Selamat malam, terima kasih atas dukungan Readers pada novel ini. ^^ Maaf jika episodenya pendek, besok mudah-mudahan bisa lebih panjang. Happy Reading ^^
"Benar-benar tidak penting," ucapnya kembali dalam hati sambil menggulir layar. Tetapi saat menemukan ada foto Nick di sana, Revin berubah pikiran. Ia memutuskan untuk menelepon balik Cherrine."Halo, Mas?" sapa Cherrine dengan bersemangat. Tidak sia-sia dia menyuruh orang untuk membuntuti Lisa. Akhirnya dia memiliki kesempatan untuk menjelekkan Lisa kembali di hadapan Revin."Iya, halo. Apa maksudmu mengirim foto-foto semacam itu?" tanya Revin tenang tanpa basa-basi sambil keluar dari kamar dan menutup pintunya.Lisa yang sebenarnya tidak tidur menolehkan kepalanya pada pintu yang ditutup. Dia penasaran pada siapa Revin bertelepon? Kenapa Revin sampai harus keluar dari kamar untuk berbicara dengan si penelepon itu? Ini kesannya seolah Revin tidak ingin dia tahu. "Bahkan jika itu dengan Liliana, kenapa sampai harus keluar kamar. Bukankah aku juga sudah tahu tentang Liliana?" tanyanya dalam hati. Rasa penasaran menggelayuti Lisa.•"Jadi begitulah, Mas. Dua lelaki itu nyaris saja berke
Lisa segera mundur tiga langkah saat Revin turun dari ranjang. Dengan tangan bersedekap, Revin melirik ponsel di lantai lalu kembali menatap Lisa dengan tajam."Jadi ini yang kau lakukan diam-diam saat aku tidur?"Lisa diam seribu bahasa."Jawab!" ucap Revin tegas menuntut.Lisa menatap Revin dengan mata berkaca-kaca. "Memangnya kenapa?" ucapnya tiba-tiba menantang, membuat Revin tak percaya."Apa kau bilang?"Kedua tangan Lisa mengepal. "Memangnya kenapa kalau aku melihat ponselmu?" tanyanya lagi dengan nada menantang. Tetapi suara itu terdengar agak bergetar seperti sedang menahan gejolak emosi."Kau tanya kenapa? Apa kau tidak sadar perbuatanmu itu tercela? Memeriksa ponsel orang tanpa izin pemiliknya?" tanya Revin dengan kening mengerut."Apa aku harus izin melihat ponsel suamiku sendiri?" tanggap Lisa dengan kepala mendongak. Lisa terlihat keras kepala saat ini."Apa?""Apa aku harus izin melihat ponsel suamiku sendiri?" ucap Lisa meninggikan suaranya.Mulut Revin sedikit terbuka
Revin diam mengingat-ingat kapan ia mengirim pesan seperti itu pada Evans. Dia bahkan tidak mengingat entah berapa kali dia mengatai Lisa jalang kepada Evans saat bertemu langsung. Sepertinya sudah berkali-kali."Kau bilang kau melakukan itu saat hubungan kita masih sangat baik?" tanya Revin tampak masih berpikir. "Jadi sejak dulu kau memang suka memeriksa isi ponselku?""Tidak juga. Tapi saat itu aku sangat penasaran akan hubunganmu dengan Anna. Itu sebabnya aku memeriksa ponselmu. Tahu-tahu aku malah mendapati pesan obrolanmu dengan Kak Evans! Hubungan kita sangat baik waktu itu, tapi kau ternyata tega menghinaku di belakangku. Kau bilang aku yang merusak pertemanan kita tapi justru kau yang melakukannya. Jadi siapa sekarang yang bersalah? Kau kan sebenarnya yang jahat!" bentak Lisa. Revin mengatupkan mulutnya. Ada rasa tidak nyaman yang ia rasakan. Biar bagaimanapun Revin memang bersalah karena mengatai Lisa secara negatif saat hubungan mereka masih baik!"Memangnya kenapa? Kan, apa
