Di rumah, Lisa menyalakan musik lalu melakukan pembersihan. Semua pakaian kotor dia masukkan ke mesin cuci. Dia melakukan pekerjaan rumah secara perlahan. Sebelum merasa capek, dia langsung duduk dulu sebentar. Bahkan di sela-sela pekerjaan, Lisa kadang berbaring di sofa. Lisa lalu melihat halaman kecil rumahnya, ada sampah daun, dia pun menyapu halaman dalam beberapa menit. Semua pekerjaan rumah dilakukannya dengan telaten walaupun memakan waktu cukup lama.
Setelah beristirahat kembali, dia mengambil beberapa buah mangga dari kulkas dan mengupasnya, dia potong-potong, lalu dilahapnya perlahan sambil menonton televisi. Lisa berupaya menikmati waktunya di rumah, walaupun rasa sedih selalu menggelayuti hatinya. Besok ia akan berencana ke kampus dan membuat permohonan cuti.
Selesai makan siang, Lisa tidur sebentar di kamar. Sorenya dia membuat puding buah. Lalu kemudian mandi. Habis itu, dia bersantai menonton televisi. Lisa mencoba memakan
Mana nih, Readers-nya? (ノ^_^)ノ
"Brengsek!" umpat Revin seraya menendang pintu kamar Lisa.Bruaghh!Bunyinya cukup kuat. Lisa seketika menjauhi pintu kamarnya. Dia benar-benar sangat takut apalagi tadi Revin menyinggung soal perkosaan. Masih segar di ingatan Lisa betapa brutalnya Revin di malam pengantin mereka. Revin memerkosanya waktu itu. Tubuhnya sampai mengalami memar dan sakit semua di malam itu. Bahkan dia mendapat tamparan. Saat ini kandungannya sangat lemah, Lisa jelas tidak mau melayani Revin. Apalagi dokter juga sudah melarangnya.Beberapa saat kemudian, Revin menjauhi kamar Lisa, dia naik tangga menuju ke lantai atas. Jalannya semakin sempoyongan. Lisa masih berdiam menunggu beberapa saat lagi. Setelah itu dia mengintip keluar."Di mana, Kak Revin?" gumamnya pelan.Tidak ada tanda-tanda kehadiran suaminya di sana. Lisa harus keluar untuk ke toilet sekalian mengambil air hangat untuk meminum obat dan
Revin perlahan menarik tengkuk Lisa dan mencium bibirnya dengan lembut. Lisa terdiam merasakan bibir Revin yang bergerak lembut mencicipi mulut manisnya. Begitu pula dengan tangan Revin yang mengusap pelan punggungnya. Karena terus-terusan menghadapi sikap kasar dan dingin dari Revin, rasanya sudah lama sekali Lisa tidak merasakan kelembutan dan kehangatan seperti ini dari Revin. Lisa lambat laun terhanyut dan membalas ciuman lembut dan pelukan hangat itu. Perlahan Revin membalikkan posisi tubuh mereka dan kembali mencium Lisa. Kening Lisa mengerut saat ciuman Revin turun ke lehernya. Ini tidak boleh! Lisa kembali tersadar. "Kak...jangan..." ucap Lisa ragu-ragu, dia takut kemarahan Revin kambuh. Tetapi ternyata suaminya itu sudah tidak bergerak. "Kak?" panggilnya. Tidak ada jawaban, sementara wajah Revin masih terbenam di ceruk leher istrinya itu. Lisa perlahan mendoron
Di kamar mandi, Revin merasa tidak enak hati. Keningnya mengerut. Sebenarnya Lisa tadi berpura-pura atau tidak? Setelah menyikat giginya, Revin tidak langsung mandi, dia memutuskan keluar dari toilet untuk melihat Lisa. Ketika keluar, ternyata ia tidak mendapati Lisa di sana."Sialan, ternyata dia cuma pura-pura," gumamnya geram. Revin pun kembali ke dalam toilet dengan kesal hati.Sementara itu, Lisa muntah-muntah di toilet bawah. Wajahnya pucat sekali. Lutut, siku dan dagunya sakit, tapi terpaksa dia harus memaksakan diri untuk buru-buru turun daripada nanti ia muntah dan mengotori lantai kamar Revin, Revin pasti akan menendangnya! Ya, setelah melewati beberapa waktu, bagi Lisa, Revin adalah pria yang siap menendang dan memukulnya jika dia berbuat salah.Dalam waktu singkat, pemikiran Lisa terhadap Revin tanpa disadari sudah ada yang berubah. Jika sebelumnya Lisa beranggapan bahwa Revin tidak akan mungkin memukulnya, b
