"Miana, sudah kubilang aku bisa menjelaskan semuanya. Bisakah kamu nggak pergi? Dengarkan aku dulu!" Henry mencoba menahan amarahnya, berusaha melembutkan nada bicaranya.Dia bergegas kembali dari Kota Sugal bukan untuk mengantar Miana pergi.Dia ingin menjelaskan semuanya dan meminta maaf padanya.Kali ini memang dia yang salah!Miana memegang kopernya erat-erat dan menatap Henry dengan tatapan dingin.Henry adalah pria yang telah dicintainya selama sepuluh tahun.Dia pikir akan mencintai Henry seumur hidupnya.Namun, dia sekarang telah melepaskan Henry dari hatinya.Miana tidak menyesal pernah mencintai Henry.Dia juga tidak khawatir bagaimana menjalani masa depannya.Dia hanya perlu fokus melihat ke depan.Dia percaya bahwa Tuhan pasti akan memberikannya yang terbaik."Henry, kesempatan yang aku berikan padamu sudah habis! Jadi kali ini, keputusanku untuk pergi sudah bulat" ujar Miana dengan tenang, sama sekati tidak ada emosi apa pun di wajahnya.Kematian neneknya telah membuat Mia
Miana memang sudah berencana tinggal di Ruellia, jadi saat Kakek berkata demikian, dia tidak menolak. "Kek, aku mengerti. Sekarang sudah larut, lebih baik Kakek pulang dan istirahat, oke? Setelah perpindahanku selesai, aku akan datang menemui Kakek.""Oke!" Melihat wajah kecil Miana begitu pucat dan lesu, hati Eddy terasa pilu.'Sungguh gadis yang baik.'Dia benar-benar tidak rela Miana pergi.Namun, dia tidak boleh begitu egois dan membiarkan Miana tetap di sini dan terus disakiti oleh Henry.'Lihat saja nanti, Henry pasti akan menyesal!'Miana menarik kopernya dan berjalan tanpa sekali pun menoleh ke belakang.Setelah memutuskan untuk pergi, dia harus tegas."Miana!" Henry ingin mengejarnya, tetapi Kakek mengangkat tongkatnya dan memukul kakinya. "Berhenti! Jangan kejar dia!""Kakek ...." Henry bertanya-tanya, mengapa Kakek tidak bisa berpikir jernih lagi sekarang?Setelah menyuruh sopir untuk mengatar Miana, Eddy memandang Henry dan mencibir, "Henry, apa hakmu untuk menahannya nggak
Tangan Henry yang sedang memegang gelas itu seakan-akan dicengkeram kuat oleh sesuatu yang tidak terlihat. Entah mengapa dia tiba-tiba merasa sesak di dadanya.Langit di luar jendela gelap seperti tinta. Meskipun di dalam ruangan ada cahaya lampu, hal itu tidak dapat mencerminkan perasaan rumit yang dirasakan Henry saat ini.'Kakek juga memberi tahu Miana tentang hal ini?''Kalau nggak, kenapa Miana begitu bertekad untuk bercerai!'"Aku sudah memperingatkanmu, jangan terlalu ikut campur urusan Janice, tapi kamu mengabaikan kata-kataku!" seru Eddy dengan suara rendah tetapi penuh dengan wibawa. Setiap kata-katanya seperti palu yang menghantam ke hati Henry.Henry tahu bahwa Kakek tiba-tiba membicarakan ini karena Kakek pasti sudah menyuruh orang untuk menyelidikinya dan mengetahui Janice bersamanya di Kota Sugal.'Apakah Miana juga tahu apa yang diketahui Kakek?'Henry tidak merespons ucapan kakeknya. Dia memilih untuk diam."Di mata orang lain, Janice mungkin tampak lemah dan polos, ta
Dering ponsel menarik kembali Farel dari pikirannya.Farel mengangkat alisnya.'Mungkin Sherry tiba-tiba merasa bersalah, jadi kembali dengan makanan-makanan itu untuk makan malam bersamaku?''Hmph!''Karena perilakunya yang baik, aku bisa nggak menghukumnya dengan kejam.'Sambil berpikir demikian, dia mengeluarkan ponselnya dari saku.Namun, yang tertera di layar adalah nama Henry.'Kenapa Henry meneleponku?''Apa yang terjadi?'Segera, dia mengangkat telepon itu."Ayo, keluar minum!" ajak Henry tanpa basa-basi."Kenapa tiba-tiba?" tanya Farel yang merasa aneh.'Suasana hati Henry sedang buruk?''Kalau nggak, kenapa tiba-tiba mengajakku minum?'"Jangan banyak bicara! Tempat biasa." Selesai berbicara, Henry langsung menutup telepon.Farel meletakkan ponselnya dan mengambil sendok untuk menghabiskan sayuran di meja sebelum keluar rumah.Setibanya di kelab, dia langsung melihat seorang wanita berdiri di sana, seperti sedang menunggunya.Dia mengusap keningnya, lalu berjalan menuju wanita
