Maaf, pendek ya, Readers. 🙏🙏🙏
"Kenapa kau...." Damian mengatupkan mulutnya menatap rumit Dani yang sedang berbaring di ranjang rumah sakit."Tidak apa-apa. Kecelakaan kecil begitu tidak akan membuat Ayah mati," ucap Dani tersenyum. Padahal kepalanya baru saja mendapat tiga jahitan."Aku tidak menyangka, kau menolong mamaku tanpa berpikir terlebih dahulu. Kau memiliki tiga anak dan seorang istri. Tanggung jawabmu besar. Kalau kau mati bagaimana, Ayah?""Ayah melakukannya karena reflek. Lagian dia itu ibu dari salah satu anakku. Dan kalaupun Ayah mati, Ayah meninggalkan harta kok untuk kalian," jawab Dani apa adanya."Jangan-jangan itu harta simpananmu yang berasal dari mamaku ya?" tanya Damian dengan nada mengejek."Kalau boleh jujur sebagian besar memang iya dari dia.""Pasti itu sangat banyak," tebak Damian."Tergantung siapa yang menilai. Ngomong-ngomong, kalau kau ingin melihat mamamu, pergilah sekarang. Dia pasti membutuhkanmu.""Apa kau tidak heran kenapa mamaku ditangkap polisi? Atau jangan-jangan kau tahu al
"Akui dengan jujur, apa kau tadinya berniat membawa kabur istri orang?""Apa maksudmu?" tanggap Damian tak paham.Revin segera membuka halaman terakhir dari tulisan Lisa di buku harian yang sedari tadi ada di genggamannya. "Lihat ini! Kau berniat membawa kabur Lisa, kan?"Damian membungkuk membaca isi buku itu sekilas. "Ini....buku hariankah?""Ya! Kenapa Lisa menulis seperti itu. Kalian pasti sudah berencana kabur!" seru Revin sambil menahan emosi, tetapi tanpa permisi Damian langsung merampas buku itu dan membaca lebih seksama halaman terakhir dari tulisan Lisa."Kalian membenciku, kan? Aku pun membenci kalian semua! Papa, Mama Nafa, Kak Revin, kalian pasti ingin menyiksa bayiku! Tak akan kubiarkan kalian melakukan itu! Dasar Iblis.""Aku akan menitipkan bayiku pada Damian supaya kalian tidak bisa mengganggu bayiku.""Damian, ayo kita pergi!"Damian terdiam dengan kening mengerut. Dia masih ingat pembicaraan terakhirnya dengan Lisa lewat telepon siang itu saat dia masih berada di sek
"Kenapa kaget begitu? Wajar dong dia membencimu, Papa Mertua," ucap Revin sambil memungut diary itu dengan cepat dari lantai.Hendra menatap Revin dengan wajah muram. "Bukankah di situ namamu juga tertera? Putriku juga membencimu!""Iya, aku tahu," jawab Revin dengan mata meredup."Apa buku itu memang...buku harian milik Lisa?""Iya."Tangan Hendra terulur. "Berikan buku harian itu, aku ingin membaca isi lainnya.""Tidak. Aku tidak bisa memberikannya padamu," lugas Revin.Kening Hendra mengerut. "Kenapa? Aku papanya. Aku berhak mengetahui seluruh isinya.""Aku yang duluan menemukan buku ini. Jadi aku punya hak untuk tidak meminjamkanmu, Papa Mertua!" tegas Revin.Mata Hendra menyipit. "Jangan kau panggil aku 'papa mertua' lagi.""Kenapa? Aku suami Lisa, jadi kau ini siapaku kalau bukan papa mertua?""Bukankah sebelumnya kau sudah berencana untuk bercerai dengan Lisa? Aku juga sangat menginginkan hal itu. Lebih baik kau ceraikan putriku sekarang.""Aku tidak akan menceraikannya," lugas