Revin keluar dari kamar. Dengan rasa kesal ia menuruni tangga. Dia lalu menghubungi Evans."Ada apa, Vin?" sahut Evans dengan suara berat."Halo, Van! Kau sudah tidur jam segini?" tanya Revin dengan nada sedikit heran."Mmh, begitulah. Ada apa?""Ayo ke klub! Sudah lama kita nggak nongkrong di sana.""Malam begini?""Iya, masa siang?" sahut Revin sedikit jengkel."Kau kenapa lagi?" tanya Evans agak malas."Biasa, mau cari hiburan. Jenuh," sahut Revin."Kau jenuh atau sedang kesal dengan Lisa?""Huft! Dua-duanya.""Aku tidak bisa. Aku belum mengabarimu, ya? Erika hamil. Tiap malam aku harus memeluknya supaya dia bisa tidur. Dia sangat suka mencium aroma tubuhku saat tidur hehehe. Kalau aku tidak di sisinya, dia tidak akan bisa tidur. Kasihan, kan?""Ck," decak Revin. "Sejak menikah, kau menjadi tidak setia kawan.""Aku benar-benar sibuk, Vin. Besok aku juga harus menemani istriku ke dokter untuk pemeriksaan kandungan.""Hmmm, baiklah kalau begitu. Selamat ya, karena kau akan menjadi seo
Damian berhasil mencari alamat orang tua Revin saat Revin balik meneleponnya. Ia langsung menyahut dengan bersemangat. "Iya, halo! Apa kau berubah pikiran? Aku nyaris akan ke sana sekarang juga untuk memastikan...""Apa yang kalian bicarakan tadi? Kenapa kau sampai mencemaskan Lisa?" tanya Revin menyela.Damian berpikir sejenak. "Tadi Dia terlihat panik, lalu marah dan mematikan ponsel saat aku menanyakan kebenaran soal rencanamu untuk menceraikannya. Padahal dia sendiri yang memberi tahuku bahwa kalian akan bercerai tetapi kemudian ia juga yang langsung menyangkalnya."Langsung menyangkal? Revin mengerutkan keningnya tampak berpikir. "Selain itu, apa lagi yang kalian bicarakan?" tanya Revin mengorek dengan wajah ketat."Memangnya kenapa? Tolong biarkan aku berbicara pada Lisa terlebih dahulu, nanti aku akan menjawab pertanyaanmu," ucap Damian kesal."Lisa tidak ada di rumah," ucap Revin."Apa? Jadi dia ada di mana sekarang malam begini?" tanya Damian cemas."Hmmpth! Cara kau bertanya
Revin melangkah cepat menghampiri ranjang. Matanya menatap lekat-lekat sosok Lisa yang saat ini sedang berbaring di ranjang seperti kucing malas. Rasa cemas, rasa tertekan, rasa sesak, hingga rasa nyeri yang tak bisa dijelaskan seketika sirna, terangkat begitu saja dari dalam dada Revin. Dia lega, dia sangat lega! Tanpa sadar dia menghembuskan napas leganya itu.Revin mendudukkan diri di sofa dan terus menatap Lisa di sana. Suara dengkuran halus yang terdengar di telinganya, menunjukkan bahwa Lisa sedang tertidur nyenyak saat ini. Wajah Revin perlahan berubah menjadi semakin rumit saat pikirannya mulai menyadari bahwa dia begitu sangat mengkhawatirkan Lisa. Ia cemas dengan begitu berlebihan hanya karena tidak ada yang melihat Lisa keluar rumah. Padahal ia hanya tinggal memeriksa cctv saja, bukan? Tetapi saking cemasnya, dia jadi tidak berpikir ke arah sana. Dia berubah menjadi bodoh, dan akibatnya dengan konyol ia menghabiskan waktu dan tenaganya selama berjam-jam lamanya dengan sia-si
"Dia bilang...kalau Mbak Lisanya ada di sini, mau dia bawa pulang sekarang juga."Kening Revin langsung menukik tajam."Apa maksudnya?" tanya Lisa bingung.Revin menoleh menatap Lisa. "Hmpth! Kenapa berpura-pura bodoh? Bukankah kau sendiri yang sudah memberi tahu langsung pada adik kesayanganmu itu tadi malam bahwa aku akan menceraikanmu?"Lisa tercengang! "Aku...." Rasanya Lisa ingin menyangkal tapi ingatannya samar. Sepertinya memang seperti itu! Dia pun turun dari ranjang dan menghampiri pelayan itu."Bi, bilang pada adikku untuk menunggu sebentar.""Baik, Mbak." Pelayan itu langsung pergi.Revin menatap tajam. "Jadi kau mau pergi? Kau ingin kita berpisah?" tanyanya dingin.Lisa menggeleng."Tidak masalah juga sih sebenarnya kalau kau mau pergi. Lagian kau juga keberatan melakukan tes DNA. Itu berarti kita harus segera bercerai. Aku akan urus perceraian kita hari ini juga." Tanpa menunggu tanggapan, Revin melangkah meninggalkan Lisa di kamar."Tunggu sebentar, Kak!" cegat Lisa denga