Rika mengikuti Farel dari belakang. Hidungnya dipenuhi aroma melati yang samar-samar tercium dari tubuh Farel.Dia tidak bisa tidak membayangkan pria seperti apa Farel ini."Duduklah."Suara itu membuyarkan lamunan Rika.Tanpa sadar, mereka sudah masuk ke dalam ruang VIP."Kenapa? Apakah aku terlihat tampan? Kenapa terus menatapku?" Farel tersenyum dan menggodanya, seakan-akan mereka sudah mengenal cukup lama.Padahal hari ini adalah pertemuan pertama mereka.Rika duduk, lalu menoleh ke Farel dan mengucapkan terima kasih.Farel duduk di seberangnya.Pelayan datang membawa minuman dan camilan.Farel mengambil gelas dan menuangkan minuman.Rika menatap Farel, ekspresinya terlihat tenang, tetapi di dalam hatinya sudah mulai tumbuh rasa suka.Berwajah tampan dan bersikap lembut, mungkin setiap wanita akan menyukai pria seperti ini."Kalau kamu bisa minum, minumlah sedikit saja. Kalau nggak, aku akan pesan minuman soda untukmu." Saat menuangkan minuman, Farel sepertinya baru mengingat hal i
Farel bergerak sedikit, jari-jarinya yang panjang dengan lembut mengusap tepi gelas kristal yang bening, gerakan itu tampaknya menyimpan banyak cerita dan emosi yang belum terselesaikan.Sebuah pikiran buruk melintas di benak Rika.Kemudian suara Farel memasuki telinganya, "Kamu harus tahu, lahir di keluarga seperti kita, pilihan pernikahan sering kali melampaui batas emosi pribadi, terikat erat oleh tanggung jawab dan harapan keluarga. Oleh karena itu, apakah di dalam hatiku ada wanita yang aku cintai, sebenarnya sudah nggak begitu penting. Yang penting adalah pernikahan kita bisa membuat orang tua kedua belah pihak puas, dan antara kamu dan aku, setidaknya masih bisa mempertahankan kesepakatan untuk nggak saling membenci."Saat Farel mengucapkan kata-kata ini, tatapannya tertuju pada tempat yang tidak diketahui, seolah-olah sedang menatap seseorang melalui tempat itu.Melihat tatapan Farel itu, hati Rika menegang tanpa bisa dijelaskan mengapa.Dia sudah menduga bahwa Farel memiliki s
Di belakang Henry ada Yosef yang mengenakan pakaian santai, tetapi tetap memancarkan aura yang elegan. Dengan senyum tipis di bibirnya, seolah-olah selalu bisa mendekatkan diri dengan orang lain tanpa disadari.Sementara itu, Carel tampak seperti seorang pemula di dunia kerja. Sorot matanya berkilauan penuh rasa ingin tahu dan evaluasi terhadap sekitarnya.Ketiganya melangkah masuk ke dalam ruangan, pandangan mereka serentak tertuju pada Rika.Rika duduk di samping meja, mengenakan gaun sederhana namun elegan yang menonjolkan sosoknya yang anggun. Rambut panjangnya diikat ke atas, dan beberapa helai rambut jatuh di pipinya, menambah kesan lembut dan anggun pada penampilannya. Dia membalas setiap tatapan dengan senyuman. Ketenangan dan keanggunannya membuat orang tanpa sadar merasa nyaman dengannya.Setelah saling menyapa dan memperkenalkan diri, suasana menjadi semakin akrab dan santai.Farel secara terbuka membicarakan hubungannya dengan Rika, serta kemungkinan besar mereka akan menja
