Dua hari berlalu, Maira termenung di kamar. Dia memikirkan penawaran Hafiz. Besok adalah bulan ramadhan dia sekarang tengah mencatat pesanan bakakak untuk sore ini. "Apa aku terima aja ya, lagian aku sayang sama Hana. Mana mungkin Tuan mencintaiku, palingan dia ingin menikahiku hanya karna permintaan Hana," gumam wanita itu. "Lagian dia niat membantuku lepas dari Mas Reyhan kan, lebih cepat lebih baik kalau segera mengugat lelaki itu," lanjutnya. Wanita itu menyakinkan hati untuk menerima bantuan Hafiz, dia akan memberitahu setelah menyelesaikan kesibukannya. Suara panggilan sang Ibu membuyarkan pikirin perempuan tersebut. Ia bergegas beranjak dari kursi dan lekas membuka pintu, terlihat Dewi sudah berdiri di hadapan. "Anaknya si Mpok katanya mau ngomong sama kamu, Ra." Ia mengeryitkan alis karena tidak paham yang dimaksud sang Ibu. Tetapi wanita itu malah berlalu pergi, padahal dia hendak bertanya. Dari pada penasaran, memilih bergegas ke luar mencari orang yang ingin menemuinya
"Abang bingung, La. Abang kan masih kerja serabutan, sedangkan Ajeng udah kerja pabrik. Istilahnya dia udah punya penghasilan bulanan. Abang malu mau ungkapin juga, lagian mana mungkin Ibunya ngerestuin karna Abang yang belum punya penghasilan tetap. Kalau udah ada yang duluin Abang cuma bisa pasrah dan doain dia semoga bahagia," sahut lelaki itu sendu.Mendengar ucapan David, Ajeng sedikit terkejut. Tetapi, wanita itu bisa mengendalikannya. Ia segera bersidekap dan menatap sinis Kakak lelaki Maira."Belum juga dicoba, udah nyerah duluan. Cemen banget sih kamu, Bang!" sindir Ajeng.Suara Ajeng mengejutkan David, lelaki itu langsung menoleh menatap asal suara. Lalu pria tersebut menatap kesal kedua perempuan yang tengah duduk. Dia menetralkan amarah dan menarik napas, mengembuskan kembali."Abang hanya merasa tak pantas, Jeng. Apalagi kerjaan Abang cuma begini, karna Abang bukan ngajak pacaran, tapi ingin langsung menikah," balas pria tersebut.Wanita berambut sebahu itu langsung memal
"Kamu ngapain peluk-peluk Ajeng," seru Lena.David tergagap menjawab seruan orang tua Ajeng."E-eh, an-nu Bi, David. David sama." Ucapan David terhenti kala melihat wanita itu tertawa, ia langsung mengeryitkan alis bingung. "Hahaha ... padahal tadi pas lamar anak Bibi kamu lancar banget lho, tapi kok ngomong sama Bibi gagap gitu," ujar Lena.Mendengar ujaran dan suara lembut Lena, lelaki itu langsung menunduk dan menggaruk kepala yang tak gatal. Melihat reaksi David, para wanita tertawa terbahak-bahak."Bibi ke sini mau apa, Bi? Gak mungkin ngikutin Ajeng kan," seru Maira.Wanita itu mendekat lalu mencium punggung tangan perempuan tersebut. "Ya enggak lah, Ra. Kamu ini ya, Bibi ke sini mau pesen bakakak ayam, Ra. Buat sore ini dua aja. Eh dapat kejutan pas dateng, ngeliat drama Abangmu nembak anak kesayangan Bibi," jawab Lena.Maira menganggukan kepalanya, dia segera mengajak Lena untuk duduk. Lalu perempuan itu pamit ke dalam untuk mengambil buku untuk mencatat pesanan Ibunya Aj
