Setelah Siska keluar dari pintu rumahku, diam-diam aku mengintip di balik kaca ruang depan. Sengaja lampunya tidak kunyalakan supaya aksiku tidak ketahuan. Lampu luar yang sudah terang cukup membantuku bisa mengamati ke rumah seberang. Langkah Siska sempat tertahan di depan pintu pagar rumahnya. Sepertinya wanita itu sudah menyadari keberadaan motor dan dua orang yang sedang menunggunya. Tidak jelas percakapan mereka, tapi aku mendengar ada suara orang bercakap. Itu pasti Siska dengan orang yang menunggunya yang tak lain adalah orang yang mau menagih utang.Entah utang yang mana. Entah bank emok, atau pinjaman lainnya. Entah tukang panci atau tukang kredit barang-barang lainnya. Makin lama suara percakapan itu makin kencang, mungkin mereka bersitegang.Setelah itu aku pun memilih menyudahi aksi mengintipku. Memilih masuk untuk membereskan barang-barang bawaan dari Ibu. Tiba-tiba aku teringat kejadian saat aku akan pulang dari sana. Ekspresi wajah Lestari yang tidak baik-baik saja la
Spontan kulirik wanita yang masih berdiri di teras itu. Semoga saja Bu Mirna tidak pingsan, nanti aku kerepotan mengurusnya.Meski mencoba disembunyikan, tetap saja terlihat kalau Bu Mirna kaget mendengarnya. Wanita itu maju beberapa langkah hingga melewati pintu lalu ia berdiri mengamati isi ruang depan."Oh, jadi tadi Teh Tami baru habis belanja? Kredit di toko mana, Teh?" Pertanyaannya ditujukan padaku, tetapi matanya terus berkeliling.Kutarik napas berat sebelum menjawab. Mendengar Bu Mirna masih menganggapku ambil kredit, tiba-tiba aku ingin berteriak, tapi tetap kutahan. Lalu apa reaksinya jika dia tahu kalau semua itu kubeli secara tunai."Alhamdulillah saya tidak ngambil kredit, Bu. Tapi beli secara tunai semuanya." Kumantapkan senyum untuk meyakinkan wanita itu. Bibirnya terangkat, ia pun menoleh ke arahku lalu menatap beberapa saat. Raut tidak percaya sangat jelas tergambar di sana."Teh Tami jangan bercanda! Memangnya saya percaya kalau situ ambil kontan?!" Sekarang kedua
"Bi Ica jangan sok tahu! Memangnya kamu tahu apa tentang Akbar dan keluarganya?" Ibu menoleh ke arah Bi Ica. Aku bernapas lega, karena itu pertanda beliau tidak percaya dengan ucapan Bi Ica."Ya tahu dong, 'kan Teh Tami yang bilang tadi. Memangnya Bu Mariah yang nggak tahu apa-apa tentang menantu dan besannya?!"Duh, Bi Ica ngomongnya begitu meyakinkan. Ragu aku menoleh ke arah Ibu lalu kaget melihat perubahan wajahnya. Kalau tadi terkesan tidak percaya pada ucapan Bi Ica, maka sekarang kedua alisnya menyatu dan matanya menyipit seraya menatap ke arahku."Tami, apa benar yang dikatakan Bi Ica?" "Bi Ica ... itu .... " Aku ragu mau mengatakannya."Apa benar Akbar mengirim uang banyak?! Ibu tidak peduli apa Akbar anak pejabat, anak pemulung atau anak konglomerat. Yang ingin Ibu tahu, apa benar suamimu itu mengirim uang banyak?!" Ibu berkata penuh semangat.Selanjutnya kami sama-sama mematung. Ibu menunggu jawabanku, sedangkan aku memikirkan jawaban yang tepat."Iya, Mas Akbar memintaku