"Sherry? Ada apa?" Suara Farel terdengar dari telepon ketika Miana menggigit bibirnya. Saat hendak berbicara, suara yang akrab terdengar, "Ada apa? Wanitamu memeriksa kamu?""Sherry, bicaralah." Farel melirik Henry, dan nada suaranya menjadi lembut, seolah-olah takut membuat Sherry takut.Miana ragu sejenak sebelum berkata, "Sherry mabuk. Kalau kamu punya waktu sekarang, bisakah kamu datang ke Ruellia dan membawanya pulang?"Farel melirik pria dingin di sebelahnya dan menjawab, "Baik, aku akan segera ke sana!"Miana terdiam sesaat, lalu menambahkan, "Kamu datang sendiri saja, jangan biarkan Henry ikut, aku nggak ingin bertemunya!"Setelah kematian neneknya, dia tidak memiliki perasaan apa pun lagi terhadap Henry.Dia tidak ingin bertemu dengannya.Bahkan tidak ingin mendengar penjelasannya.Beberapa hal, meskipun sudah dijelaskan, tetap akan meninggalkan bekas di hati.Daripada dia terus meratapi masa lalu, lebih baik memperbaiki suasana hati dan fokus menjaga kehamilannya.Farel yang
Amanda tidak pernah meragukan Miana.Dia hanya meragukan dirinya sendiri."Duduklah, kita diskusikan lagi," ujar Miana dengan suara lembut, sambil mengangkat cangkir kopinya dan mengaduknya perlahan."Oke!" Amanda menarik kursi dan duduk di depannya, kemudian mereka mulai berdiskusi.Diskusi mereka selesai tepat sebelum waktu yang ditentukan.Amanda segera mengemas dokumen-dokumen dengan rapi, lalu dia dan Miana meninggalkan kantor bersama-sama.Kendati sudah empat tahun meninggalkan Kota Jirya, Miana tetap menjadi sosok yang dihormati dan diingat.Setibanya di pengadilan, banyak wajah akrab yang menyapanya dengan antusias.Pemandangan itu membuat Amanda teringat pertama kali dia berada di pengadilan.Saat itu, tubuhnya gemetar karena gugup, tetapi Miana segera membantunya duduk dan menenangkan dirinya.Setelah beberapa saat, sidang hari ini pun dimulai.Sidang berlangsung penuh ketegangan, kedua belah pihak saling beradu argumentasi dalam perdebatan sengit, masing-masing mengupayakan
Menurut Miana, reaksi Ariz terasa sedikit berlebihan.Sepertinya Ariz juga menyadari hal itu, lalu mencoba untuk tenang sebelum bertanya, "Apa yang terjadi dengan Bu Sherry? Kenapa dia dirawat di rumah sakit?"Dalam beberapa hari terakhir, dia menganggap Sherry sedang dalam perjalanan bisnis karena tidak bisa dihubungi.Namun, dia tidak pernah menduga bahwa Sherry sebenarnya berada di rumah sakit.Miana memandangnya, mempertimbangkan ucapan sebelum mengungkapkan berita berat itu. Dengan suara pelan, dia berkata, "Dia mengalami kecelakaan mobil, kehilangan salah satu kakinya, dan kini dirawat di rumah sakit."Wajah Ariz memucat, seolah sulit mencerna informasi itu, sebelum akhirnya bertanya, "Bagaimana ... keadaannya sekarang?'"'Kehilangan salah satu kaki, dia pasti sangat terpukul.''Aku bahkan sama sekali nggak menyadari apa yang sebenarnya terjadi.'"Dia memang terlihat biasa saja, tapi aku yakin hatinya nggak sepenuhnya tenang," ujar Miana, sorot matanya tajam memperhatikan Ariz, m
Selesai berbicara dengan kepala sekolah, Miana menuju tempat parkir dan sebuah mobil Maybach sengaja menghalangi mobilnya.Dia berjalan mendekat dan mengetuk kaca mobil ituBegitu kaca jendela mobil diturunkan, wajah dingin Henry terlihat."Tolong pindahkan mobilmu," ujar Miana yang masih dengan nada sopan."Masuklah, aku akan mengantarmu," ujar Henry dengan nada tegas.Miana mengernyit dan nada bicaranya berubah ketus, "Aku bawa mobil sendiri, nggak perlu kamu antar. Kalau ada yang ingin kamu bicarakan, langsung saja!"Dia pikir, setelah kejadian semalam, Henry tidak akan mengusiknya untuk sementara waktu.Dia sungguh tidak menyangka, pagi ini, Henry muncul lagi.Benar-benar pria tidak tahu malu!"Kapan kamu akan membawa putra kita dan tinggal bersamaku?" Henry memandang wajah Miana yang begitu dekat, dan perasaan yang lama terpendam dalam dirinya mengalir kembali dengan kuat.Dia mencintai Miana.Namun, Miana tidak mencintainya lagi."Henry, bisakah kamu bertindak normal?" Miana mera
