Ajeng langsung melirik Maira lalu kembali menatap Hana. Dia segera memegang tangan gadis kecil itu. "Akh ... maaf ya, gara-gara Tante acara jalan-jalan Hana keganggu," lontar wanita itu. Gadis kecil itu langsung menggeleng dan membalas memegang tangan Ajeng. "Gak papa kok, kalau buat bantuin Tante. Cepet sembuh ya, Tante," ucap Hana. Mendengar perkataan Hana, Maira mengulas senyum. Ia bangkit lalu memilih pamit untuk mengajak Hana berjalan-jalan. Setelah kepergian mereka berdua, Lena segera menyerbu anaknya. "Kamu kenal gadis itu, Jeng? Dia siapa sih, kok manggil Maira, Mama," serbu wanita itu. Ajeng memandang Ibunya lalu menyuruh wanita itu untuk duduk disampingnya. Ia langsung menceritakan semua, karena sang teman memberitahu kala diacara makan. "Semoga Maira sekarang dapet laki-laki yang baik ya, jangan kaya si Reyhan," ucap Lena menggebu. Wanita itu mengaminin ucapan sang Ibu, mereka berdoa agar Maira mendapatkan pendamping yang baik. Sedangkan di tempat lain, Hafiz tidak
Jam istirahat di kantor Hafiz tiba, lelaki itu langsung menelepon Maira. Mendapatkan panggilan pria yang ditunggu sejak tadi, dia lekas mengangkatnya. "Kamu jangan ikut pas supir yang disuruh Mama datang, biar aku yang jemput kamu! Ingat jangan ikut, oke. Kita ke rumah Mama bareng-bareng," seru lelaki itu. Maira mengiyakan perkataan Hafiz, lalu panggilan selesai karena pria tersebut hendak memejamkan mata untuk menikmati jam istirahat. Sedangkan para karyawan pergi untuk menunaikan ibadah salat, tempat ini menyediakan untuk beribadah. "Ah ... aku merasa lebih lega sekarang," ujar Maira. Suara panggilan dan ketukan pintu dari sang Ibu terdengar, ia segera keluar dari kamarnya. "Ayo Nduk, jangan tidur dulu! Ayo kita salat berjamaah, ada Bapak di rumah," ajak Dewi. Wanita itu menganggukan kepala lalu masuk ke kamar kembali untuk mengambil sajadah dan mukena. Mereka melangkah menuju tempat beribadah bersama, terlihat Ali yang sudah rapi. Suara ketukan pintu terdengar kala selesai b
Dewi mengulas senyum mendengar lanjutan perkataan sang anak. Ia langsung memeluk dan mendaratkan kecupan di pipi Maira. "Ayo kalau gitu kita siap-siap," ujar wanita itu. Maira merangkul Ibunya, lalu mengajak masuk wanita itu. "Gak perlu sekarang, Bu. Nanti aja, mendingan sekarang kita santai-santai nonton televisi," ajak Maira. Wanita itu menghela napas mendengar perkataan Maira tetapi menurutinya. Sedangkan di tempat lain, Devi tengah menggerutu lalu ia dihentikan temannya."Kamu kenapa dilihat menggerutu aja, Dev," lontar wanita itu.Devi langsung menatap temannya lalu menyeringai kala melihat lumayan banyak ibu-ibu berkumpul. "Itu lho, Mbakku, masa gak mau ngasih minjem duit, padahal aku butuh uang buat nikahan anakku."Mereka yang memang berteman dengan Devi, langsung menatap wanita itu. Semua kini membicarakan kakak perempuan tersebut. "Wah, bagus nih buat jadi bahan gosip," batin salah satu dari mereka. "Padahal kan, jualan Maira lumayan laris. Masa gak punya uang sih bua
