia meletakkan ponsel saat melihat putrinya menggeliat. Aqila sudah bangun dan langsung memeluknya."Mom," lirih bocah kecil itu."Princess Mommy sudah bangun, hmm...? Kita mandi sekarang ya?" ajak Hanina yang tanpa menunggu persetujuan Aqila langsung membawa tubuh mungil itu menuju kamar mandi.Hari ini dia harus berangkat lebih pagi dengan membawa Aqila juga, jadi mereka harus bersiap lebih cepat. Tas perlengkapan Aqila selalu siap. Hanina tidak perlu repot-repot menyiapkannya,
Bab 119 "Dari caramu berpakaian," jawab Reza tanpa melepas tatapannya pada Dira. Begitu intensnya ia menatap gadis itu, membuat wajahnya terlihat memerah. Mungkin Dira merasa risih atau malu. "Kamu masih mengenakan pakaian yang sopan, berbeda dengan para wanita yang biasa di klub itu. Mereka berpakaian, tapi sebenarnya tidak, bahkan terkadang mereka hanya menutup organ vital tubuhnya, yang mungkin sebentar lagi akan terbuka semuanya jika ada pria yang menginginkan," lanjut Reza, masih dengan tatapan intensnya. Meski terasa amat dalam, tapi terasa begitu meneduhkan. "Penampilan itu bisa menipu. Bahkan orang bisa saja menggunakan hijab dan cadar sekalipun, tetapi hatinya busuk," sarkas gadis itu acuh. "Iya, boleh jadi begitu. Tapi dari gerak-gerikmu tak bisa berbohong. Kelihatan banget jika kamu masih pemula dalam urusan minuman keras. Minum sedikit saja sudah bikin kamu mabuk." "Sok tahu kamu!" Gadis itu mencoba untuk duduk walaupun masih pusing. "Terserah apa anggapan kam
Bab 118"Mas mandul?" tebak Risty tanpa tedeng aling-aling. Tanpa membuka map itu pun Risty sudah bisa menebak. Tidak mungkin Rio memberikan map itu jika organ reproduksinya tidak bermasalah, bukan?Perempuan itu menatap horor Rio yang hanya bisa menunduk, terlihat jelas pria itu seperti menyembunyikan kepedihannya."Aku pernah mengalami kecelakaan. Ya, meskipun sekarang aku bisa berjalan dengan normal, bahkan untuk urusan ranjang pun aku masih mampu, tetapi itu tidak berlaku pada kemampuanku untuk menghasilkan keturunan. Ada organ di dalam sistem reproduksiku yang rusak, tidak bisa diperbaiki lagi walaupun dengan jalan operasi." Dia kembali duduk di pinggir ranjang dan menutupi tubuhnya dengan selimut."Terkadang aku merasa jika pernikahan kita ini sebagai jalan dari Tuhan agar aku bisa mengecap manisnya hidup berumah tangga. Siapalah yang mau dengan lelaki mandul sepertiku." Rio menelan ludahnya. Pandangannya menerawang. "Aku merasa pernikahan kita ini bukan sekedar untuk menyembuhk