Sherry dan Miana bertukar pandang, lalu dia melambaikan tangan kepada Nevan sambil berkata, "Baiklah, kamu pergilah ke taman kanak-kanak. Jangan lupa dengarkan gurumu dengan baik, ya. Ibu angkat pasti akan merindukanmu!"Miana tertawa mendengar perkataan Sherry.Nevan menggembungkan pipinya, memberungut marah. Matanya memerah menahan amarah, lalu dia mengentakkan kakinya beberapa kali dengan keras sebelum bergegas keluar."Dia benaran marah?" tanya Sherry kepada Miana.Miana tersenyum sambil menjawab, "Tentu saja dia marah. Baginya, Kamu itu adalah harapannya, dan ternyata kamu membuatnya kecewa. Jangan khawatir, dia anak yang mudah dibujuk. Sebentar lagi dia akan kembali ceria.""Baguslah kalau begitu. Jangan buang waktu lagi, kamu cepat pergi bujuk dia." Sherry akhirnya merasa lega."Setelah selesai sarapan, kamu kembali istirahat saja. Nanti aku akan mengirim Ariz ke sini," ujar Miana sambil melambaikan tangan kepada Sherry, sebelum dia berbalik dan pergi.Di pos suster, Nevan sedan
Pada hari itu, Sherry keluar dari kantor dekan dengan tergesa-gesa, lalu tertabrak sepeda Ariz dan terjatuh ke tanah.Ariz segera memarkir sepedanya dengan baik, lalu mengendong Sherry ke klinik kampus.Setelah itu, Ariz tetap bersikeras mengantar Sherry kembali ke perusahaan, meskipun Sherry terus meyakinkan bahwa dirinya baik-baik saja.Hari pertama Ariz bergabung di perusahaan, barulah Sherry sadar bahwa Ariz adalah orang yang menabraknya waktu itu.Sejak saat itu, Ariz tetap berada di sisinya hingga kini.Dalam beberapa tahun kebersamaan mereka, Sherry merasa sangat bersyukur atas keputusan yang dia buat pada hari itu."Kalau begitu, minta Ariz ke Universitas Jirya dan carikan orang berbakat seperti dirinya untuk membantu perkembangan perusahaan kita ke depannya." Miana sangat puas dengan kemampuan Ariz. Dia percaya, dengan Ariz bertanggung jawab atas perekrutan, hasilnya akan sangat memuaskan. Selain itu, dia memang sudah berencana merekrut orang baru untuk belajar darinya."Baikl
"Begitu aku bangun pagi ini, aku langsung menyadari kalau informasi lokasi adikmu nggak lagi dapat dilacak. Aku mencoba beberapa cara untuk menemukannya, tetapi hasilnya nihil. Akhirnya, aku meretas ponselnya dan memeriksa riwayat panggilan. Panggilan terakhirnya adalah kepada Nyonya Besar keluarga Jirgan."Miana menyipitkan matanya, sementara otaknya bekerja keras menyusun setiap petunjuk yang telah dia dapatkan.'Untuk apa Celine mencari Felica?''Hubungan mereka sangat dekat?'"Bos, apa masih perlu mencari keberadaannya?""Tetap cari!" Miana merasa ada sesuatu yang tidak beres.'Ke mana Celine pergi?'"Oke, aku akan segera mencarinya! Lalu, bagaimana dengan penyelidikan kecelakaan Sherry?""Begitu urusanku selesai, aku akan langsung mengecek ulang informasi tentang orang itu untuk memastikan identitas aslinya.""Baiklah."Setelah menutup telepon, Miana bersandar di dinding. Kekhawatiran membanjiri pikirannya.Tiba-tiba, terdengar suara Nevan dari kamar perawatan. "Ibu, cepat masuk!"