Maira terdiam sebentar mendengar omelan Abangnya lalu membenarkan perkataan lelaki itu. Ia memilih mendongak menatap David, lalu tatapan malas langsung terpancar di manik kala melihat kedua manusia di hadapannya. "Udah kali itu gak usah meluk aja, lepasin tangannya! Kan kata Abang aku salah ya udah minta maaf deh, dan coba udah jangan cari kesempatan dalam kesempitan," lontar Maira. Mendengar ucapan Maira, Ajeng langsung tersadar. Dia segera melepaskan tangan David dari pinggangnya lalu menggaruk kepala yang tidak terasa gatal. Sedangkan adik pria tersebut masih menatap sinis sang Abang. "Udah kali natapnya jangan gitu, kalau gitu Abang pamit dulu soalnya telat," ucap David. Dia segera menyambar tangan Lena dan mencium punggung tangan wanita itu. Lalu menatap Ajeng dan pamit pada wanita yang baru ditembaknya. "Cie ... yang baru ditembak, jangan lupa PJ lho," goda Kayla. Ajeng tersenyum malu mendengar godaan dari sahabatnya, dia segera menyerang Kayla dengan gelitikkan. Membuat m
"Setelah kamu kangen-kangenan sama dia, Grandma gantian ya ngobrol sama dianya," seru Ibunya Hafiz.Maira terkejut mendengar suara perempuan yang dia tebak Ibunya Hafiz. Wanita itu kini tengah memutar otak agar terhindar dari suasana yang tiba-tiba terasa mencengkram. "Eh, Han. Udah dulu ya, soalnya aku masih dijalan nih. Soalnya aku banyak pesenan, nanti dulu ya teleponannya," elak Maira.Terdengar helaan napas dari Hana. Gadis kecil itu sedikit kecewa dengan perkataan Maira. Mendengar hal tersebut, Hafiz paham akan perasaan kedua perempuan ini. "Mairanya lagi sibuk, Han. Tunggu dia luang dulu, kasian dia pasti di jalan dan cuaca di sana pasti panas atau mendung," ujar Hafiz.Hafiz menyuruh Maira untuk segera mematikan sambungan telepon. Wanita itu lekas menurut dan bernapas lega."Udah kaya lagi ujian aja tegangnya," kata wanita itu.Maira mengusap dadanya lalu segera memasukan benda pipih itu kala melihat jam yang tertera. Melajukan kendaraan dan memandang langit yang cerah."Ken
"Kamu gak bohong kan? Seorang janda menolak kamu. Fenomena langkah nih," seloroh sang Mama. Wanita itu tertawa membuat Hafiz merasa kesal. Lelaki tersebut memilih bangkit dari duduk dan bergegas ke kamar. Melihat kepergian anaknya, ia melangkah mendekati sang cucu. "Sayang, nanti bantu Grandma ketemuan sama cewek yang kamu panggil Mama, ya," pinta perempuan itu. Hana menoleh kala sang nenek memegang bahunya. Ia langsung menganggukkan kepala dengan semangat lalu memegang tangan wanita itu. "Grandma bisa gak buat Mama, jadi Mama aku," pinta Hana. Mendengar permintaan cucunya dari bibir gadis itu. Dia langsung memerintahkan Hana agar duduk di pangkuan, lalu membelai sayang rambut perempuan tersebut."Apa Hana bener-bener pengen dia jadi Mama, Hana? Kalau misalnya dia cuma baik sekarang aja gimana?" tanya wanita itu.Gadis kecil itu mengeyitkan keningnya, dia memandang paras sang Nenek. "Maksud Grandma, apa? Hana gak paham," sahutnya. Mendengar sahutan polos sang cucu, wanita itu
Maira memutarkan bola matanya, lalu mengembuskan napas. "Saya kan lagi kerja, Tuan. Ya pasti jawabnya lama, lagian ada apa Tuan nelepon saya," balas wanita itu.Mendengar Maira menjawab demikian Hafiz mendengkus. "Kamu tuh ngejawab aja, saya cuma mau nanya kamu santainya kapan? Hana udah ngerengek minta nelepon kamu, pengen cerita katanya," cerocos Hafiz.Maira terdiam sebentar lalu melirik jam yang ada dilayar ponsel. "Mungkin habis isya, Tuan. Nanti kalau udah beres kerjaan saya. Saya langsung telepon nomor Hana," balas perempuan itu."Oh iya, eum ... Tuan mau pulang kapan? Soalnya ada yang mau saya bicarakan," tanyanya.Kini giliran Hafiz yang terdiam, lalu lelaki itu menoleh kala pintu kamarnya terbuka. Mata pria tersebut melotot kala melihat sang Mama yang berada di sana. "Lusa, ya. Lusa saya akan pulang. Nanti kita ngobrol sambil ajak Hana jalan-jalan, kalau gitu saya matikan dulu," jawab Hafiz.Pria tersebut langsung bangkit, ia memasukan benda pipihnya ke dalam saku. La