Sementara itu, Revin telah menghabiskan rotinya, dan sekarang dia tengah menyesap kopi sambil mengawasi Lisa yang sedari tadi hanya menunduk memandangi roti di piringnya. "Kenapa? Mau pura-pura sakit? Lagi akting tidak selera makan, ya?" ejek Revin, kemudian ia mendengkus. "Kau itu sungguh licik. Dasar, ular betina," ucapnya dingin. Revin teringat kejadian di kamarnya tadi di mana Lisa tampak tidak berdaya bahkan untuk bergerak sedikit saja sepertinya tidak bisa, tetapi baru beberapa menit dia berada di toilet, Lisa sudah menghilang dari kamarnya. Revin merasa nyaris tertipu dibuatnya. Tanpa berucap apa-apa, Lisa memakan roti itu perlahan. Revin kembali mendengkus, dan meminum kopinya, lalu beranjak pergi tanpa permisi. Kali ini Lisa hanya diam membisu menatap punggung Revin yang semakin menjauh dan lalu menghilang di balik pintu. • • Setelah meng
Setelah mendapat izin untuk cuti kuliah, Lisa melajukan mobil menuju kafe miliknya. Ponselnya berbunyi. Dia menepikan mobil lalu mengangkat telepon. Lisa terkejut, ternyata telepon itu berasal dari kantor polisi.Adik tirinya terlibat tawuran antar geng dari dua sekolah. Lisa mendesah, jujur saja ia keberatan pergi ke sana."Aneh sekali," keluhnya dengan suara pelan.Kenapa adik tirinya itu memintanya untuk mengurus masalahnya, kenapa tidak menghubungi ibunya saja? Selama ini pun mereka tidak pernah akrab. Jangankan akrab, berbicara saja nyaris tidak pernah. Tetapi sekarang, adik tirinya itu malah memintanya datang untuk mengeluarkannya dari kantor polisi. Lisa bukannya tidak mau menolong, masalahnya Lisa selalu berupaya sebisa mungkin untuk tidak berurusan dengan hal apa pun yang berkaitan dengan Nafa, ibu tirinya itu.Lisa menghela napas berat. Setelah berpikir beberapa saat akhirnya Lisa memutuska
Lisa terdiam. Bingung harus menanggapi seperti apa. "Ini ponselmu." Damian memberikan ponsel itu ke tangan Lisa, kemudian dia berlari meninggalkan Lisa yang masih mematung. ••• Di kafe, Lisa terus mengerutkan kening. Untuk pertama kalinya dia benar-benar berbicara pada adik tirinya. "Kenapa Damian berucap seperti itu? Apa dia membenci papa dan mama? Sudahlah.. Lagian apa yang bisa kuperbuat?" Lisa memutuskan untuk tidak melapor. Entah keputusannya benar atau salah, Lisa tidak tahu. Yang pasti Damian sudah mengatakan bahwa ia tidak akan terlibat masalah semacam itu lagi. *** Sepulang dari kafe dan berbelanja sebentar, Lisa langsung mandi dan kemudian beristirahat. "Syukurlah keadaan kafe masih lancar seperti biasanya," gumamnya. Selesai beristirahat, Lisa menyempatkan diri untuk m
Jam sembilan malam, Lisa berbaring sedikit meringkuk di ranjang kecilnya. Ekspresi wajahnya tampak datar. Di pikirannya saat ini adalah ucapan Revin tadi yang mengatainya sebagai wanita sampah."Wanita sampah," gumam Lisa pelan. Tanpa dikatai seperti itu pun Lisa sebenarnya sudah selalu merasa bahwa dirinya tidak berharga. Lisa juga sadar bahwa Revin pasti bisa mendapat wanita yang jauh lebih baik dari dirinya. Tetapi Revin menjadi terikat dengan perempuan sepertinya karena janin yang ada di perutnya. Persoalannya adalah Revin berkeyakinan bahwa Lisa telah menjebaknya, padahal Lisa tidak pernah berniat untuk melakukan perbuatan kotor seperti itu. Kehamilannya adalah sesuatu yang tidak direncanakan, tetapi apa pun yang ia katakan untuk membela diri, Revin tetap tidak percaya. Bagi Revin itu hanyalah omong kosong. Di mata Revin, dia adalah pembohong besar dan licik. Dan itu tidak bisa diperbaiki lagi."Ular betina," bisik Lisa. "Sshhh..Sshhh..