Maira dan Dewi saling pandang, tak lama pintu itu ditarik. Membuat wanita tersebut terbawa. Tatapan sinis dari Devi langsung menyerang. "Haduh, Bi. Bisa gak jangan langsung tarik," seru perempuan itu. Devi hanya mendelik melirik Maira lalu ia berpaling menatap kakaknya. "Ngapain ke sini! Mau lihat keluargaku ribut gara-gara kamu," sentak Devi. Mata Maira melotot, ia langsung memegang lengan Ibunya dan menatap kesal ke arah sang Bibi. "Kami datang baik-baik lho, Bi. Bibi malah nuduh Ibu buat kalian ribut," geram Maira. Devi bersidekap dan memutarkan bola matanya malas. Lalu tak lama muncul Syafa, perempuan itu sedikit berantakan."Ini, Mbak cuma bisa minjemin segini," ucap Dewi. Dia mengeluarkan uang dari dompetnya lalu Devi langsung menyambar. Wanita tersebut menghitung jumlah yang diberikan oleh sang Kakak. "Kok cuma segini, lagian masa dibilang minjem. Harusnya Mbak memang harus bantuin karena kita keluarga!" Walau berkata demikian, Devi langsung memasukan uang itu ke dalam
Maira langsung menoleh ke orang yang berbicara. Lalu beberapa menyahuti perkataan perempuan tadi. "Kalian tau dari mana Ibuku gak kasih minjem uang ke Bibi?" tanya Maira. Wanita itu menanggapi dengan santai, bahkan kini sambil memilih belanjaan. Melihat hal tersebut salah satu dari mereka geram lalu mencekal tangan Maira. Membuat perempuan tersebut melirik yang memegangnya."Mpok, aku lagi milihin lho. Kalian kalau mau keluarin perkataan sesuatu ya keluarin aja. Kalau udah selesai baru aku jawab. Cuma aku kasih tau ya, jangan nelen berita mentah-mentah padahal gak tau apa-apa," balas Maira. Mata wanita itu langsung melotot begitupun beberapa dari mereka karena merasa tersindir. "Yang ngasih tau kami dari sumbernya sendiri," ucap salah satu dari mereka. Maira memiringkan kepala lalu menyeringai, membuat mereka memandang heran."Udahku duga kalau Bibi yang sebar ini semua," kata wanita itu. Selesai ia mengatakan demikian, Maira menoleh ke asal suara kala mendengar ada yang menyebu
Maira langsung bergegas menutup pintu dan berlari ke dapur. Segera menyiapkan makanan dan terus menoleh melihat jam dinding. Dewi melangkah keluar kamar karena ingin buang air kecil dan mengeryitkan alis kala melihat tingkah anaknya yang selalu melirik benda yang berada di tembok."Kenapa Maira ngeliatin jam terus, sampe gak enggeh aku yang lewat sini. Sibuk banget masak sama nengokin arah jarum jam," batin wanita itu. Kala hendak bertanya, wanita itu malah buang gas. Membuat dirinya langsung memegang perut, sedangkan Maira menoleh dan segera membekam bibir agar tidak tertawa. Dewi segera berlari ke bilik mandi dan karena tidak tahan Maira terbahak."Aduh ... perutku sakit," kata wanita itu. Lalu kala mencium bau hangus, ia langsung menoleh ke wajan dan segera mengangkat tempe yang lumayan gosong. "Yah ... gosong, pasti ini aku dapet karma karna ngetawain Ibu," ujarnya. Ia segera melakukan pekerjaannya lagi, beberapa menit kemudian. Dewi keluar dari bilik mandi dan memilih lesehan
Wanita itu mengambil napas sangat banyak lalu mengembuskan dengan terburu-buru. Ia lekas bangkit dan mengambil benda pipih, segera menelepon Hafiz. Tetapi, lelaki tersebut sudah beberapa kali ditelepon masih belum diangkat."Kayanya Tuan sibuk, kalau gitu aku kirim pesan aja. Kasih tau kalau Nyonya ada disini," ucapnya. [Tuan, yang datang ngejemput itu Nyonya, gimana ini? Aku bingung.] Setelah mengirim pesan, Maira langsung menoleh mendengar panggilan dari Hana. Gadis kecil itu berdiri di tengah pintu Maira segera mendekat dan menarik Hana untuk masuk ke kamarnya."Hana jangan berdiri di sana, kalau kata ibu mama, pamali," tegur Maira.Hana mengerutkan dahi tetapi mengangguk kan kepala mengiyakan teguran salon Mamanya."Tapi, pamali itu apa Mah?" tanya perempuan kecil itu.Perempuan itu menggaruk kepalanya yang tidak gatal, mendengar pertanyaan gadis kecil di hadapannya. "Mendingan kita ke luar aja, takut Mamanya Papa kamu nunggu lama," ajak Maira.Hana menganggukan kepala lalu men