"Pasti ada di dapur, ya," celetuk Devi.Mendengar ucapan Devi lagi, Maira semakin mempercepat langkahnya lalu menarik lengan sang Bibi. Membuat wanita itu langsung berhenti. "Kamu tuh apa-apaan sih! Main tarik-tarik aja, dikira tangan Bibi lomba tarik tambang apa," cecar Devi.Maira mendengkus lalu bersidekap. Ia memutarkan bola matanya dengan malas, Kayla ikut mendekat dan berdiri di samping sang teman."Lagian ngapain main nyelonong masuk aja, mau minta ayam lagi dan gak nunggu aku jawab dulu dikasih atau enggak. Malah langsung mau ambil aja," omel Maira.Kayla mengangguk membenarkan membuat Devi melotot lalu ikut bersidekap. "Aku ini Bibimu lho, masa perhitungan sih! Kan Bibi cuma minta satu bakakak ayam aja gak semua kok," sahut Devi.Kayla menatap kesal dengan tingkah Bibinya Maira. "Mpok ini gimana sih, minta bakakak ayam kaya minta permen. Dikira bahan-bahannya beli pake daun apa! Sekarang semua serba mahal Mpok, kalau mau bakakak ayam ya beli," seru Kayla.Devi menggeram me
"Mas," panggil wanita itu.Dia tidak menanggapi, lelaki itu melangkah lebar dan mengambil kunci. Maira hendak mengejar tetapi sangat kesulitan. "Jangan tunggu aku! Aku gak bakal pulang," seru lelaki itu. Pria tersebut menutup pintu dengan kencang, Maira menatap nanar adegan di depannya. Lalu berusaha mendekati benda tersebut dan membuka, terlihat kendaraan roda empat milik Hafiz telah melaju."Mas ...."Anggrek segera mendekati menantunya lalu mengusap pundak wanita tersebut. "Sayang, tenangin diri kamu. Jangan begini, kamu lagi hamil lho," seru wanita itu.Maira langsung memeluk sang mertua dan menangis tersedu-sedu. Sedangkan Hana masih syok karena kemarahan Hafiz. Gadis kecil itu bergegas mendekati Maira dan memeluk wanita tersebut. "Mama, jangan nangis. Nanti biar Hana bantuin minta maaf sama Papa," ujar gadis itu.Wanita paling tua dari mereka langsung membelai puncuk kepala Hana. Sedangkan Maira segera memeluk anak sambungnya. Anggrek segera mengajak sang menantu untuk masuk
Setelah berkata demikian wanita itu langsung mematikan sambungan telepon, tanpa mendengarkan perkataan sang suami. Sedangkan Hafiz hanya menggelengkan kepala lalu mengetik pesan pada Maira. [Makanan udah mateng, kamu turun makan dulu. Susu juga udah aku buatin,] [Karna kamu gak mau ketemu, aku ke kantor aja kalau gitu ya.]Mata Maira melebar membaca deretan pesan sang suami. Dengan berusaha secepat mungkin ia turun dari ranjang lalu melangkah membuka pintu. Mulutnya baru saja hendak berteriak tetapi, terhenti kala seseorang menarik membuat wanita itu tertarik ke pelukan lalu terhalang perut. "Haha ... untung di depannya bantal, kalau bukan perutku pasti sakit."Lelaki itu ikut terbahak karena ucapan sang istri. Setelah melihat Maira memegang perut, pria tersebut menebak jika Maira merasa sakit akibat tertawa. Ia segera memperintah untuk berhenti."Udah, jangan ketawa mulu. Nanti perutmu sakit, mendingan ayo makan," ajak Hafiz.Dia menganggukan kepala lalu ikut melangkah bersama san