"Lalu uangnya dipakai apa?!" Aku bangkit dan mendekat. Mas Firman tadi membawaku ke ruangan yang ada di toko. Siang ini aku terburu-buru pergi ke toko setelah tahu ada peringatan dari pihak bank atas keterlambatan setoran beberapa bulan. Padahal setiap bulannya uang itu sudah disiapkan. "Ada Sayang, cuman Mas belum sempat aja." Jawaban macam apa itu. "Itu bukan alasan yang bisa dimengerti oleh akal, Mas. Zaman sekarang itu nggak ada kata sempat pergi, gak ada kata males antri. Sudah ada di rekening 'kan tinggal dipotong saja. Itu artinya uangnya tidak ada di rekening!" Aku mulai meradang. "Iya, uangnya Mas pake dulu untuk menutupi modal. Kamu tahu 'kan ada beberapa kreditan yang macet." Selain menjual secara tunai, kami juga mengeluarkan beberapa barang kreditan. Tentu saja dengan bunga yang tinggi untuk meminimalisir kerugian jika terjadi kemacetan. "Tapi itu tidak akan berpengaruh besar, Mas. Apalagi sampai nunggak beberapa bulan!" "Kamu harus ngertiin, dong. Usah
Riri sudah menunggu di parkiran. Beberapa meter sebelum sampai pada wanita itu, aku tidak bisa menahan airmata ini. Beruntung aku tidak sampai terjatuh karena lantai parkir yang akan kupijak tidak jelas terlihat, terhalang oleh air mata. Begitu jarak kami semakin tipis, aku tak bisa menahan beban tubuhku. Lututku tiba-tiba lemas, jalan satu-satunya adalah menjatuhkan diri ke arah Riri. "Aku tak menyangka Mas Firman akan seperti itu. Kok, dia tega, ya, Ri. Meskipun dari awal aku sudah curiga." Setengah berbisik dan suara yang bergetar. Dalam isak aku berkata pada Riri. Lebih tepatnya bergumam pada diri sendiri. "Sabar, Tari. Tahan dulu emosimu. Kamu tidak boleh seperti di sini." Dengan suara lembut dan usapan tangan di punggungku, Riri menyahut. "Aku gak kuat, Ri." "Iya, aku ngerti, tapi harga dirimu harus dijaga juga." Riri mengurai pelukan lalu kedua tangannya sigap membersihkan sisa-sisa air mata. Namun sia-sia karena pipiku kembali basah. "Tahan dulu air matamu, nanti se
Selama tiga hari Mang Edo mengecat rumahku. Selama itu pula Bi Ica ikut kerja juga. Wanita itu membantuku memasak untuk makan Mang Edo dan Wawan. Juga pekerjaan lainnya. Sambil bekerja, wanita itu banyak bercerita, salah satunya tentang Siska dan Bu Mirna. Katanya, dua orang itu dari dulu memang kerap menggosipkan aku. Mempengaruhi ibu-ibu di kampung ini untuk membenciku, entah apa alasannya. "Mungkin karena selama ini hidup Teh Tami tentram-tentram saja. Meskipun banyak kekurangan dalam segi materi, tapi Teh kami seperti tidak punya kesusahan tidak punya masalah juga dengan orang lain. Makanya mereka iri." Aku sendiri tidak terlalu ambil pusing dengan aduan Bi Ica. Terlanjur terbiasa digosipkan dua orang itu. Tantangan sekali punya dua tetangga yang sangat perhatian, hingga apapun yang kulakukan dan apapun yang terjadi padaku menjadi bahan perbincangan. Hari ini perabotan rumahku diantar. Tentu saja hal ini menjadi tontonan para tetanggaku, sebab aku membeli barang lebih dari s
"Jadi, Teteh itu habis mengecat ulang rumah dan membeli kulkas? Berarti benar kata ibu kalau sekarang Teteh banyak uang. Kemarin kupikir Ibu hanya memanas-manasi aku saja." Wajah Lestari berubah murung. Aku semakin bingung mendengar pembicaraan Lestari yang sama sekali tidak kupahami. "Memanas-manasi siapa maksudmu?" Aku duduk di hadapan Tari setelah meletakkan minuman di atas meja. Sesaat kami hanya saling tatap. Lestari mengubah posisi duduknya, ia mengambil satu buah gelas lalu menuangkan minuman dingin rasa cocopandan dari wadah yang sudah aku siapkan. "Mungkin sebentar lagi posisi kita akan bertukar." Lestari tidak melanjutkan ucapannya ia menyeruput air yang baru saja dituangkan ke dalam gelasnya. "Teteh nggak ngerti ke mana arah pembicaraan kamu." "Teh Tami tahu 'kan bagaimana Ibu? Bagaimana pandangannya mengenai uang. Kemarin aku menjadi anak kesayangannya karena aku banyak uang. Bisnis Mas Firman jalan, meski kami punya cicilan banyak. Aku bisa memberi Ibu lebih