"Tampaknya kau tak banyak bicara lagi. Sudah mulai sadar diri ya?" Revin tersenyum mengejek. Lisa diam tak menanggapi. "Kenapa diam? Apa otakmu sudah rusak sehingga tidak bisa menanggapi?" ucap Revin jengkel. Lisa menatap Revin. "Aku ular betina," gumamnya pelan. Alis Revin berkedut. Walau suara Lisa pelan tapi Revin mampu mendengarnya. Dia kemudian mendengkus. "Tanpa tahu malu kau mengakui dirimu ular. Benar-benar perempuan setan." Revin melempar kulit pisang ke atas meja, kemudian beranjak pergi meninggalkan Lisa. Beberapa saat Lisa hanya diam saja memandang ke arah perginya Revin. Kemudian ia melanjutkan makannya perlahan. • • Beberapa hari berlalu dengan hinaan, ejekan dan makian dari Revin. Lisa hanya bisa menutup mulutnya rapat-rapat, menahan rasa sakit di hatinya, menerima saja apa yang Revin katakan. Lisa takut, jika
Lisa tetap diam. Hatinya menjadi semakin resah. Sebaliknya daripada menjawab Revin, Lisa mengalihkan pandangannya pada Damian. Dia seolah menunggu kode, tetapi Damian hanya diam tidak berkata apa-apa.Akhirnya dia beralih menatap Revin. Dengan gugup dan malu dia berkata, "Kau bilang, kau... mengetahui fakta tentangku. A-apa kau juga tahu bahwa dulu sewaktu masa sekolah, aku...aku...pernah mengalami..." Lisa diam tidak mampu melanjutkan kata-katanya. Baginya ini sangat menyedihkan dan memalukan. Tapi tiba-tiba Revin memeluknya membuat Lisa terkejut dan melebarkan mata."Tidak usah kau jelaskan, Sayang! Aku tahu semua hal buruk yang menimpamu. Pria itu sudah mendapatkan ganjarannya di penjara. Begitu pula dengan Nafa, mantan ibu tirimu. Sampai sekarang dia masih berada di sana."Mendengar itu, air mata Lisa tiba-tiba jatuh tanpa bisa ia kendalikan. Tubuhnya bergetar dan dia mulai menangis. Dia sudah tahu tentang nasib pria itu dan nasib Nafa dari Damian, tapi saat pria ini yang mengataka
Revin terdiam mendengar ucapan Damian yang dari sejak lima tahun lalu sebenarnya selalu ia pikirkan. Apakah Lisa memang membencinya? Apakah itu adalah fakta? Sampai sekarang Revin tidak tahu jawabannya. Dan itu benar-benar berhasil membuatnya merasa gelisah dan dihantui. Tapi dia selalu mengingat saat terakhir ia berbicara pada Lisa waktu itu di mana Lisa masih memberikan perhatian pada luka di sudut bibirnya. Jika Lisa memang membencinya, mana mungkin ia masih memperhatikan hal kecil seperti itu sementara dirinya sendiri sudah di ambang maut. Entahlah! Revin tidak bisa menerkanya."Aku akan membuatnya mencintaiku," jawab Revin singkat pada Damian.Damian kembali mendengkus. "Rasa percaya dirimu terlalu tinggi."Revin mengerutkan kening. "Batu pun akan berlubang jika terus terkena tetesan air. Asalkan aku bertekun berbuat sebaik mungkin untuknya, aku akan mendapatkan hasilnya. Tapi itu bisa terjadi kalau kalian semua setuju untuk tidak ikut campur dalam hubungan kami."Damian menghela