Seharian ini lelaki itu dikerjain sang istri, ia didandani seperti ibu hamil. Tetapi keletihan tersebut tergantikan dengan tawa bahagia sang istri."Yang ... udah ya, aku udah ngerasain kok ini. Capek banget baru beberapa jam juga, udah ya aku lepasin semua," pinta Hafiz. Maira yang tertawa langsung cemberut, wanita itu menggelengkan kepalanya. Membuat Hafiz mendapatkan tanggapan tersebut menghela napas. "Ya udah kalau gak boleh, sekarang kita makan yuk! Aku lapar nih," ajak lelaki itu.Wanita itu mengangguk lalu dibantu berdiri oleh sang suami. Ia menggenggam tangan lelaki tersebut kala terulur, dan melangkah bersama ke ruang makan. Terlihat meja yang hanya tersaji buah-buahan, Maira segera duduk di kursi dan Hafiz lekas melihat isi kulkas. "Mau makan apa, Yang?" tanya Hafiz.Semenjak Bi Wati sudah tidak bekerja, lelaki itu mulai belajar memasak kembali. Karena dia sangat sulit percaya dengan orang lain, dan hanya menyuruh pembantu membereskan kediaman saja. Kalau memasak itu ad
Maira akhirnya menelepon nomor handphone Maira, telepon langsung tersambung. Wanita itu segera bertanya pada tetapi ia terdiam kala jawaban dari yang mengangkat."Kamu bohong kan, padahal seminggu yang lalu aku telepon sama Bibi lho," pekik wanita itu. Anggrek yang mendengar teriakan Maira terkejut, bahkan Hana yang terlelap terbangun. Gadis kecil itu kaget kala melihat Mama sambungnya menangis sangat kencang."Ada apa, Ra? Siniin handphonenya!" pinta wanita itu.Dia langsung merebut handphone itu karena tak kunjung diberikan oleh Maira. Hana membantu menenangkan wanita tersebut yang terus menangis tersedu-sedu. Sedangkan Anggrek sekarang tau kenapa menantunya menangis sampai begini. "Makasih ya, kalau gitu saya matiin teleponnya."Setelah mematikan sambungan telepon tersebut, Anggrek segera menelepon handphone anaknya. Hafiz yang memilih bekerja melirik benda pipih itu lalu mengeryitkan alis saat snag Mama menelepon."Kebiasaan banget," gerutu lelaki itu. Hafiz segera mengangkat t
Lima hari berlalu, keinginan Wati untuk pensiun tidak bisa dicegah. Kini mereka tengah mengantarkan wanita itu untuk kembali ke kampung. Hana yang mengetahui hal tersebut terus memeluk perempuan paruh baya ini. "Bibi ... kenapa Bibi pulang, apa Bibi gak sayang sama Hana. Apa Hana nakal bikin Bibi marah," cerocos gadis tersebut. Sesampai di kediaman wanita itu, Hana sudah terlelap karena kelelahan menangis. "Jaga kesehatan ya kalian," ucap Wati.Mereka menganggukan kepala sebagai jawaban, lalu segera pamit karena Hafiz hendak kembali ke kantor. "Maaf mengganggu waktu kalian jadinya," tutur wanita itu. Hafiz dan Maira langsung menggeleng, lalu wanita yang suka dipangil Neng oleh Wati itu memeluk perempuan tersebut."Pokoknya nanti Bibi harus angkat telepon aku," rengek Maira. Wati hanya menganggukan kepala pelan, lalu mereka segera pulang. Hana yang terbangun tidak mendapati perempuan yang menjaganya sangat lama itu menangis kembali. Maira berusaha menenangkan Hana.*** Waktu te
Maira bernapas lega setelah menaruh kue ulang tahun itu ke kulkas. Suara telepon terdengar, Wati terkejut karena hal tersebut. Ia mengelus dada sedangkan Hana tertawa melihat keterkejutan sang pengasuh. "Tuan Hafiz yang nelepon, Neng," lapor Wati. Maira menyuruh wanita ituhmengangkat telepon Hafiz. Sedangkan dia menyuruh sang supir untuk memarkirkan kendaraan di garasi. "Bi! Udah ditangkep belum hewan itu, pokoknya harus di tangkep ya, Bi!" seru lelaki itu. Terdengar suara lelaki itu sedikit gemetar. Wati merasa bersalah karena hal tersebut. "Udah ketangkep Tuan, Tuan bisa keluar sekarang. Nyonya Maira juga udah pulang nih," balas Wati.Hafiz langsung mematikan sambungan telepon, lalu tak lama lelaki itu keluar dari kamar. Tubuh pria tersebut masih gemetar. "Sini Mas, kamu takut banget ya."Lelaki itu menganggukan kepala, ia mendekati Maira dan duduk di tengah-tengah para perempuan. Mereka segera memeluk pria tersebut."Kita peluk nih, Pah. Papa jangan takut lagi ya," ucap Han