Saat ini operasi sedang berlangsung. Selain Revin dan kedua orang tuanya, di sana juga ada Hendra dan Salwa.Revin tampak duduk dengan tubuh lunglai. Tadi dia begitu tegang hingga rasanya energinya terkuras semua karena rasa takut. Matanya terus menatap pintu ruang operasi, melihat lampu yang menyala di sana kapan akan padam."Lisa, bertahanlah. Kumohon.... Asalkan kau bisa bertahan, itu saja sudah cukup bagiku," ucap Revin di dalam hati dengan rasa takut yang masih setia menggelutinya. Pikirannya sama sekali tidak berfokus pada bayi mereka. Dia hanya memikirkan Lisa.Berbeda dengan Revin, Alex dan Renata justru berfokus pada keselamatan bayi. Mereka sangat gelisah karena calon cucu mereka akan lahir prematur."Nyonya Salwa, sudah berapa lama Lisa dioperasi?" tanya Damian yang baru saja hadir. Wajahnya terlihat sangat cemas. Tadi dia hendak menjenguk Lisa, tapi seorang perawat memberitahunya bahwa Lisa sedang menjalani operasi karena mengalami pendarahan."Sudah dua jam," jawab Salw
"Mungkin saja dia sibuk," jawab Hendra asal menebak.Sebenarnya Liliana sedang pulang kampung karena adiknya akan melakukan operasi jantung. Ben-lah yang membiayai pengobatan adik Liliana. Sesuai dengan janji, Liliana harus selalu berada di sisi Revin. Dia adalah pilihan Renata dan Alex untuk menjadi pasangan Revin nanti.Di tempat lain, masih di rumah sakit itu, Alex dan Renata sedang membuka surat hasil tes DNA. Revin memang mengatakan bahwa tes DNA tidak perlu dilakukan karena dia yakin pada Lisa. Tapi Alex dan Renata tetap bersikeras untuk melakukannya."Apa itu hasil tes DNA?" tanya Revin sambil melangkah ke arah mereka."Iya," jawab Alex singkat. Dia membuka surat itu dan membacanya dengan raut serius. Tidak lama kemudian, sebuah senyuman terukir di wajahnya. "Ren, bayi itu memang darah daging Revin. Kita benar-benar sudah menjadi kakek dan nenek sekarang!" seru Alex dengan wajah berbinar. Renata dengan cepat merebut surat itu dan membacanya. Wajahnya pun berubah cerah saat meli
Jalanan macat berlangsung tidak lama. Revin pun langsung melajukan mobilnya dengan cepat. Tapi baru setengah menit saja dia menambah kecepatan, kecelakaan pun terjadi! Mobil itu menyerempet tiang. Syukurnya tidak ada korban dalam kecelakaan itu. Tapi kepala Revin terbentur cukup keras hingga darahnya mengalir membasahi pelipisnya."Ughh..." Revin meringis kesakitan.Dalam keadaan seperti itu, Revin kembali mencoba melajukan mobilnya sebelum orang-orang mulai mengerumuni mobilnya itu. Walau kepalanya terasa sangat pusing ia dengan keras kepala tetap memaksakan dirinya untuk mengemudi. Di dalam otaknya saat ini adalah bagaimana caranya agar ia cepat sampai di rumah sakit. Jika ia berada di sana segera untuk menemani Lisa, mungkin Lisa juga tidak akan tega untuk 'pergi'. Pemikiran yang agak aneh tapi selalu berhasil menguasai Revin.Sampai di rumah sakit, Revin berlari terhuyung-huyung, membuat orang-orang yang melihatnya terheran-heran karena darah mengalir jatuh membasahi lantai."Bapak
Revin membuka matanya saat hari sudah kembali siang. Dia merintih pelan merasakan kepalanya yang sakit terasa berputar-putar."Lisa...," erangnya begitu bangun."Dokter, putraku sudah sadar!" seru Alex ketika mendapati Revin akhirnya bangun setelah sehari semalaman tidak sadarkan diri, membuat Alex dan Renata merasa cemas setengah mati sepanjang waktu dan sama sekali tidak tidur. Pasalnya dokter sempat mengatakan bahwa ada kemungkinan pasien mengalami pendarahan di otak, dan harus dioperasi. Jika pasien tidak juga sadar hingga keesokan harinya, maka akan dilakukan CT scan untuk memastikan benar adanya pendarahan tersebut.Dokter yang memang berjaga di ruang ICU segera menghampiri pasien bersama perawat.Revin mengalami cedera kepala dan kumat asam lambung, itu yang membuatnya muntah dan tidak sadarkan diri hingga cukup lama. Dan karenanya dia berada di ruang ICU, menjalani observasi selama 24 jam penuh. Kecelakaan itu membuat Revin mendapat empat jahitan di kepalanya."Bagaimana Dokte