Aku hanya bisa memutar bola mata ketika mendengar Lestari bersikukuh ingin tidur di kamar depan. Kamar yang disiapkan untuk Farah dan anak itu terpaksa harus kubujuk susah payah. Malam ini anak-anak tidur di kamar satunya, bertiga dalam satu kasur. Sementara aku tidur di lantai. Hanya itu satu-satunya cara membuat Farah bisa mengangguk meskipun anak itu masih tetap cemberut. Tak habis pikir dengan pola pikir Tari, masih untung dia ditampung di rumahku, tapi malah banyak mengatur semaunya sendiri. Padahal aku memintanya untuk mengalah pada Farah, keponakannya. Tetapi, Tari sama sekali tidak punya rasa belas kasihan. Besoknya, Lestari bangun siang. Subuh sudah kusuruh untuk menunaikan salat dan bersiap pulang. Karena hari ini anak-anak tidak libur sekolah. Tetapi dengan malas wanita menjawab kalau anak-anaknya untuk sementara tidak sekolah dulu. Aku hanya bisa menggeleng, setidaknya Lestari harus memikirkan mereka meskipun hatinya sedang kacau. Setelah aku bujuk, jam 08.00 dia pu
Kepergian Bapak membuatku semakin merasa bersalah. Pasalnya Bapak terkena serangan jantung setelah ada dua orang polisi mencari Mas Firman ke rumahnya. Mas firman memang akhir-akhir ini tengah dicari oleh banyak pihak. Kesalahannya semakin bertambah. Terakhir ia dilaporkan oleh salah satu temannya karena terlibat utang ratusan juta. Usut punya usut, ternyata uang itu ia gunakan untuk bermain judi online, selain bersenang-senang dengan jalang itu.Hidupku kini benar-benar kembali ke nol. Menumpang hidup di rumah Teh Tami dan mau tak mau harus bekerja untuk mencukupi hidupku bersama dua orang anak dan juga Ibu. Orang tuaku juga ikut-ikutan bangkrut karena ulah Mas firman. Untuk biaya tahlilan Bapak, Teh Tami yang menanggung. Saat ini aku mengandalkan uang kiriman Teh Tami untuk makan sehari-hari. "Tari, kita tidak mungkin terus menerus mengandalkan kakakmu. Kedepannya harus bisa mandiri. Kamu harus cari kerjaan. Anak-anak biar Ibu yang urus," ucap Ibu sore ini selepas acara tahlilan
Tangisku pecah setelah gundukan tanah basah dihadapanku ditaburi bunga-bunga beraneka rupa. Di dalamnya, jasad Bapak terbujur. Sore kemarin aku mendapat kabar dari Ibu kalau bapak berpulang secara mendadak. Padahal paginya kami masih berbincang di telepon. Lebih dari dua bulan aku tinggal di Jakarta, belum sempat pulang menengok beliau. Kami cukup direpotkan dengan urusan pindah sekolah anak-anak. Saat melakukan panggilan video, Bapak terlihat segar. Aku juga setengah tidak percaya kalau Bapak akan pergi secepat ini. "Sudah, Ma, ikhlaskan. Tidak baik meratapi kepergian seseorang yang kita sayang sebabkan itu akan menjadi beban baginya." Mas Akbar merangkulku kemudian tangan kekarnya terasa mengusap punggungku. Aku bukannya tidak ikhlas, tapi keinginanku untuk membawa Bapak berkunjung ke rumahku di Jakarta belum sempat terkabul. Beliau sempat memintaku untuk menunjukkan keadaan rumah kami di Jakarta saat kami melakukan panggilan video. Saat itu Bapak tak hentinya mengucap syukur