Memiringkan kepala sambil menyipitkan mata. "Emang kenapa, Mah?" tanya gadis itu. Sedangkan Anggrek baru saja membuka pintu dan ia menatap cucu dan calon menantunya. "Kalian lagi bahas apa," lontar Anggrek. Wanita itu langsung mendaratkan bokong di kursi depan. Lalu menyuruh supir segera melajukan kendaraan roda empat ini."Eum ... itu, Grandma. Kata Mama, Hana gak boleh sembarangan cium orang. Apalagi kalau cowok," lapor Hana. Anggrek menoleh mendengar perkataan Hana dan menganggukan kepala. "Emang bener kata Mamamu, ini. Jangan asal cium sembarangan orang." Hana mengangguk tanda paham, lalu dia mulai mengoceh memecahkan keheningan di sana. Ia terus mengajak berbicara Anggrek dan Maira. Sedangkan di tempat lain, mata Hafiz membulat mendapati pesan dari sang calon istri. "Haduh ... kenapa Mama yang turun tangan," keluh lelaki itu. Lelaki itu segera mengirim pesan pada Maira dan ia mengembuskan napas kasar karena pekerjaan masih ada yang belum dikerjakan. [Sekarang apa kamu u
"Mas," panggil wanita itu.Dia tidak menanggapi, lelaki itu melangkah lebar dan mengambil kunci. Maira hendak mengejar tetapi sangat kesulitan. "Jangan tunggu aku! Aku gak bakal pulang," seru lelaki itu. Pria tersebut menutup pintu dengan kencang, Maira menatap nanar adegan di depannya. Lalu berusaha mendekati benda tersebut dan membuka, terlihat kendaraan roda empat milik Hafiz telah melaju."Mas ...."Anggrek segera mendekati menantunya lalu mengusap pundak wanita tersebut. "Sayang, tenangin diri kamu. Jangan begini, kamu lagi hamil lho," seru wanita itu.Maira langsung memeluk sang mertua dan menangis tersedu-sedu. Sedangkan Hana masih syok karena kemarahan Hafiz. Gadis kecil itu bergegas mendekati Maira dan memeluk wanita tersebut. "Mama, jangan nangis. Nanti biar Hana bantuin minta maaf sama Papa," ujar gadis itu.Wanita paling tua dari mereka langsung membelai puncuk kepala Hana. Sedangkan Maira segera memeluk anak sambungnya. Anggrek segera mengajak sang menantu untuk masuk
Setelah berkata demikian wanita itu langsung mematikan sambungan telepon, tanpa mendengarkan perkataan sang suami. Sedangkan Hafiz hanya menggelengkan kepala lalu mengetik pesan pada Maira. [Makanan udah mateng, kamu turun makan dulu. Susu juga udah aku buatin,] [Karna kamu gak mau ketemu, aku ke kantor aja kalau gitu ya.]Mata Maira melebar membaca deretan pesan sang suami. Dengan berusaha secepat mungkin ia turun dari ranjang lalu melangkah membuka pintu. Mulutnya baru saja hendak berteriak tetapi, terhenti kala seseorang menarik membuat wanita itu tertarik ke pelukan lalu terhalang perut. "Haha ... untung di depannya bantal, kalau bukan perutku pasti sakit."Lelaki itu ikut terbahak karena ucapan sang istri. Setelah melihat Maira memegang perut, pria tersebut menebak jika Maira merasa sakit akibat tertawa. Ia segera memperintah untuk berhenti."Udah, jangan ketawa mulu. Nanti perutmu sakit, mendingan ayo makan," ajak Hafiz.Dia menganggukan kepala lalu ikut melangkah bersama san
