"Eh, sudah berakhir," kata seseorang.Perlahan kerumunan itu mulai buyar. Aron berdesakan dengan para warga. Ia tidak mendorong balik apalagi ia tubuhnya terhimpit sampai di pinggiran tembok. Tidak disangka di depannya ada seorang gadis menggunakan masker warna hitam. Aron tak peduli, yang jelas ia tidak ingin ada yang terluka.Dugh! Punggung Aron menjadi sasaran mereka, tubuhnya tidak memberi ruang bahkan jaraknya dekat dengan sang gadis. Tangan Aron menumpu supaya tidak terjatuh.Di sisi lain ia mencari kesempatan untuk melihat secara langsung wajah gadis bernama Monica Louis. Sayangnya ia tidak mendapati sosok yang dicarinya. Setelah kerumunan itu mulai merenggang, barulah ia bisa terbebas dari lautan manusia tersebut. Namun saat dirinya beranjak meninggalkan tempat itu sesuatu menahannya. Aron menoleh ke arah ujung lengannya. Gadis itu nampak memeganginya."Maaf aku sedang terburu-buru, Nona. Bisakah kau melepaskan tanganku?" Pertanyaannya tak mendapatkan respon malah Aron merasa
Aron tidak percaya dengan kejadian apa yang sudah dilewatinya. Berteman dengan anak musuhnya. Ide bagus jika ia menyandera Monica untuk pertahanan Orlando. Namun, hal itu tidak akan ia lakukan sebab Orlando tidak terlalu memperlakukan baik sebagaimana anak perempuannya. Kalau butuh tes mungkin ia akan bekerja sama dengan gadis itu, tetapi hal itu akan sulit karena ia tahu Monica selalu dalam pengawasan Orlando.Sepanjang jalan, ia menghela pernapasannya. Ia penasaran bagaimana reaksi ayahnya kalau tahu Aron sudah berkenalan dengan anak musuhnya. Mungkin Leo akan mengomelinya habis-habisan."Aku bosan menatap gedung-gedung tinggi ini. Bagaimana kalau kita berkeliling di area perkampungan?" "Baik, Tuan. Sesuai yang anda mau." Sembari mengarahkan setir mobil ke arah kanan yang menuju wilayah perkampungan kebun teh. Aron mengawasi setiap sudut wilayah itu. Ia juga memperhatikan detail tulisan yang tercoret di papan. Tertulis 'Wings Tea' di pembuka desa. Aron mencari informasi mengenai k
Aron penasaran siapakah bos mereka. Ia mengikuti langkah pria itu. Kini Aron semakin jauh dari pengawasan para bodyguard. Ia mengangguk mengerti dari pernyataan petani teh itu. Namun, siapa sangka ia malah menjadi target para petarung.Mereka mengelilingi Aron. Semua mata tertuju kepadanya petani itu menyunggingkan senyum. Ia tidak bergerak apalagi menunjukkan kemampuannya untuk melawan dengan satu serangan. Aron bersikap biasa saja dan mengikuti sebagaimana alur. "A–ada apa ini?"Orang-orang itu tak menjawab hanya petani yang membalas pertanyaan itu. "Kau pikir kami tidak tahu siapa dirimu?"Aron melangkah mundur, ia berpura-pura tidak punya tenaga untuk melawan. "Sa–saya hanya reporter honorer, pak," jawab Aron gelagapan yang menambah aktingnya semakin terlihat nyata."B*doh! Bos Orlando sudah menutup media berita untuk tidak meliput wilayah ini. Beliau membayar mahal kepada kalian. Dan kau pasti bukan reporter sungguhan. Sebutkan identitasmu sekarang juga, pecundang," dengusnya pen
Orlando bergerak menuju ke rumah kaca. Firasatnya mengatakan kalau Aron akan menyerang wilayah prioritasnya. Dengan mengendap-endap Orlando mengintai pergerakan Aron. Namun, sebelum mencapai tempat itu para pasukannya sudah habis terbantai. Ia menghentikan langkah kakinya sejenak.Dorr! Dorr!!Sepasang matanya menyaksikan betapa kejamnya Aron menghabisi seluruh pasukannya yang berjaga di wilayah itu. Dari awal ia sudah meremehkan keluarga Smith. Tetapi usahanya tidak bisa gagal begitu saja. Ia harus menunggu putrinya menduduki tahta sebagai presiden di negara Atlantik. Tangannya mengepal. Aron sudah berhasil mengobrak-abrik wilayah prioritas lalu Orlando berjalan ke arah berlawanan. Ia membiarkan Aron semakin merusak wilayah tersebut. Perlahan suara tembakan mulai berhenti."Apa yang sedang dilakukan b*jingan itu?" Aron melirik dari kejauhan. Tak lama ponselnya berdering. Di saat yang tidak tepat Leo meneleponnya. "Masih ada penting. Sampai jumpa lagi, ayah," ucapnya mengawali sekali