Damian menatap Revin dengan wajah tak senang. "Itu bukan urusanmu!" ketusnya menjawab Revin. "Aku ke sini untuk membawa Lisa." Damian menggenggam tangan Lisa erat-erat."Apa maksudmu membawa Lisa?" tanya Revin dengan nada tenang tetapi tegas berwibawa."Aku akan membawanya pergi dari sini sambil menunggu surat perceraian darimu!" bentak Damian. "Lisa tidak butuh suami sepertimu yang tidak memiliki otak! Kalau dia mau menjebak seorang pria, daripada memilihmu, mending dia memilih pria bernama Nick itu. Nick itu sepertinya jauh lebih kaya daripada kau!""Apa kau bilang?" ucap Revin sambil mengepalkan tangannya. Mendengar nama Nick membuat sikap tenangnya tadi menghilang. Rasanya dia ingin meninju wajah Damian."Aku bilang...!""Damian!" sela Lisa. Damian langsung tutup mulut, seperti seekor anjing yang menuruti majikan."Apa yang barusan kau katakan itu? Aku dan Kak Revin tidak ada niat untuk bercerai. Aku hanya sedang emosi mengatakan hal itu padamu kemarin malam karena kami sempat ada
Lisa tetap diam. Hatinya menjadi semakin resah. Sebaliknya daripada menjawab Revin, Lisa mengalihkan pandangannya pada Damian. Dia seolah menunggu kode, tetapi Damian hanya diam tidak berkata apa-apa.Akhirnya dia beralih menatap Revin. Dengan gugup dan malu dia berkata, "Kau bilang, kau... mengetahui fakta tentangku. A-apa kau juga tahu bahwa dulu sewaktu masa sekolah, aku...aku...pernah mengalami..." Lisa diam tidak mampu melanjutkan kata-katanya. Baginya ini sangat menyedihkan dan memalukan. Tapi tiba-tiba Revin memeluknya membuat Lisa terkejut dan melebarkan mata."Tidak usah kau jelaskan, Sayang! Aku tahu semua hal buruk yang menimpamu. Pria itu sudah mendapatkan ganjarannya di penjara. Begitu pula dengan Nafa, mantan ibu tirimu. Sampai sekarang dia masih berada di sana."Mendengar itu, air mata Lisa tiba-tiba jatuh tanpa bisa ia kendalikan. Tubuhnya bergetar dan dia mulai menangis. Dia sudah tahu tentang nasib pria itu dan nasib Nafa dari Damian, tapi saat pria ini yang mengataka
Revin terdiam mendengar ucapan Damian yang dari sejak lima tahun lalu sebenarnya selalu ia pikirkan. Apakah Lisa memang membencinya? Apakah itu adalah fakta? Sampai sekarang Revin tidak tahu jawabannya. Dan itu benar-benar berhasil membuatnya merasa gelisah dan dihantui. Tapi dia selalu mengingat saat terakhir ia berbicara pada Lisa waktu itu di mana Lisa masih memberikan perhatian pada luka di sudut bibirnya. Jika Lisa memang membencinya, mana mungkin ia masih memperhatikan hal kecil seperti itu sementara dirinya sendiri sudah di ambang maut. Entahlah! Revin tidak bisa menerkanya."Aku akan membuatnya mencintaiku," jawab Revin singkat pada Damian.Damian kembali mendengkus. "Rasa percaya dirimu terlalu tinggi."Revin mengerutkan kening. "Batu pun akan berlubang jika terus terkena tetesan air. Asalkan aku bertekun berbuat sebaik mungkin untuknya, aku akan mendapatkan hasilnya. Tapi itu bisa terjadi kalau kalian semua setuju untuk tidak ikut campur dalam hubungan kami."Damian menghela