Seharian ini lelaki itu dikerjain sang istri, ia didandani seperti ibu hamil. Tetapi keletihan tersebut tergantikan dengan tawa bahagia sang istri."Yang ... udah ya, aku udah ngerasain kok ini. Capek banget baru beberapa jam juga, udah ya aku lepasin semua," pinta Hafiz. Maira yang tertawa langsung cemberut, wanita itu menggelengkan kepalanya. Membuat Hafiz mendapatkan tanggapan tersebut menghela napas. "Ya udah kalau gak boleh, sekarang kita makan yuk! Aku lapar nih," ajak lelaki itu.Wanita itu mengangguk lalu dibantu berdiri oleh sang suami. Ia menggenggam tangan lelaki tersebut kala terulur, dan melangkah bersama ke ruang makan. Terlihat meja yang hanya tersaji buah-buahan, Maira segera duduk di kursi dan Hafiz lekas melihat isi kulkas. "Mau makan apa, Yang?" tanya Hafiz.Semenjak Bi Wati sudah tidak bekerja, lelaki itu mulai belajar memasak kembali. Karena dia sangat sulit percaya dengan orang lain, dan hanya menyuruh pembantu membereskan kediaman saja. Kalau memasak itu ad
Maira akhirnya menelepon nomor handphone Maira, telepon langsung tersambung. Wanita itu segera bertanya pada tetapi ia terdiam kala jawaban dari yang mengangkat."Kamu bohong kan, padahal seminggu yang lalu aku telepon sama Bibi lho," pekik wanita itu. Anggrek yang mendengar teriakan Maira terkejut, bahkan Hana yang terlelap terbangun. Gadis kecil itu kaget kala melihat Mama sambungnya menangis sangat kencang."Ada apa, Ra? Siniin handphonenya!" pinta wanita itu.Dia langsung merebut handphone itu karena tak kunjung diberikan oleh Maira. Hana membantu menenangkan wanita tersebut yang terus menangis tersedu-sedu. Sedangkan Anggrek sekarang tau kenapa menantunya menangis sampai begini. "Makasih ya, kalau gitu saya matiin teleponnya."Setelah mematikan sambungan telepon tersebut, Anggrek segera menelepon handphone anaknya. Hafiz yang memilih bekerja melirik benda pipih itu lalu mengeryitkan alis saat snag Mama menelepon."Kebiasaan banget," gerutu lelaki itu. Hafiz segera mengangkat t
Lima hari berlalu, keinginan Wati untuk pensiun tidak bisa dicegah. Kini mereka tengah mengantarkan wanita itu untuk kembali ke kampung. Hana yang mengetahui hal tersebut terus memeluk perempuan paruh baya ini. "Bibi ... kenapa Bibi pulang, apa Bibi gak sayang sama Hana. Apa Hana nakal bikin Bibi marah," cerocos gadis tersebut. Sesampai di kediaman wanita itu, Hana sudah terlelap karena kelelahan menangis. "Jaga kesehatan ya kalian," ucap Wati.Mereka menganggukan kepala sebagai jawaban, lalu segera pamit karena Hafiz hendak kembali ke kantor. "Maaf mengganggu waktu kalian jadinya," tutur wanita itu. Hafiz dan Maira langsung menggeleng, lalu wanita yang suka dipangil Neng oleh Wati itu memeluk perempuan tersebut."Pokoknya nanti Bibi harus angkat telepon aku," rengek Maira. Wati hanya menganggukan kepala pelan, lalu mereka segera pulang. Hana yang terbangun tidak mendapati perempuan yang menjaganya sangat lama itu menangis kembali. Maira berusaha menenangkan Hana.*** Waktu te
Maira bernapas lega setelah menaruh kue ulang tahun itu ke kulkas. Suara telepon terdengar, Wati terkejut karena hal tersebut. Ia mengelus dada sedangkan Hana tertawa melihat keterkejutan sang pengasuh. "Tuan Hafiz yang nelepon, Neng," lapor Wati. Maira menyuruh wanita ituhmengangkat telepon Hafiz. Sedangkan dia menyuruh sang supir untuk memarkirkan kendaraan di garasi. "Bi! Udah ditangkep belum hewan itu, pokoknya harus di tangkep ya, Bi!" seru lelaki itu. Terdengar suara lelaki itu sedikit gemetar. Wati merasa bersalah karena hal tersebut. "Udah ketangkep Tuan, Tuan bisa keluar sekarang. Nyonya Maira juga udah pulang nih," balas Wati.Hafiz langsung mematikan sambungan telepon, lalu tak lama lelaki itu keluar dari kamar. Tubuh pria tersebut masih gemetar. "Sini Mas, kamu takut banget ya."Lelaki itu menganggukan kepala, ia mendekati Maira dan duduk di tengah-tengah para perempuan. Mereka segera memeluk pria tersebut."Kita peluk nih, Pah. Papa jangan takut lagi ya," ucap Han