"Ayo pulang ke mansionku," perintah Aron. Pandangannya lurus ke depan. Ia membuka kaca jendela mobil tangannya melambai seraya menatap ke arah spion. "Cepat ikuti aku!"Mereka pun membuntuti mobil milik Aron. Kedua bodyguardnya hanya terdiam mengikuti arahan Aron. Tak ada percakapan sepanjang jalan. Untung saja bisnis properti yang sedang digandrunginya banyak diminati para turis, itu sebabnya Aron bisa membayar tinggi para pekerjanya.Untuk menguasai Atlantik ia harus menjadi penggerak utama perekonomian yang ada di negara tersebut. Sayangnya keteledoran terjadi. Ia tidak mengetahui keberadaan bisnis haram Orlando. Pandangannya menatap ke arah jalanan kota. Otaknya mulai bekerja untuk mencari sebuah solusi.Kepercayaan yang ada di masyarakat mulai terbentuk. Di lihat dari perkembangan mereka yang setuju Monica menjadi presiden Atlantik semakin meningkat, hal itu menjadi problem serius kalau dibiarkan. Aron tidak memiliki firasat bahwasanya menikah setusuk Orlando. Entahlah ia menjadi
Leo tak mengerti jalan pikiran Aron. Ia bisa merasakan kalau Aron menyembunyikan sesuatu darinya. Ia menyoroti Aron yang merasa tak bersalah. Jika terus terusan seperti ini maka tidak ada penyelesaiannya."Apa kau yakin dengan rencanamu itu? Kalau kau terus menunda bukankah semakin banyak kesempatan Orlando bertindak?" tanyanya tanpa ekspresi."Tentu saja kita bisa melihat semua tindakannya lebih jelas. Terlebih kemungkinan terbesarnya Monica akan terpilih menjadi presiden. Bukankah dia sudah melakukan tindakan yang lebih cepat daripada kita?" tanyanya balik. Bibirnya tersenyum smirk. "Bagaimana pun juga kita harus membiarkannya sampai kejahatannya diketahui oleh publik."Emily belum tidak percaya apa yang disampaikan oleh putranya. Ia mendengar kalau calon pemimpin begitu ramah dan baik hati melainkan anak dari musuh utama yang bersarang di negara Atlantik. "A–apa yang kau maksud, Sayang? Kau sedang tidak bercanda bukan?""Kita sedang berbincang serius untuk apa bercanda, Ibu," selan
"Apa kau akan melepas musuh tadi?" Sora memalingkan wajahnya. "Aku menyesal tidak bisa melenyapkan pria itu. Dia tidak bisa dianggap remeh. Bahkan mengalahkan kemampuanku—"Orlando memberi tanda di bibir Sora. "Apa hanya karena musuh tadi yang membuat bisa pesimis seperti ini?" Kepala Sora mengangguk pelan. "Ya begitulah." Ia bangkit dari kasur. "Sudahlah, kurasa aku perlu banyak berlatih mulai saat ini." Sora menampakkan senyumannya yang indah."Jangan terlalu memaksakan diri. Tunggu saja sampai kemenangan pemilihan presiden nanti." Orlando memeluknya dari belakang sembari menggerayangi Sora. "Mereka tidak ada apa-apanya ketimbang diriku.""Aku suka dengan sikap percaya dirimu, Sayang," erangnya menikmati setiap sentuhan.Tiba-tiba ponselnya berdering. Orlando tak memperdulikannya, ia dibutakan asmara. Begitu juga dengan Sora yang terus menggodanya. Tak lama pintu kamarnya terbuka. Para bodyguard yang menyaksikan adegan tersebut langsung menundukkan kepala. Hal itu membuat kesabaran