"Revin, tapi ini sudah jam makan siang. Sudah waktunya kau makan biar cepat sembuh," ucap Renata. Makan siang dari rumah sakit sudah diantar ke ruangannya tapi Revin belum menyentuhnya sedikitpun walaupun Renata sudah beberapa kali membujuknya untuk makan.Mendengar kalimat itu, Liliana berinisiatif membuka makanan yang dia bawa."Mungkin makanan rumah sakit kurang enak ya, Mas? Coba lihat dulu masakanku. Kalau tetap tidak suka ya tidak apa-apa."Revin menatap masakan Liliana. Dulu Lisa suka membuatkannya makanan, dan ia selalu lahap memakan masakannya. Sekarang sudah tidak ada kesempatan lagi baginya untuk memakan masakan Lisa. Bola mata Revin meredup. 'Lisa, apa jangan-jangan kau pergi meninggalkanku karena marah melihatku memakan masakan Liliana?' Revin memejamkan matanya saat ia berpikir seperti itu. Sebenarnya ia menyadari betul bahwa pikirannya benar-benar kacau saat ini. Tapi dia lebih suka mengikuti apa yang dia pikirkan walaupun itu mungkin tidak masuk akal. Dia pun kembali me
Lisa tetap diam. Hatinya menjadi semakin resah. Sebaliknya daripada menjawab Revin, Lisa mengalihkan pandangannya pada Damian. Dia seolah menunggu kode, tetapi Damian hanya diam tidak berkata apa-apa.Akhirnya dia beralih menatap Revin. Dengan gugup dan malu dia berkata, "Kau bilang, kau... mengetahui fakta tentangku. A-apa kau juga tahu bahwa dulu sewaktu masa sekolah, aku...aku...pernah mengalami..." Lisa diam tidak mampu melanjutkan kata-katanya. Baginya ini sangat menyedihkan dan memalukan. Tapi tiba-tiba Revin memeluknya membuat Lisa terkejut dan melebarkan mata."Tidak usah kau jelaskan, Sayang! Aku tahu semua hal buruk yang menimpamu. Pria itu sudah mendapatkan ganjarannya di penjara. Begitu pula dengan Nafa, mantan ibu tirimu. Sampai sekarang dia masih berada di sana."Mendengar itu, air mata Lisa tiba-tiba jatuh tanpa bisa ia kendalikan. Tubuhnya bergetar dan dia mulai menangis. Dia sudah tahu tentang nasib pria itu dan nasib Nafa dari Damian, tapi saat pria ini yang mengataka
Revin terdiam mendengar ucapan Damian yang dari sejak lima tahun lalu sebenarnya selalu ia pikirkan. Apakah Lisa memang membencinya? Apakah itu adalah fakta? Sampai sekarang Revin tidak tahu jawabannya. Dan itu benar-benar berhasil membuatnya merasa gelisah dan dihantui. Tapi dia selalu mengingat saat terakhir ia berbicara pada Lisa waktu itu di mana Lisa masih memberikan perhatian pada luka di sudut bibirnya. Jika Lisa memang membencinya, mana mungkin ia masih memperhatikan hal kecil seperti itu sementara dirinya sendiri sudah di ambang maut. Entahlah! Revin tidak bisa menerkanya."Aku akan membuatnya mencintaiku," jawab Revin singkat pada Damian.Damian kembali mendengkus. "Rasa percaya dirimu terlalu tinggi."Revin mengerutkan kening. "Batu pun akan berlubang jika terus terkena tetesan air. Asalkan aku bertekun berbuat sebaik mungkin untuknya, aku akan mendapatkan hasilnya. Tapi itu bisa terjadi kalau kalian semua setuju untuk tidak ikut campur dalam hubungan kami."Damian menghela
