Di atas ranjang berukuran 120×200 sepasang suami istri yang baru bertemu kembali itu berbaring—lebih tepatnya si pria yang sedikit menyanggahkan kepalanya di antara bantal dan headboard sedangkan sang istri bersandar nyaman di dada bidangnya.Hanya keheningan yang tercipta di kamar itu, di balik jendela kaca tampak daun-daun dari pohon-pohon membuat gemerisik karena tertiup angin hujan yang agak kencang.Tangan Nicholas terus mengelus surai wanitanya dengan lembut, sampai kemudian Caroline memecah keheningan itu."Nic, bagaimana kabarmu selama ini." tanyanya bernada lirih, tangan lentiknya merambat dari dada ke leher dan terus maju sampai bisa meraba wajah Nicholas.Caroline membuat senyum tipis di bibirnya, bagaimana wajah suaminya setelah setahun ini? Ah ia sangat merindukan wajah tampan yang selalu memberikan tatapan datar dan dingin itu. "Aku sangat merindukanmu." Caroline memeluk erat tubuh suaminya dengan sayang.Tuhan, ia benar-benar telah jatuh pada lelaki itu. "Aku pun Car
Setibanya di tempat tujuan yaitu Las Angeles Amerika. Nicholas langsung membawa istrinya ke suatu tempat yang sudah di pastikan aman terlebih dari seorang Karen Winslet.Tentu saat ini bukan waktu yang tepat mempertemukan istri tua dan istri muda, dan Nicholas pun masih tak rela bila di haruskan jujur akan status barunya.Dia agak khawatir respon Caroline, wanita itu bukan wanita tipe yang pasrah-pasrah saja. Meski kondisinya sekarang yang berubah 90% tapi tak memungkinkan wanitanya akan pergi kan?Ahh kenapa begitu rumit sekali!"Beneran mau pergi?" Caroline menggenggam erat tangan besar Nicholas dengan kedua tangan mungilnya. Mereka kini sudah berada di ranjang sebuah vampiliun blok b dari mansion minimalis yang di bangun di dalam hutan—jauh dari pemukiman penduduk tentu saja. Dan beberapa bodyguart di tugaskan berjaga dalam 24 jam."Kita baru saja bertemu kembali,"Caroline yang menatap kedepan tampak sendu tak rela melepas suaminya yang beberapa menit lalu melapor harus pegi karen
Selasa, 07.45 AM. London Inggris. Di sebuah kamar dengan dominasi warna putih Caroline dengan bekas air mata tampak berbaring terlelap di ranjang besar berukuran kingsize. Kedua kelopak matanya tampak bergerak-gerak, siap terbuka, keningnya pun berkerut kala di rasa tidurnya ada terasa terganggu.Suara halus bersama elusan lembut di pipinya seketika membuatnya terbangun dari alam mimpi."Eum, " gumamnya tak jelas."Wake up hanny," "Mommy?""Yes it's mom. Waktunya bangun, kita harus mengantar kakakmu untuk terakhir kalinya." Lirih Elina dengan raut muramnya yang memprihatinkan.Caroline yang sadar akan hal itu seketika bangun, setelah menangis habis-habisan semalam karena mengetahui alasan kenapa kakak kandung yang baru di ketahuinya ini harus sampai berbaring tidak berdaya di rumah sakit dan pada akhirnya tidak kuat untuk bertahan.Ya Caroline tau dan amat merasa bersalah. Kejadian satu tahun yang lalu ternyata merugikan. Dan Caroline tidak bisa untuk tidak menyalahkan dirinya send
Setelah kurang dari satu jam perjalanan, Caroline dan ibunya akhirnya sampai di pintu gerbang Mansion milik Albert—suami Elina sekaligus ayah yang baru ditemuinya beberapa jam lalu.Dan kala gerbang raksasa itu terbuka tampak lah pekarangan luas dengan kanan kiri pepohonan yang menghiasi jalan, tidak lupa di tengah-tengahnya terhampar ukiran patung air terjun dengan ukuran sedang yang di kelilingi bunga warna warni yang tampak cantik.Sedangkan si pusat utama—yaitu bangunan tinggi nan kokoh dengan luas berhektar-hektar memiliki kesan modern dengan dominasi warna cerah. Namun sayangnya Caroline tidak bisa melihat pemandangan indah itu."Kita sampai," beritahu Elina kala mobil yang tengah di tumpanginya berhenti."O... ohh," Caroline mengangguk mengeratkan genggaman tangannya pada tangan sang ibu, lalu ikut bergerak untuk keluar di bantu sang ibu.Berjalan saling bersisian, Caroline mengikuti langkah sang ibu. Menapaki bangunan yang menjadi tempat tinggal keluarganya untuk pertama kal
Di kamarnya Caroline mengembuskan napasnya agak kasar. Beberapa hari sudah dilewatinya di mansion ini dan rasanya membuat Caroline bosan.Meski beberapa waktu lalu memang dirinya selalu mendapat ucapan rendah penuh ejekan dari Nyonya Allin—si perusak berbisa. Itu lah julukannya pada wanita yang menjadi mama tirinya itu. Dan sekali pun Caroline tidak sudi menganggap wanita itu sebagai mamanya. Dan bukan Caroline namanya jika wanita itu hanya diam saja. Karena jelas Caroline bukan tipe wanita sabar dan pendiam. Wanita itu lebih suka di tantang atau menantang."Nic. Kapan kau ke sini lagi, Aku merindukanmu." lirihnya dalam keheningan kamar.Sudah seminggu dirinya tinggal bersama keluarga kandungnya, dan sudah empat hari Nicholas meninggalkannya dan sampai sekarang pria itu belum juga menemuinya lagi.Cup"Eh!"Caroline melongo saat mendapat kecupan tiba-tiba di pelipisnya.CupSatu kecupan lagi mendarat di dahinya."Nic?" Caroline menebak.Tidak ada jawaban."Nic? Kau kah itu Nicholas?"