Paginya Aron berada di tempat yang sudah dinantikan. Ia menyukai aroma perdebatan yang akan dimulai. Semua orang terlihat mengisi kursi mereka masing-masing. Bibirnya tersenyum smirk. Tak jarang dari mereka saling menatap tajam. Terutama pegawai lama dan juga pegawai baru.Ia membuka perundingan hari itu dengan apa adanya, tidak selayaknya resmi. Aron langsung mengarahkan ke topik utama tanpa basa-basi. Ia memberikan sebuah tepuk tangan atas hadirnya para pegawainya. Semua orang terdiam tidak ada yang melawan ataupun memberontak."Terima kasih kalian semua sudah hadir." Aron memperhatikan setiap wajah pegawai barunya. "Jangan sampai ada pertengkaran di antara kalian. Terutama pegawai baru aku memberikan formulir lagi untuk kalian jawab jujur."Mereka yang disebutkan langsung menunduk. Jika mereka melanggar mereka tidak akan dibiarkan hidup-hidup seperti yang tertulis di formulir sebelumnya. Mereka hanya menginginkan gaji yang tinggi. Tetapi mereka harus ingat kalau tidak bisa mengkhia
Ledakan besar menghancurkan dataran negara Neon, tak satupun anggota bagian Orlando yang selamat dari ledakan bom itu. Tubuh Sora juga ikut terkubur reruntuhan bangunan. Usahanya untuk menyelamatkan diri tak bisa dilakukannya. Kelopak mata setengah terbuka. Pemandangan yang begitu berantakan. Di sela-sela momen itu Sora mencoba mengangkat tumpukan bangunan yang menimbun bagian tubuhnya. Sesekali ia mencari-cari oksigen. "Bila bukan si tua bangka itu, aku tidak akan susah seperti ini," decaknya mencoba keluar.Nahas, kepalanya yang baru saja nampak di permukaan menjadi sasaran tembakan Betabot. Kali ini ia benar-benar kehilangan kesadaran. Arwah Sora menolak untuk mati, sementara tubuhnya tak bisa bertahan lama. "Sialan harusnya aku hidup lebih lama," ucapnya dalam hati. Kepalanya terus mengalirkan darah segar. Hanya dalam tiga detik Sora menghembuskan napas terakhirnya.Mendengar kabar peperangan besar sengit antara Orlando dan musuhnya, menimbulkan perseteruan dari devisi yang ber
Awalnya Orlando mengira ia akan mendapatkan kemenangan besar. Melihat musuhnya tanpa senjata dan juga sendirian membuat kepercayaan dirinya semakin tinggi. Sayangnya tembakan tadi meleset tak mengenai musuhnya. "Apa?!" Kepalanya memanas menyaksikan Aron yang masih berdiri tegak. Orlando pun segera mengganti isian peluru yang ada di dalam pistolnya. "Arahkan senjata kalian padanya!" teriaknya memerintahkan seluruh pengikutnya.Serangan itu memang diterima oleh Aron. Ia mengubah elemen senjata yang diarahkannya menjadi tameng pelindung untuk mengatasi serangan bertubi-tubi. Menghilangkan rasa belas kasihan, Aron mengandalkan kebenciannya terhadap Orlando. Dendamnya begitu membara. Langkahnya maju mendekati musuhnya, belum menyerang balik mereka berjalan perlahan mundur. Dari balik gedung asap tembakan mulai menyebar. Aron memasang tatapan sinis. Emosinya dilihatkan secara terbuka. Menit-menit inilah yang sudah ia tunggu bertahun-tahun."Sekarang giliranku, Betabot mode musuh!" Dalam be
Max dan Jaz melaksanakan tugasnya sebagai mana yang diperintahkan Aron. Gadis itu hanya membatu menyaksikan pemandangan di depannya. Suara letusan senjata mulai mendengung. "Apa semua ini sudah kalian persiapkan sejak lama?" Pandangan matanya terlihat kosong. Namun dari pertanyaannya itu tidak mendapatkan respon dari keduanya. Lalu, Monica bertanya sekali lagi. "Kenapa kalian merahasiakan ini semua dariku?"Kepala mereka hanya menunduk sebagai jawaban. Tangisnya membasahi pipinya. Tatapannya ke arah jendela. Monica bisa merasakan akan terjadi peperangan besar bila mengaitkan teknologi senjata. Sangking khawatirnya, Monica tak sadarkan diri. Tubuhnya ambruk beberapa detik selanjutnya setelah berdiri tak lama menatap keluar jendela. Kedua bodyguard itu terpaksa menenangkan Monica dengan akses yang diberikan Aron. Untung saja mereka bisa mengatasi hal itu, tetapi nasib Aron masih menjadi tanda tanya. Mereka pun berdiri di samping kapsul tidur Monica. Bola mata mereka saling memandang.