Niat menanyakan tentang Saras pada Mas Akbar masih harus aku tunda sampai anak-anak tidur. Biasanya mereka tidur cepat, tapi karena tadi di mobil sempat terlelap, jadi Farah sampai di rumah sangat susah disuruh masuk kamar. Begitupun dengan Suci. Setelah aku bujuk dengan alasan besok harus sekolah, akhirnya kedua anak perempuanku mau masuk kamar. Aku pun berganti pakaian dan membersihkan wajah. Lepas itu berjalan ke ruang tengah untuk menemui Mas Akbar. Meskipun dalam hati masih bingung, kalimat apa yang harus kusampaikan pada beliau untuk menanyakan perihal Saras. "Ponselmu tadi menyala dua kali." Belum juga aku duduk di sampingnya, Mas Akbar sudah menunjuk benda pipih yang tergeletak di atas meja. Aku baru ingat, ponsel itu tadi berada di tas. Mungkin karena berbunyi, Mas Akbar mengeluarkannya untuk melihat siapa yang menghubungiku. "Siapa yang telepon?" tanyaku seraya duduk di sampingnya. Lalu meraih benda tersebut. "Bi Ica." Mataku menyipit. Ada apa Bi Ica malam-malam telep
Minggu ketiga kami berada di Jakarta. Hari ini menjadi hari yang paling mendebarkan. Bagaimana tidak, kemarin sore pada saat Mas Akbar baru pulang dari kantor, beliau mengabarkan bahwa Papa dan Mama mertuaku ingin bertemu dengan kami. Kabar itu pun diperkuat oleh telepon dari Tante Devi, katanya papanya Mas Akbar, orang yang dulu paling menentang hubungan kami, sangat gembira ketika mendengar kabar menantu dan cucunya ini sudah ada di Jakarta. "Ini berkat kesabaranmu, Tami. Selama ini sudah mendampingi Akbar meskipun hidup kalian pas-pasan. Tante yakin kamu punya doa yang baik-baik untuk suami dan keluarganya." Itu yang diucapkan Tante Devi di akhir percakapan kami melalui telepon. Anak-anak pun begitu bahagia ketika mendengar akan bertemu dengan omah dan opahnya. Mereka juga bersemangat bangun pagi. Meski demikian, aku tidak lupa lupa memberi nasihat pada tiga anakku. Supaya mereka bisa menjaga sikap di rumah omah dan opahnya nanti. Terutama Farah yang sudah besar. Keluarga Mas
Seminggu kemudian, anak-anak sudah selesai ulangan. Aku pun sudah menemui kepala sekolah mereka untuk meminta izin dan mengurus surat-surat pindah. Tentu saja beliau tidak mengizinkan dengan alasan tunggu sampai kenaikan kelas. Tetapi, kalau mau izin pergi ke Jakarta diperbolehkan. Akan tetapi, surat pindah baru bisa dikeluarkan setelah anak-anak naik kelas nanti. Aku pun setuju, yang penting kami bisa berangkat ke Jakarta untuk menemui orang tuanya Mas Akbar. Mertuaku, sekaligus kakek dan neneknya anak-anakku. Sore nanti rencananya, Pak Amir akan datang menjemput kami. Tadi pagi aku sempat berpamitan pada Bapak dan Ibu, mengabarkan bahwa kami akan tinggal bersama Mas Akbar. Meskipun belum selesai mengurus surat di kantor kelurahan. Bapak sangat sedih ketika aku mengatakan akan tinggal di Jakarta. Aku juga sebenarnya tidak mau meninggalkan Bapak dalam keadaan sakit-sakitan seperti ini. Tapi mau bagaimana lagi, sebagai seorang istri aku harus manut pada suamiku. "Sebenarnya Bapak
Selesai menemani Bapak ke dokter, aku langsung berpamitan. Selain karena sudah tidak begitu khawatir, aku juga penasaran pada Bi Ica. Dari nada bicaranya aku tahu kalau wanita itu serius. Rasa ingin tahuku cukup besar, apalagi yang dilakukan oleh Siska lantaran Bi Ica terdengar sangat emosi. Tiba di kampungku, di warung Ceu Entin terlihat banyak orang. Awalnya kukira karena banyak yang belanja. Aka tetapi, ketika aku melintas, Bi Ica memanggilku. Otomatis aku pun mengerem mendadak. "Sini Teh Tami, mampir dulu!" "Ada apa, sih, Bi?" Aku memperhatikan beberapa orang yang tengah asik mengobrol di emper warung. "Eh, kan saya mau curhat." "Di sini? Kan banyak orang. Di rumah say aja, yuk!" Jujur saja aku risih kalau harus ngobrol di emper warung. "Di sini aja. Mereka sudah pada tahu, kok." Bi Ica melirik beberapa tetangga yang masih asyik dengan gosip mereka. Aku menggeleng perlahan. Selain karena tidak pernah bergosip di emper warung Ceu Entin, aku juga risih karena banyak orang