"Mereka tidak terlibat," jawab Damian jujur.Revin sedikit lega mendengarnya ternyata orang tuanya masih memiliki hati nurani. Dia lalu bersedekap. "Kau menyembunyikan istriku selama lima tahun, aku bisa saja menjebloskanmu ke dalam penjara, Damian."Damian menatap Revin. "Laporkan saja, tapi Lisa akan semakin membencimu jika kau melakukan itu.""Dia kehilangan ingatan. Dia lupa padaku, jadi dia tidak memiliki rasa benci," tanggap Revin.Damian mendengkus. "Aku bisa membuatnya membencimu.""Apa pun itu akibatnya. Aku tetap bisa melaporkanmu kalau aku berkehendak," tegas Revin dengan kening mengerut tidak suka akan ancaman Damian.Damian geram mendengarnya. "Lima tahun lalu, Lisa mengalami mati suri. Harusnya kau berterima kasih padaku. Kalau bukan karena aku, Lisa pasti sudah dikubur hidup-hidup. Akulah satu-satunya yang menyadari bahwa Lisa masih hidup karena aku terus memperhatikannya dengan seksama dan langsung membawanya ke rumah sakit untuk memastikan penglihatanku!"Mereka semua
Di ruang rawat, mata Revin terus tertuju pada Lisa. Dan tangannya tak pernah lepas menggenggam tangan Lisa. Sesekali ia mengusap kepala Lisa pelan dengan rasa sayang."Lisa, aku mencintaimu," ucapnya dengan wajah sendu. Hingga detik ini ia masih tidak menyangka bahwa Tuhan telah sangat berbaik hati memberinya kesempatan untuk mengungkapkan perasaannya pada Lisa."Aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan yang Kau berikan padaku ini, Tuhan," ucap Revin di dalam hati dengan penuh rasa syukur.Pikirannya terus berputar merancang masa depan apa yang akan ia jalani bersama Lisa dan putri mereka satu-satunya."Itu sangat bagus jika Lisa benar-benar lupa," gumam Revin. "Aku berharap dia bisa lupa untuk selamanya. Bukankah sangat bagus jika Lisa lupa akan hal yang menyakitkan dalam hidupnya? Aku hanya tinggal membuat kenangan yang baru untuk kami. Kenangan-kenangan baru yang indah yang pantas untuk dikenang."Walaupun hilangnya sebagian ingatan Lisa sama dengan melupakan hubungan mereka, bagi R
Revin sungguh terpesona saat melihat Lisa keluar dari area toilet. Melihat Lisa secara langsung seperti ini, membuat keyakinan Revin mencapai seratus persen bahwa wanita yang berfoto dengan Lalisa memang adalah Lisa, istrinya. Lisa benar-benar masih hidup! Rasanya seperti mimpi bagi Revin. Tapi dia sadar betul bahwa ini adalah kenyataan! Kenyataan yang sungguh menakjubkan! Lisa terlihat sangat cantik, sama saat pertama kali ia mengenalnya di masa kuliah dulu. Jika dibandingkan dengan masa itu, Lisa sama sekali tidak ada perubahan.Namun, Revin tentu masih sangat mengingat tubuh kurus Lisa dengan perut membuncit dan penyakitan. Saat itu Lisa terlihat sangat menyedihkan. Tapi kini sosok Lisa yang seperti itu sudah tidak ada. Memikirkan hal ini, jelas sekali menunjukkan bahwa Lisa menjalani hidupnya dengan sangat baik selama lima tahun ini."Ternyata Lisa telah mengambil keputusan yang tepat untuk bersembunyi dariku dan Lalisa," ucap Revin dalam hati dengan patah semangat. Sejujurnya dia
"Ini adalah hari bahagia Damian, aku harus semangat, setidaknya untuk hari ini," ucap Lisa di dalam hati.Ia menatap penampilannya di depan cermin toilet. Cermin itu ukurannya memanjang sehingga beberapa wanita bisa bercermin di cermin yang sama secara bersamaan. Saat ia sibuk memperbaiki penampilannya Lisa pun segera menyadari sesuatu. Di dalam cermin, dia melihat pantulan seorang gadis kecil yang sedang menatapnya dengan intens di belakang. Lisa otomatis berbalik dan menatap si gadis kecil. Dia pun langsung terpesona melihat boneka cantik itu."Hai, kenapa sendirian?" sapa Lisa dengan senyuman lembut."Aku tidak sendiri. Papaku ada di luar menunggu." Lalisa langsung melangkah menghampiri Lisa, mendongak menatapnya dengan mata berbinar."Oh begitu.... Siapa namamu?" tanya Lisa sambil merundukkan punggungnya."Namaku Lalisa. Nama Kakak siapa?""Wah! Nama kita hampir sama. Nama Kakak, Lisa.""Mamaku namanya Lisa juga!" ucap Lalisa."Oh ya?""Iya, tapi sudah meninggal," sambung Lalisa ce