Maira menyipitkan mata mendengar suara Thania. "Beneran kamu Nia? Kok bisa kamu ngemis gini, emang harta Mas Reyhan habis?" tanya wanita itu. Mendengar deretan pertanyaan Maira, wanita itu langsung menatap sinis sang mantan teman."Gak usah pura-pura gak tau, kamu! Aku begini gara-gara kamu. Pasti kamu bilang kalau anakku bukan anak Mas Reyhan, kan! Kamu menghasut dia kan," sentak wanita itu.Alis Maira sampai menyatu mendengar sentakan wanita di hadapannya ini. "Dia tau kalau kamu bukan hamil anaknya? Lagian emang bukan anak Mas Reyhan, kan. Ngaku aja kamu, karena Mas Reyhan itu mandul.""Lagian main nuduh aja, aku gak pernah ketemu dia semenjak menikah. Hidupku udah bahagia, Nia, ngapain ngurusin kalian. Kita jalani masing-masing aja," lontar Maira. Setelah mengatakan hal itu semua mobil melaju, Maira segera menyuruh sang supir agar menjalankan kendaraan roda empat ini. Sedangkan Hana, gadis kecil tersebut mengeluarkan suara."Mah, Tante-Tante yang tadi itu yang pernah ngomelin
Mendapatkan notifikasi balasan dari istrinya, ia segera membaca lalu mengelus dada kala mendapatkan deretan permintaan istrinya lagi. "Kenapa gak minta beliin aja sih, Yang. Kamu demen banget buat aku nyobain hal baru," keluh lelaki itu."Untung cinta, kalau enggak. Huh ...."Hafiz langsung bangkit dari duduknya lalu melangkah menuju dapur. Wati yang mau keluar, terkejut dengan kedatangan sang majikan yang tiba-tiba."Kenapa jalan Tuan gak kedengaran suara," lontar wanita itu. Pria tersebut tidak menjawab, malah helaan napas yang terdengar. Wati mengerutkan kening kala sang majikan mengambil cobek dan ulekan. "Bi, ini gimana caranya buat sambel rujak?" tanya Hafiz. Mendengar pertanyaan Hafiz, Wati segera melihat kulkas mengambil bahan untuk membuat rujak. "Tuan pengen ngerujak? Sini biar saya aja yang bikinin," ucap Wati. Lelaki itu menggeleng, lalu menganggukan kepala saat paham. "Ini biar saya yang siapin ya, terus Tuan yang ulek," lontar perempuan tersebut. Hafiz hanya meng
Hafiz langsung menyuruh Wati untuk tidak mengatakan hal itu. Ia segera bangkit dan melangkah keluar, dia lekas menoleh menatap wanita tersebut. "Kamu ikut, Bi. Sekalian videoin sebagai bukti kalau aku yang beneran minta mangga itu ke pemiliknya," ajak pria tersebut. Wati langsung menganggukan kepala, ia segera mengeluarkan benda pipih miliknya dan menvideokan lelaki itu yang melangkah. Saat sampai di kediaman sang tetangga, Hafiz segera memencet bel. Pintu terbuka terlihat seorang wanita yang perkiraan lebih muda dari pengasuh Hana. "Boleh minta tolong panggilin pemilik rumah ini gak," pinta Hafiz. Wanita itu mengerutkan keningnya tetapi menganggukan kepala mengiyakan permintaan Hafiz. Dia pamit sebentar untuk memanggil sang majikan. Beberapa menit kemudian, keluar seorang wanita yang lebih tua dari perempuan tadi. "Ada apa ya, Hafiz?" tanya wanita itu. Hafiz menundukan kepala dan mengatur napasnya. Sedangkan wanita paruh baya itu mengerutkan kening melihat pembantu pria tersebu