Empat puluh menit di perjalanan akhirnya Nicholas sampai juga di tempat tujuannya.Nicholas langsung keluar dari mobilnya, dengan langkah tergesa memasuki mansion keluarganya. Sesampainya di pintu masuk, pemandangan pertama yang dilihatnya membuat rahangnya mengeras, kedua tangannya terkepal erat menimbulkan otot-otot tangannya bermunculan.Karen Winslet— yang berdiri di depannya tengah menyandera seorang wanita berperut agak buncit yang tengah meringis menahan sakit di perutnya.Adiknya, yea korban sandra itu Nicholatte yang tengah hamil kembali, kandungannya ada di usia 6 bulan."Lepaskan. Adikku. Karen." desis penuh penekanan di setiap kalimatnya. Pria itu terus menghunuskan tatapan tajamnya pada Karen, sedetik kemudian tatapannya beralih pada seorang wanita paruh baya yang ikut di sandra oleh pria berkepala plontos—Ibunya. Andhe Matthew.Bukannya melepas Karen malah terkekeh, wanita itu sama sekali tidak terlihat takut dengan tatapan buas penuh ancaman Nicholas, malah dengan beran
Beberapa jam kemudian, langit sudah berganti menggelap. Menampakkan cahaya bulan yang menyinari seluruh bumi meski dengan jarak yang amat sangat jauh sekali.Di rumah sakit Caroline bersiap akan menjalani operasi."Mom, Nicholas bagaimana? Apa dia belum datang?" tanya Caroline meremas pelan tangan sang ibu."Dia pasti datang, sebentar lagi." Beritahu Elina menenangkan.Harusnya yang sekarang mendampingi Putrinya dalam keadaan seperti ini adalah suaminya. Tapi Elina maklum, menantunya itu tengah membereskan sesuatu agar keadaan tetap aman. Dan putrinya selamat."Nanti kapan?" tanya Caroline tidak sabar. "Harusnya dia yang menemaniku sekarang mom," lirihnya pelan, nada suaranya terdengar sedih.Caroline ingin suaminya di sini, menemaninya yang jujur saja merasa takut. Pikiran-pikiran buruk terus menyerang kepalanya, bagaimana bila operasi ini gagal, dan kemudian sesuatu terjadi padanya.Di mana pria itu untuk menghiburnya, menenangkannya bahwa semuanya akan baik-baik saja.Ohh harapan i
Elina menetralkan jantungnya mencoba lebih tenang. Dalam keadaan seperti ini menunjukan kegugupan dan ketakutan merupakan hal bodoh apa lagi menghiraukan panggilannya. Jadi, dengan setenang mungkin Elina berbalik dengan senyum di paksakannya.''Iya ada apa?" tanyanya dengan mimik yang seolah tak mengerti.Si wanita berseragam dengan tinggi menjulang di hadapannya itu malah mengangkat sebelah alisnya, berjalan mendekati Elina yang mecoba setenang mungkin.Dan saat mereka berhadap-hadapan wanita berseragam itu tersenyum—jenis senyuman tak biasa. ''Kenapa Anda terlihat gugup menatap saya?''Gosh! Apa terlihat jelas wajah gugupnya, pada hal Elina sebisa mungkin menetralkan ketenangannya."A-apa maksud Anda?"Tersenyum sinis, wanita itu menyahut. "Anda tidak bisa membohongi saya."Tentu Elina membeku.