Aku hanya bisa memutar bola mata ketika mendengar Lestari bersikukuh ingin tidur di kamar depan. Kamar yang disiapkan untuk Farah dan anak itu terpaksa harus kubujuk susah payah. Malam ini anak-anak tidur di kamar satunya, bertiga dalam satu kasur. Sementara aku tidur di lantai. Hanya itu satu-satunya cara membuat Farah bisa mengangguk meskipun anak itu masih tetap cemberut. Tak habis pikir dengan pola pikir Tari, masih untung dia ditampung di rumahku, tapi malah banyak mengatur semaunya sendiri. Padahal aku memintanya untuk mengalah pada Farah, keponakannya. Tetapi, Tari sama sekali tidak punya rasa belas kasihan. Besoknya, Lestari bangun siang. Subuh sudah kusuruh untuk menunaikan salat dan bersiap pulang. Karena hari ini anak-anak tidak libur sekolah. Tetapi dengan malas wanita menjawab kalau anak-anaknya untuk sementara tidak sekolah dulu. Aku hanya bisa menggeleng, setidaknya Lestari harus memikirkan mereka meskipun hatinya sedang kacau. Setelah aku bujuk, jam 08.00 dia pu
"Jadi, Teteh itu habis mengecat ulang rumah dan membeli kulkas? Berarti benar kata ibu kalau sekarang Teteh banyak uang. Kemarin kupikir Ibu hanya memanas-manasi aku saja." Wajah Lestari berubah murung. Aku semakin bingung mendengar pembicaraan Lestari yang sama sekali tidak kupahami. "Memanas-manasi siapa maksudmu?" Aku duduk di hadapan Tari setelah meletakkan minuman di atas meja. Sesaat kami hanya saling tatap. Lestari mengubah posisi duduknya, ia mengambil satu buah gelas lalu menuangkan minuman dingin rasa cocopandan dari wadah yang sudah aku siapkan. "Mungkin sebentar lagi posisi kita akan bertukar." Lestari tidak melanjutkan ucapannya ia menyeruput air yang baru saja dituangkan ke dalam gelasnya. "Teteh nggak ngerti ke mana arah pembicaraan kamu." "Teh Tami tahu 'kan bagaimana Ibu? Bagaimana pandangannya mengenai uang. Kemarin aku menjadi anak kesayangannya karena aku banyak uang. Bisnis Mas Firman jalan, meski kami punya cicilan banyak. Aku bisa memberi Ibu lebih
Selama tiga hari Mang Edo mengecat rumahku. Selama itu pula Bi Ica ikut kerja juga. Wanita itu membantuku memasak untuk makan Mang Edo dan Wawan. Juga pekerjaan lainnya. Sambil bekerja, wanita itu banyak bercerita, salah satunya tentang Siska dan Bu Mirna. Katanya, dua orang itu dari dulu memang kerap menggosipkan aku. Mempengaruhi ibu-ibu di kampung ini untuk membenciku, entah apa alasannya. "Mungkin karena selama ini hidup Teh Tami tentram-tentram saja. Meskipun banyak kekurangan dalam segi materi, tapi Teh kami seperti tidak punya kesusahan tidak punya masalah juga dengan orang lain. Makanya mereka iri." Aku sendiri tidak terlalu ambil pusing dengan aduan Bi Ica. Terlanjur terbiasa digosipkan dua orang itu. Tantangan sekali punya dua tetangga yang sangat perhatian, hingga apapun yang kulakukan dan apapun yang terjadi padaku menjadi bahan perbincangan. Hari ini perabotan rumahku diantar. Tentu saja hal ini menjadi tontonan para tetanggaku, sebab aku membeli barang lebih dari s