"Mereka tidak terlibat," jawab Damian jujur.Revin sedikit lega mendengarnya ternyata orang tuanya masih memiliki hati nurani. Dia lalu bersedekap. "Kau menyembunyikan istriku selama lima tahun, aku bisa saja menjebloskanmu ke dalam penjara, Damian."Damian menatap Revin. "Laporkan saja, tapi Lisa akan semakin membencimu jika kau melakukan itu.""Dia kehilangan ingatan. Dia lupa padaku, jadi dia tidak memiliki rasa benci," tanggap Revin.Damian mendengkus. "Aku bisa membuatnya membencimu.""Apa pun itu akibatnya. Aku tetap bisa melaporkanmu kalau aku berkehendak," tegas Revin dengan kening mengerut tidak suka akan ancaman Damian.Damian geram mendengarnya. "Lima tahun lalu, Lisa mengalami mati suri. Harusnya kau berterima kasih padaku. Kalau bukan karena aku, Lisa pasti sudah dikubur hidup-hidup. Akulah satu-satunya yang menyadari bahwa Lisa masih hidup karena aku terus memperhatikannya dengan seksama dan langsung membawanya ke rumah sakit untuk memastikan penglihatanku!"Mereka semua
Di ruang rawat, mata Revin terus tertuju pada Lisa. Dan tangannya tak pernah lepas menggenggam tangan Lisa. Sesekali ia mengusap kepala Lisa pelan dengan rasa sayang."Lisa, aku mencintaimu," ucapnya dengan wajah sendu. Hingga detik ini ia masih tidak menyangka bahwa Tuhan telah sangat berbaik hati memberinya kesempatan untuk mengungkapkan perasaannya pada Lisa."Aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan yang Kau berikan padaku ini, Tuhan," ucap Revin di dalam hati dengan penuh rasa syukur.Pikirannya terus berputar merancang masa depan apa yang akan ia jalani bersama Lisa dan putri mereka satu-satunya."Itu sangat bagus jika Lisa benar-benar lupa," gumam Revin. "Aku berharap dia bisa lupa untuk selamanya. Bukankah sangat bagus jika Lisa lupa akan hal yang menyakitkan dalam hidupnya? Aku hanya tinggal membuat kenangan yang baru untuk kami. Kenangan-kenangan baru yang indah yang pantas untuk dikenang."Walaupun hilangnya sebagian ingatan Lisa sama dengan melupakan hubungan mereka, bagi R
Revin sungguh terpesona saat melihat Lisa keluar dari area toilet. Melihat Lisa secara langsung seperti ini, membuat keyakinan Revin mencapai seratus persen bahwa wanita yang berfoto dengan Lalisa memang adalah Lisa, istrinya. Lisa benar-benar masih hidup! Rasanya seperti mimpi bagi Revin. Tapi dia sadar betul bahwa ini adalah kenyataan! Kenyataan yang sungguh menakjubkan! Lisa terlihat sangat cantik, sama saat pertama kali ia mengenalnya di masa kuliah dulu. Jika dibandingkan dengan masa itu, Lisa sama sekali tidak ada perubahan.Namun, Revin tentu masih sangat mengingat tubuh kurus Lisa dengan perut membuncit dan penyakitan. Saat itu Lisa terlihat sangat menyedihkan. Tapi kini sosok Lisa yang seperti itu sudah tidak ada. Memikirkan hal ini, jelas sekali menunjukkan bahwa Lisa menjalani hidupnya dengan sangat baik selama lima tahun ini."Ternyata Lisa telah mengambil keputusan yang tepat untuk bersembunyi dariku dan Lalisa," ucap Revin dalam hati dengan patah semangat. Sejujurnya dia
"Ini adalah hari bahagia Damian, aku harus semangat, setidaknya untuk hari ini," ucap Lisa di dalam hati.Ia menatap penampilannya di depan cermin toilet. Cermin itu ukurannya memanjang sehingga beberapa wanita bisa bercermin di cermin yang sama secara bersamaan. Saat ia sibuk memperbaiki penampilannya Lisa pun segera menyadari sesuatu. Di dalam cermin, dia melihat pantulan seorang gadis kecil yang sedang menatapnya dengan intens di belakang. Lisa otomatis berbalik dan menatap si gadis kecil. Dia pun langsung terpesona melihat boneka cantik itu."Hai, kenapa sendirian?" sapa Lisa dengan senyuman lembut."Aku tidak sendiri. Papaku ada di luar menunggu." Lalisa langsung melangkah menghampiri Lisa, mendongak menatapnya dengan mata berbinar."Oh begitu.... Siapa namamu?" tanya Lisa sambil merundukkan punggungnya."Namaku Lalisa. Nama Kakak siapa?""Wah! Nama kita hampir sama. Nama Kakak, Lisa.""Mamaku namanya Lisa juga!" ucap Lalisa."Oh ya?""Iya, tapi sudah meninggal," sambung Lalisa ce