Perawat sibuk bekerja, menyeka tangan Sherry dengan lembut.Ketika Nevan masuk ke kamar perawatan, suaranya yang ceria memecah keheningan."Ibu angkat, aku datang!" serunya sambil berlari kecil menuju ranjang.Mendengar suara ceria Nevan, senyum langsung menghiasi wajah Sherry. Dia menoleh kepada perawat dan berkata dengan lembut, "Kamu siapkan sarapan dulu."Perawat mengangguk dan berjalan keluar ruangan.Dengan langkah-langkah kecil yang penuh semangat, Nevan tiba di sisi ranjang. Sepasang mata jernihnya menatap Sherry yang sedang berbaring, dan dia bertanya dengan suara manis, "Apakah Ibu merindukan?"Sherry merasa hatinya terisi kebahagiaan, dia tertawa sambil meraih tangan Nevan. "Tentu saja sangat merindukanmu!"Nevan berjinjit, berusaha memanjat ke ranjang, tetapi tinggi tubuhnya membuatnya kesulitan. Dengan senyum kecil, dia menundukkan kepala dan memberikan ciuman hangat di punggung tangan Sherry. "Aku juga merindukan Ibu angkat!"Miana menyaksikan interaksi hangat antara Neva
Miana tertegun.Dia pernah memikirkan kemungkinan menikah dengan Giyan suatu hari nanti.Namun, tidak terlintas dalam benaknya bahwa Giyan akan menyatakannya pada waktu seperti sekarang.Ekspresi tertegun Miana membuat Giyan merasa sedikit kecewa, tetapi dia tetap mempertahankan senyumnya. "Aku hanya bercanda! Aku nggak bermaksud memaksamu untuk menikah! Sore nanti, kalau kamu punya waktu, aku bisa membawamu melihat rumah itu. Kalau kamu merasa cocok, kita bisa langsung pindah besok, bagaimana?"Dia tidak yakin apakah Henry masih memiliki tempat di hati Miana, tetapi dia sangat menyadari bahwa perasaan Miana terhadapnya belum cukup kuat untuk membangun masa depan bersama.Tentu saja, ini membuat hatinya terasa perih.Namun, dia tahu bahwa memaksakan sesuatu bukanlah jawabannya.Yang bisa dia lakukan hanyalah menunggu Miana siap."Giyan ...." Miana menyadari bahwa senyum di wajah Giyan terlihat dipaksakan, membuat hatinya diliputi rasa bersalah. Namun, dia tahu bahwa dia harus jujur. "M
Miana dengan penuh hati-hati menggeser Nevan ke samping dan bangkit dari ranjang.Setelah mencuci muka dan bersiap-siap, dia turun ke lantai bawah.Giyan sudah menyiapkan sarapan dan sedang membersihkan ruang tamu."Kenapa bangun sepagi ini? Tidur lagi saja sebentar," ujar Giyan, sembari menghentikan penyedot debu. Tatapan lembutnya tertuju pada Miana, dan suaranya tetap penuh kehangatan."Nggak deh, terlalu banyak yang harus aku kerjakan hari ini," ujar Miana dengan lembut, sambil mendekat dan merangkul pinggang Giyan."Kalau begitu, kamu sarapan dulu. Aku akan pergi membangunkan Nevan," ujar Giyan dengan suara yang agak serak, lalu mencium kening Miana."Oke, kamu pergi bangunkan dia," ujar Miana sambil menyandarkan wajahnya ke dada Giyan.Dengan Giyan di sisinya, semuanya tampak begitu damai dan hangat.Hidup dalam momen ini terasa begitu menyenangkan."Kamu makanlah, aku naik ke atas sekarang." Giyan mencubit pipi Miana dengan lembut.Miana menyadari telinga Giyan yang agak merah,