"Kau sudah kelewatan batas, tuan Orlando," decak kawannya.Wajah datar Orlando tak peduli akan perkataan pria itu. Ia memilih tak peduli dan melanjutkan pesta pernikahan seperti tak ada terjadi sesuatu. Sementara dari kejauhan wajah Sora menundukkan dengan tangan mengepal. Pernikahan mereka memang digelar mewah, sayangnya kekacauan di depan mata membuat mood Sora buruk belum lagi kondisinya yang tengah hamil muda."Apa kau baik-baik saja, Sayang?" tanya Orlando sembari memeluk istrinya. Namun, setelah beberapa detik ia tidak mendapatkan balasan dari mulut Sora.Suasana canggung pun terjadi. Memang Orlando pernah berada di posisi teratas sebelum bisnisnya perlahan menurun. Siapa sangka hari itu juga semua orang yang ada di dalam pesta pernikahannya bersikap acuh tak acuh."Sudah cukup! Hentikan!" bentak Sora yang tak tahan kericuhan terjadi. Tangannya mendorong jauh suaminya itu. Lalu berlari menuju kembali ke kamar.Rasa kesal Orlando meledak seketika. Disaat kehilangan akal untuk men
Tak lama perbincangan mereka terhenti. Alarm keberangkatan berbunyi di setiap sudut ruangan. Sontak hal itu membuat Monica berdiri. Ia sedikit canggung usai mengungkapkan sedikit bagian dari isi hatinya. Aron menggandeng tangannya. Mulanya Monica tak menyadari kalau keduanya mengenakan warna baju yang sama. Hasratnya untuk bertanya semakin memuncak, mengapa pilihan warna yang dipilih tidaklah seperti persiapan sebelumnya.Gadis itu menurutinya. Semua berjalan lancar. Gaya penampilan Aron kini bak seorang bos dari segala bos kriminal. Walaupun tanpa ada tato palsu, wibawanya sudah terlihat. Mereka dikawal beberapa bodyguard. Dimana diantara mereka sebagian adalah anggota kepolisian dua negara sekaligus. Aron berjalan penuh waspada. Sewaktu-waktu, bisa saja para kepolisian tidak memihak padanya."Aku lihat aksimu, nona." Tatapan Aron lurus ke depan.Monica masih berpikir dengan apa yang akan dilakukannya. Meski ia gugup karena penampilannya yang terlihat berbeda dari pekerjaannya. Teta
Monica membuka kelopak matanya. Ia meraba-raba tubuhnya. Sepasang baju tidur melekat di tubuh Monica. "A–apa? Tidakkk!"Teriakan itu terdengar sampai di telinga Jaz. Dengan cepat Jaz menerobos masuk ke kamar. "Apa yang terjadi nona?""Siapa yang menggantikan bajuku?" tanya Monica balik. "Apa kita sudah sampai di negara Neon? Kenapa kau tidak membangunkan aku ketika pesawat sudah mendarat? Butuh beberapa jam lagi untuk bersiap?""Nona tenangkan diri anda. Undangan yang akan anda hadiri masih besok. Tuan sengaja membuat kejutan penampilan anda untuk persiapan besok," jelasnya singkat.Monica menghela napas. Ia meraih botol berisi air mineral, segera Monica meneguk hingga habis. Kakinya merangkak ke kasur. "Baiklah, dimengerti.""Bila ada keperluan lain, silahkan panggil saya," pamit Jaz meninggalkan ruangan tersebut.Monica tak percaya kalau Aron yang menggantikan baju tidur untuknya. Belum lagi ia tertidur di bahu Aron sepanjang perjalanan menuju Neon. Rona pipinya timbul begitu saja.