"Entahlah!" jawab Lisa dengan rasa ragu. "Apa aku menulis seperti itu di buku harianku? Aku ingin melihat buku harianku itu.""Kau tidak percaya padaku? Aku berkata jujur.""Pokoknya aku ingin melihatnya. Mana tahu aku bisa mengingat masa beberapa tahunku yang hilang.""Buku hariannya tidak ada padaku. Aku tidak tahu sekarang ada di mana. Mereka yang menyimpannya."Lisa menghela napas. "Apa papa sedih saat aku meninggal?" tanya Lisa penasaran"Tepatnya dia dihantui rasa bersalah. Soalnya apa yang dituduhkan mamaku soalmu sudah terbukti tidak benar. Dia mengira bahwa ia sudah tidak memiliki kesempatan untuk menebus kesalahannya padamu. Mungkin itu juga yang membuatnya terkena stroke saat itu juga."Lisa diam merenungkan ucapan Damian. Papanya menyesal? Jika itu benar, bukankah itu bagus! Bukankah itu hal yang diinginkan Lisa selama ini bahwa papanya akhirnya menyadari kebenaran bahwa ia tidak bersalah?"Harusnya kalau kau melihat papaku menyesal, kau tidak perlu membawaku pergi, Damian.
Damian menolak panggilan itu, tetapi saat dia kembali membuka suara, ponselnya berbunyi kembali."Dari siapa? Angkat saja dulu," ucap Lisa, tapi Damian malah mengaktifkan mode pesawat agar telepon tidak dapat masuk."Yang mau kukatakan lebih penting. Jujur, Lisa. Aku sangat terkejut karena kemarin kau tiba-tiba datang kemari tanpa pemberitahuan.""Kalau kuberitahu, kau pasti tidak mengizinkan. Kau terlalu mengkhawatirkanku, padahal aku baik-baik saja sekarang."Damian menghela napas. Lisa datang ke ibukota, cepat atau lambat rahasia yang ia simpan pasti akan terbongkar. Semalaman Damian memikirkan hal ini. Dan kesimpulan yang ia tarik adalah lebih baik jika dia duluan yang mengungkapkan. Walaupun tentu saja tidak semua langsung ia beritahu. Beberapa hal akan dia tahan dulu. Dia takut mental Lisa malah terganggu kembali jika ia memberitahu semuanya sekaligus. "Berjanjilah kau tidak akan marah. Ada rahasia yang ingin kuberitahu." "Baiklah, apa itu?" jawab Lisa cepat. Lisa yakin sepenuhn
"Bu! Apa Lisa sudah kembali? Aku tidak melihatnya di sana," seru Damian dengan wajah pucat dan napas tidak beraturan begitu sampai ke dalam rumah."Tenanglah, Nak. Dia sudah kembali. Mungkin dia sedang mandi sekarang," jawab ibu tiri Damian dengan suara tenang.Seketika hati Damian melega. Dia pun pergi ke lantai atas untuk menunggui Lisa. Tidak berapa lama Lisa pun muncul. Secara fisik dia sehat. Berat badannya pun normal. Lisa terlihat sangat cantik dan awet muda dengan rambut hitam lurus sebahu. Dia tidak lagi mengecat rambutnya. Dan walaupun usianya sudah 26 tahun, ia terlihat seperti berusia 20 tahun."Lisa!" seru Damian menghampiri Lisa, dan langsung memeluknya."Kenapa pergi ke kuburan sendirian?" tanyanya tak paham setelah melepas pelukannya.Lisa tersenyum. "Kau mengkhawatirkanku?""Kau tahu akulah manusia yang terus mengkhawatirkanmu," lugas Damian dengan bibir cemberut."Kau kan banyak urusan karena akan wisuda, jadi aku memutuskan pergi sendiri. Aku sudah lama sekali tidak