Maira menyipitkan mata mendengar suara Thania. "Beneran kamu Nia? Kok bisa kamu ngemis gini, emang harta Mas Reyhan habis?" tanya wanita itu. Mendengar deretan pertanyaan Maira, wanita itu langsung menatap sinis sang mantan teman."Gak usah pura-pura gak tau, kamu! Aku begini gara-gara kamu. Pasti kamu bilang kalau anakku bukan anak Mas Reyhan, kan! Kamu menghasut dia kan," sentak wanita itu.Alis Maira sampai menyatu mendengar sentakan wanita di hadapannya ini. "Dia tau kalau kamu bukan hamil anaknya? Lagian emang bukan anak Mas Reyhan, kan. Ngaku aja kamu, karena Mas Reyhan itu mandul.""Lagian main nuduh aja, aku gak pernah ketemu dia semenjak menikah. Hidupku udah bahagia, Nia, ngapain ngurusin kalian. Kita jalani masing-masing aja," lontar Maira. Setelah mengatakan hal itu semua mobil melaju, Maira segera menyuruh sang supir agar menjalankan kendaraan roda empat ini. Sedangkan Hana, gadis kecil tersebut mengeluarkan suara."Mah, Tante-Tante yang tadi itu yang pernah ngomelin
Mendapatkan notifikasi balasan dari istrinya, ia segera membaca lalu mengelus dada kala mendapatkan deretan permintaan istrinya lagi. "Kenapa gak minta beliin aja sih, Yang. Kamu demen banget buat aku nyobain hal baru," keluh lelaki itu."Untung cinta, kalau enggak. Huh ...."Hafiz langsung bangkit dari duduknya lalu melangkah menuju dapur. Wati yang mau keluar, terkejut dengan kedatangan sang majikan yang tiba-tiba."Kenapa jalan Tuan gak kedengaran suara," lontar wanita itu. Pria tersebut tidak menjawab, malah helaan napas yang terdengar. Wati mengerutkan kening kala sang majikan mengambil cobek dan ulekan. "Bi, ini gimana caranya buat sambel rujak?" tanya Hafiz. Mendengar pertanyaan Hafiz, Wati segera melihat kulkas mengambil bahan untuk membuat rujak. "Tuan pengen ngerujak? Sini biar saya aja yang bikinin," ucap Wati. Lelaki itu menggeleng, lalu menganggukan kepala saat paham. "Ini biar saya yang siapin ya, terus Tuan yang ulek," lontar perempuan tersebut. Hafiz hanya meng
Hafiz langsung menyuruh Wati untuk tidak mengatakan hal itu. Ia segera bangkit dan melangkah keluar, dia lekas menoleh menatap wanita tersebut. "Kamu ikut, Bi. Sekalian videoin sebagai bukti kalau aku yang beneran minta mangga itu ke pemiliknya," ajak pria tersebut. Wati langsung menganggukan kepala, ia segera mengeluarkan benda pipih miliknya dan menvideokan lelaki itu yang melangkah. Saat sampai di kediaman sang tetangga, Hafiz segera memencet bel. Pintu terbuka terlihat seorang wanita yang perkiraan lebih muda dari pengasuh Hana. "Boleh minta tolong panggilin pemilik rumah ini gak," pinta Hafiz. Wanita itu mengerutkan keningnya tetapi menganggukan kepala mengiyakan permintaan Hafiz. Dia pamit sebentar untuk memanggil sang majikan. Beberapa menit kemudian, keluar seorang wanita yang lebih tua dari perempuan tadi. "Ada apa ya, Hafiz?" tanya wanita itu. Hafiz menundukan kepala dan mengatur napasnya. Sedangkan wanita paruh baya itu mengerutkan kening melihat pembantu pria tersebu