Monica meloncat kecil dengan girang menuju pesawat. Senyumannya diperlihatkan yang membuat semua orang salah paham. Gadis itu membalikkan badan seraya melambai ke arah Aron dan berteriak, "Cepatlah!"Aron memberikan isyarat tangan. Ia menyuruh Monica menikmatinya makanan lebih dahulu. Kakinya sengaja berjalan lebih lambat dari biasanya. Dari kejauhan pandangannya kearah gadis itu."Setibanya disana, biarkan aku yang melancarkan urusan ini. Kau tak perlu mengikutiku, Jaz—""Apa itu tidak terlalu berbahaya?" Langkah kakinya terhenti. Aron meliriknya. "Apapun itu aku akan ikut dengan anda," lanjutnya.Aron tak menggubris kalimat terakhir yang diucapkan Jaz. "Kau masih saja tidak mengerti. Aku tidak ingin melibatkan banyak orang untuk melancarkan misiku. Kau temani Monica setelah sampai di sana."Jaz mengangguk seolah mengerti apa yang dikatakan Aron. Tentu saja Jaz tidak langsung mengiyakan pernyataan itu. Ia memiliki rencana bila tuannya dikeroyok. Melihat keceriaan di wajah Monica, ki
"Lupakan hal ini." Orlando menghela napas berat. Ia belum percaya apa yang dikatakan pihak keuangan klan. Bahkan disaat pernikahan akan digelar banyak sekali cobaan ekonomi. Orlando tak ingin mengecewakan pujaan hatinya. "Bagaimana dengan gaun—"Orlando mencubit pipi Sora penuh gemas. "Sudah kubilang aku menyiapkan kejutan untukmu. Ayo kita bergegas ke negara Neon," selanya yang tak sabar mengetahui siapa pelaku di balik turunnya saham. Tangannya mengepal erat. Emosinya benar-benar meluap. Beberapa hari sebelum meninggalkan negara Atlantik tidak ada tanda-tanda musuh yang terlihat. Orlando curiga kalau pelaku yang membuatnya akan bangkrut ialah musuhnya sendiri.Pemikiran itu tak pasti, sebab Orlando tidak menemukan bukti yang konkret mengenai musuhnya. Hanya saja penyelidikan kemarin bisa membongkar identitas yang tidak asli. Ia menatap tajam ke arah Sora. Wanita itu menundukkan pandangannya dengan ekspresi sedih. Sesaat keluar keduanya sudah dijemput menggunakan pesawat pribadi.
"Nona, simpan dulu pertanyaan anda itu. Mari kita bicarakan setelah sampai di dalam mobil," pinta Jaz dengan suara pelan. Aron mengabaikan pertanyaan itu. Kakinya tetap melangkah. Ia benar-benar bersikap acuh tak acuh. Melihat reaksi Aron yang tidak peduli padanya, Monica memilih diam. Keduanya saling meredam amarah.Beberapa orang yang melintas menyorot ke arah mereka. Monica sekarang sadar apa yang telah dibuatnya. Gadis itu nampak bergegas lari dan segera meraih tangan Aron. Tentu saja hal itu membuat pria keras kepal tersenyum sendiri.Jaz sedikit kepikiran dengan situasi yang tengah terjadi. Mereka cepat-cepat kembali ke dalam mobil. Hatinya merasa tak tenang bila raut wajah bosnya begitu serius. 'Apa jangan-jangan ada pertikaian diantara mereka?'Sesampainya mereka di mobil, Jaz masih mencuri pandang ke arah keduanya. Kepalanya menggeleng-geleng mencoba menghilangkan pikiran buruknya. Ia menoleh ke belakang seraya berkata, "Selanjutnya kita akan kemana, Tuan?""Supaya tidak ada