"Mereka tidak terlibat," jawab Damian jujur.Revin sedikit lega mendengarnya ternyata orang tuanya masih memiliki hati nurani. Dia lalu bersedekap. "Kau menyembunyikan istriku selama lima tahun, aku bisa saja menjebloskanmu ke dalam penjara, Damian."Damian menatap Revin. "Laporkan saja, tapi Lisa akan semakin membencimu jika kau melakukan itu.""Dia kehilangan ingatan. Dia lupa padaku, jadi dia tidak memiliki rasa benci," tanggap Revin.Damian mendengkus. "Aku bisa membuatnya membencimu.""Apa pun itu akibatnya. Aku tetap bisa melaporkanmu kalau aku berkehendak," tegas Revin dengan kening mengerut tidak suka akan ancaman Damian.Damian geram mendengarnya. "Lima tahun lalu, Lisa mengalami mati suri. Harusnya kau berterima kasih padaku. Kalau bukan karena aku, Lisa pasti sudah dikubur hidup-hidup. Akulah satu-satunya yang menyadari bahwa Lisa masih hidup karena aku terus memperhatikannya dengan seksama dan langsung membawanya ke rumah sakit untuk memastikan penglihatanku!"Mereka semua
Di ruang rawat, mata Revin terus tertuju pada Lisa. Dan tangannya tak pernah lepas menggenggam tangan Lisa. Sesekali ia mengusap kepala Lisa pelan dengan rasa sayang."Lisa, aku mencintaimu," ucapnya dengan wajah sendu. Hingga detik ini ia masih tidak menyangka bahwa Tuhan telah sangat berbaik hati memberinya kesempatan untuk mengungkapkan perasaannya pada Lisa."Aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan yang Kau berikan padaku ini, Tuhan," ucap Revin di dalam hati dengan penuh rasa syukur.Pikirannya terus berputar merancang masa depan apa yang akan ia jalani bersama Lisa dan putri mereka satu-satunya."Itu sangat bagus jika Lisa benar-benar lupa," gumam Revin. "Aku berharap dia bisa lupa untuk selamanya. Bukankah sangat bagus jika Lisa lupa akan hal yang menyakitkan dalam hidupnya? Aku hanya tinggal membuat kenangan yang baru untuk kami. Kenangan-kenangan baru yang indah yang pantas untuk dikenang."Walaupun hilangnya sebagian ingatan Lisa sama dengan melupakan hubungan mereka, bagi R
Revin sungguh terpesona saat melihat Lisa keluar dari area toilet. Melihat Lisa secara langsung seperti ini, membuat keyakinan Revin mencapai seratus persen bahwa wanita yang berfoto dengan Lalisa memang adalah Lisa, istrinya. Lisa benar-benar masih hidup! Rasanya seperti mimpi bagi Revin. Tapi dia sadar betul bahwa ini adalah kenyataan! Kenyataan yang sungguh menakjubkan! Lisa terlihat sangat cantik, sama saat pertama kali ia mengenalnya di masa kuliah dulu. Jika dibandingkan dengan masa itu, Lisa sama sekali tidak ada perubahan.Namun, Revin tentu masih sangat mengingat tubuh kurus Lisa dengan perut membuncit dan penyakitan. Saat itu Lisa terlihat sangat menyedihkan. Tapi kini sosok Lisa yang seperti itu sudah tidak ada. Memikirkan hal ini, jelas sekali menunjukkan bahwa Lisa menjalani hidupnya dengan sangat baik selama lima tahun ini."Ternyata Lisa telah mengambil keputusan yang tepat untuk bersembunyi dariku dan Lalisa," ucap Revin dalam hati dengan patah semangat. Sejujurnya dia
"Ini adalah hari bahagia Damian, aku harus semangat, setidaknya untuk hari ini," ucap Lisa di dalam hati.Ia menatap penampilannya di depan cermin toilet. Cermin itu ukurannya memanjang sehingga beberapa wanita bisa bercermin di cermin yang sama secara bersamaan. Saat ia sibuk memperbaiki penampilannya Lisa pun segera menyadari sesuatu. Di dalam cermin, dia melihat pantulan seorang gadis kecil yang sedang menatapnya dengan intens di belakang. Lisa otomatis berbalik dan menatap si gadis kecil. Dia pun langsung terpesona melihat boneka cantik itu."Hai, kenapa sendirian?" sapa Lisa dengan senyuman lembut."Aku tidak sendiri. Papaku ada di luar menunggu." Lalisa langsung melangkah menghampiri Lisa, mendongak menatapnya dengan mata berbinar."Oh begitu.... Siapa namamu?" tanya Lisa sambil merundukkan punggungnya."Namaku Lalisa. Nama Kakak siapa?""Wah! Nama kita hampir sama. Nama Kakak, Lisa.""Mamaku namanya Lisa juga!" ucap Lalisa."Oh ya?""Iya, tapi sudah meninggal," sambung Lalisa ce