"Entahlah!" jawab Lisa dengan rasa ragu. "Apa aku menulis seperti itu di buku harianku? Aku ingin melihat buku harianku itu.""Kau tidak percaya padaku? Aku berkata jujur.""Pokoknya aku ingin melihatnya. Mana tahu aku bisa mengingat masa beberapa tahunku yang hilang.""Buku hariannya tidak ada padaku. Aku tidak tahu sekarang ada di mana. Mereka yang menyimpannya."Lisa menghela napas. "Apa papa sedih saat aku meninggal?" tanya Lisa penasaran"Tepatnya dia dihantui rasa bersalah. Soalnya apa yang dituduhkan mamaku soalmu sudah terbukti tidak benar. Dia mengira bahwa ia sudah tidak memiliki kesempatan untuk menebus kesalahannya padamu. Mungkin itu juga yang membuatnya terkena stroke saat itu juga."Lisa diam merenungkan ucapan Damian. Papanya menyesal? Jika itu benar, bukankah itu bagus! Bukankah itu hal yang diinginkan Lisa selama ini bahwa papanya akhirnya menyadari kebenaran bahwa ia tidak bersalah?"Harusnya kalau kau melihat papaku menyesal, kau tidak perlu membawaku pergi, Damian.
Damian menolak panggilan itu, tetapi saat dia kembali membuka suara, ponselnya berbunyi kembali."Dari siapa? Angkat saja dulu," ucap Lisa, tapi Damian malah mengaktifkan mode pesawat agar telepon tidak dapat masuk."Yang mau kukatakan lebih penting. Jujur, Lisa. Aku sangat terkejut karena kemarin kau tiba-tiba datang kemari tanpa pemberitahuan.""Kalau kuberitahu, kau pasti tidak mengizinkan. Kau terlalu mengkhawatirkanku, padahal aku baik-baik saja sekarang."Damian menghela napas. Lisa datang ke ibukota, cepat atau lambat rahasia yang ia simpan pasti akan terbongkar. Semalaman Damian memikirkan hal ini. Dan kesimpulan yang ia tarik adalah lebih baik jika dia duluan yang mengungkapkan. Walaupun tentu saja tidak semua langsung ia beritahu. Beberapa hal akan dia tahan dulu. Dia takut mental Lisa malah terganggu kembali jika ia memberitahu semuanya sekaligus. "Berjanjilah kau tidak akan marah. Ada rahasia yang ingin kuberitahu." "Baiklah, apa itu?" jawab Lisa cepat. Lisa yakin sepenuhn
"Bu! Apa Lisa sudah kembali? Aku tidak melihatnya di sana," seru Damian dengan wajah pucat dan napas tidak beraturan begitu sampai ke dalam rumah."Tenanglah, Nak. Dia sudah kembali. Mungkin dia sedang mandi sekarang," jawab ibu tiri Damian dengan suara tenang.Seketika hati Damian melega. Dia pun pergi ke lantai atas untuk menunggui Lisa. Tidak berapa lama Lisa pun muncul. Secara fisik dia sehat. Berat badannya pun normal. Lisa terlihat sangat cantik dan awet muda dengan rambut hitam lurus sebahu. Dia tidak lagi mengecat rambutnya. Dan walaupun usianya sudah 26 tahun, ia terlihat seperti berusia 20 tahun."Lisa!" seru Damian menghampiri Lisa, dan langsung memeluknya."Kenapa pergi ke kuburan sendirian?" tanyanya tak paham setelah melepas pelukannya.Lisa tersenyum. "Kau mengkhawatirkanku?""Kau tahu akulah manusia yang terus mengkhawatirkanmu," lugas Damian dengan bibir cemberut."Kau kan banyak urusan karena akan wisuda, jadi aku memutuskan pergi sendiri. Aku sudah lama sekali tidak