"Entahlah!" jawab Lisa dengan rasa ragu. "Apa aku menulis seperti itu di buku harianku? Aku ingin melihat buku harianku itu.""Kau tidak percaya padaku? Aku berkata jujur.""Pokoknya aku ingin melihatnya. Mana tahu aku bisa mengingat masa beberapa tahunku yang hilang.""Buku hariannya tidak ada padaku. Aku tidak tahu sekarang ada di mana. Mereka yang menyimpannya."Lisa menghela napas. "Apa papa sedih saat aku meninggal?" tanya Lisa penasaran"Tepatnya dia dihantui rasa bersalah. Soalnya apa yang dituduhkan mamaku soalmu sudah terbukti tidak benar. Dia mengira bahwa ia sudah tidak memiliki kesempatan untuk menebus kesalahannya padamu. Mungkin itu juga yang membuatnya terkena stroke saat itu juga."Lisa diam merenungkan ucapan Damian. Papanya menyesal? Jika itu benar, bukankah itu bagus! Bukankah itu hal yang diinginkan Lisa selama ini bahwa papanya akhirnya menyadari kebenaran bahwa ia tidak bersalah?"Harusnya kalau kau melihat papaku menyesal, kau tidak perlu membawaku pergi, Damian.
Damian menolak panggilan itu, tetapi saat dia kembali membuka suara, ponselnya berbunyi kembali."Dari siapa? Angkat saja dulu," ucap Lisa, tapi Damian malah mengaktifkan mode pesawat agar telepon tidak dapat masuk."Yang mau kukatakan lebih penting. Jujur, Lisa. Aku sangat terkejut karena kemarin kau tiba-tiba datang kemari tanpa pemberitahuan.""Kalau kuberitahu, kau pasti tidak mengizinkan. Kau terlalu mengkhawatirkanku, padahal aku baik-baik saja sekarang."Damian menghela napas. Lisa datang ke ibukota, cepat atau lambat rahasia yang ia simpan pasti akan terbongkar. Semalaman Damian memikirkan hal ini. Dan kesimpulan yang ia tarik adalah lebih baik jika dia duluan yang mengungkapkan. Walaupun tentu saja tidak semua langsung ia beritahu. Beberapa hal akan dia tahan dulu. Dia takut mental Lisa malah terganggu kembali jika ia memberitahu semuanya sekaligus. "Berjanjilah kau tidak akan marah. Ada rahasia yang ingin kuberitahu." "Baiklah, apa itu?" jawab Lisa cepat. Lisa yakin sepenuhn
"Bu! Apa Lisa sudah kembali? Aku tidak melihatnya di sana," seru Damian dengan wajah pucat dan napas tidak beraturan begitu sampai ke dalam rumah."Tenanglah, Nak. Dia sudah kembali. Mungkin dia sedang mandi sekarang," jawab ibu tiri Damian dengan suara tenang.Seketika hati Damian melega. Dia pun pergi ke lantai atas untuk menunggui Lisa. Tidak berapa lama Lisa pun muncul. Secara fisik dia sehat. Berat badannya pun normal. Lisa terlihat sangat cantik dan awet muda dengan rambut hitam lurus sebahu. Dia tidak lagi mengecat rambutnya. Dan walaupun usianya sudah 26 tahun, ia terlihat seperti berusia 20 tahun."Lisa!" seru Damian menghampiri Lisa, dan langsung memeluknya."Kenapa pergi ke kuburan sendirian?" tanyanya tak paham setelah melepas pelukannya.Lisa tersenyum. "Kau mengkhawatirkanku?""Kau tahu akulah manusia yang terus mengkhawatirkanmu," lugas Damian dengan bibir cemberut."Kau kan banyak urusan karena akan wisuda, jadi aku memutuskan pergi sendiri. Aku sudah lama sekali tidak